KODE-4

Showing posts with label REPORTASE. Show all posts
Showing posts with label REPORTASE. Show all posts

Friday, August 22, 2014

Menparekraf Buka Konferensi Nasional Penyiapan SDM Pariwisata

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Mari Elka Pangestu membuka sekaligus menjadi keynote speech  dalam Konferensi Nasional Penyiapan Sumber Daya Manusia (SDM) Pariwisata yang Kompeten dan Berdaya Saing dalam Mengantisipasi Implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 yang berlangsung di Hotel Pullman Jakarta, Selasa (19/8). 

Wednesday, May 7, 2008

Wawancara Eksklusif dengan Andrea Hirata


“Lebih Senang Dikontak Guru Ketimbang Pejabat”
Pengantar Redaksi
Buku Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah Karpov merupakan karya Andea Hirata Seman yang mencengangkan banyak orang di negeri ini. Tiga buku, minus Maryamah Karpov, meledak di pasaran. Selain di Indonesia, Laskar Pelangi juga diterbitkan di Malaysia, Singapura, Spanyol, dan beberapa negara Eropa lainnya.

Monday, February 18, 2008

Peninggalan Kerajaan di Dharmasraya, Sejarah yang Dijarah

Kendati masih berusia muda, Kabupaten Dharmasraya menyimpan sejuta pesona. Dari sana sekitar abad 11 masehi lembar sejarah Kerajaan Melayu bermula. Peninggalan-peninggalan arkeolog seperti candi, artefak, masjid, makam raja-raja dan rumah gadang menjadi saksi bisu sejarah kerajaan Hindu-Budha dan Islam di kabupaten pemekaran itu.

Sayang, kondisinya memprihatinkan, terabaikan dan tak ada yang peduli. Beberapa simpul sejarah yang bisa bercerita akan kondisi miris itu di antaranya peninggalan arkeolog kerajaan Hindu-Budha dan Islam yang tersebar di Nagari Siguntur, Padanglaweh dan Pulaupanjang. Parahnya lagi rentetan ekspedisi Pamalayu itu tidak diketahui masyarakat. Masyarakat cenderung apriori dengan sejarah di daerah tersebut, termasuk mahasiswa. “Ambo lai tahu ado situs bersejarah di Siguntur tapi alun ado ke sinan soalnyo ndak tontu apo nan dicari (saya tahu ada situs bersejarah di Siguntur, tapi belum pernah ke sana. Tidak tahu apa yang mau dicari) ,” ujar Peldi, mahasiswa asal Dharmasraya.

Friday, August 24, 2007

Mengapa Saya Menurunkan Sajak-sajak Saeful Badar?

Oleh Rahim Asyik
TULISAN ini saya buat sebagai sebentuk pertanggungjawaban, barangkali pembelaan –bukan permintaan maaf-- terhadap hal-hal yang terjadi menyusul terbitnya salah satu sajak karya Saeful Badar.
Kurang lebih dua tahun lalu saya menerima warisan "Khazanah" dalam citra yang karut marut (kata karut marut mungkin berasal dari harut marut. Harut dan Marut adalah nama sepasang malaikat yang diturunkan Tuhan di sebuah sumur di Negeri Babil. Kedua malaikat ini mengajarkan sihir kepada manusia sehingga dengan sihir itu seseorang dapat menceraikan pasangannya (lihat Albaqarah: 102).

Sunday, August 19, 2007

Pementasan Nyai Ontosoroh


Luka Baru Nyai Ontosoroh

KILAS BALIK, Artis Happy Salma (kanan) memerankan tokoh Nyai Ontosoroh saat pementasan teater dengan lakon Nyai Ontosoroh, 12-14 Agustus 2007 di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.

Kekuatan teks lakon Nyai Ontosoroh terletak pada pergulatan sang tokoh menghadapi realitas hidup.Sebuah inspirasi bagi kaum perempuan saat ini.

Pementasan Teater Nyai Ontosoroh

Perlawanan Ontosoroh

OLEH Ilham Khoiri

"Kita telah melawan, Nak, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya!"

Sambil berucap, Nyai Ontosoroh berdiri tegak, kepala mendongak. Menantunya, Minke, masih tercenung dengan hati terluka. Keduanya mengenang kepergian Annelies, putri Ontorosoh yang sekaligus istri Minke, yang dipaksa pulang ke negeri Belanda.

Nyai itu berjuang mati-matian mempertahankan anak kandungnya. Tapi, Pengadilan Amsterdam memutuskan Annelies dikembalikan ke negeri asalnya. Ikatan darah pribumi dikalahkan oleh hukum kolonial yang memihak bangsa Eropa.

Monday, August 13, 2007

Sajak Malaikat yang Kontroversial


Beberapa waktu lalu, karya fiksi berupa puisi yang dimuat lembaran budaya "Khazanah" Pikiran Rakyat, Sabtu, 4 Agustus 2007 karya Saeful Badar berjudul "Malaikat" mendapat soroton dan kecaman keras dari DDII Jawa Barat. Pihak Redaksi Pikiran Rakyat dan penulisnya sendiri sudah meminta maaf secara terbuka.

Sebagai fakta "sejarah" dan mungkin suatu saat berguna, maka saya postingkan di blog saya. Dan ini tak ada maksud apa-apa. Cuma sebagai fakta semata.
Sajak itu dapat diklik di SINI

PIKIRAN RAKYAT, SABTU, 4 AGUSTUS 2007 Sajak- Sajak Saeful Badar

PANTAI CIMANUK, 1

Bersama laut aku ngelangut
Dihempas ombak dan kepak camar
Menyurutkan kabut.

2007

PANTAI CIMANUK, 2

Pecahan kabut mengurai kenanganku
Ke ufuk terjauh dari cintaku

Aku terlelap dalam jubah malam
Menuju kediaman yang asing dan menakutkan
Di sela-sela bayang hitam pohonan dan karang
Yang mengirim hantu-hantu dan mambang

Di langit bulan melolong sendirian
Bersama kelelawar liar dan burung-burung malam
Angin dan api berjilatan di dada hampa
Mendeburkan syahwat di geliat ombak
Dan ketiadaan diri. Lantas
Mengabadikan sepi pada pahatan-pahatan cinta
Yang mengkristal jauh di lubuk hati

2007

MALAIKAT

Mentang-mentang punya sayap
Malaikat begitu nyinyir dan cerewet
Ia berlagak sebagai makhluk baik
Tapi juga galak dan usil
Ia meniup-niupkan wahyu
Dan maut
Ke saban penjuru.

2007

PENYAIR

Menerjuni kabut
Cahaya berjatuhan
Dari langit syahwatku
Kata-kata pun berseliweran
Bagai bus dan angkot cari muatan
Sementara aku adalah sopir
Sekaligus penumpang yang keringatan
Seharian.

2007

SAEFUL BADAR, lahir di Tasikmalaya. Menulis puisi dalam bahasa Indonesia dan Sunda. Karya-karyanya dipublikasikan di berbagai media. Buku puisinya yang telah terbit Notasi-Notasi Kecil (FSB, 1997) dan Epigram untuk Soeharto (SST, 2001). Karya-karya lain terhimpun dalam beberapa antologi bersama, yang terbit di Tasikmalaya, Bandung, dan Yogyakarta. Antara lain Cermin Alam (Taman Budaya Jawa Barat, 1997), Gerbong (Antologi cerpen dan puisi Indonesia Modern, Yayasan Cempaka Kencana Yogyakarta, 1998), Heulang Nu Ngajak Bengbat (Kiblat Buku Utama), Poligami (SST, 2003), Orasi Kue Serabi (GKT, 2001). Hingga kini bersetia mengelola Sanggar Sastra Tasik (SST), di samping aktif pula di Komunitas Azan.***



Pernyataan DDII Jawa Barat

PADA lembaran budaya "Khazanah" Pikiran Rakyat 4 Agustus 2007, telah dimuat sajak karya Saeful Badar, berjudul "Malaikat". Setelah membaca sajak tersebut, menimbang serta menilai dari berbagai sudut dan aspek, serta demi mencegah terulangnya kasus serupa pada masa mendatang, maka dengan ini kami berpendapat.

  1. Sajak berjudul "Malaikat" karya Saeful Badar tersebut, jauh dari nilai estetika seni sastra, sekaligus tidak mengandung etika penghormatan terhadap agama, khususnya agama Islam. Oleh karena itu, sajak tersebut dapat dikategorikan menghina agama, khususnya Islam.

  1. Jika penulisan dan pemuatan sajak tersebut dilakukan tanpa ada maksud melecehkan Islam, hal itu mengindikasikan "kebodohan" penulis dan redaktur tentang konsep malaikat dalam agama-agama samawi, khususnya Islam.

  1. Jika penulisan dan pemuatan sajak tersebut dilakukan dengan sengaja untuk memancing amarah umat Islam dan menista ajaran Islam, tindakan tersebut serupa dengan apa yang dilakukan para penista Islam, seperti kasus Salman Rushdie dengan novel "Ayat-ayat Setan", koran Jylland-Posten Denmark dengan karikatur Nabi Muhammad saw., dan kasus-kasus lainnya yang dinilai melecehkan Islam dan kaum Muslimin.

  1. Menerima permohonan maaf pihak Pikiran Rakyat seperti dimuat di halaman I "PR" edisi Selasa, 6 Agustus 2007, juga mengapresiasi tindakan Redaksi "PR" yang segera menyatakan pencabutan sajak tersebut dan menganggapnya tidak pernah ada.

  1. Kami menganggap permohonan maaf saja tidak cukup, karena ini menyangkut akidah Islam, sehingga harus ada tindakan lebih jauh, seperti klarifikasi tentang sosok malaikat yang sebenarnya, sekaligus meng-counter opini yang dibangun penulis sajak lewat judul sajak "Malaikat" yang telanjur dipublikasikan.

  1. Menuntut Pikiran Rakyat melakukan tindakan setimpal, baik terhadap penulis sajak itu, maupun redaktur yang memuatkannya, berupa mem-black list Sdr. Saeful Badar atau mencekalnya dari daftar kontributor sajak "PR", sehingga ia minta maaf secara terbuka kepada umat Islam atas kekhilafannya.

  1. Dalam konsep ajaran Islam, Malaikat adalah satu dari sekian banyak makhluk ciptaan Allah SWT yang mendapat keistimewaan tersendiri. Mereka merupakan makhluk rohani bersifat gaib, tercipta dari cahaya (nur), selalu tunduk patuh, taat, dan tak pernah ingkar kepada Allah SWT. Malaikat menghabiskan waktu siang-malam untuk mengabdi kepada Allah SWT. Mereka tidak pernah berbuat dosa dan tidak pernah mengerjakan apa pun atas inisiatif sendiri, selain menjalankan titah kuasa perintah Allah SWT semata. Mereka diciptakan Allah SWT dengan tugas-tugas tertentu.

  1. Bagi umat Islam, percaya (iman) kepada Malaikat, adalah bagian dari rukun Iman yang enam, di samping iman kepada Allah, Rasul-rasul Allah, Kitab-kitab Allah, Qodlo-Qodar (takdir), dan hari akhir. Iman kepada Malaikat menjadi bagian terpenting dari tauhid (mengesakan Allah) dan membebaskan manusia dari syirik (menyekutukan Allah).

  1. Dengan demikian, bagi umat Islam, Malaikat bukan sosok yang bisa dipermainkan atau diolok-olok, baik oleh ucapan, kalimat, maupun tindakan, oleh seorang penyair, sekalipun atas nama kebebasan berekspresi.

  1. Mengharapkan Redaksi "PR", penyair, dan masyarakat pada umumnya, untuk berhati-hati dalam berkarya, menulis, ataupun tindakan lain yang dapat dinilai menista agama, dan menyinggung keyakinan umat Islam.

