KODE-4

Showing posts with label CATATAN KRITIK SENI SAHRUL N. Show all posts
Showing posts with label CATATAN KRITIK SENI SAHRUL N. Show all posts

Wednesday, July 25, 2007

Multikulturalisme Teater Indonesia: Menghormati Keberagaman

(Catatan PAT 2003, STSI Padangpanjang)
Oleh Sahrul N
Benny Yohannes dalam makalahnya mengatakan bahwa “multikulturalisme dalam teater seyogyanya dipahami dalam prinsip hadir yang selalu tidak ada (absent present). Bahwa budaya itu tidak pernah memiliki transendensi atau Pengada-Besar, atau asal-usul arkaiknya. Sebab pelacakan terhadap asal-usul seperti itu selalu membikin kita yatim dan semakin yatim. Namun rentangan keyatiman itu adalah sumber-sumber epistemik yang tak pernah menyediakan batas, kefinalan atau kesudahan”.

Meramu Mimpi Teater Indonesia Atawa Selamat Pagi

Oleh Sahrul N
Kebudayaan pada suatu waktu akan berubah. Setidaknya ada dua hal yang menjadi penyebab terjadinya perubahan kebudayaan. Pertama adalah terjadinya perubahan lingkungan yang dapat menuntut perubahan kebudayaan yang bersifat adaptif. Kedua terjadinya kontak dengan bangsa lain yang mungkin menyebabkan diterimanya kebudayaan asing sehingga terjadilah perubahan dalam nilai-nilai dan tata kelakukan yang ada. Kemampuan berubah merupakan sifat yang penting dalam kebudayaan manusia
(Haviland, 1988:251).

Teater Indonesia, Refleksi Identitas Kebhinekaan

(Catatan Menjelang Pekan Apresiasi Teater 2003 STSI Padangpanjang)
Oleh Sahrul N
Wacana multikulturalisme telah merambah seluruh aspek kehidupan manusia, mulai dari persoalan politik, sosial, rasa kebangsaan, kebudayaan, sampai pada persoalan kesenian yang salah satunya adalah teater. Multikulturalisme ada yang memahaminya sebagai penekanan terhadap ras yang mengacu pada keanekaragaman yang menunjukan keharmonisan, namun mengabaikan masalah bahasa dan budaya. Akibatnya justru akan menimbulkan konflik seperti Indonesia saat ini. Untuk itu konsep multikulturalisme harus dimaknai sebagai sesuatu yang tidak diartikan semata-mata sebagai pluralisme antara ras, melainkan juga seperti reaksi yang meliputi budaya, bahasa yang ditinjau secara lebih rinci terutama yang berkaitan dengan munculnya kekuatan dominasi antara satu bahasa dengan bahasa lainnya. Arahnya adalah keseimbangan antara kepentingan etnik tertentu dengan etnik yang lain yang saling berinteraksi.

Catatan Pementasan "Tangga" Hitam-Putih Indonesia


Menggugat Demokrasi Minangkabau
Oleh Sahrul N

“dengarlah, kusampaikan padamu sebaris kisah di sebuah gunung merapi yang dulu sebesar telur itik, lama setelahnya, dari dua lelaki seibu berbeda ayah lahirlah sistem bernama laras dua lelaki yang berbeda pikiran, orang menyebutnya koto piliang dan bodi caniago berjenjang naik, bertangga turun dan duduk sehamparan, tegak sepematang bagai lukisan perdamaian”
Dialog demokrasi tak bernama inilah yang diusung dalam pementasan teater yang berjudul “Tangga” sutradara Yusril dari Komunitas Seni Hitam Putih Padangpanjang Sumatra Barat. Pementasan yang berdurasi sekitar satu jam ini ditampilkan di STSI Padangpanjang tanggal 21 Juli 2007 dan di Taman Budaya Sumatra Barat pada tanggal 27 Juli 2007. Karya seni teater ini terinspirasi dari dua karya sebelumnya yaitu puisi “Tangga” karya Iyut Fitra dan naskah drama “Jenjang” karya Prel T.

