KODE-4

Wednesday, February 21, 2007

Rabun Senja, Buta Sejarah


OLEH Nasrul Azwar

Apa yang membuat Minangkabau terpeta dengan tinta emas dalam sejarah kehidupan intelektual di Nusantara ini—taruhlah, misalnya, jauh sebelum bangsa Belanda masuk, atau saat Islam bertegur sapa dengan adat dan tradisi kulturalnya pada awal abad ke 16 M—tak lain karena kultur Minangkabau yang sangat fleksibel dan keterbukaan berpikir. Karakteristik yang unik dari masyarakat Minangkabau adalah kemampuan mengelola sistem budaya matrilineal dan memaknai filosofi adatnya, sehingga ideologi dan paham jenis apa saja yang masuk ke ranah ini, tidak ada masalah. Ideologi kiri, kanan, tengah, malah paham gado-gado.
Pada tahun 20-an, secara nyata berkembang berbagai aliran ideologi di ranah Minang termasuk paham komunis radikal yang berlanjut dengan pemberontakan komunis pada 1926-1927 di Silungkang. Pada 1940-an tercatat beberapa partai politik Islam di Minangkabau bergenggaman erat dengan koalisi komunis radikal. Semuanya berjalan dengan baik: menghormati paham dan mengharagai perbedaan ideologi itu tanpa kecurigaan.
Masa-masa seperti itu bukan saja berjalan dengan penuh keharmonisan, lebih jauh lagi membuka lebih luas dialektika masyarakat Minangkabau dalam menata pola pendidikan. Misal, pada akhir periode penjajahan Belanda—saat itu rasa nasionalisme Indonesia mengakar kuat pada masyarakat Minangkabau—tercatat jumlah institusi lembaga pendidikan dasar, menengah, dan lain sebagainya, jumlahnya jauh melampuai kawasan lain di Indonesia. Di mana-mana muncul institusi pendidikan yang sangat berpengaruh dalam menentukan arah dan quo vadis negeri ini. Minangkabau saat itu seperti sebuah “tangki pemikiran” Indonesia dalam konteks Indonesia dan menempatkan Sumatra Barat pada posisi yang sangat penting. Akan tetapi, karena pola menata Indonesia bertolak belakang dengan pola kekuasaan yang dianut penguasa dengan kultur feodalisme, maka terjadilah pertentangan dan “perlawanan” terhadap pemerintah pusat. Meletusnya PRRI pada tahun 1958 sebagai manifestasi perlawanan itu.
Polarisasi, kemampuan beradaptasi, dan kelincahan membaca situasi yang berkembang adalah modal dasar bagi masyarakat Minang saat itu. Dan selanjutnya, dengan penyesuaian kultur adatnya, Minangkabau muncul sebagai kekuatan yang berpengaruh di Nusantara. Dalam perjalanan sejarah pemikiran, masyarakat Minangkabau menafikan bentuk kecurigaan terhadap beragam ideologi dan aliran yang berkembang dan masuk ke ranah ini. Saat itu, tidak pernah muncul klaim atau pelarangan terhadap hasil pemikiran manusia. Semua paham, ideologi, dan apu pun namanya dipelajari dan diterima yang kelak akan memunculkan dialektika pemikiran “baru”. Dan sejarah mencatat, tokoh-tokoh politik, negarawan, ulama, budayawan, dan penulis kuat yang mencuat dari ranah Minang bukan karena mereka takut dengan beragam ideologi yang masuk ke negeri ini, tapi disebabkan pergaulan dan daya jelajah pemikiran yang berbasis pada kekuatan kultural dan agamanya. Mereka tidak gagap dan cemas, teguh dalam bersikap, kritis, tidak plin-plan, lapang cara pandangnya, tidak picik, berbuat tanpa tendensi, tidak arogan, terang jalan pikirannya. Inilah yang membuat tokoh-tokoh Minang yang muncul pra-kemerdekaan Republik ini sampai tahun 60-an berkharisma, penuh pesona, dan dihormati masyarakat.
Kini, semuanya terbalik. Berputar seratus delapan puluh derajat. Segelintir—malah tak sampai hitungan jari—orang-orang yang mengatasnamakan apa saja yang menurut mereka cocok, mengklaim dirinnya atau kelompoknya sebagai pihak yang paling benar dalam bidang apa saja. Kelompok ini dengan nama-nama yang berbeda tapi orang di dalamnya itu-itu juga bergerak seperti bunyi iklan: “Apa yang kamu minta, saya punya”. Mereka ini seperti menguasai produk dari hulu hingga hilir. Mengapa tidak? Jika ada yang bicara tentang korupsi di Sumatra Barat, kelompok ini punya lembaga untuk mengkonternya. Kata mereka, para koruptor yang telah divonis pengadilan itu dizalimi dan tidak bersalah. Di bidang pemikiran, misalnya pluralisme, secara lantang mereka juga bersorak: “Haram pluralisme itu!” Adat dan budaya, mereka ini, yang orangnya itu-itu juga, menegakkan pula sebuah majelis tinggi adat Minangkabau. Malah, tentu saja dengan mengklaim atas nama masyarakat Sumatra Barat—padahal jumlah mereka tak lebih 6 orang—memberikan pula anugerah/award kepada orang-orang tertentu yang mereka ponten tidak sejalan dengan kebenaran yang mereka anut dengan aksi menginjak foto-foto mereka di depan masjid. Tentu, yang lebih menggelikan lagi adalah pelarangan terhadap orang lain untuk mempelajari Minangkabau dan sampai kepada pengusiran sepanjang adat jika orang tersebut tetap bersikeras melakukan aktivitas menyangkut Minangkabau.
Sepintas, ini terlihat seperti sebuah opera sabun dan sinetron yang ditayangkan televis kita. Penuh ketidakmasukakalan. Konyol. Dan menyebalkan. Mereka tidak pernah berkaca dan belajar daeri sejarah yang ada di depan matanya. Itulah mereka. Biarkan sajalah, karena itu semua ciri-ciri manula. ***

No comments:

Post a Comment