Mahasuci Allah yang telah menciptakan Malaikat dengan segala kesucian dan ketakwaannya, dari segala cercaan dan penyipatan batil manusia tak bertanggung jawab.

H.M. Daud Gunawan
Wakil Ketua Umum
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia- Jawa Barat


Dari Redaks Pikiran Rakyat

Terima kasih. Kami telah memohon maaf atas pemuatan sajak tersebut pada peneribtan "PR" 6 Agustus 2007 halaman 1 dan menyatakan bahwa sajak tersebut dicabut dan dianggap tidak pernah ada.

Permohonan Maaf dan Penyesalan Saeful Badar

MEMBACA permohonan maaf Pikiran Rakyat (Senin, 6 Agustus 2007) atas pemuatan puisi saya berjudul "Malaikat" yang dimuat lembar budaya "Khazanah", Sabtu, 4 Agustus 2007 yang mendapat reaksi keras dari kalangan aktivis dan ormas Islam, saya telah dibuat merenung dan kemudian menyadari bahwa saya telah melakukan suatu kekhilafan dengan membuat puisi seperti itu.

Meski sebetulnya adalah hak dan kewenangan Redaksi "PR" untuk memuat atau tidak memuat setiap puisi yang dikirimkan, (dan sebetulnya saya telah mengirimkan beberapa puisi lain sebagai pilihan untuk dimuat), sebagai penulisnya, saya juga tidak hendak menyalahkan Redaksi. Karena ini adalah kekhilafan dan kesalahan besar yang telah saya lakukan sepanjang karier kepenyairan saya.

Untuk itu, dari lubuk hati yang paling dalam, saya memohon maaf yang sebesar-besarnya dan setulus-tulusnya atas kekhilafan ini. Apa yang telah saya tulis di puisi tersebut merupakan bentuk kedhaifan saya sebagai manusia dalam menginterpretasikan gagasan dan imajinasi tentang malaikat. Sama sekali, tak terbersit niatan untuk menghina apalagi melecehkan. Sebetulnya sebagai umat Islam, saya yakini pula bahwa malaikat itu sebagai makhluk Allah SWT yang sangat suci dan mulia. Saya tidak hendak berkilah lebih lanjut tentang hal ini, sebab kesalahan itu memang nyata telah saya lakukan. Oleh karenanya, saya merasa menyesal telah melakukan itu.

Adanya reaksi keras atas puisi tersebut, sangat-sangat saya pahami, dan hal itu saya terima sebagai satu teguran yang meski datangnya dari saudara-saudara saya para aktivis umat Islam, namun hakikatnya adalah dari Allah SWT. Insya Allah, kejadian ini akan senantiasa saya ingat sepanjang sisa hidup saya, dan akan saya ambil hikmahnya, agar kapan pun di kemudian hari, saya tidak melakukan kesalahan serupa. Seraya memohon ampunan kepada Allah SWT, sekali lagi saya memohon maaf yang sebesar-besarnya dan setulus-tulusnya dari saudara-saudara saya sesama umat Islam, baik yang berada di Bandung dan daerah-daerah lainnya di Jawa Barat maupun yang berada di mana pun di permukaan bumi ini. Atas perhatian dan maaf yang diberikan untuk kesalahan saya ini, saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Kepada Redaksi "PR" saya juga mohon maaf dan terima kasih atas dimuatnya surat ini.

Saeful Badar
Tasikmalaya 46122

Thursday, August 9, 2007

Tafsir Menunggu-Ditunggu

Pementasan Ditunggu Dogot


''Kita harus tepat waktu, tidak boleh terlambat, apalagi terlalu cepat datang,'' ungkap seorang pria sambil mengendarai ontel. Kayuhan kakinya semakin kencang menyusuri lorong-lorong yang ada di depannya. Tak perlu peta. Layaknya sebuah kehidupan, ia lebih banyak menggunakan naluri kemana harus belok ke kiri atau kanan, lurus, dan berhenti. Karena, tujuan perjalanannya pun memang tidak jelas.
Putaran ban sepeda tiba-tiba terhenti. Si pria menatap wanita yang diboncengnya dengan terbengong. 'Kita harus tepat waktu, tidak boleh terlambat, apalagi terlalu cepat datang, kita ditunggu Dogot,'' katanya lagi. Dengan gerakan cepat, wanita itu berinisiatif mengambil alih kemudi. ''Kalau begitu kita harus bergegas, kita ditunggu Dogot, jangan sampai terlambat,'' ungkap wanita itu mengayuh sepeda dengan sangat cepat.

Saturday, August 4, 2007

Ditunggu Dogot: Menunggu, Merenung, Pasrah...


Samuel Beckett menggambarkan manusia hanya bisa pasrah.Namun,Komunitas Seni Hitam Putih memaknai berbeda dalam pementasan Ditunggu Dogot. Sepasang manusia –lelaki (Rudyaso) dan perempuan (Elisza)— asyik meluncur dengan sepeda kayuh.

Mula-mula keduanya santai menelusuri jalan berkelok-kelok yang hening.Mereka menuju suatu tempat, hendak menjumpai orang yang menunggu mereka. Identitas orang yang hendak mereka temui belum diketahui. Pun tempat, di mana mereka ditunggui juga tidak jelas.Hanya ada satu keyakinan bahwa mereka sedang ditunggu.

'Ditunggu Dogot': Interprets duality of waiting...

Waiting for Godot was authored by Irish poet, dramatist and novelist Samuel Beckett in English, and in French as En Attendant Godot. Beckett started writing the drama in Paris on Oct. 9, 1948, and finished it on Jan. 29, 1949.

It is a play with diverse interpretations, ranging from an indeterminate piece to a comedy, from a tragedy to a drama imbued with religious spirit.

Wednesday, July 25, 2007

Catatan Kritis Pekan Budaya Sumatra Barat 2007:

Dari Program yang Gagal sampai Mainan Anak-anak

Oleh Nasrul Azwar, Presiden Aliansi Komunitas Seni Indonesia (AKSI) Padang

Pekan Budaya Sumatra Barat 2007 resmi ditutup oleh Gubernur Sumatra Barat, Gamawan Fauzi, pada 14 Juli 2007 di Teater Utama Taman Budaya Sumatra Barat. Di tempat ini juga, Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, pada 8 Juli 2007 membuka secara alek yang sama.

Galibnya sebuah alek—katakanlah Pekan Budaya—yang disponsori langsung dan tunggal oleh APBD Sumatra Barat yang dikelola dan dilaksanakan oleh Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya Sumatra Barat, maka laporan yang disampaikan berkisar kesuksesan besar alek tersebut. Seperti yang sudah-sudah, indikator keberhasilannya adalah jumlah pengunjung yang datang ke Pekan Budaya itu.

Dalam laporan Ketua Umum Pekan Budaya di depan Gubernur Sumatra Barat, dikatakan, sebanyak 65.000 orang datang ke Taman Budaya Sumatra Barat semenjak tanggal 8-14 Juli 2007. “Jumlah ini cukup menggembirakan,” kata James Hellyward dalam pidatonya.

Selain jumlah pengunjung, yang kita sendiri tak tahu bagaimana mengukur dan mendapatkan hasil yang demikian itu, juga disebutkan bermacam acara seni dan budaya yang diikuti kota dan kabupaten se-Sumatra Barat, berjalan dengan baik dan sukses, termasuk los lambuang itu.

“Los lambuang yang kita sediakan mendapat sambutan yang antusias dari pengunjung dan masyarakat. Hampir 24 jam los lambuang itu selalu dipenuhi pengunjungan,” tuturnya Kepala Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya Sumatra Barat itu penuh semangat. Lalu, ia melanjutkan, tahun depan Pekan Budaya ini terus kita lanjutkan. “Jadwalnya minggu kedua bulan Juli.”

Memang, demikianlah sebuah laporan. Apalagi laporan itu mesti didengar atasan, dan juga publik, tentu isinya berkisar pada keberhasilan dan lancarnya sebuah acara dilaksanakan. Tak ada laporan yang berisikan sejauh mana target dari acara itu terpenuhi. Misalnya, untuk program “Lomba Bakaba”, “Lomba Mewarnai Gambar”, “Lomba Melukis”, “Tari Piring”, “Festival Legenda”, “Seni Tradisi Spesifik”, dan lain sebagainya, berapa jumlah masing-masing item acara itu diikuti oleh peserta dari kota dan kapupaten yang ada di Sumatra Barat? Berapa persentase capaian keberhasilan dari target yang dibuat?

Bagi publik (seniman, budayawan, pemerhati budaya, lembaga terkait, DPRD, dan juga bagi panitia sendiri), capaian dan target keberhasilan itu penting artinya. Sebab, dari hasil itu, semua pihak bisa mengevaluasi, semua orang bisa berpikir berdasarkan data dan fakta, dan selanjutnya terbaca titik-titik kelemahan dan kekurangan. Dan semua kita tentu akan sangat sepakat untuk menutupinya dengan persiapan dan konsep yang lebih jelas.

Dari “pencatatan” yang saya lakukan semenjak, persiapan Pekan Budaya ini pada bulan Januari 2007 hingga usai acara ini pada 14 Juli 2007, saya menyimpulkan, pola kerja sangat terkesan birokratif, tertutup, dan jumlah panitia yang sangat gemuk.

Pola kerja seperti itu memang bukan saja terjadi pada Pekan Budaya saat sekarang ini. Semenjak tahun 2004—Pekan Budaya pertama sejak reformasi—aroma serupa sudah kental melekat. Selain itu pula, bahwa ini diasosiasikan sebagai proyek bagi para birokrat terkait dan juga pejabat-pejabat yang punya kuasa, jelas memperburuk kondisi dan kerja, serta hasil yang mau dicapai dari Pekan Budaya itu sendiri.

Baiklah, sementara berbicara mengenai pola kerja itu kita tinggalkan. Kini kita coba membaca dengan saksama kinerja dan sejauh mana capaian dari sekian banyak program yang dibuat panitia Pekan Budaya Sumatra Barat 2007 dengan kondisi yang sebenarnya di lapangan.

Jika mengacu pada sistem dan pola kerja yang berbasis pada partisapasi publik, maka ukurannya adalah kuantitatif. Jumlah keterlibatan publik, keikutsertaan, dan keterlibatannya dalam sebuah program. Pekan Budaya ini menggunakan pola itu. Maka, 19 kota dan kabupaten yang ada di Sumatra Barat sebagai partisipan atau target yang mau dicapai. Keberhasilan program terukur dari jumlah yang mau berpartisipasi.

Maka, dari semua item, iven, dan mata acara yang sudah disiapkan pada Pekan Budaya ini, bagaimana tingkat teterlibatan dan partisipasi kota dan kabupaten yang ada di daerah ini yang jumlah 19 itu? Tercapaikah target yang diinginkan?

Saya kira, inilah persoalannya. Beberapa contoh dapat kita buktikan untuk menjawabya. Misal, program yang disebut dengan “Lomba Bakaba”. Peserta mata acara ini cuma 3 orang, dan “Festival Legenda” malah diikuti 1 orang, puisi 12 orang (minus Kota Padang), tari piring 5 utusan, melukis 9 orang, dan juga kota dan kabupaten yang mengisi “los lambuang” yang terlihat dalam papan nama cuma Dharmasraya, selebihnya tak kita jumpai makanan yang khas yang jadi unggulan dari kota dan kaputen yang ada di Sumatra Barat. Yang hadir dalam los lambuang itu adalah pedagang biasa berjualan di kaki lima.