Wednesday, June 27, 2007

Absurdisme Delire A Deux

OLEH SAHRUL N
Kesan pertama yang menonjol setelah menonton teater Delire A Deux (Kura-Kura dan Bekicot) karya Ionesco, saduran Darnoto, sutradara Kurniasih Zaitun, di gedung pertunjukan Boestanul Arifin Adam STSI Padangpanjang, pada tanggal 15 April 2005 adalah suara-suara perang (bom, rentetan bunyi senapan, dan bentakan orang-orang di belakang panggung). Suara tersebut seakan memecah kebekuan kalimat absurd yang dilontarkan tokoh Lelaki (Jamal) dan tokoh Perempuan (Ayu) yang masing-masing memiliki kebenaran dan kesalahan sendiri-sendiri. Tidak ada yang salah di antara keduanya dan tidak ada yang benar di antara keduanya, dan juga tidak ada penyelesaian. Semua masalah berseliweran satu sama lain menjadi ikon-ikon persoalan tanpa kesimpulan. Kesimpulan merupakan hak sepenuhnya dari penonton yang menyaksikan. Hal ini merupakan ciri dari teater absurd Ionesco, Samuel Becket, Albert Camus, Sartre, dan lain-lain. Tidak ada yang digurui dan tidak ada yang menggurui. Penonton merupakan penikmat aktif dari peristiwa-peristiwa yang hadir di atas panggung.

Kesenian Tradisi Indonesia dalam Wacana Kebinnekaan

(Catatan Festival Nasional Seni Pertunjukan 2003)
OLEH SAHRUL N
Wilayah Indonesia yang kaya dengan pulau-pulau serta suku-suku bangsa, juga kaya dengan jenis-jenis kesenian tradisional. Jenis kesenian tradisional yang telah mapan dan sangat erat hubungannya dengan tradisinya merupakan kesenian yang kekuatan daya hidupnya tergantung dengan kebesaran budaya dan tata masyarakat dan budaya yang mendukungnya. Kesenian tradisional (traditional arts) tak lepas dari lingkungan yang menghidupinya. Khasanah pertunjukannya adalah rakyat setempat dan mitologi yang berkembang di daerah yang bersangkutan. Sikap sosial para pendukungnya masih dipengaruhi kultur lingkungan, kepercayaan-kepercayaan kepada leluhur dan sebagainya.

Indonesia: Sophisme Yang Merajalela


OLEH SAHRUL N
Memahami Indonesia hari ini adalah memahami sesuatu yang absurd, yang tercerai berai oleh sistem yang tak jelas. Di satu sisi Indonesia memiliki Presiden sebagai orang nomor satu dengan demokrasi Pancasila sebagai ideologinya.

Pertunjukan Tari Ali Sukri: Penganten Ombak: Ikonitas Kultur yang Terbelah

OLEH SAHRUL N
Pertunjukan tari Ali Sukri yang berjudul “Penganten Ombak” merupakan pembelahan budaya lewat ikon-ikon gerak yang diuniversalkan. Properti sedemikian rupa membentuk alur-alur kehidupan yang senantiasa bergerak tanpa henti dan menuju berbagai makna tentang hidup manusia. Hanya lewat selembar plastik besar, pertunjukan ini sarat dengan konflik bathin manusia, terutama manusia yang sedang dilanda bencana. Dalam hal ini tragedi Aceh menjadi inspirasi utama pertunjukan ini. Perang saudara belum berakhir datang lagi bencana yang hampir tidak menyisakan apa-apa. Akan tetapi ini semua ada hikmahnya. Tuhan seakan tidak tega melihat derita rakyat Aceh akibat perang yang tak pernah usai. Tuhan meminangnya dan menjauhkannya dari arena perang.

Membaca Seni Ritual Mentawai Versus Seni Minangkabau dalam Wacana Intra-Kultural


OLEH SAHRUL N., S.S., M.Si, pengajar STSI Padangpanjang
I
Sumatera Barat tidak hanya dihuni oleh etnis (Melayu) Minangkabau, tetapi juga suku pedalaman yang berdiam di kepulauan Mentawai yang adat dan agamanya jauh berbeda dengan Minangkabau. Minangkabau diidentikan dengan agama Islam, sementara Mentawai masih dihuni sebagian besar agama nenek moyang. Bahkan sampai pada makanan pokokpun berbeda. Orang Minang beras menjadi makanan pokok, sementara Mentawai adalah sagu.

Tuesday, June 26, 2007

Feminisme, Impian Perempuan Jadi Laki-laki

OLEH SAHRUL N, dosen di STSI Padangpanjang
Menyinggung persoalan seks, Helena Cixous memberikan gambaran bagaimana Zeus dan Hera menikmati hubungan seksual mereka. Ketika ditanya "Di antara laki-laki dan perempuan, siapa yang menikmati kesenangan yang lebih besar?". Untuk menjawab pertanyaan ini baik Zeus maupun Hera sama-sama tidak bisa memberikan jawaban.

Sunday, June 24, 2007

Etnisitas Minangkabau dalam Film Dog's Life


OLEH SAHRUL N
Saya pernah mendapat beberapa pertanyaan dari orang di luar etnis Minangkabau, seperti, “Kenapa orang Minang suka berburu babi?”, “Kenapa orang Minang suka pada anjing, padahal orang Minang itu Islam?”, “Kenapa babi harus dibunuh, padahal ia hanya hidup di hutan?”, dan pertanyaan lain yang sejenis dengan itu. Waktu itu saya menjawabnya dengan logika-logika seadanya yang tentu saja tidak akan memuaskan penanya tersebut.

