Membaca Cerpen Indonesia Hari Ini
OLEH Nasrul Azwar
Kongres Cerpen Indonesia (KCI) IV yang dilangsungkan di Pekanbaru, Riau, pada 26-30 November 2005 telah usai. KCI IV merupakan kelanjutan dari KCI I yang dilaksanakan di Jogjakarta para tahun 2000, KCI II di Bali tahun 2002, dan KCI III di Lampung tahun 2003. Memang, galibnya setiap pertemuan, semisal KCI ini, serta merta akan menyisakan pertanyaan-pertanyaan yang sesungguhnya tidak pernah tuntas terjawab di forum demikian.
Rentetan permasalahan yang menyangkut kondisi cerpen kontemporer Indonesia, latarbelakang tematik, kecenderungan ideologi, peran penerbitan pers, posisi kritikus sastra, estetika lokal, dan historistif eksistensi cerpen itu sendiri, adalah istilah-istilah yang mengedepan dalam KCI-IV itu. Namun semua istilah-istilah tak kunjung selesai diperiksa secara benar. Ia masih terpahat di atas lembar-lembar kertas yang disajikan masing-masing pemakalah dan mengambang di atas langit-langit.
Jika demikian, pertanyaan selanjutnya adalah apa makna yang dapat dipetik dari empat kali KCI dengan empat tempat penyelenggaraan yang berdeda? Apa yang dapat disimpulkan dari beragam makalah yang direntangkan dalam diskusi di KCI itu? Benang merah macam apa pula yang menghubungkan antara kondisi kontemporer cerpen Indonesia yang setiap minggu dimanjakan surat kabar dengan minimnya kritikus di negeri ini?
Dalam perjalanannya, KCI telah dilaksanakan empat kali di empat tempat yang berlainan. Keempat KCI itu memiliki sejarah dan muatan serta hasil yang berbeda satu sama lainnya, juga tema-tema yang diangkatpun masing-masingnya berbeda. Pada KCI I di Jogjakarta tahun 2000 lebih memokuskan perbincangan seputar eksplorasi tema pada wilayah kreator (pengarang) dan kritikus yang berada di luar wilayah kreator. Dari KCI I ini lahirlah sebuah jurnal dengan nama Jurnal Cerpen yang hingga kini masih tetap terbit. KCI II di Bali pada 1-3 Februari 2002, menurut Saut Sitomorang, membuat kongres ini menjadi lebih populer dan posisinya makin penting dalam setiap perbincangan di ranah kesusastraan Indonesia. Tentang cerpen koran menjadi persoalan yang mencuat hampir setiap sesi diskusi. Selain itu, KCI II ini merekomendasikan agar pada KCI III diharapkan penyelenggara mengangkat tema tentang anatomi cerpen Indonesia. Maka, pada KCI III yang diselenggarakan di Lampung pada 11-13 Juli 2003 tema utama yang diangkat merupakan hasil rumusan dari KCI II yaitu “Memeriksa kembali anatomi cerpen Indonesia” serta sebuah tema pendukung “Membangun basis pembaca cerpen Indonesia”. Pada KCI –IV yang baru usai dilaksanakan pilihan tema yang diperbicangkan adalah “Estetika lokal”.
Tema ini sesungguhnya bukan barang baru. Hal serupa ini pernah mencuat dan menjadi mainstream dalam jagad sastra dan teater di Indonesia pada era tahun 70-an. “Kembali ke akar, kembali ke sumber” saat itu mendominasi hampir semua karya-karya yang lahir. Namun, seperti yang telah disinggung di atas, hampir semua diskusi dangan pemberian label “kongres”, tetap saja tidak akan pernah menuntaskan persoalan-persoalan yang muncul. Layaknya, “pekerjaan rumah” semua dipulangkan ke masing-masing individu untuk menyelesaikannya dengan cara masing-masing pula.
Yang membedakan dari tiga kali KCI itu dengan KCI-IV adalah disepakati lahirnya satu organisasi yang diberi nama Komunitas Cerpen Indonesia. Untuk membentuk sususan kepengurusan Komunitas Cerpen Indonesia diamanatkan kepada penyelenggara daerah Kalimantan Selatan sebagai tuan rumah untuk KCI-V tahun 2007. Kalimantan Selatan diberi kepercayaan untuk membentuk susunan pengurus, draf AD/ART-nya, selanjutnya kepengurus itu diresmikan saat dilangsungkan KCI-V di Banjarmasin. (Baca: Hasil Kongres Cerpen Indonesia-IV).