Dari sebagian data-data itu tergambar sudah sejauh mana capaian itu. Untuk “bakaba” dan “legenda”, misalnya, jelas sangat jauh dari harapan dan malah angka itu sangat ironis. Hampir semua kota dan kabupaten, sampai tingkat nagari-nagari di Minangkabau ini memiliki tradisi bakaba dan juga punya legenda masing-masing. Jika dalam Pekan Budaya yang dikesankan sangat hebat dan penuh warna-warni ini hanya diikuti tak sampai hitungan sebelah jari itu, jelas ada yang salah di tubuh pelaksanaan Pekan Budaya itu. Dan demikian juga dengan mata acara lainnya.

Persiapan yang dilakukan semenjak Januari 2007, tentu sangat mengesankan menjadi kerja yang setengah sia-sia jika diukur dari hasil yang dicapai pada hari pelaksanaannya, yang sebagian mata acara itu tingkat keberhasilannya tak mencapai 50%, dan memang ada juga beberapa mata acara yang cukup sukses dilaksanakan. Tapi, secara umum, Pekan Budaya tak memberi capaian yang memuaskan dariu sudut pastisipasi kota dan kabupaten.

Menilik hal ini, tentu ada sesuatu salah. Paling tidak ada permasalahan di dalamnya. Pertama, tak jelasnya konsep program yang dirancang. Kedua, sudahlah konsep tak jelas, sosialisasi pun tak dilakukan secara maksimal di tingkat partisipan. Ketiga, banyak panitia yang tak tahu apa yang mesti dikerjakan karena tidak adanya pola kerja yang jelas. Dan keempat, tidak ada kewajiban bagi pemerintah kota dan kabupaten yang ada di Sumatra Barat untuk ikut secara aktif dengan mengalokasikan dananya secara maksimal dalam Pekan Budaya yang diprakarsai Pemerintah Provinsi Sumatra Barat. Namun, terkait dengan ini, sesungguhya masalahnya bisa diatasi jika panitia secara serius mau berdialog dan mengkomunikasikannya dengan pemko dan pemkab. Tapi inilah yang tak dilakukan.

Pekan Raya Provinsi Sumatra Barat

Merunut pada hakikat pada kata “pekan” yang melekat pada Pekan Budaya Sumatra Barat, serta keterkaitannya dengan “menghimpun” pedagang di dalam Taman Budaya Sumatra Barat, memang tepat adanya. Memang benar demikian arti dari sebuah “pekan” jika kita mau membuka Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), yaitu pasar malam dengan bermacam-macam pertunjukan.

Itu pula sebabnya muncul yang namanya Pekan Raya Jakarta, Pekan Raya Padang (Padang Fair), dan Pedati untuk Kota Bukittinggi, sekadar menyebut contoh. Karena memang dalam program yang memakai “pekan” itu—tapi kini banyak diganti dengan fair—diformulasikan sebagai ajang untuk berjualan, promosi pruduk, dan sekaligus “melegimasikan” keberadaan pedagang kaki lima yang biasanya kerap kucing-kucingan dengan petugas Satpol PP. Kini, atas nama bayaran sewa tempat, tenda, listrik, dan lain sebagainya, mereka tak cemas lagi diusir petugas. Mereka berdagang.

Biasanya setiap acara yang begini selalu ramai. Selain berjualan dan berpromosi, di arena itu juga disiapkan beragam hiburan, lomba, dan pertunjukan seni yang menarik bagi masyarakat. Inilah hakikat dari sebuah “pekan”. Karena konsep “pekan” itu adalah keramaian, maka, tuntutan pertunjukan dan lomba adalah yang mampu mengumpulkan banyak orang. Atau paling tidak harus terkesan ramai.

Maka, Pekan Budaya Sumatra Barat tak jauh berbeda dengan pekan-pekan yang digelar berbagai kota di Indonesia, dan sudah jelas tidak akan berbeda jauh dengan Padang Fair yang akan digelar pada 8-16 Agustus 2007. Malah, saya memprediksi jauh lebih bagus dari Pekan Budaya Sumatra Barat, baik persiapan maupun materinya. Selain itu pula, mereka tidak mau memberi embel-embel “budaya” di dalam judul besar acaranya. Dan sepanjang yang saya ketahui, ukuran keberhasilan setiap program Parsenibud Provinsi Sumatra Barat adalah angka dan jumlah orang yang datang ke suatu ivennya.

Tentu, jika hakikat Pekan Budaya Sumatra Barat sama dengan “pekan-pekan” yang pernah digelar di berbagai kota di Nusantara ini, sebaiknya dibuang saja kata “budaya” dan diganti dengan “raya”, maka selanjutnya disebut “Pekan Raya Sumatra Barat”. Dan panitia atau pihak terkait bisa melepaskan diri jika ada yang menuding “berladang di punggung budaya”. ***

Tuesday, May 22, 2007

Dari Acara "Malam Mengenang BM Syamsuddin"

Pejuang Seni Tradisi, Karyanya Sulit "Ditemukan" Lagi

Bagi dunia sastra Riau, BM Syamsuddin adalah seorang maestro. Sayangnya setelah meninggal, pelan tapi pasti, namanya mulai dilupakan orang. Karyanya juga sudah tak ditemukan lagi kecuali di rak-rak buku para koleganya.

"SEJAK itu ke mana-mana saja pergi Wak Dolah, Atan mahasiswa Universitas Lancang Kuning Jurusan Ilmu Sosial dan Politik smester tujuh mengambil masa langkau itu tetap bersama-sama beliau. Memasuki perairan Sengkanak hingga ke Kepala Jeri Pulau Terong, kadang-kadang menyeberang ke Bukum, ditandai dengan keriat-keriut kalas dayung sampan-koleknya. Mereka berdua beranak telah benar-benar hafal seluk-beluk perairan, sekitar pedesaan pantai itu. Karena itulah pada saat-saat tertentu dipandang mujur, sampan-koleknya melaut waktu pula bagi penduduk sekitarnya.. ."

Dengan penghayatan teaterikal, sastrawan Riau, SPN Marhalim Zaini, membaca salah satu cerpen BM Syamsuddin yang berjudul "Batam Peburuan" tersebut di depan hadirin yang datang pada acara "Malam Mengenang BM Syam" yang diselenggarakan Komunitas Paragraf, di Galeri Ibrahim Sattah Kompleks Bandar Serai Pekanbaru, Ahad (13/5) lalu. Sebelum Marhalim tampil, musisi dan juga dosen musik di Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR), Hukmi dan kawan-kawannya, juga tampil menyanyikan beberapa buah lagu hasil dari gubahan puisi, di antaranya "Lingkaran Aku Cinta Padamu" gubahan Zuarman Ahmad.

Malam itu, ketika hujan membuat beberapa kawasan di Pekanbaru berubah menjadi kubangan air, ada sekitar 50-an lebih pecinta, peminat dan pekerja sastra/seni yang datang dari berbagai komunitas dan sanggar sastra/seni (seperti AKMR, Forum Lingkar Pena [FLP], mahasiswa-mahasiswi FKIP Unri, Latah Tuah, Bahana Mahasiswa Unri, Aklamasi UIR, dan yang lainnya), mau hadir dalam acara sederhana tersebut, yang menurut budayawan Al azhar, lebih bagus jika kata "mengenang" diganti dengan "mengingat". Alasannya, "Kalau ‘mengenang’, kita hanya terperangkap pada memori-memori masa lampau, tetapi kalau ‘mengingat’, apa-apa yang pernah dilakukan oleh orang yang kita ingat harus menjadi pelajaran bagi kita ke depan untuk perbaikan-perbaikan dan spirit," kata Al Azhar malam itu.

Nampak juga hadir beberapa sastrawan seperti Gde Agung Lontar, Olyrinson, Budy Utamy, Titin Kasmila Dewi, Abel Tasman, Herlelaningsih, Parlindungan, Jefry Al Malay, Murparsaulian dan yang lainnya. Hadir sebagai pembicara diskusi adalah Al Azhar dan pengajar FKIP Unri, Elmustian Rahman.

Pejuang Seni Tradisi

Menurut Al azhar, selain kuat dalam karya sastra, jauh sebelum cerpen-cerpennya menghiasi berbagai media di tanah air, BM Syam adalah seorang pekerja teater yang tangguh, ulet, penuh dedikasi dan sangat idealis. Al Azhar menceritakan, pada tahun 1981 di Taman Budaya Riau, dalam diskusi seusai pementasan drama oleh Sanggar Taman Republik, BM Syam kesal karena sutradara yang mementaskan naskahnya yang berjudul Warung Bulan, yakni Al azhar sendiri, menafikan anasir-anasir Makyong dan Begubang Topengka, dua bentuk teater rakyat di Kepulauan Riau. Naskah itu disunting dan ditafsirkan kembali oleh Al azhar menjadi sebuah pementasan yang memang agak berbeda dengan naskah aslinya. Tapi, bagi BM Syam, anasir-anasir Makyong dan Begubang Topengka itu adalah hal yang penting dan esensial dalam naskah tersebut, dan tidak bisa ditafsirkan sembarangan. Meskipun, sebenarnya BM Syam juga telah menafsirkan Makyong dan Bagubang Topengka dari bentuk aslinya.

"Itu adalah contoh bagaimana BM Syam sangat gigih memperjuangkan kehidupan teater tradisional Melayu," kata Al Azhar.

Perjuangan BM Syam untuk kehidupan teater tradisional Melayu seperti Makyong, Mendu, Bangsawan dan lainnya, juga dilakukan di berbagai iven kebudayaan, seperti di Taman Ismail Mazuki (TIM) tahun 1970-an, hingga keterlibatannya dalam Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI) dan Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Nusantara pada tahun 1990-an. BM Syam juga kemudian mengajar sebagai dosen di Program Studi Pendidikan Seni Drama, Tari dan Musik (Sendratasik) FKIP UIR. Menurut Al Azhar lagi, setelah BM Syam meninggal, tak banyak lagi seniman yang mampu seperti dirinya. "BM Syam menunjukkan keprihatinannya bukan hanya dengan ucapan, kajian, wacana dan pemaparan, tetapi juga mengajarkan dan memberi teladan bagaimana menghidupkan bentuk-bentuk seni warisan itu," ungkap pengurus harian Yayasan Bandar Serai ini.

Meski banyak dikritik orang karena dianggap sebagai "perusak tradisi" tersebab telah menafsirkan sendiri teater tradisional, namun BM Syam tetap kukuh dengan apa yang dilakukannya. Dia kemudian mengimbuhkan kata "muda" pada nama-nama teater tradisional itu, misalnya Bangsawan muda, Mendu muda dan sebagainya. BM Syam tidak ingin wacana "tradisional" dan "modern" diadu yang kemudian menimbulkan konflik kebudayaan. BM Syam seperti ingin mendamaikan dua kutub yang dalam wacana kebudayaan beradu pantat tersebut. "Harus kita akui, BM Syam adalah seorang pejuang dan pendobrak teater tradisi," kata Al azhar lagi.

Bobot Estetika

Di bagian lain, Elmustian Rahman menjelaskan, BM Syam telah menemukan bobot estetikanya dengan memilih bahasa lokal (Melayu) dalam karya-karya sastranya. Karya-karya BM Syam, kata Elmustian, telah memperlihatkan sosok kulturnya. Yang menarik, menurutnya, bahasa Melayu yang menjadi dasar dan akar bahasa Indonesia, banyak diterjemahkan orang ke bahasa Indonesia, karena banyak orang yang minim pemahaman dan apresiasi.

"Karya-karya BM Syam terlihat kuat penggunaan aspek lokalitas sebagai kekuatan, dalam hal ini lokalitas Melayu. Aspek-aspek bahasa tersebut terlihat dalam struktur kalimat, kosa kata, dan penggunaan istilah-istilah yang khas Melayu, ungkapan-ungkapan yang semuanya arkhaik dan memperlihatkan ciri-ciri bahasa Melayu," kata Elmustian.

