KODE-4

Tuesday, February 20, 2007

Catatan Seorang Jurnalis Senior

Data Buku

Judul: Mesin Ketik Tua
Penulis: H. Kamardi Rais Dt. P. Simulie
Penerbit: Pusat Pengkajian Islam Minangkabau (PPIM) Sumatra Barat

Mei Tahun 2005
Pengantar: Khairul Jasmi
Halaman: xx + 271 Halaman

OLEH Nasrul Azwar

“Demikianlah ceritanya tentang mesin ketik tua yang sangat berjasa kepada saya sejak tahun 1970-an. Bagi saya gemerincing bunyi mesin ketik tua tersebut telah ikut memberikan inspirasi untuk menulis artikel by line di perbagai surat kabar di daerah ini. Setelah saya berpikir beberapa menit, terlintaslah dalam kepala saya jasa mesin ketik tua yang amat setia menemani saya selama berpuluh-puluh tahun. Secara spontan, terlompatlah dari mulut saya bahwa judul buku yang ada di tangan para pembaca ini namakan saja dengan Mesin Ketik Tua.”

Kutipan di atas bukan punya saya. Kalimat itu milik H. Kamardi Rais Dt P Simulie. Susunan kata-kata itu saya kutip dari pengantar penulis dalam buku itu. Mengapa saya kutip? Karena saya nilai keberadaan sebuah mesin ketik ternyata masih sangat penting di dalam jagad dijilitalisasi pada saat sekarang ini. Katakanlah, pada saat kini, dunia tulis menulis tidak bisa melepaskan dirinya dari kompeterisasi itu. Tapi, sebuah mesin ketik yang dulunya boleh disebut sebagai pelajaran wajib bagi siswa SMEA, nyatanya, buah pikiran yang dihasilkan dari sebuah mesin ketik, dan hasilnya tampak dalam wujud buku, ia mampu mencairkan perbedaaan perangkat yang digunakan. Tak ada lagi batas sebuah tulisan dihasilkan dengan apa.

Pada batas demikian, proses kadang tidak menjadi penting. Yang dilihat adalah hasil. Maka, apa yang dihasilkan dalam sebuah petualangan kreativitas menulis tidak demikian saja dapat dilepaskan dari sebuah ketekunan, ketelitian, dan kerja keras. Untuk itu, soal apa yang digunakan untuk menulis, tentu bukan masalah yang signifikansi. Dari fakta yang ada di Sumatra Barat—sekadar informasi—memang masih banyak dijumpai penulis-penulis yang berusia di atas 60 tahun mengunakan mesin ketik untuk menuangkan pikirannya. Namun, tak dapat dipungkiri, tulisan yang dihasilkan tidak kalah bernasnya dengan penulis yang memakai komputer, termasuk jika diadu dengan produktivitasnya.

Dalam buku ini, 42 buah artikel dihadirkan dengan 3 bagian: Tuangan Limbago, Kesan dan Pesan, serta Serba-serbi. Bagian “Tuangan Limbago” membicarakan tentang adat dan budaya Minangkabau. Kapasitas dan kompetensi penulisnya sebagai ketua umum LKAAM Sumatra Barat, terlihat dari tulisan dan buah pikiran yang dimuat di dalam buku ini. Cukup informatif, historistik, dan kaya dengan data-data. Dalam bagian “Kesan dan Pesan” serta “Serba-serbi”, penulisnya berbicara menyangkut sensitivitasnya terhadap persoalan sosial, politik, ekonomi, sejarah, budaya, dan juga tentang “kepergian” satu per satu tokoh-tokoh pers di Sumatra Barat, antara lain, almarhum Annas Lubuk dan Kasoema. Ada kepekaan dari seorang yang selama ini bergelut dengan peristiwa, fakta, dan data-data.

Buku ini sesungguhnya sebagai representasi dari ketekunan mencatat apa saja peristiwa yang dianggap penting dari seorang jurnalis. Selain itu, buku ini sebenarnya juga ingin mengatakan bahwa profesi jurnalis bukan semata sebagai pelapor informasi (reporter) pada masyarakat, tapi lebih jauh dari itu, jurnalis adalah seorang pencatat setiap data dan fakta yang berkembang dan menuliskannya kembali dalam wujud tulisan dengan perspektif lain. Intinya, seorang jurnalis mesti mampu menuangkan pangana-nya dalam bentuk tulisan yang dalam dan komprehensif. Buku ini layak dibaca oleh para jurnalis, budayawan, penelitis sosial dan sejarah, juga mahasiswa. ***

No comments:

Post a Comment