Hadirnya Institusi
Memang, pembentukan sebuah institusi untuk penulis cerpen yang telah dilabeli dengan nama Komunitas Cerpen Indonesia bisa jadi akan memunculkan pro-kontra dikemudian hari. Tapi, yang mendasari pemikiran pentingnya sebuah institusi itu bisa jadi berangkat dari pijakan yang berada di luar wilayah kreativitas penulis cerpen, wilayah yang berada di luar teks cerpen itu sendiri. Sedangkan yang kontra bisa jadi mengatakan bahwa organisasi itu bukan wilayah kreativitas dan tak ada kaitannya dengan titik yang paling personal dalam berkarya. Dua wilayah ini akan tarik menarik dan dan malah dapat mengarah menjadi kontraproduktif jika susunan dan draf yang akan diperbicangakan di KCI V tidak didasari pemikiran dan tujuan yang jelas. Tampaknya, bagi Kalimantan Selatan, amanat yang telah berada di pundak mereka mestinya disikapi hati-hati dan selalu membuka ruang komunikasi yang seluas-luasnya. Jika tidak, perseteruan akan muncul dan ini akan melelahkan.
Sesungguhnya, kehadiran Komunitas Cerpen Indonesia dapat dimaknai sebagai respons dan jawaban terhadap tuntutan logis perkambangan zaman. Dunia informasi yang berkembang sangat cepat, tidak bisa tidak, akan memberikan aksentuasi terhadap kreativitas dunia kepenulisan di Indonesia. Kehidupan manusia yang nyaris serba dijital dan “hadirnya dunia” lain di jagad maya merupakan sisi lain yang mustahil dielakkan. Maka, produk yang dihasilkan dari dunia kepenulisan cerpen mesti mampu mensinergikan wilayah perkembangannya dengan dunia dijital itu.
Komunitas Cerpen Indonesia dalam program kerjanya seyogyanya mampu menjawab tantangan itu. Tidak adanya database yang lengkap dan akurat tentang sejarah dunia kepenulisan cerita pendek di Indonesia adalah salah satu contoh langkanya informasi mengenai itu. Jikapun ada, misalnya, tempatnya pun berserakan entah di mana. Maka, sudah saatnya Komunitas Cerpen Indonesia berpikir ke arah itu untuk membangun semacam pusat data cerpen Indonesia dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi.
Apa pun yang dihasilkan dari pemikiran yang cemerlang, dan apa pun yang direkomendasikan oleh sebuah kongres, tentu tak ada artinya jika pemikiran dan gagasan itu tidak dapat dioperasionalkan, yang cuma untuk dibaca-baca saja.
Stigma Komunis Harus Dicabut
Pada sesi diskusi Kongres Cerpen Indonesia (KCI)-IV di Pekanbaru, Minggu (27/11) mencuat kepermukaan persoalan stigma komunis yang dilekatkan secara sistematis oleh Pemerintah Orde Baru kepada sejumlah sastrawan dan yang menulis berdasar inspirasi lokalitas desa. Stigma komunis itu hingga kini masih terus disandingkan kepada penulis yang beraliran realisme sosial. Stigma yang tidak mengenakkan ini diungkapkan Ahmad Tohari dalam makalahnya yang mengangkat tema “Lokalitas Desa” dalam rangkaian diskusi KOC-IV.
“Stigma komunis yang dilekatkan oleh Pemerintah Orde Baru sebagai sastrawan kiri yang komunis atau prokomunis kepada para penulis yang beraliran realisme sosial sudah saatnya dihilangkan karena bukan zamannya lagi. Banyak penulis cerpen—yang lahir dalam ruang lokalitas desa pun—banyak yang kurang berminat menjadikan kondisi “ibu” mereka sebagai sumber inspirasi karya, karena enggan dikatakan sebagai penulis yang beraliran realisme sosial,” kata Tohari.
Dia mengungkapkan, dulu—sampai tahun 1965-an—aliran ini (realisme sosial-Red) berjaya, dan memang banyak di antara mereka kemudian dicap sebagai sastrawan kiri. Kemudian terjadi stigmatisasi terhadap siapapun yang punya hubungan dengan PKI. Stigma yang dilekatkan oleh Pemerintah Orde Baru menyebabkan mengerdilnya semangat para cerpenis yang ingin “berpihak” kepada rakyat kecil. Karena istilah rakyat kecil bahkan kosakata rakyat, dianggap asosiatif terhadap semangat kiri alais komunis
“Stigmatisasi komunis terhadap cerpenis kiri yang sudah berusia 40 tahun dan sudah saatnya kita kubur. Yang jelas menjadi cerpenis beraliran realisme sosial yang mengangkat tema-tema kemiskinan, ketidakadilan, ketertidasan, kesewenangan penguasa bukanlah dosa,” tutur Ahmad Tohari.