Menurut Elmustian lagi, BM Syam tidak hanya memasukkan aspek tertentu dari kampung halamannya dalam karya-karyanya, tetapi juga mampu memberi warna tersendiri dengan polesan dan campuran yang sempurna kepada karyanya dan menjadi persoalan-persoalan dan ungkapan-ungkapan serta sikap dan kebiasaan-kebiasaan dari negeri lain di luar kampung halamannya. "Dalam karya BM Syam, upaya tersebut bukanlah sesuatu yang harus dipersoalkan atau dituduh sebagai sesuatu yang tumpang tindih. Hal ini disebabkan karena persoalan-persoalan yang muncul di kampung halamannya juga menjadi persoalan di luar kampung halamannya," ungkap Elmustian.

Di bagian akhir, Elmustian menjelaskan bahwa saat ini sangat sulit mengumpulkan dan mendapatkan semua karya BM Syam. "Mahasiswa tidak tergoda untuk menulis skripsi tentang sastrawan Riau, pertimbangannya bukan karya sastra Riau tidak bermutu, layak atau tidak, tetapi karena sulitnya mendapatkan karya-karya itu, termasuk karya-karya BM Syam," jelas Elmustian.

Generasi Terputus

Dalam diskusi yang berkembang, salah seorang peserta diskusi, Parlindungan, mempertanyakan mengapa kita harus menyelenggarakan acara untuk mengenang orang yang sudah mati. "Saya kira banyak karya dan sastrawan kita yang masih hidup yang bisa dibedah dan didiskusikan, " ungkapnya.

Mengomentari hal tersebut, Koordinator Komunitas Paragraf, Marhalim Zaini menjelaskan, apa yang dilakukan Paragraf sebaiknya juga dilakukan oleh komunitas lain yang ada di Riau, karena banyak hal dan tema yang bisa dijadikan bahan kajian diskusi. "Saya kira di Pekanbaru saja, banyak komunitas maupun sanggar. Kalau satu komunitas atau sanggar menjadwalkan diskusi sebulan sekali, bayangkan bagaimana pembicaraan seni dan sastra, atau teater, di Pekanbaru ini. Alhamdulillah apa yang dilakukan Paragraf selama ini mendapat respon dari masyarakat sastra dan seni di Pekanbaru dan Riau, meskipun semuanya masih serba terbatas," jelas Marhalim.

Di bagian lain, Marhalim juga risau tentang terputusnya generasi teater tradisi seperti Makyong, Mendu, Randai atau Bangsawan, karena persoalan komunikasi. Menurutnya, di tempatnya mengajar, yakni di Jurusan Teater AKMR, ada mata kuliah Teater Melayu 1 hingga 5, dan agar mahasiswa bisa memahami dengan baik, pihaknya langsung mendatangkan para pelaku teater tradisi itu untuk mengajar langsung ke AKMR. Namun, kebanyakan, komunikasi menjadi persoalan karena banyak dari mereka yang tidak bisa berkomunikasi (menularkan ilmunya) dengan baik, dan malah membuat mahasiswa juga kebingungan. "Ini yang menjadi masalah kita. Jika seperti ini terjadi terus-menerus, lama-lama teater tradisional kita akan lenyap karena kesulitan komunikasi tersebut," jelas Marhalim.

Di sinilah peran seorang BM Syam yang semasa hidupnya mau langsung mengajarkan pemahamannya tentang Makyong dan Begubang Topengka yang memang dipahaminya, sementara latar belakang guru memudahkan BM Syam untuk berkomunikasi dengan siswa dan mahasiswanya. "Kita telah kehilangan orang-orang seperti BM Syam," lanjut Marhalim.

Di bagian lain, Hukmi berpendapat, karya-karya BM Syam yang "sangat Melayu" bisa diterima oleh media-media Jakarta yang "sangat Indonesia", berarti ada yang istimewa dari karya-karya BM Syam tersebut. "Persoalannya, karya-karya BM Syam tersebut bisa diterima khalayak yang lebih luas karena eksotikanya atau karena estetikanya? " tanya Hukmi membuka ruang pemahaman.

Pada mulanya, karya BM Syam seperti beberapa cerpen terkenalnya yang dimuat di banyak media Jakarta seperti Kompas dan Suara Karya, yakni "Jiro San, Tak Elok Menangis", "Nang Nora", "Asrama Itu Telah Tiada", "Bianglala di Langit Natuna", "Nang Sahara" atau "Cengkeh pun Berbunga di Natuna", "Bintan Sore-sore", "Perempuan Sampan", "Toako" dan yang lainnya bisa menembus media Jakarta, kata Al azhar, karena cerpen-cerpen tersebut sangat eksotik menggambarkan setting Riau dan persoalan-persoalan yang dimunculkan. "Saya mengambil kesimpulan itu karena saya yakin, mereka (media Jakarta, red) tidak memahami estetika Melayu. Yang mereka pahami adalah Melayu yang eksotik, yang terkesan tradisional dan lain sebagainya."

Hal itu ditambah oleh Elmustian Rahman, bahwa menerjemahkan bahasa Melayu ke dalam bahasa Indonesia adalah hal yang konyol. "Bahasa Melayu itu ibunya bahasa Indonesia, mengapa harus diterjemahkan dengan mencari padanan kata dan kalimat dalam bahasa Indonesia? Ini juga berlaku terhadap karya-karya BM Syam," kata pengajar di FKIP Unri tersebut.

Lebih Dikenal Penulis Roman

BM Syam adalah seorang pengarang yang ulet dan berprinsip. Latar belakang pendidikan gurunya membuatnya seperti itu. Lahir pada 10 Mei 1935 di Selubuk Sedanau, Pulau Tujuh Kabupaten Natuna (kini Provinsi Kepulauan Riau), bakat menulisnya mulai terlihat kuat saat duduk di bangku Sekolah Guru Bantu (SGB) pada tahun 1953. Seperti ditulis Kazzaini Ks dalam kata pengantar Kumpulan Cerpen Jiro San, Tak Elok Menangis (Yayasan Sagang, 1997), BM Syam adalah seorang guru yang mengajar di Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dari tahun 1955 hingga 1981, berpindah-pindah di beberapa kawasan di Riau. Selain itu, BM Syam pernah mengajar di FKIP UIR (1988-1994) dan pernah menjabat sebagai Kepala Subseksi Pendidikan Luar Sekolah Dinas P dan K Kota Pekanbaru, sampai pensiun dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada tahun 1994.

Di awal-awal kepengarangannya, BM Syam lebih banyak menulis cerita panjang dalam bentuk roman/novel yang dimuat sebagai cerita bersambung di beberapa media, di antaranya Haluan (Padang), dan beberapa naskah drama. Namun meski begitu, dengan nama samaran Dinas Syams, dia menulis cerpen di Majalah Merah Putih pada tahun 1956. Tetapi, memang, karya-karya panjang BM Syam lebih dulu terbit dalam bentuk buku, misalnya empat roman, yakni Damak dan Jalak (1983), Harimau Kuala (1983), Braim Panglima Kasu Darat (1984), Tun Biajid I (1984) dan Tun Biajid II (1984). Juga dua buku tentang drama tradisionalnya, yakni Mendu Kesenian Rakyat Riau (1981) dan Seni Peran Makyong (1982) yang diterbitkan oleh Balai Pustaka.

Namun, ternyata, seperti diceritakan oleh Al azhar, jauh sebelum itu BM Syam sudah menulis beberapa buku (berdasarkan catatan Zaini yang menulis skripsi tentang BM Syam di FKIP UIR), yakni empat naskah drama: Fatimah Sri Gunung (1972), Payung Orang Sekampung-kampung (1975), Warung Bulan (1980) dan Tunggul (1981); dua cerita bersambung yang dimuat di Haluan: Perkawinan di Atas Gelombang (1979) dan Ombak Bersabung (1980); cerita anak-anak: Si Kelincing dan Sepasang Terompah Cik Gasi (1981), Batu Belah Batu Bertangkup (1982), Dua Beradik Tiga Sekawan (1982), Ligon (1983) dan Cerita Rakyat dari Batam (1996). Sementara yang khusus memuat cerpen-cerpennya adalah Jiro San, Tak Elok Menangis (1997). Penerbit buku-buku BM Syam antara lain Balai Pustaka, Karya Bunda, Grasindo dan Yayasan Sagang.

Ciri khas bahasa dalam karya-karya BM Syam adalah kemampuannya menggunakan bahasa Melayu dengan kosa kata lama yang kadang sudah jarang digunakan oleh masyarakat. Penggambarannya tentang perkampungan Melayu yang eksotik dan kadang ironis, memperlihatkan kepiawaiannya dalam mengarang.

BM Syam meninggal dengan damai pada hari Jumat, 21 Februari 1997 di Rumah Sakit (RS) Ahmad Muchtar, Bukittinggi, karena penyakitnya. Kepada rekan-rekan seniman yang menjenguknya, baik ketika masih dirawat di RS Yayasam Abdurrab, Pekanbaru, maupun di RS Ahmad Muchtar, BM Syam selalu mengatakan keinginannya untuk menulis dan tetap menulis kalau dirinya sembuh. Sayang, maut akhirnya menjempunya lebih cepat yang membuat keinginannya untuk terus menulis menjadi terhenti.

Keinginan untuk selalu menulis tanpa henti tersebut juga tersirat pada apa yang dikatakannya kepada Hasan Junus, sahabatnya, ketika dianjurkan untuk menulis cerpen. "Kawan, mana bisa menulis cerita pendek. Tiga puluh halaman masih belum berbentuk cerita," katanya ketika itu ("Sagang" Riau Pos, Minggu 23 Februari 1997, dikutip oleh Kazzaini Ks dalam kata pengantar Jiro San, Tak Elok Menangis [1997]).

Lalu, di manakah karya-karya BM Syam tersebut kini? Kecuali di rak-rak buku para sahabatnya atau di rak-rak apak dan berdebu di beberapa perpustakaan, buku-buku BM Syam kini sudah tak ditemukan lagi di toko buku. Generasi sekarang pun sudah banyak yang melupakan karya-karya tersebut karena tak ada lagi penerbit yang mau mencetak ulang lagi buku-bukunya.

