KODE-4

Showing posts with label SAMUIKLADO. Show all posts
Showing posts with label SAMUIKLADO. Show all posts

Monday, March 24, 2008

Politik Kekuasaan sebagai Investasi

Oleh Nasrul Azwar

Kultur politik ekonomistik adalah kultur politik yang memandang kekuasaan hanya sebagai investasi. Apa yang ada di benak para calon politisi bukan idealisme, melainkan nilai tukar. Seorang calon politisi rela membayar ratusan juta rupiah karena tahu betul bahwa investasinya itu akan membuahkan hasil lebih besar. Selain itu pula, ketidakadilan sosial-ekonomi juga menciptakan kultur politik yang berseberangan dengan kesetaraan kesempatan politik bagi publik.

Gejala demikian terus menguat di negeri ini. Tren demikian makin mengeras seiring dengan penerapan pemilihan kepala daerah secara langsung. Munculnya gejolak dan protes sampai ke tingkat pengadilan dalam setiap proses pilkada di Indonesia merupakan indikator kuat untuk mengatakan kekuasaan dan uang bekerja di dalamnya. Apa yang disebut dengan kultur politik ekonomistik, kekuasaan adalah investasi menemukan wujudnya. Simaklah secara cermat, rata-rata pelaksanaan pilkada di Indonesia kerap menyulut pro kontra. Selalu bermuara pada saling klaim dan tuding. Malah bentrokan antarpendukung.

Tahun 2008 di Provinsi Bangka Belitung ini akan ramai dengan perhelatan pilkada. Paling tidak, daerah yang akan menggelar helat pilkada ini adalah Kota Pangkalpinang, Kabupaten Belitung, dan Kabupaten Bangka. Beberapa kandidat sudah mendaftarkan dirinya ke KPU Daerah masing-masing. Selanjutnya, tentu saja mereka ini akan diverifikasi sesuai dengan aturan.

Perjalanan menuju kursi kekuasaan politik, tentu saja bukan kerja seperti membalik telapak tangan. Untuk mencapai “kursi” nomor satu itu, investasi jangka pendek (paling kurang untuk masa 5 tahun bagi yang berhasil merebut kursi nomor satu dan dua) menjadi keniscayaan.

Untuk menuju kekuasan politik sepasang kandidat presiden, gubernur, bupati, wali kota, malah kepada desa yang ikut bersaing dalam sebuah pemilu, menjadi omong kosong saja jika mereka tak mengeluarkan uang sepeserpun. Mustahil saja jika mereka tak berinvestasi. Sudah menjadi rahasia umum, menjelang pilkada para kandidat bersedia menyewa konsultan politik dan lembaga-lembaga riset politik untuk program pemenangannya. Dan semua orang sudah memahami, setiap pilkada dapat diartikan sebagai lahan bisnis musiman. Malah, beberapa lembaga survei menjadikan bisnis dan usaha yang permanen dan dikelola secara profesional. Untuk menggunakan jasa lembaga ini, memang tak murah. Ratusan juta malah milyaran rupiah akan tersedot ke mereka.

Mencari Ketiak Ular

Maka, dari itu pula, politik kekuasaan yang dipresentasikan dalam pilkada dan pemilu menjadi ajang permainan kapital para kandidat yang berpunya. Dana besar identik dengan pencitraan kandidat dalam skala yang lebih luas. Kapital yang besar akan mampu memukau dan menguatkan citra di mata publik. Sepasang kandidat tampak “terbesarkan” jika mampu mengampanyekan dirinya di televisi-televisi, media cetak ternama, dan baliho-baliho besar dengan kualitas yang bagus. Dan akan menjadi tambah hebat lagi jika tim sukses mampu mendatangkan dan melibatkan remaja-remaja serta selebritis di dalamnya.

Tapi sebaliknya, akan tampak culun dan terkesan “miskin” jika sepasang kandidat datang dengan sangat sederhana dan berjalan dengan dana yang kecil. Ini jadi bumerang. Citranya menjadi turun di mata publik. Karena publik kita masih berada dalam proses belajar memahami politik dan program. Publik masih senang dengan citra glamor ketimbang program yang konkret. Yang berbau selebritas dan penuh bunga-bunga masih jadi getah yang dapat melekatkan ingatan instant publik.