Perjuangan atas stigmatisasi komunis pada sastrawan yang menganut aliran lokalitas desa telah lama dilakukan seperti yang menimpa Pramudya Ananta Toer. “Karyanya berhasil membuka mata batin semua orang dari seluruh dunia tentang makna kemanusian,” ungkapnya.
Ahmad Tohari hadir dalam sesi diskusi itu bersama dengan Taufik Ikram Jamil dengan makalah “Lokalitas Melayu” dan Ahmadun Y Herfanda dengan makalah “Tradisi dan Lokalitas”.
Teks Sastra yang Mandiri
Pada sesi diskusi, Senin (28/11), sastrawan Gus tf Sakai mengatakan, teks sastra sangat berbeda, bahkan bertolak-belakang, dibanding teks lain. Jika semua perangkat sistem pada teks lain bekerja dalam kerangka acuan menjadi ada, sebaliknya seluruh perangkat teks sastra direpotkan oleh persoalan bagamana menjadi tak ada. Di telinga masyarakat modern yang terbiasa dengan sifat guna dan kepraktisan, menjadi tak ada akan terdengar ganjil. Tetapi bagi teks sastra yang tak berada dalam posisi memberi “memberi” , karena sejatinya memang hanya “pembangkit” menjadi tak ada adalah keharusan.
“Menjadi tak ada di sini jelas maksudnya bukanlah nol, nihil, ataupun kosong. Lazimnya sebuah perangkat tentu saja ia hanya cara kerja khas, konsekuensi dari apa yangt disebut ‘menempatkan pembaca sebagai subjek’. Hanya dengan menjadi tak adalah teks sastra bisa memosisikan pembaca sedemikian rupa, jadi penuh dengan dirinya dengan dunia dan cara pandangnya. Nah, di tingkat (tahap) inilah teks sastra bersetuju dan bahkan lalu bersekutu dengan estetika, sekaligus tak berterima dengan lokal,” kata sastrawan Gus tf Sakai.
Gus tf Sakai mengungkapkan, karena kemampuan teks sastra berdiri di sembarang teks, maka estetika menjadikan teks sastra “terberi” ke dalam subjek apa pun itu latar subjeknya. Sementara lokal, karena sifatnya yang keras sebagai sesuatu, urusannya tak lain kecuali “memberi”, sesuatu yang karena satu dan lain hal bisa saja ditolak subjek, tak lain karena setiap subjek pada hekekatnya punya kosmologis jagat maknanya sendiri.
Dalam diri teks sastra, estetika bukan satu-satunya. Teks sastra bekerja dengan (karakter) bahasa (metaforis dan figuratif) yang memungkinkan terjadinya komunikasi semantik.
“Semacam komunikasi, di mana teks sastra tak lebih cuma media bagi subjek untuk mengaksentuasi dan “menemukan” diri. Tetapi mesti digarisbawahi, untuk dapat berkomunikasi dan menampung aksentuasi subjek, teks sastra mesti selalu tumbuh jadi entitas yang kalau tak cerdas setidaknya berwawasan,” papar Gus tf Sakai yang tampil memaparkan makalahnya bersama Joni Ariadinata dan Hamsat Rangkuti.
Sedangkan cerpenis Joni Ariadinata mengatakan pemahaman unsur lokal adalah pemahaman objek yang paling dekat secara menyeluruh. “Bagi saya, pemahaman unsur lokal bagi saya adalah persetubuhan yang tuntas terhadap tema yang dipilih,” katanya.
KCI IV yang dilangsungkan dari 26-30 November 2005 di Pekanbaru, Riau, merupakan kelanjutan dari KCI pertama di Jogjakarta tahun 2000, kedua di Bali tahun 2002, dan ketiga Lampung tahun 2003. Dalam KCI IV ini juga menampilkan pembicara antara lain Hasanuddin WS, Meliani Budianta, Nirwan Dewanto, Budi Darma, Joni Ariadinata, Maman S Mahayana, Abdul Hadi WM, dan Hamsat Rangkuti.
KCI-IV dibuka secara resmi oleh Gubernur Riau dan ditutup resmi oleh Taufik Ikram Jamil, Ketua Yayasan Pusaka Riau. Semua rangkaian acara dilangsungkan di Hotel Nuansa, Pekanbaru. Pada malamnya, setelah peserta penat menguras pikiran di siang hari, disuguhi dengan pembacaan cerpen, teater yang dibawakan oleh mahasiswa Akademi Melayu Riau (AKMR), dan penampilan kelompok musik Sagu yang kini sedang naik daun, serta musik Melayu. ***
No comments:
Post a Comment