"Mestinya lembaga kesenian di Riau dan Pemerintah Provinsi Riau mengambil peran untuk menerbitkan karya-karya BM Syam lagi, agar generasi kini bisa belajar dari apa yang telah diperbuatnya lewat karya-karyanya, " kata Sekretaris Komunitas Paragraf, Budy Utamy.***

LAPORAN HARY B KORIUN (Komunitas Paragraf Pekanbaru)

Wednesday, February 21, 2007

Hasil Kongres Cerpen Indonesia IV: Pekanbaru, 26-30 November 2005



PROLOG
Mencermati perkembangan cerpen Indonesia, maka dilaksanakan Kongres Cerpen Indonesia (KCI) ini sebagai kelanjutan dari KCI I Yogyakarta, KCI II Bali, dan KCI III Lampung. Memperhatikan berbagai gagasan yang muncul dari semua sesi diskusi selama KCI IV berlangsung, maka dihasilkan beberapa kesepakatan sebagai berikut:

I. KESIMPULAN
1. Lokalitas dalam konsep budaya pada hakikatnya bukan merupakan wilayah yang terikat pada batas ruang tertentu, melainkan berkaitan dengan kesamaan sekaligus keberagaman budaya
2. Konsep estetika lokal sebagai wilayah penciptaan yang dinamis dan terbuka merupakan daya tawar global-lokal yang perlu dipahami dalam bentuk jamak dan cita rasa seni serta kaidahnya dalam proses penerimaan dan pembentukan karya kreatif berdasarkan berbagai interaksi pengaruh dan dinamika budaya lintas batas
3. Lokalitas cerpen Indonesia bukan sekadar sebagai asesoris melainkan sebagai bagian yang integral dari substansi karya yang bersangkutan
4. Estetika lokal dalam perjalanan panjang cerpen Indonesia sejak awal sangat dipengaruhi oleh budaya tempatan sehingga secara historis berakar pada nilai dan tradisi Indonesia
5. Identitas cerpen Indonesia sejak awal pertumbuhan hingga perkembangan mutakhir memperlihatkan kecenderungan adanya ikatan dengan latar budaya tempatan dan pengaruh global
6. Untuk mencapai nilai estetika sebagai esensi karya diperlukan dukungan obsesi dan penguasaan bahasa secara kreatif sebagai dasar penciptaan
7. Pertumbuhan dan perkembangan cerpen Indonesia bersinergi dengan media massa dan industri penerbitan yang perlu dipertahankan secara berkelanjutan

II. REKOMENDASI
Kongres Merekomendasikan:
1. Guna menggairahkan kehidupan cerpen Indonesia khususnya, dan penulisan karya kreatif umumnya, maka perlu dibentuk satu organisasi yang bernama Komunitas Cerpen Indonesia
2. Pembentukan Komunitas Cerpen Indonesia itu perlu disosialisasikan ke berbagai daerah
3. Komunitas Cerpen Indonesia akan diresmikan pada Kongres Cerpen Indonesia V, dan kepada panitia Kongres Cerpen Indonesia V ditugaskan untuk membuat anggaran dasar dan rumah tangga , struktur dan kepengurusan
4. Dewan kesenian, lembaga pemerintahan, institusi pendidikan, pers, dan lembaga penerbitan diharapkan dapat menggairahkan kehidupan cerpen Indonesia.
5. Kongres Cerpen Indonesia V tahun 2007 diselenggarakan di Kalimantan Selatan

Pekanbaru, 29 November 2005


TIM PERUMUS

Ahmadun Y Herfanda (Ketua/Anggota)
H.S.S. Sei Gergaji (Sekretaris/Anggota)
Maman S Mahayana (Anggota)
Isbedy Stiawan ZS (Anggota)
Nasrul Azwar (Anggota)

Dari Kongres Cerpen Indonesia-IV Pekanbaru

Membaca Cerpen Indonesia Hari Ini


OLEH Nasrul Azwar

Kongres Cerpen Indonesia (KCI) IV yang dilangsungkan di Pekanbaru, Riau, pada 26-30 November 2005 telah usai. KCI IV merupakan kelanjutan dari KCI I yang dilaksanakan di Jogjakarta para tahun 2000, KCI II di Bali tahun 2002, dan KCI III di Lampung tahun 2003. Memang, galibnya setiap pertemuan, semisal KCI ini, serta merta akan menyisakan pertanyaan-pertanyaan yang sesungguhnya tidak pernah tuntas terjawab di forum demikian.
Rentetan permasalahan yang menyangkut kondisi cerpen kontemporer Indonesia, latarbelakang tematik, kecenderungan ideologi, peran penerbitan pers, posisi kritikus sastra, estetika lokal, dan historistif eksistensi cerpen itu sendiri, adalah istilah-istilah yang mengedepan dalam KCI-IV itu. Namun semua istilah-istilah tak kunjung selesai diperiksa secara benar. Ia masih terpahat di atas lembar-lembar kertas yang disajikan masing-masing pemakalah dan mengambang di atas langit-langit.
Jika demikian, pertanyaan selanjutnya adalah apa makna yang dapat dipetik dari empat kali KCI dengan empat tempat penyelenggaraan yang berdeda? Apa yang dapat disimpulkan dari beragam makalah yang direntangkan dalam diskusi di KCI itu? Benang merah macam apa pula yang menghubungkan antara kondisi kontemporer cerpen Indonesia yang setiap minggu dimanjakan surat kabar dengan minimnya kritikus di negeri ini?
Dalam perjalanannya, KCI telah dilaksanakan empat kali di empat tempat yang berlainan. Keempat KCI itu memiliki sejarah dan muatan serta hasil yang berbeda satu sama lainnya, juga tema-tema yang diangkatpun masing-masingnya berbeda. Pada KCI I di Jogjakarta tahun 2000 lebih memokuskan perbincangan seputar eksplorasi tema pada wilayah kreator (pengarang) dan kritikus yang berada di luar wilayah kreator. Dari KCI I ini lahirlah sebuah jurnal dengan nama Jurnal Cerpen yang hingga kini masih tetap terbit. KCI II di Bali pada 1-3 Februari 2002, menurut Saut Sitomorang, membuat kongres ini menjadi lebih populer dan posisinya makin penting dalam setiap perbincangan di ranah kesusastraan Indonesia. Tentang cerpen koran menjadi persoalan yang mencuat hampir setiap sesi diskusi. Selain itu, KCI II ini merekomendasikan agar pada KCI III diharapkan penyelenggara mengangkat tema tentang anatomi cerpen Indonesia. Maka, pada KCI III yang diselenggarakan di Lampung pada 11-13 Juli 2003 tema utama yang diangkat merupakan hasil rumusan dari KCI II yaitu “Memeriksa kembali anatomi cerpen Indonesia” serta sebuah tema pendukung “Membangun basis pembaca cerpen Indonesia”. Pada KCI –IV yang baru usai dilaksanakan pilihan tema yang diperbicangkan adalah “Estetika lokal”.
Tema ini sesungguhnya bukan barang baru. Hal serupa ini pernah mencuat dan menjadi mainstream dalam jagad sastra dan teater di Indonesia pada era tahun 70-an. “Kembali ke akar, kembali ke sumber” saat itu mendominasi hampir semua karya-karya yang lahir. Namun, seperti yang telah disinggung di atas, hampir semua diskusi dangan pemberian label “kongres”, tetap saja tidak akan pernah menuntaskan persoalan-persoalan yang muncul. Layaknya, “pekerjaan rumah” semua dipulangkan ke masing-masing individu untuk menyelesaikannya dengan cara masing-masing pula.
Yang membedakan dari tiga kali KCI itu dengan KCI-IV adalah disepakati lahirnya satu organisasi yang diberi nama Komunitas Cerpen Indonesia. Untuk membentuk sususan kepengurusan Komunitas Cerpen Indonesia diamanatkan kepada penyelenggara daerah Kalimantan Selatan sebagai tuan rumah untuk KCI-V tahun 2007. Kalimantan Selatan diberi kepercayaan untuk membentuk susunan pengurus, draf AD/ART-nya, selanjutnya kepengurus itu diresmikan saat dilangsungkan KCI-V di Banjarmasin. (Baca: Hasil Kongres Cerpen Indonesia-IV).

Hadirnya Institusi
Memang, pembentukan sebuah institusi untuk penulis cerpen yang telah dilabeli dengan nama Komunitas Cerpen Indonesia bisa jadi akan memunculkan pro-kontra dikemudian hari. Tapi, yang mendasari pemikiran pentingnya sebuah institusi itu bisa jadi berangkat dari pijakan yang berada di luar wilayah kreativitas penulis cerpen, wilayah yang berada di luar teks cerpen itu sendiri. Sedangkan yang kontra bisa jadi mengatakan bahwa organisasi itu bukan wilayah kreativitas dan tak ada kaitannya dengan titik yang paling personal dalam berkarya. Dua wilayah ini akan tarik menarik dan dan malah dapat mengarah menjadi kontraproduktif jika susunan dan draf yang akan diperbicangakan di KCI V tidak didasari pemikiran dan tujuan yang jelas. Tampaknya, bagi Kalimantan Selatan, amanat yang telah berada di pundak mereka mestinya disikapi hati-hati dan selalu membuka ruang komunikasi yang seluas-luasnya. Jika tidak, perseteruan akan muncul dan ini akan melelahkan.
Sesungguhnya, kehadiran Komunitas Cerpen Indonesia dapat dimaknai sebagai respons dan jawaban terhadap tuntutan logis perkambangan zaman. Dunia informasi yang berkembang sangat cepat, tidak bisa tidak, akan memberikan aksentuasi terhadap kreativitas dunia kepenulisan di Indonesia. Kehidupan manusia yang nyaris serba dijital dan “hadirnya dunia” lain di jagad maya merupakan sisi lain yang mustahil dielakkan. Maka, produk yang dihasilkan dari dunia kepenulisan cerpen mesti mampu mensinergikan wilayah perkembangannya dengan dunia dijital itu.
Komunitas Cerpen Indonesia dalam program kerjanya seyogyanya mampu menjawab tantangan itu. Tidak adanya database yang lengkap dan akurat tentang sejarah dunia kepenulisan cerita pendek di Indonesia adalah salah satu contoh langkanya informasi mengenai itu. Jikapun ada, misalnya, tempatnya pun berserakan entah di mana. Maka, sudah saatnya Komunitas Cerpen Indonesia berpikir ke arah itu untuk membangun semacam pusat data cerpen Indonesia dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi.
Apa pun yang dihasilkan dari pemikiran yang cemerlang, dan apa pun yang direkomendasikan oleh sebuah kongres, tentu tak ada artinya jika pemikiran dan gagasan itu tidak dapat dioperasionalkan, yang cuma untuk dibaca-baca saja.
Stigma Komunis Harus Dicabut


Pada sesi diskusi Kongres Cerpen Indonesia (KCI)-IV di Pekanbaru, Minggu (27/11) mencuat kepermukaan persoalan stigma komunis yang dilekatkan secara sistematis oleh Pemerintah Orde Baru kepada sejumlah sastrawan dan yang menulis berdasar inspirasi lokalitas desa. Stigma komunis itu hingga kini masih terus disandingkan kepada penulis yang beraliran realisme sosial. Stigma yang tidak mengenakkan ini diungkapkan Ahmad Tohari dalam makalahnya yang mengangkat tema “Lokalitas Desa” dalam rangkaian diskusi KOC-IV.
“Stigma komunis yang dilekatkan oleh Pemerintah Orde Baru sebagai sastrawan kiri yang komunis atau prokomunis kepada para penulis yang beraliran realisme sosial sudah saatnya dihilangkan karena bukan zamannya lagi. Banyak penulis cerpen—yang lahir dalam ruang lokalitas desa pun—banyak yang kurang berminat menjadikan kondisi “ibu” mereka sebagai sumber inspirasi karya, karena enggan dikatakan sebagai penulis yang beraliran realisme sosial,” kata Tohari.
Dia mengungkapkan, dulu—sampai tahun 1965-an—aliran ini (realisme sosial-Red) berjaya, dan memang banyak di antara mereka kemudian dicap sebagai sastrawan kiri. Kemudian terjadi stigmatisasi terhadap siapapun yang punya hubungan dengan PKI. Stigma yang dilekatkan oleh Pemerintah Orde Baru menyebabkan mengerdilnya semangat para cerpenis yang ingin “berpihak” kepada rakyat kecil. Karena istilah rakyat kecil bahkan kosakata rakyat, dianggap asosiatif terhadap semangat kiri alais komunis
“Stigmatisasi komunis terhadap cerpenis kiri yang sudah berusia 40 tahun dan sudah saatnya kita kubur. Yang jelas menjadi cerpenis beraliran realisme sosial yang mengangkat tema-tema kemiskinan, ketidakadilan, ketertidasan, kesewenangan penguasa bukanlah dosa,” tutur Ahmad Tohari.
Perjuangan atas stigmatisasi komunis pada sastrawan yang menganut aliran lokalitas desa telah lama dilakukan seperti yang menimpa Pramudya Ananta Toer. “Karyanya berhasil membuka mata batin semua orang dari seluruh dunia tentang makna kemanusian,” ungkapnya.
Ahmad Tohari hadir dalam sesi diskusi itu bersama dengan Taufik Ikram Jamil dengan makalah “Lokalitas Melayu” dan Ahmadun Y Herfanda dengan makalah “Tradisi dan Lokalitas”.