Dari itu pula, publik akan merasa sangat terkesan, jika kandidat bupati atau wali kota, misalnya, mampu mendatangkan Tukul Arwana dalam sebuah kampanyenya. Atau sepasang kandidat lain bisa pula menghadirkan kelompok band yang lagi naik daun di negeri ini.

Investasi yang ditanamkan para kandidat merupakan kapital—terlepas dari mana sumbernya—ibarat sebuah usaha, pengembalian modal jadi tuntutan logis. Terlebih lagi ketika sang kandidat menang dalam pilkada. Konsekuensi yang lain lagi adalah terbukanya peluang perilaku korupsi karena harga investasi politik yang demikian besar.

Selain pengeluaran seperti itu, kontribusi dana pada satu partai politik pun harus menjadi objek limitasi. Seperti diketahui, kontribusi finansial adalah salah satu sarana paling efektif bagi kandidat atau kelompok guna mengekspresikan keyakinan politiknya (Kompas, 6 Februari 2005).

Di dalam masyarakat yang masih terkonsentrasi dalam ekonomistik-politik dan belum kuatnya kesetaraan sosial dan ekonomi, kekuasaan yang masih cenderung berada dalam lingkaran kapital, apa yang disebut dengan demokratisasi seperti utopia. Ciri masyarakat demokrasi yang sebenarnya, paling tidak bisa dilihat dari proses pelaksanaan pilkada atau pemilu. Jika kekuatan kapital yang menguasai akses politik, informasi, dan tertutupnya partisipasi publik, maka demokratisasi masih dianggap sebagai “instrumen” menyela sebuah pesta yang bernama pilkada itu.

Beberapa pengamat sosial dan politik menilai, kekuasaan politik yang identik dengan investasi, memang tak bisa berharap banyak akan tumbuhnya pastrisipasi politik publik secara terbuka. Apalagi masih tertutup kemungkinan calon di luar partai politik ikut bertarung dalam pilkada. Untuk itu pula, langkah yang bisa dilakukan untuk menekan perilaku korupsi adalah memublikasikan secara terbuka kekayaan para kandidat, dan semua publik bisa mengaksesnya. Langkah demikian ini harus dilakukan sebagai wujud kontrol publik terhadap seorang kandidat yang telah duduk sebagai pejabat publik.

Di sisi lain, mengurai rekam jejak perjalanan seorang kandidat sejak proses pencalonan sampai menuju duduk kursi kekuasaannya, memang mengesankan seperti mencari ketiak ular. Bak menelusuri lingkaran setan. Makanya, kasus korupsi dalam sebuah jajaran sulit dilacak, mark up dalam sebuah proyek, misalnya, seperti mencari jarum yang jatuh ke jerami. Ini akibat dari proses menuju tangga kekuasaan yang kental dengan pola politik adalah investasi. Artinya, ada modal dan finansial yang dipertaruhkan di dalamnya.

Selain itu, “politik balas jasa” dengan sekian banyak investor yang ikut di dalamnya, memunculkan lingkaran baru lagi. Investor yang berada dalam ring satu tim sukses akan menagih imbalan berupa proyek-proyek dan juga jabatan. Kandidat yang telah berhasil duduk seperti tak berkutik. Investasi harus menuai untung. Jerih payah menuntut imbalan.

Dari itu pula, memberantas praktik korupsi di level pemerintah daerah di negeri ini, seperti membenturkan kepala ke tembok tebal. Lingkaran setan perilaku korupsi tampaknya sudah dimulai semenjak proses pemilihan. Kecenderungan dan polarisasi kekuasaan politik di Indonesia dari semua level seolah menjadi keniscayaan dianut bahwa untuk meraih kekuasaan perlu investasi yang tak kecil. Meruyaknya korupsi di level provinsi, kabupaten/kota, departemen-departemen, lembaga peradilan, Polri dan TNI, BUMN dan juga BUMD, tidak bisa dilepas dari keterpengaruhan politik kekuasaan adalah investasi dan kapital.

Jika diikuti secara saksama kasus-kasus korupsi yang bergulir sepanjang 3 tahun terakhir di Indonesia, benang merah yang mengaitkannya adalah karena kekuasaan adalah investasi tadi.

