Tiga Narasi Perempuan
OLEH Nasrul Azwar
Pertunjukan koreografi ini memang telah lama berlalu, dan tulisan ini juga telah lama Di atas pentas Teater Utama Taman Budaya Sumatra Barat, beberapa waktu lalu, sorot lampu bercahaya temaram dan terlihat usang, menyapu bagian tengah ruang pentas. Cahaya itu membasahi sepasang tubuh yang meliuk-meliuk tegas dalam gerak silek harimau (salah satu anasir tradisi silek di Minangkabau), tampak “bertutur” dengan fasihnya tentang tatanan dan sistem adat Minangkabau yang melarang kawin sesuku. Jelas, bahasa koreografi Susasrita Lora Vianti pada malam itu memperlihatkan perlawanan terhadap sistem adat dan kekerabatan matrilineal Minangkabau, yang memang ditabukan kawin sesama suku (sepersukuan).
Tidak demikian banyak properti di atas pentas, cuma menghadirkan 30 buah piring membetuk garis lingkar di tengah pentas dengan masing-masing piring dipasang lilin yang menyala. Penerimaan dan penampakan lingkaran itu secara semiotis merepresentasikan adat dan norma-norma dalam tradisi kebudayaan Minangkabau: ia menjadi penanda dalam sistem itu. Sementara, sepasang panari, dikisahkan sebagai dua anak manusia yang saling mencintai dan berencana melanjutkan ke jenjang perkawinan—dalam gerak silek yang lentur dan bertenaga—berupaya menerobos lingkaran (adat) itu. Pada saat tertentu, sang pemudi berhasil menerobos lingkar api, sementara sang pemuda tertinggal di luar lingkaran. Silih berganti mereka menerjang masuk dalam lingkaran adat, namun ketika mereka melakukan secara bersamaan, tampak sangat sukar melewati “wilayah” yang berpagar adat itu.
Kedinamisan dan kekuatan spirit tradisi silek harimau seolah menyungesti komposisi serta laku penari di atas pentas, yang memang, tampak sangat mengesankan. Cerita dialirkan dari tubuh dua penari itu, tentu, selain properti yang dihadirkan di atas pentas. Ada kisah yang cukup komunikatif di dalamnya, dan tidak demikian sulit dipahami. Akan tetapi, dari rangkaian kisah dibentangkan, disayangkan sekali, koreografi yang dibangun dengan mengusung tema menggugat eksistensi manusia dalam sistem adat dan tradisi Minangkabau tidak disudahi dengan ending yang mengagumkan. Artinya, problem adat yang dikontruksi semenjak awal, tidak membuka “efek domino” yang mengesankan sebagai gugatan terhadap adat dan tradisi itu sendiri, serta posisi manusia di mata “hukum” adat. Cerita ditutup dengan kekalahan manusia yang digambarkan bahwa mereka harus berpisah atas nama penghormatan terhadap adat.
Kesan demikian itulah yang diresepsi dari pementasan koreografi karya Susasrita Lora Vianti dari Kelompok Ruang Eksplorasi Gerak (REG) Padangpanjang dengan judul “Memetik Api” beberapa waktu lalu, di Teater Tertutup Taman Budaya Sumatra Barat.
Malam itu, ada 3 karya koreografinya yang dibawakan. Selain “Memetik Api, juga diusung “Meja, Kursi, dan Segelas Juice yang Tumpah”, dan “Perempuan dalam Kaba”. Dua judul yang disebutkan belakangan, dalam tulisan itu tidak demikian ditonjolkan secara mendalam, akan tetapi ia tetap digunakan sebagai “bahan” pembanding. Karena, bagi saya, “Memetik Api” lebih problematik dari dua judul yang disebutkan di atas. Mengapa dua nomor itu sebagai pembanding? Alasannya, secara tematis dan problem yang ingin disampaikan, ketiga karya Susasrita Lora Vianti itu, diikat seutas “benang merah”, yaitu menyoal eksistensi perempuan dalam pelbagai aspek kehidupan, terutama dalam sistem sosial dan kultural Minangkabau. Ketiga tari itu bicara sekaitan dengan problem itu.