Teks Sastra yang Mandiri
Pada sesi diskusi, Senin (28/11), sastrawan Gus tf Sakai mengatakan, teks sastra sangat berbeda, bahkan bertolak-belakang, dibanding teks lain. Jika semua perangkat sistem pada teks lain bekerja dalam kerangka acuan menjadi ada, sebaliknya seluruh perangkat teks sastra direpotkan oleh persoalan bagamana menjadi tak ada. Di telinga masyarakat modern yang terbiasa dengan sifat guna dan kepraktisan, menjadi tak ada akan terdengar ganjil. Tetapi bagi teks sastra yang tak berada dalam posisi memberi “memberi” , karena sejatinya memang hanya “pembangkit” menjadi tak ada adalah keharusan.
“Menjadi tak ada di sini jelas maksudnya bukanlah nol, nihil, ataupun kosong. Lazimnya sebuah perangkat tentu saja ia hanya cara kerja khas, konsekuensi dari apa yangt disebut ‘menempatkan pembaca sebagai subjek’. Hanya dengan menjadi tak adalah teks sastra bisa memosisikan pembaca sedemikian rupa, jadi penuh dengan dirinya dengan dunia dan cara pandangnya. Nah, di tingkat (tahap) inilah teks sastra bersetuju dan bahkan lalu bersekutu dengan estetika, sekaligus tak berterima dengan lokal,” kata sastrawan Gus tf Sakai.
Gus tf Sakai mengungkapkan, karena kemampuan teks sastra berdiri di sembarang teks, maka estetika menjadikan teks sastra “terberi” ke dalam subjek apa pun itu latar subjeknya. Sementara lokal, karena sifatnya yang keras sebagai sesuatu, urusannya tak lain kecuali “memberi”, sesuatu yang karena satu dan lain hal bisa saja ditolak subjek, tak lain karena setiap subjek pada hekekatnya punya kosmologis jagat maknanya sendiri.
Dalam diri teks sastra, estetika bukan satu-satunya. Teks sastra bekerja dengan (karakter) bahasa (metaforis dan figuratif) yang memungkinkan terjadinya komunikasi semantik.
“Semacam komunikasi, di mana teks sastra tak lebih cuma media bagi subjek untuk mengaksentuasi dan “menemukan” diri. Tetapi mesti digarisbawahi, untuk dapat berkomunikasi dan menampung aksentuasi subjek, teks sastra mesti selalu tumbuh jadi entitas yang kalau tak cerdas setidaknya berwawasan,” papar Gus tf Sakai yang tampil memaparkan makalahnya bersama Joni Ariadinata dan Hamsat Rangkuti.
Sedangkan cerpenis Joni Ariadinata mengatakan pemahaman unsur lokal adalah pemahaman objek yang paling dekat secara menyeluruh. “Bagi saya, pemahaman unsur lokal bagi saya adalah persetubuhan yang tuntas terhadap tema yang dipilih,” katanya.
KCI IV yang dilangsungkan dari 26-30 November 2005 di Pekanbaru, Riau, merupakan kelanjutan dari KCI pertama di Jogjakarta tahun 2000, kedua di Bali tahun 2002, dan ketiga Lampung tahun 2003. Dalam KCI IV ini juga menampilkan pembicara antara lain Hasanuddin WS, Meliani Budianta, Nirwan Dewanto, Budi Darma, Joni Ariadinata, Maman S Mahayana, Abdul Hadi WM, dan Hamsat Rangkuti.
KCI-IV dibuka secara resmi oleh Gubernur Riau dan ditutup resmi oleh Taufik Ikram Jamil, Ketua Yayasan Pusaka Riau. Semua rangkaian acara dilangsungkan di Hotel Nuansa, Pekanbaru. Pada malamnya, setelah peserta penat menguras pikiran di siang hari, disuguhi dengan pembacaan cerpen, teater yang dibawakan oleh mahasiswa Akademi Melayu Riau (AKMR), dan penampilan kelompok musik Sagu yang kini sedang naik daun, serta musik Melayu. ***

Tuesday, February 20, 2007

APBD Agam Perlu Dikritisi

OLEH Nasrul Azwar

UU No. 22/1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 25/1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah tampaknya dipahami secara serta merta dan telanjang oleh lembaga eksekutif dan legislatif (DPRD) di tingkat daerah. Sehingga penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)selalu memunculkan kontroversi, terlebih dalam peyusunan anggaran untuk DPRD.

Tentu saja, arah penyusunan APBD pada intinya merupakan salah satu indikator, alat, piranti, untuk meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat – dan ini sangat sesuai dengan UU No. 22/1999. Penyusunan APBD harus memperlihatkan visi, realistis, nyata, transparansi, akuntabilitas anggaran, disiplin anggaran, keadilan anggaran, efesiensi dan efektivitas mata anggaran yang disusun, serta adanya pertanggung jawaban yang tegas dari pihak pemakai dana dari anggaran yang disusun.

Ukuran dan ‘persyaratan’ di atas, memang masih berada dalam tataran idealistik, wacana, dan abstrak. Pada kenyataannya, saat eksekutif dan legislatif menyusun anggaran — baik itu saat masih berada dalam tataran rencana, maupun pengesahan — ukuran dan persyaratan di atas tak pernah dikonkretisasikan. Jarang disosialisasikan. Tak ada keterlibatan publik dalam penyusunan anggaran.

Maka, saat sebuah APBD telah disahkan dan diperdakan, maka kontroversi dan kritikan tajam bermunculan kepermukaan. Paling tidak, yang paling banyak mendapat sorotan adalah menyangkut pos mata anggaran DPRD dan anggaran pembangunan. Dan APBD – baik tingkat provinsi, kabupaten dan kota – dua mata anggaran ini selalu dipertanyakan. Anggaran DPRD yang membengkak, sementara anggaran pembagunan menciut.

Untuk Kabupeten Agam – selain daerah-daerah lainnya di Sumatra Barat – dapat dijadikan salah satu kasus: bagaimana tidak adanya keadilan di dalam penyusunan anggarannya; bagaimana tidak adanya visi dan arah yang jelas dari APBD tahun 2002; dan lain sebagainya.

Dari data-data yang diperoleh, anggaran biaya pembagunan hanya berkisar Rp 61 milyar, sedangkan anggaran rutin Rp 164,5 milyar. Sementara pendapatan daerah ini diperkirakan Rp 225, 8 milyar. Pendapatan yang berasal dari pendapatan asli daerah (PAD) sekitar Rp 4,5 milyar. Satu hal yang sangat menarik adalah alokasi dana yang diberikan kepada kecamatan-kecamatan di Kabupaten Agam. Tercatat ada 15 kecamatan di Agam. Masing-masing kecamatan memperoleh dana Rp 50.360.000. Lalu, berapa setiap desa/nagari di dalam sebuah kecamatan mendapatkan dana? Barangkali tak lebih Rp 5 juta/perdesa/nagari.

Jelas, jumlah Rp 5 juta itu sangat tidak masuk akal, dan konyol saat semua pihak sepakat untuk kembali ke nagari. Apa yang mesti dilakukan dengan dana sekecil itu untuk sebuah nagari, misalnya nagari Sianok VI Suku? Atau nagari yang demikian luas lainnya? Jika ada DAU yang diarahkan ke situ, tentu saja hal itu soal lain lagi. Tapi, yang jelas, visi pemerintah Agam dan DPRD Agam dalam penyusunan anggaran itu tidak memperlihatkan kepedulian kepada publik.

Sementara itu, jika dilihat mata anggaran yang dialokasikan untuk DPRD Agam dan Sekretariatnya sebesar Rp 3.450.268.600 sangat jauh sekali perbandingannya dengan mata anggaran untuk kecamatan-kecamatan di Agam. Dana untuk legislatif itu nyaris menyedot semua PAD Agam yang hanya berjumlah Rp 4,5 milyar itu.

Kini, tentu saja, sebutkanlah, misalnya, APBD Agam telah disahkan oleh DPRD Agam, maka langkah selanjutnya tampaknya publik sangat tepat sekali mengkritisi APBD Agam itu. Paling tidak, beberapa mata anggaran perlu direvisi. Langkah awal tentu saja yang mesti dipertanyakan adalah mekanisme penyusunan anggaran tersebut. Apakah telah dilalui dengan prosedur dan hukum yang berlaku? Bagaimana dengan keterlibatan publik? Dan – ini yang sangat penting – apakah penyusunan anggaran DPRD Agam ditempuh dengan pembahasan, atau semata-mata disusun untuk membengkakkan uang ini, uang itu, dan dana lainnya?

Sebab, dalam peraturan dan mekanisme penyusunan APBD apapun jenis mata anggaran yang dicantumkan harus dibahas sesuai dengan mekanismenya, dan ini melibatkan instansi terkait. Pengalaman selama ini terlihat, mata anggaran legislatif kerap disusun tanpa mekanisme yang jelas. Ini terbukti dalam penyusunan RAPBD Provinsi Sumatra Barat. Sehingga banyak pihak yang menuntut untuk direvisi kembali. Dan kasus serupa tidak tertutup akan/dan terjadi juga pada penyusunan APBD Agam. Kita mesti mengkritisinya.***

Dari Nagari ke Forum Wali Nagari

OLEH Nasrul Azwar

Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Agam Nomor 31 Tahun 2001 tentang pemerintahan nagari, sebagai produk hukum, telah jadi acuan penting untuk pengembangan nagari di Kabupaten Agam. Sebagai Perda, acuannya jelas pada produk hukum yang di atasnya: UU No 12 Tahun 1956 tentang pembentukan daerah otonomi kabupaten dalam lingkungan daerah provinsi Sumatra Tengah, UU No 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, UU No 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, Peraturan Pemerintah No 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonomi, Keputusan Presiden Nomor 44 tahun 1999 tentang teknik penyusunan peraturan perundang-undangan dan bentuk rancangan undang-undang, rancangan peraturan pemerintah dan rancangan keputusan presiden, dan Peraturan Daerah Provinsi Sumatra Barat Nomor 9 tahun 2000.

Dengan demikian, dasar dan landasan hukum Perda No 31 tahun 2001 tentang pemerintahan nagari di Kabupaten Agam amat kuat, terlepas dari soal apakah kelak bisa diaplikasikan dengan baik atau tidak dalam tataran komunitas di nagari-nagari di Kabupaten Agam, tentu masalah lain lagi.

Dalam Perda tersebut dijelaskan juga tentang definisi nagari yaitu nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat dalam Kabupaten Agam, yang terdiri dari himpunan beberapa suku di Minangkabau yang mempunyai wilayah dan batas-batas tertentu dan mempunyai harta kekayaan sendiri, berwenang mengurus rumah tangganya sendiri dan memilih pemerintahannya. Dalam Perda itu ada dicantumkan jumlah nagari yang berada di kabupetan Agam sebanyak 73 nagari.

Namun demikian, belum ada laporan resmi yang diperoleh dari jajaran Pemerintah Kabupaten Agam, apakah semua nagari (73 buah) itu telah memiliki Wali Nagari sesuai dengan peraturan Perda tersebut. Artinya, belum jelas benar berapa dari 73 nagari itu yang Wali Nagarinya telah dilantik.

Satu hal juga yang sangat menarik adalah masih banyaknya kelemahan dan kekurangan dari isi Perda Provinsi Sumatra Barat No 9 Tahun 2000, yang telah ditetapkan DPRD Sumatra Barat 7 Desember 2000 dan diundangkan 16 Desember 2000, yang kini jadi sandaran untuk melahirkan peraturan daerah tentang nagari di tingkat kabupeten.