Beberapa simpul yang menjurus ke arah praktik korupsi, taruhlah untuk Provinsi Bangka Belitung, Kabupaten Bangka, dan Kota Pangkalpinang, sebagai contoh, bisa kita pelajari dari temuan BPK yang dilansir Metro Bangka Belitung tiga edisi terakhir. Media ini merespons laporan temuan BPK tentang penggunaan dana APBD tahun 2006 untuk daerah yang disebutkan di atas tadi. Paling tidak, dari catatan BPK itu, indikasi ke arah penggunaan anggaran yang tidak proporsional dan menyalahi kepatutan dan kepatutan, serta melanggar peraturan yang berlaku banyak terjadi. APBD tampaknya seperti ATM bagi instansi dan pejabat-pejabat. Pundi-pundi dikuras tanpa ada pertanggung jawaban yang jelas. Akuntabilitas, transparansi, dan penggunaan keuangan seolah hanya cerita komik.

Entahlah, bagi saya semua bersumber dari pandangan kekuasaan yang menganggap politik kekuasaan adalah investasi dan kapital. Dan yang punya kapital dan finansial jumlahnya tak banyak di negeri ini.*

Sunday, March 23, 2008

Enaknya Menjadi Anggota Dewan

Oleh Nasrul Azwar

Menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat memang mengasyikkan. Paling tidak, sebagian hidup dibiayai dengan uang negara. Bukan saja anggota dewan yang mendapat berkah, keluarga dan anak juga kecipratan. Karena ada juga sebagian tunjangan diperuntukkan pada anak dan istri/suami. Secara moral, keluarga lainnya—di luar istri/suami dan anak—status sosial ikut terangkat juga. Maka, efek domino dari seorang yang berhasil menduduki kursi dewan, memang cukup besar.

Selain diberi gaji yang relatif besar, masing-masing anggota dewan ini juga diberi fasilitas berupa kendaraan, rumah, dan lain sebagai. Semuanya tetap menggunakan uang dari pundi-pundi anggaran pendapatan belanja daerah/negara. Jika mereka melaksanakan tugasnya, misalnya, membahas anggaran, atau RUU, Ranperda, dan jenis-jenis rapat lainnya, atau bikin pansus, kunker, studi banding, mereka juga diberi uang lelah/saku dari situ, walau mereka sudah digaji jutaan rupiah.

Untuk masalah yang terkait dengan besarnya tunjangan dan fasilitas yang diterima anggota dewan di pusat dan daerah, yang belakangan menuai protes adalah sewa rumah sebesar Rp13 juta/bulan bagi anggota DPR. Dan yang juga cukup membuat masyarakat Bangka Belitung geram adalah rencana pembahasan APBD 2008 di sebuah hotel di Kota Pangkalpinang. Kritikan keras masyarakat menyurutkan rencana ini.

Tapi, buat DPRD Kabupaten Bangka, yang dapat pinjaman motor dan mobil dinas baru, seolah cuek-cuek saja mendengar kritikan masyarakat. Kini masing-masing anggota dewan sudah menggunakan motor pinjaman dari Pemerintah Kabupaten Bangka berupa motor jenis vario. Bagi anggota dewan ini, tak ada urusan apakah motor itu digunakan atau tidak: yang penting terima saja dulu.

Menjadi anggota dewan dan duduk di kursi empuk dengan ruang ber-ac semerbak dengan harum bunga, dan semua kebutuhan disediakan oleh negara, memang menjadi cita-cita banyak orang. Artinya, ada kehidupan yang cukup menjanjikan di sana.
Paling tidak, setelah duduk di sana, status sosial akan terangkat, derajat akan naik. Di tengah keluarga, menjadi anggota dewan dipandang kedudukan yang bergengsi. Berwibawa. Dan dianggap tahu semua masalah yang terjadi di tengah masyarakat. Pokoknya, menjadi anggota dewan itu, semuanya seperti terangkat.

Untuk menuju ke sana, memang banyak juga rintangannya, walau banyak juga yang sampai ke kursi dewan itu demikian mudahnya. Mulus-mulus saja. Karena proses pemilihan anggota dewan sekarang ini beda dengan yang sebelumnya—walaupun beda tapi substansinya tak berubah—dipilih langsung sesuai nama yang dicalonkan, tentu saja “menjual” program kepada masyarakat menjadi yang utama.

Dahulunya, saat menjelang pemilu legislatif, calon-calon anggota dewan ini mencoba mendekatkan dirinya ke masyakakat, memberikan janji untuk memecahkan permasalahan masyarakat, dan kadang mau memastikan menggratiskan biaya sekolah. Demikian kira-kira cara mereka mengambil hati masyarakat. Mereka merayu dan membius publik dengan janji-janji. Tapi tujuannya adalah pilih saya.