Dzikrullah: Spirit Islam dalam Musik Elizar Koto


OLEH SAHRUL N, dosen STSI Padangpanjang
Bahasa membicarakan manusia dan manusia membicarakan bahasa. Maksudnya, karena bahasa di dunia ini banyak dan khas serta berbeda-beda, maka bahasa menjadi tanda dan gejala terpenting dalam kehidupan, gejala utama dalam dinamika manusia, dan akar terpokok dalam ilmu pengetahuan. Musik merupakan salah satu media bahasa manusia, saat ini mulai menggeser subjek masalah sebelumnya yaitu alam (kosmosentris), agama (teosentris), dan manusia (antroposentris). Ketiga unsur ini menjadi menyatu dalam bahasa musik yang akan dihadirkan Elizar Koto (sang komposer) pada Minggu tanggal 4 Mei 2003 di sebuah desa yang bernama Pitalah Bungo Tanjung Padangpanjang.

Thursday, June 21, 2007

Waktu Batu: Tradisi Teater Rangkap Tiga


Pementasan Teater Garasi Yogyakarta
OLEH SAHRUL N
Bicara tentang identitas teater Indonesia hari ini, maka kita akan bicara tentang tiga tradisi teater, yaitu tradisi Timur, tradisi Barat, dan tradisi Timur Barat. Masing-masing tradisi teater ini memiliki bentuk dan konsep sendiri dalam menyampaikan gagasan di panggung pertunjukan. Tradisi Timur dan tradisi Barat memiliki pakem yang jelas dan terstruktur dengan baik serta memiliki penonton yang jelas. Sementara tradisi Timur Barat bisa diolah dalam bentuk eksperimentasi-eksperimentasi, sehingga daya ungkapnya lebih universal. Akan tetapi bagi Teater Garasi Yogyakarta yang melakukan pementasan di STSI Padangpanjang pada tanggal 31 Maret 2003 dengan judul “Waktu Batu (Ritus Seratus Kecemasan dan Wajah Siapa Terbelah?)” mencoba menghilangkan dikotomi Barat dan Timur dan identitas hanyalah proses untuk menuju pada ketegangan kreativitas. Semua bentuk adalah tradisi. Masa lalu, masa kini, masa datang adalah tradisi dan Waktu Batu adalah tradisi rangkap tiga.

Saturday, June 16, 2007

Koreografer Rasmida "Menghidupkan" Hoerijah Adam

OLEH SAHRUL, dosen di STSI PADANGPANJANG
Akan selalu ada peristiwa-peristiwa kembali ke cahaya, ketika seseorang merasakan zaman keemasan dari kemenangan dan sekali lagi berdiri tegak dan tak tergoyahkan, siap untuk menghadapi bahkan hal-hal yang paling keraspun, seperti sebuah busur meregang melawan bahaya-bahaya baru. Tapi, Anda adalah dewa yang tak bertuan. (Nietzsche dalam Genealogi Moral, hal: 46)
Tulisan Nietzsche di atas memiliki kesamaan dengan apa yang dilakukan oleh Hoerijah Adam semasa hidupnya. Sebagai seorang pelopor kesenian tari Minangkabau, Hoerijah Adam telah menorehkan tinta emas dan menuju pada kemenangan kreativitas. Sosoknya berdiri tegak dan tak tergoyahkan, seperti tugu estetis dalam jiwa seniman-seniman muda saat ini. Akan tetapi dalam perjalanan hidupnya ada hal-hal yang membuat dirinya menderita, seperti kehancuran rumah tangga sampai pada peristiwa tragis kematiannya. Begitu itu saja, Hoerijah Adam pun harus berhadapan dengan adat Minangkabau yang keras. Sosok perempuan di Minangkabau --mungkin juga pada etnis lain-- adalah sosok yang menjadi nomor dua. Perempuan adalah ibu rumah tangga bagi suami dan anak-anaknya. Sementara untuk dunia yang lebih luas laki-laki merasa lebih berkuasa. Dari fenomena ini, Hoerijah Adam menyongsong derasnya angin kebiasaan. Dia menantang dunia yang dikuasai laki-laki dan dia menang dalam perjuangannya. Kesendirian dalam kemenangan Hoerijah Adam sama halnya dengan apa yang dikatakan Nietzsche bahwa “Anda adalah dewa --mungkin untuk Hoerijah Adam bisa disebut dewi-- yang tak bertuan”.