Paling tidak, menurut, Kamardi Rais Dt. P. Simulie, Ketua Umum LKAAM Sumatra Barat, yakni terkesan masih mengabaikan struktur pemerintahan adat yang dipaturun-dipanaikkan, nan diico nan dipakai, yang secara historis dilaksanakan oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN) sebagai lembaga adat tertinggi di nagari-nagari, yang dilambangkan sebagai “babalai – bamusajik, balabuah-batapian, bakorong-ba kampuang, bagalanggang-bapamedan”. “Nah, inilahlah yang tidak tertampung di dalam Perda Provinsi Sumatra Barat No 9 Tahun 2000 tersebut. Yang kita niatkan kopiah, tapi yang dapat hanya daster, baiklah kita terima juga sebagai penutup kepala,” katanya.

Juga, tambah Kamardi Rais, yang jadi masalah lain dalam Perda Provinsi Sumatra Barat No 9 Tahun 2000 adalah perda tersebut tidak utuh untuk Provinsi Sumatra Barat. Perda tersebut tidak mengatur keberadaan Kabupaten Mentawai dan juga tentang nagari-nagari di kota-kota. “Masalah ini masih ada peraturan yang jadi kendala.”

Sama halnya dengan itu, N. Dt Perpatih Nan Tuo, yang juga salah seorang pengurus LKAAM Sumatra Barat, menekankan pada aspek kemungkinan dampak atas Perda Provinsi Sumatra Barat No 9 Tahun 2000 terhadap kehidupan sosial nagari. “Perda Provinsi Sumatra Barat No 9 Tahun 2000 disusun tidak berdasarkan pada hasil penelitian lapangan yang dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya, sehingga perda ini tidak menggambarkan nagari secara umum,” katanya dalam sebuah diskusi di LBH – padang baru-baru ini.

Buktinya, katanya, Pasal 2 Perda tersebut menyatakan bahwa setiap nagari mempunyai beberapa suku. Padahal menurut adat, berdirinya suatu nagari paling sedikit 4 suku di dalamnya. “Pasal ini jelas akan memancing jorong suatu nagari ingin mendirikan nagari pula, karena syarat dengan sangat mudah telah dipenuhi. Dan ini jelas akan sangat mudah memicu perpecahan di tingkat nagari,” tuturnya.

Selain itu, perda ini juga membuka peluang kepada Pemerintah Nagari melakukan intervensi atas kekayaan nagari. Karena harta kekayaan nagari tidak serta merta menjadi harta kekayaan pemerintah nagari. “Perumusan yang demikian akan menimbulkan konflik yang berkepanjangan antara nagari sebagai pemilik harta kekayaan nagari dengan pemerintah nagari.”

Lebih lengkap

Namun demikian, apa yang jadi sisi kelemahan yang hadir dalam Perda Provinsi Sumatra Barat No 9 Tahun 2000, tampaknya mampu ditutupi dan diakomodasi dengan baik oleh Perda Kabupaten Agam No 31 tahun 2001. Paling tidak hal yang dicemasaskan N. Dt Perpatih Nan Tuo, tentang perpecahan nagari karena syarat mendirikan nagari yang tercantum dalam Perda Provinsi Sumatra Barat No 9/2000 itu demikian mudahnya dihadirkan, tidak demikian halnya dengan Perda kabupaten Agam No 31/2001. Walau, hampir setiap produk hukum yang dikeluarkan wakil rakyat selalu memuat sisi lemah yang paling substansi. Tampaknya, pada Perda Kabupaten Agam No 31/2001 lebih lengkap dan jelas.

Contoh yang jelas adalah Pasal 5 tentang pemekaran nagari di Kabupaten Agam. Untuk Perda Provinsi Sumatra Barat No 9/2000, hanya menyebutkan, syarat pendirian nagari baru harus memenuhi beberapa suku. Kata “beberapa suku” ini memang tidak tegas dan terkesan bias, dan ambigiutas. Namun, pada Perda Kabupaten Agam No 31/2001, jelas dicantumkan persyaratan pendirian nagari salah satunya adalah ninik mamak nan ampek suku.

Selain itu juga dijelaskan pada pasal 62 tentang pengelolaan kekayaan nagari di kabupaten Agam. Bahwa sumber pendapatan yang telah dimiliki dan dikelola nagari tidak dibenarkan diambil alih pemerintah, baik provinsi maupun daerah.

Sedangkan tentang pemekaran nagari-nagari baru, hingga kini – jika mengacu pada Perda Kabupaten Agam No 31/2001 berjumlah 73 nagari—memang belum diperoleh informasi tentang hadir nagari baru di Kabapaten Agam. Jum 73 nagari yang dicantumkan dalam perda itu berdasarkan pada Surat Keputusan Gubernur Sumatra Barat Nomor 5/GSB/1974 tentang pokok-pokok pemerintahan nagari dalam provinsi daerah tingkat I Sumatra Barat dan Surat Gubernur Nomor 156/GSB/1974 tentang kerapatan nagari dalam provinsi daerah tingkat I Sumatra Barat. Keputusan ini dikeluarkan sebelum diberlakukannya UU No 5/1979 tentang pemerintahan desa.

Pemberdayaan Komponen Nagari

Sudah tak terbilang banyaknya tulisan dan penelitian yang menyebutkan bahwa polarisasi pemerintahan desa dan penyeragaman bentuk pemerintahan yang “dipaksakan” hadir semasa Orde Baru, lebih banyak ruginya ketimbang manfaatnya. Paling tidak, yang sangat merasakan kerugian penyeragaman itu adalah masyarakat komunitas Minangkabau, yang sebelumnya berbasis pada pada bentuk komunitas nagari.

Dari rentang semenjak diterapkannya UU No 5/1979 tentang pemerintahan desa, hal-hal yang paling terlihat sangat merugikan dan kikis identitas komunal dan individual di nagari itu adalah; pertama, jati diri komunitas nagari di Minangkabau menemukan kebekuannya dan mengalami degradasi yang dasyat, kedua, nagari di Minangkabau tidak lagi memiliki kewenangan politis ekonomi, sosial, budaya, dan lain sebagainya, ketiga, terjadinya konflik vertikal dan horizontal di dalam tataran nagari itu sendiri. Hilangnya batas nagari, keempat, komunitas Minangkabau kehilangan tokoh panutan yang berwibawa, kelima, terkikisnya rasa memiliki dan nilai-nilai kebersamaan, seperti gotong royong, keenam, mandulnya peran dan fungsi komponen, institusi informal nagari, yang selama ini jadi bagian inheren dengan eksistensi nagari dan anak nagari.

Masalah yang diakibatkan penyeragaman itu, kini, walau telah muncul kehidupan bernagari dalam pemerintahan di Sumatra Barat, bukan serta merta soal yang sangat krusial itu selesai dan hilang demikian saja. Ini artinya, masih ada persoalan yang demikain pentingnya belum terselesaikan dan sangat mendesak diselesaikan di dalam lingkungan nagari itu sendiri.

Dalam struktur pemerintahan nagari, jika mengacu pada peraturan yang berlaku, dan merupakan komponen terpenting untuk menggerakkan potensi nagari adalah; pemeritahan nagari terdiri dari wali nagari, sekretaris nagari, kepala urusan pemberdayaan dan pemerintahan, kepala urusan ketentraman dan ketertiban, kepala urusan kesejahteraan rakyat, kepala urusan administrasi keuangan dan aset nagari, dan kepala jorong.

Struktur ini jelas merupakan ‘perpanjangantangan’ pemerintah dan bagian paling bawah dalam struktur pemerintahan Indonesia. Banyak yang berpendapat, pola seperti ini tak jauh beda dengan saat diberlakukan pemerintahan desa dulunya. Istilah yang dimunculkan adalah “batuka baruak jo cigak”.

Komponen di dalam nagari lainnya juga ada lembaga sejenis legislatif yang disebut dengan Badan Perwakilan Rakyat Nagari (BPRN). Kedudukan BPRN ini sejajar dan menjadi mitra dari pemerintahan nagari. Keanggotaannya terdiri unsur ninik mamam, alim ulama, cadiak pandai, bundo kanduang, generasi muda, jumlahnya paling kurang 7 orang (mesti ganjil).

Juga ada komponen dalam nagari yang dinamakan dengan majelis musyawarah adat dan syarak nagari. Fungsinya memberikan pertimbangan kepada pemerintah nagari. Unsur yang ada di dalamnya tidak beda dengan apa yang ada di BPRN. Namun anggotannya, tidak dibenarkan yang telah duduk di BPRN dan juga Wali Nagari.

Juga ada yang lainnya, namanya kerapatan adat nagari (KAN) dan majelis ulam nagari. KAN merupakan lembaga tempat terhimpunnya ninik mamak, dan pemangku adat di nagari. Tugasnya antara lain menyelesaikan sengketa sako dan pusako menurut adat selingka nagari.

Sedangkan majelis ulama nagari merupakan lembaga tempat berhimpunnya para ulama di nagari. Salah satu tugasnya menanamkan aqidah Islam di tengah kehidupan masyarakat nagari.

Selain itu dalam Perda tersebut juga disarankan, nagari-nagari di Kabupaten Agam membentuk lembaga masyarakat lainnya, sesuai dengan aspirasi yang berkembang.

Jika dilihat sepintas saja, maka beban yang ditanggung nagari cukup berat, jika benar-benar nagari bersangkutan dijalankan dengan mengacu pada Perda Kabupaten Agam No 31/2001 itu. Mengapa berat?

Pertama, untuk memungsikan komponen-komponen yang ada di nagari dibutuhkan rekonstruksi modal sosial dan budaya yang selama ini telah hilang. Nagari akan menemukan identitis sosialnya jika semua komponen punya visi yang sama di nagari. Karena masalah ini menyangkut pada kemampuan anak nagari dan segenap perangkatnya mengaktualisasikan diri, interaksi sosial, serta kepekaaan akan perkembangan zaman. Maka, pada batas ini peran wali nagari menjadi sangat penting. Dan ini bukan soal yang hanya selesai di meja rapek nagari. Dan ini jelas menyangkut pada soal komitmen.

Kedua, menjemput potensi komponen nagari dan kepemimpinan tradisional di nagari. Mesikipun telah banyak terjadi perubahan, namun institusi sosial di nagari, seperi keluarga besar, masjid dan surau, ulama dan panghulu, cadiak pandai, bundo kanduang dan juga anak muda nagari, tampaknya masih punya peran sangat strategis dalam pengembangan nagari.

Menurut Emeraldy Chatra, dosen FISIP Unand, dalam struktur pemerintahan nagari, para penghulu pucuak berfungsi sebagai pemimpin Rapek Nagari, sekaligus sebagai anggotanya. Kekuasaan tertinggi tidak terletak pada individu penghulu pucuak, dan tidak pula dibagi‑bagi di antara individu penghulu payuang atau suku.

“Kekuasaan berada pada institusi Rapek Nagari yang di dalamnya berhimpun para penghulu. Berarti setiap individu tanpa mengenal status harus tunduk pada setiap keputusan (mufakat) yang dihasilkan Rapek Nagari. Tak seorang penghulu pun dapat membuat peraturan atau undang‑undang menurut kemauannya sendiri,” katanya Chatra, juga yang menulis buku “Adat Selingkar Desa”.

Ditambahkannya, kehidupan demokratis di nagari dapat menjadi sebab sekaligus akibat dari sistem pemerintahannya. “Gagasan untuk melibatkan banyak orang dalam mengurusi nagari tampak jelas dari dua simbol: mamak dan kemenakan Meskipun makna keduanya mengacu kepada garis keturunan (hubungan geneologis), namun keduanya merupakan komponen dasar dari pemerintahan nagari.”

Oleh karena mamak dan kemenakan adalah komponen, pemerintahan nagari, pola hubungan antara yang memimpin dan yang dipimpin akhirnya jauh dari sekadar hubungan kekuasaan. Hubungan keduanya lebih menjurus ada hubungan batin.