Untuk melakukan pendekatan dan bujuk rayu itu, tentu saja membutuhkan dana yang cukup besar. Karena setiap berkumpul dengan masyarakat, minimal nasi bungkus dan baju kaus harus disediakan caleg bersangkutan. Besaran dana yang dikeluarkan, tergantung pada caleg untuk dewan yang mana: jika caleg untuk provinsi, tentu biayanya akan beda dengan caleg untuk kota/kabupaten. Tapi yang jelas, semuanya caleg dipastikan merogoh kantungnya untuk biaya ini-itu

Kini, mereka yang sudah duduk sebagai anggota dewan—bagi yang belum beruntung, bertarung saja pada pemilu yang akan datang—kini sedang menikmati enaknya menjadi anggota dewan.

Bagi rakyat yang sudah memilih seorang caleg di saat pemilu lalu, dan kebetulan “berhasil”, saat sekarang tinggal menyaksikan bagaimana “tipu muslihat” dan “bujuk rayu” dulu itu terbukti hanya pemanis saja. Hanya omong kosong. Hanya bualan. Suara rakyat suara Tuan (bukan Tuhan), menemukan pembenarannya. Tuan-tuan yang berada di gedung megah yang berstatus sebagai wakil rakyat itu membenarkan bahwa dirinya berada di sana karena suara rakyat, tapi kini lebih mengutamakan suaranya, dirinya sendiri.

Dari itu pula, dua kali pemilu setelah reformasi, yaitu 1999 dan 2004, sangat mengesankan tak memberi apa-apa bagi rakyat. Malah mengesankan menyebalkan masyarakat. Semenjak dari dugaan korupsi berjamaah yang dilakukan hampir semua anggota dewan di Indonesia sampai upaya memperbesar tunjangan dan gaji mereka, setiap saat jadi sorotan publik, dan malah ada yang mengatakan anggota dewan tak punya perasaan dan sikapnya menzalimi amanah masyarakat.

Beberapa pengamat sosial politik menilai, kinerja dewan di terutama di tingkat lokal memang memprihatinkan. Persoalan pengalaman, latar belakang pendidikan, serta lemahnya kemampuan berargumentasi (ini juga menyangkut rendahnya pengalaman organisasi), tidak responsif, sering telat bertindak, membuat mereka seperti berjarak dengan eksekutif. Pemerintah terlihat jauh di depan. Perbedaan demikian sangat kentara sekali saat pembahasan anggaran dan juga penerima laporan pertanggungjawaban pemerintah. Legislatif seperti “dikadalin” eksekutif .

Beberapa waktu lalu, Pedagang Pasar Pambangunan dan Sekitarnya (P4S) menyampaikan aspirasinya ke DPRD Kota Pangkalpinang. Pengaduan ini terkait dengan penghapusan aset yang direkomendasikan Pansus DPRD Pangkalpinang. Tapi apa mau dikata, di kantor wakil rakyat itu tak satupun anggota dewan yang ada. Semua anggota dewan pergi ke Jakarta dengan berbagai alasan. Akhirnya, pedagang yang tergabung dalam P4S kecewa.

Ini sudah jadi fenomena di daerah-daerah yang baru dimekarkan atau sedang berkembang, termasuk tentu saja Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Pengalaman panjang eksekutif di birokrasi dan penguasaan mereka terhadap data-data juga soal teknis, “memaksa” legislatif menerima saja laporan eksekutif. Fungsi pengawasan legislatif terhadap eksekutif selama ini hanya sebatas menerima laporan saat diadakan rapat, hearing, dan dengar pendapat secara formal. Dan jarang sekali legislatif berinisiatif mengecek ke lapangan kebenaran laporan sebuah instansi.

Kasus peminjaman motor dan mobil dinas kepada DPRD Bangka oleh Pemerintah Kabupaten Bangka, misalnya, adalah perkara yang cukup unik dan terbilang aneh. Di mana unik dan anehnya? Pertama soal lembaga mana yang pertama berinisiatif mengajukan gagasan pembelian kendaraan itu. Kedua, jenis kendaraan motor yang dipinjamkan eksekutif untuk operasional legislatif itu tidak mempertimbangkan asas manfaat dan keefektivan.