Gerak, laku, dimensi ruang dan waktu, properti, musik yang terintegrasi dengan tubuh penari, pencahayaan, representasi tubuh penari yang hadir di atas pentas, dan garapan tema—yang memang bukan tema baru dalam kancah kreativitas seni—tari “Memetik Api” terkesan gagap menerjemahkan dan mengaktualisasikan persoalan yang diangkat. Tema sebagai pusat laku, tampak kehilangan kontrol dan keseimbangan. Ruang imajinasi, pencitraan, simbolisasi yang dijejalkan pada tubuh, dan properti, yang telah dikontruksi dengan utuh semenjak awal, seketika, “terhenti mendadak” dan “hancur”, saat musik yang diintegrasikan pada tubuh penari tak berhasil menyatu dengan totalitas dari rangkain gerak dan elemen pendukung lainnya. Kondisi ini sangat terasa saat kedua penari silih berganti menerobos lingkaran api yang berada persis di tengah pentas. Tentu, akan lain hasilnya jika musik dilepas dari tubuh penari, efek dan capaiannya akan beda, barangkali.
Perempuan dan Posisi yang Absurd
“Memetik Api” memang agak dari beda tari “Meja, Kursi, dan “Segelas Juice yang Tumpah”, dan “Perempuan dalam Kaba”, baik konsep garapan, gerak, elemen pendukung (musik, kostum, pencahayaan) maupun efek visual yang dicapai. Namun, secara tematik, ketiga tari itu berada pada frame yang sama: eksistensi perempuan dalam sistem kekerabatan matrilineal Minangkabau.
Di atas pentas, perempuan membangun kembali sejarahnya. Sejarah perempuan yang ditafsir berada dalam kekuasaan patriaki, tampaknya mencoba menggapai posisi dan eksistensinya yang dikesankan dibelenggu oleh sistem adat. Saat itu, pentas dimaknai sebagai narasi perempuan yang sepanjang kesejarahannya dipinggirkan. Kode-kode budaya didekontruksi sebagai jawaban atas hegemoni patriaki dan dominasi kebudayaan yang memarjinalkan representasi perempuan.
Tari “Perempuan dalam Kaba”, salah satu misal, diawali dari rintihan perempuan bernama Gondan Gondoriah yang dijodohkan secara adat dengan lelaki yang bukan pilihan hatinya. Tari yang terinspirasi dari tradisi lisan bakaba Anggun Nan Tungga di Minangkabau, di tangan koreografer mengalami proses demitifikasi yang sangat berbeda dari cerita yang selama ini telah akrab di tengah masyarakat Minangkabau. Ada dekontruksi terhadap kode-kode budaya di dalamnya. Gondan Gondoriah memilih sikap menentang dominasi lak-laki dan adat. Pilihan yang justru tidak populer di mata laki-laki atau adat itu sendiri.
Di dalam dunia seni, pemilihan tema garapan yang serupa telah banyak dilakukan, akan tetapi, pada perspektif perempuan, tentu soalnya akan sangat berbeda. Mengutip Jacques Lacan, salah seorang filsuf Perancis, menyebutkan, pada bidang kebudayaan dan seni pertunjukan, kaum feminis mulai melakukan dekontruksi kode-kode dominasi budaya dalam rangka memperkuat gambaran seksual perempuan dalam sistem representasi. Semua persepsi citra muncul berdasarkan epistemologisnya, pengucapan dialog menjadi percakapan yang alami, dan bentuk representasi ditentukan oleh dominasi sistem filosofi kebudayaan secara luas.
Pada sisi ini, Susasrita Lora Vianti—yang telah malang melintang dalam dunia koregrafi Indonesia dan juga salah seorang pengajar di STSI Padangpanjang—seperti ucapan Lacan, sudah melakukan dekontruksi dominasi kode-kode budaya, walau efek yang dimunculkan tidak membuka perspektif sebagai sebuah “gerakan” yang signifikan dalam tataran praktik. Pada batas praktis, adat dan tradisi Minangkabau hingga kini masih menciptakan sejarahnya: kawin sesama suku masih dilarang keras dalam sistem adatnya.
Peristiwa dekontruksi budaya telah berlangsung di atas pentas. Tiga nomor tari yang disajikan sudah mengucapkan narasi-narasinya: eksistensi dan reposisi perempuan dalam dominasi patriaki. Akan tetapi, tampaknya, peristiwa koroegrafis malam juga ditandai dengan “kemenangan” konstruksi budaya dan adat itu sendiri. Karena pentas telah ditutup, penonton sudah pulang (barangkali sudah melupakan kesaksiannya dari peristiwa di atas pentas), sementara di luar “teks” pentas, sistem adat yang ditentang semenjak pentas gelap hingga terang-menderang kembali, terus bergerak memperkuat posisi dan dominasinya. Sedangkan sebuah karya seni (tari) telah selesai malam itu. Bukankah itu sesuatu yang absurd?***
No comments:
Post a Comment