Rapek Nagari tidak hanya menjalankan fungsinya sebagai "'lembaga negara tertinggi" dan "satu‑satunya lembaga pemerintahan" bagi sebuah nagari, tapi sekaligus menjadi lembaga yang mengakomodasikan berbagai kepentingan dan konflik yang timbul akibat perbedaan kepentingan dalam rnasyarakat.

Sebagai lembaga tertinggi tentu saja tidak semua konflik yang terjadi harus dihadirkan dalam sidang para penghulu di tingkat nagari. “Pada Rapek Nagari biasanya yang dibicarakan adalah masalah yang bersentuhan dengan kepentingan warga nagari secara umum,” jelasnya lagi.

Ini soal jadi tantangan yang paling berat bagi kehidupan nagari pada saat sekarang ini. Persoalannya bukan semata kembali dan mengembalikan bentuk kehidupan bernagari semata, namun bagaimana pemimpin masyarakat yang ada dalam nagari bersangkutan mampu mengelola dan sekaligus menyelesaikan persoalan dan konflik yang terjadi di dalam nagari.

Forum Wali Nagari

Munculnya wacana tentang keinginan Wali Nagari di nagari-nagari Kabupaten Agam untuk mewujudkan suatu wadah untuk menghimpun Wali Nagari, apakah namanya kelak, merupakan tanda adanya kemauan dan komitmen yang kuat bagi Wali Nagari untuk meletakkan visi, komitmen yang sama, sekaligus melihat persoalan nagari ditenggari sama persoalan yang dihadapi.

Keinginan untuk melahirkan satu wadah bagi Wali Nagari, pantas disambut baik. Namun demikian, jika polarisasi pemerintah nagari di Kabupaten Agam baru efektif berjalan 4-5 bulan belakang, seperti yang disampaikan Suardi Mahmud, salah seorang tokoh masyarakat yang mengagas perlunya wadah untuk Wali Nagari, kepada Suluh, maka persoalannya bukan lagi semata apakah wadah demikian itu penting atau tidak, akan tetapi yang jadi tujuan utama adalah “kekuatan” posisi Wali Nagari di tengah pemerintah Kabupaten itu sendiri.

Posisi demikian tampaknya amat penting jika dikaitkan dengan soal otoritas nagari dalam menentukan visi ke depan pembangunan, penguatan, pemberdayaan komunitas nagari yang dipimpin Wali Nagari bersangkutan, misalnya. Forum, atau apakah namanya, akan memposisikan Wali Nagari sebagai representasi dari kamauan publiknya, kemauan BPRN dan elemen-elemen yang ada dalam nagari. Selain itu, Forum Wali Nagari Kabupeten Agam—jika kelak ini namanya— akan menempatkan nagari sebagai basis penguatan pemberdayaan masyarakat nagari. Dan, paling sederhana, wadah ini jelas dapat “memotong” jalur birokrasi dan prosedur yang berbelit jika seorang Wali Nagari ingin menyampaikan aspirasinya ke DPRD, ke Pemkab, atau yang lainnya. Cukup forum ini saja yang bergerak.

Akan tetapi, satu hal yang perlu dibenahi dalam proses bernagari di kabupaten Agam, yang masih tergolong baru itu, adalah pembenahan ke dalam, penguatan internal. Ini jelas sangat penting dalam proses menuju arah keseimbangan antara Forum Wali Nagari dengan nagari-nagari yang ada di dalamnya. Jika, satu pihak berada pada posisi yang kurang mendapat perhatian dari Wali Nagari, maka persoalan akan menampakkan konflik yang kian tajam, baik horisontal maupun vertikal di tengah publik.

Maka, penguatan pada nagari masing-masing menjadi soal yang utama dan penting, sebelum Wali Nagarinya mendirikan satu wadah. Menurut, Abdul Aziz Saleh, guru besar Sosiologi Universitas Andalas, dalam tulisannya yang dimuat dalam jurnal Genta No 3 Tahun I 1996, hal yang perlu dikembangkan dalam pemerintahan nagari adalah: pertama, proses dan mekanisme pengambilan keputusan. Secara tradisional, baiyo batido adalah konsep kunci dalam proses pengambilan keputusan. Suatu proses musyawarah adalah tempat setiap orang (pihak) dapat menyatakan ya (pernyataan persetujuan) atau tidak (pernyataan penolakan). Dengan demikian dalam proses pengambilan keputusan itu, perbedaan pendapat diakui dan diterima sebagal suatu hal yang wajar. Bahkan dianggap sebagai suatu proses penting yang perlu dilalui untuk memperoleh suatu keputusan yang berkualitas, dan dapat diterima oleh semua pihak.

Memang, proses musyawarah ini membutuhkan waktu yang relatif panjang, karena melibatkan berbagai berkepentingan dan harus memberi kesempatan kepada semua pihak untuk mengemukakan pandangan dan pendapatnya. Sehingga keputusan yang diambil, dapat mengakomodir kepentingan dan aspirasi sebagian besar masyarakat. Di dalam setiap musyawarah, semua pihak mempunyai kedudukan yang sama, seperti diungkapkan dalam pepatah tegak sama tinggi dan duduk sama rendah.

Di tingkat keluarga besar musyawarah dilakukan di antara sesama anggota keluarga yang sudah dewasa, baik laki‑laki maupun perempuan. Musyawaah ini dipimpin mamak yang dituakan atau disebut tungganai. Di tingkat kaum atau suku musyawarah dilaksanakan di antara para tungganai atau mamak yang dituakan, dipimpin penghulu kaum atau penghulu suku. Sedangkan di tingkat nagari musyawarah dilakukan antara anggota Kerapatan Adat Nagan (KAN).

Kedua, Konsep tentang pemimpin,kekuasaan,dan hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin. Konsep ideal masyarakat Minangkabau tentang pemimpin dinyatakan dalam ungkapan adat teluk timbunan kapal, adat tua menanggung ragam. Maksudnya seorang pemimpin yang ideal adalah pemmpin yang tahan kritik. Seorang yang suka mendengarkan pendapat dan saran yang dipimpin dan tidak bersifat suka menggurui.

Ketiga, sikap terhadap perubaban dan terhadap sesuatu yang baru. Dalam masyarakat manapun juga, setiap perubahan selalu menimbulkan pro dan kontra, termasuk dalam masyarakat Mmangkabau.Ini telah dibuktikan oleh sejarah, seperti ketika masuknya Agama Islam, dan masuknya bangsa dan kebudayaan Barat. Sejarah telah membuktikan bahwa masyarakat Minangkabau cukup lentur dan terbuka serta dapat menarik manfaat dari sesuatu yang baru. Hal ini diperlancar oleh kenyataan bahwa budaya Minangkabau tidak begitu cenderung membakukan menyakralkan sesuatu.

Keempat, konsep tentang hubungan sesama. Masyarakat Minangkabau relatif lebib bersifat egaliter dan demokrafis. Nilai ini juga dioperasionalkan di dalam kehidupan sehari‑hari, termasuk dalam hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin. Di dalam hubungan yang demikian, tidak ada yang memerintah dan tidak ada yang diperintah, karena yang dilaksakanakan adalah keputusan bersama melalui proses musyawarah. Peranan pemimpin lebih berupa koordinator. Inilah yang menentukan pola interaksi antara sesama anggota masyarakat dan juga dengan pemimpin. Sifat demokratisnya juga dinyatakan dalam penghargaan terhadap sesama dan dikuatkan dalam ungkapan, lamak dek awak, katuju dek urang. Penghargaan terhadap manusia sebagai

individu dan haknya untuk ikut ambil bagian di dalam kegiatan dan kehidupan masyarakat, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, dinyatakan dalam ungkapan; yang buta meniup lesung, yang lumpuh menjaga padi yang dijemur, yang lumpuh untuk menembakkan meriam.

Kelima, sistem pemilikan tanah, dan penggunaannya dalam masyarakat. Bagi masyarakat Minangkabau tanah merupakan faktor yang penting bukan hanya dari sudut ekonomis dan nilai praktisnya saja. Orang Minang, termasuk mereka yang berada di rantau yang sebetulnya tidak mengandalkan hidupnya dari mengolah tanah tetap melihat tanah sebagai faktor penting, karena memiliki nilai yang bersifat emosional dan sentimental. Hal ini disebabkan adanya anggapan yang tumbuh dengan kuat dalam masyarakat, orang Minang baru diakui sebagai orang Minang kalau dapat memajukan nagarinya, sukunya, rumahnya, tanahnya (ulayatnya).

Dari itu pula, soal penguatan ke dalam jadi kian teramat penting. Jika semua nagari-nagari di Kabupaten Agam—yang dalam Perda Kabupaten Agam No 31/2001 disebutkan berjumlah 73 nagari— jika semua telah memiliki Wali Nagari, dan berarti otomatis ada 73 orang Wali Nagari di Kabupetan Agam, tentu bukan sebuah wadah yang kecil. Paling tidak dalam tataran “posisi tawar” untuk sebuah kebijakan publik, misal yang dikeluarkan pemkab Agam, tentu forum ini akan ditempatkan pada posisi yang penting.

Namun, tentu, ada beberapa hal yang perlu dicermati jika kelak Forum Wali Nagari ini hadir, yakni persoalan politik dan kepentingan kekuasaan menjelang Pemilu 2004 nanti. Tentu banyak pihak yang akan tidak setuju, jika forum ini dimanfaatkan jadi kendaraan partai politik untuk mengumpulkan suara pada pemilu 2004.

“Jika ini terlaksana, ekses dan prsedennya akan sangat jelek sekali,” kata Ivan Adilla, seorang pengamat kebudayaan Minangkabau. Maka, ia menyarankan Forum Wali Nagari ini hendaknya lebih mengedepankan dan mengutamakan program ketimbang demi kepentingan partai politik. Baginya, Forum semacam perlu dikembangkan dan disosialisakan. “Sebab, inilah semacam wadah yang pertama hadir di Sumatra Barat yang bisa menghimpun Wali Nagari dalam satu forum. Daerah lain belum melakukan ini. Sementara Wali Nagari se Agam telah melakukannya,” jelas lagi.

Diterangkannya, untuk Kabupaten Solok, yang pertama sekali mengeluarkan Perda tentang kembali ke nagari di Sumatra Barat, belum muncul pikiran untuk mendirikkan wadah semacam itu. “Saya kira ini perlu dikembangkan ke daerah-daerah lain. Dan juga, tidak salah jika forum ini diperluas ke tingkat lebih tinggi, misalnya Forum Wali Nagari Se-Sumatra Barat, misalnya. Dan tentu akan sangat menarik jika kekuatan Wali Nagari yang terhimpun dalam satu wadah yang lebih luas bisa terwujud,” tambah Ivan, yang juga salah seorang putra Solok dan staf pengajar di jurusan Minangkabau Universitas Andalas Padang.

Namun, ia juga mengingatkan, forum semacam ini sangat rentan disusupi kepentingan politik dan kekuasaan, maka sangat penting ditangani dengan hati-hati.

Lain halnya dengan Syuhendri, salah seorang panghulu di nagari Malalak. Ia lebih menekankan kepada pemberdayaan nagari masing-masing terlebih dahulu, baru kelak jika proses pengembangan nagari berjalan baik, Wali Nagari masing-masing perlu memikirkan ke luar.

“Polarisasi pemerintahan nagari masih baru di Kabupaten Agam, maka alangkah baiknya jika nagari masing-masing yang dibenahi. Dan mencoba menyatukan visi, komponen, dan semua elemen yang ada di nagari,” katanya.

Namun tak salah kan jika keduanya berjalan dengan baik. nas/dari berbagai sumber