Pihak legislatif (DPRD Bangka) mengatakan, inisiatif pembelian motor untuk dewan datang dari Pemkab Bangka. DPRD merasa tak pernah mengajukan anggaran untuk hal demikian itu. Malah, pihak sekretaris dewan mengakui tidak pernah diajak dan terlibat sema sekali dalam proses pembelian motor itu. Sementara, pihak eksekutif (Pemkab Bangka) beralasan, semua anggaran yang ada dalam APBD berasal dari pengajuan instansi masing-masing, termasuk DPRD Bangka. Namun demikian, ada juga kalangan anggota dewan di Bangka yang mengakui, bahwa DPRD Bangka kecolongan dan terkesan “ditipu” eksekutif.

Demikianlah negeri ini diurus dan diatur dengan saling “memakan”. Legislatif memakan eksekutif, dan sebaliknya. Sementara rakyat korban dari “kanibalisme” itu. *

Monday, February 18, 2008

Pahlawan Nasional untuk Tokoh PRRI?

OLEH WISRAN HADI
Mustahil itu bisa terjadi! Bagaimana mungkin bisa diberikan gelar pahlawan nasional kepada tokoh-tokoh PRRI, ketika semua pikiran rakyat Sumatra Barat sampai hari ini masih menganggap bahwa pergolakan daerah yang disebut PRRI itu sebagai sebuah pemberon­takan.

Dari sisi pemerintah pusat di Jakarta, memang pergolakan daerah seperti itu dianggap pemberontakan. Tapi dari sisi Sumatra Barat sendiri, apakah PRRI juga dianggap pemberontakan?

Bukankah kehadiran PRRI merupakan representasi keinginan rakyat Sumatra Barat terhadap sistem sentralistik Jakarta, dan keinginan untuk membagi kue pembangunan dan kekuasaan, antara daerah dan pusat berada dalam sebuah keseimbang yang adil?

Bukankah pergolakan tersebut merupakan cetusan kehendak dari keinginan untuk mendapatkan otonomi daerah, agar masing-masing daerah dapat membenahi dirinya menurut kemampuan yang ada di daerah tersebut?

Mungkin saat ini kita perlu kembali untuk mengkaji ulang tentang keberadaan PRRI. Dua rezim terdahulu; Soekarno dan Soeharto telah meluluh lantak­kan keberadaan PRRI, baik secara fisik maupun politik, karena dianggap sebagai tandingan dari pemerintah pusat yang sah.

Kedua rezim terikat dengan pengertian kata PRRI, tetapi tidak memasuki esensi persoalan dengan lebih objektif. Ketika seorang wartawan sekaligus sastrawan Soewardi Idris menu­lis berpuluh cerita pendeknya tentang keterlibatannya dengan PRRI, dan berpuluh eseinya tentang pergolakan daerah tersebut, mungkin kita tersentak membacanya.

Sampai akhirnya kita dapat menemukan berbagai hal yang penting untuk keberadaan kita hari ini. Bahwa, pergolakan daerah yang merebak dan meletus begitu cepat dan padam begitu cepat pula, perlu mendapat apresiasi yang wajar.

Mungkin saja para tokoh PRRI masih terbelenggu dengan tudingan bahwa mereka adalah “pemberontak”, tetapi dari hari ke hari bahwa apa yang diperjuangkan para tokoh itu untuk mendapatkan otonomi daerah, untuk mendapatkan perlakuan yang pantas dan seimbang bagi setiap daerah di wilayah NKRI kian terasa dan nyata.

Apakah kita begitu teganya menghapus apa yang diperjuangkan para tokoh itu beserta rakyat Sumatra Barat dipinggirkan begitu saja, dihapus, tidak diapa siapakan lagi?

Sebagai sebuah mata rantai dari sejarah kebangsaan, peristiwa pergolakan daerah yang dimotori oleh PRRI tidak perlu disembun­yikan. Jika pengkhiatan PKI terhadap republik ini makin hari makin dimaafkan, lalu kalau kita boleh membanding, seberapa benarlah “dosa” PRRI terhadap negeri ini dibanding dengan pengk­hiatan partai komunis itu?

Sampai saat ini, baik pemerintah daerah mapun tokoh-tokoh politik selalu menghindar bila bicara hal-hal yang telah lalu.

Masalah PDRI dan masalah PRRI sama-sama dianggap sebagai “masa lalu” yang tidak perlu diungkit lagi, karena dianggap dapat menggelisahkan kedudukan beberapa tokoh-tokoh.

Begitupun tokoh-tokoh PRRI, yang tentunya mereka sudah banyak yang meninggal, tua renta, juga tidak dapat menjelaskan secara lebih gamblang kepada generasi berikutnya, kenapa mereka terlibat dalam “dosa” yang tidak dapat diampuni itu?

Dalam konteks ini, posisi Soewardi Idris sebagai “pembawa berita” dan “penyampai khabar” terhadap bagaimana kemelut itu dirasakan, dialami oleh rakyat Sumatra Barat sangatlah penting. Dua bukunya yang diluncurkan oleh TVRI Sumbar 15 Februari 2008;

Kumpulan cerpen “Pergolakan Daerah” dan setumpuk esei tentang pergolakan daerah itu “Perjalanan dalam Kelam” adalah sesuatu yang dapat disebut sebagai “catatan kebudayaan” dari perjalanan sejarah bangsa ini.

Tapi benar juga, sedangkan pergolakan daerah yang telah begitu banyak memakan korban, nyawa dan harta benda tidak mendapat perhatian yang layak dari generasi hari ini, apalagi Soewardi Idris-nya.

Begitulah sifat kita yang kurang terpuji. Kekalahan PRRI dianggap pemberontakan. Bagaimana sekiranya PRRI menang? Mungkin jika PRRI itu menang, akan berbondong-bondong pula rakyat Sumatra Barat ini mengusung tokoh-tokohnya untuk diusulkan menjadi Pahlawan Nasional.

Memang, tidak ada tokoh yang kalah dibuatkan sejarahnya. Artinya sejarah kekalahan termasuk “aib” dari sebuah masyarakat yang sombong. Tapi bagaimana pula dengan Imam Bonjol yang ditangkap Belanda, yang dituduh pula oleh Belanda sebagai pengacau dan pemberontak?

Imam Bonjol kalah dari Belanda, namun dia dipandang terbalik oleh bangsa Indonesia; dia pahlawan.

PRRI kalah oleh pemerintah pusat, lalu apakah rakyat Sumatra Barat berani memandangnya terbalik sebagaimana mereka memandang Imam Bonjol; bahwa PRRI telah berjuang untuk mencegah munculnya pemerintahan yang otoriter; bahwa PRRI telah berusaha untuk mendapatkan otonomi daerah dan setelah berjarak 50 tahun barulah otonomi itu dapat dilaksanakan sedikit-sedikit.

Walau sudah 50 tahun peristiwa PRRI itu berlalu, namun kita tetap kehilangan nyali untuk memberikan apresiasi.

Akankah kita, masyarakat Sumatra Barat ini, terus menjadi orang-orang yang tidak mampu lagi untuk berterima kasih? ***
Sumber: Harian Singgalang, 16 Februari 2008

Tuesday, November 6, 2007

Pemekaran Agam dan Problem Nagari

Oleh Nasrul Azwar


Persoalan menolak atau menerima Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 84 Tahun 1999 (PP No 84/1999) tentang perubahan batas wilayah Kota Bukittinggi dan Kabupaten Agam, hingga kini masih berlangsung. Jika dihitung, PP 84/1999 yang dinilai sarat dengan rekayasa itu, kini telah berusia 8 tahun. Tapi, ujung dari drama “hukum” ini belum tampak ke arah mana cerita diakhiri.

Jika diamati lebih saksama, persoalan PP 84/1999 selalu “menghangat” lagi setiap habis Lebaran: saat tokoh-tokoh yang selama ini berada di perantauan (atau yang merasa tokoh di tengah masyarakat) yang berasal dari Agam, Bukittinggi, atau Sumatra Barat secara umum, pulang kampung berlebaran. Momen Lebaran biasanya diikuti dengan “pertemuan”, “silaturahmi”, “halalbilhalal”, serta bentuk lainnya. Saat itulah, kerap muncul pernyataan seputar soal PP 84/1999, dan diikuti dengan polemik pro-kontra. Semua itu dapat disimak di media massa.

Namun kini, tren mengeluarkan pernyataan oleh “tokoh-tokoh” itu tidak lagi seputar PP 84/1999, telah ditukar dengan wacana pemekaran Kabupaten Agam, yakni dengan mendirikan kabupaten baru dengan nama Kabupeten Agam Timur (Agamtuo), walau kadang dikaitkan juga dengan pro-kontra PP 84/1999.

Gagasan pemekaran itu—seperti biasanya perangai tidak populer politisi lokal— selalu pula disangkutkan kepada keinginan dan aspirasi masyarakat, percepatan pembangunan, memudahkan urusan dan pelayanan masyarakat, dan ini yang unik, pemekaran dianggap sebagai solusi terbaik untuk menyelesaikan PP 84/1999.

Seminggu setelah Lebaran tahun ini, gagasan pemekaran Agam menghiasi halaman-halaman surat kabar yang terbit di Padang. Setiap hari tertulis pernyataan-pernyataan dari tokoh-tokoh dan lembaga yang selama ini menyuarakan penolakan terhadap PP 84/1999, misal DPRD Agam. Seperti biasanya, sambil bersilaturahmi ke wakil rakyat ini, segerombolan orang-orang dengan mengatasnamakan masyarakat, menyatakan telah menyampaikan ke DPRD Agam aspirasi rakyat untuk pemekaran dan lain sebagai. Dan ucapan mereka dikutip oleh wartawan yang berpos di gedung DPRD itu. Maka, masukan koranlah tokoh-tokoh itu Kondisi ini sama juga terjadi tahun-tahun sebelumnya. Tapi kini isunya dialihkan ke pemekaran: tampaknya isu pemekaran memang sedang naik daun di negeri ini.

Lahirnya keinginan untuk memekarkan Kabupaten Agam, memang bukan kemauan yang dimunculkan kemarin sore. Ia lahir hampir berbarengan dengan keluarnya PP No 84/1999 yang ditandatangani Presiden BJ Habibie pada tanggal 7 Oktober 1999.

Dalam “sejarahnya”, gagasan pemekaran Agam ini disuarakan Lembaga Koordinasi Penampung dan Penyalur Aspirasi Masyarakat Agamtuo sebulan sebelum PP 84/1999 disahkan. Rencana pemekaran itu “dideklarasikan” dalam Musyawarah Kerapatan Adat Nagari bersama pemuka masyarakat se-Agamtuo di Gadut pada tanggal 22 September 1999. Tokoh-tokoh nagari yang berada di Agam Timur, ketika itu berpendapat, pemekaran Kabupaten Agam sangat perlu sekali. Pemekaran itu berorientasi pada optimalisasi pengembangan potensi wilayah masing-masing. Jadi, dengan demikian, pemekaran Kabupaten Agam bukan untuk memecah belah orang Agam.

Munculnya PP 84/1999—tak beberapa lama setelah wacana pemekaran bergulir—gagasan pemekaran seperti mati pucuk. Tenggelam karena kontroversi pro-kontra PP 84/1999. Selain itu, jika PP 84/1999 direalisasikan, maka gagasan pemekaran Agam tak ada gunanya lagi. Sebab, dalam PP 84/1999, wilayah yang masuk dalam tapal batas sebagian besar adalah nagari-nagari yang akan dijadikan kabupaten Agamtuo itu. Dalam PP 84/1999, nagari-nagari itulah yang “diambil” Kota Bukittinggi, yaitu Cingkariang, Gaduik, Sianok VI Suku, Guguk Tabek Sarojo, Ampang Gadang, Ladang Laweh, Pakan Sinayan, Kubang Putiah-Banuhampu, Pasia IV Angkek, Kapau, Batu Taba IV Angkek, dan Koto Gadang. Kini, isu itu tampaknya mendapat nyawa baru lagi. Akibatnya, hiruk pikuklah mereka menyuarakan pemekaran.

Membaca konstelasi politik yang berkembang di tingkat lokal Agam-Bukittinggi, dengan isu pemekaran, membatalkan PP 84/1999 menjadi sangat penting dan signifikans. Dan ini kayaknya dimanfaatkan secara baik para politisi lokal dengan target tertentu, tentunya.

Sementara, melihat respons masyarakat di tingkat akar rumput, untuk mendirikan kabupaten baru, bagi mereka bukan cerita yang mengasyikkan. Toh, hadirnya kabupaten baru belum menjamin terangkat derajat kehidupannya. Malah, akan membuat kandang-kandang baru pejabat negara untuk mengorupsi uang rakyat.

Dari tahun ke tahun, sejak PP 84/1999 disahkan sebagai produk hukum formal, yang juga memunculkan sederet ekses yang mengikutinya, permasalahannya bukan sekadar PP itu lagi, tapi telah bakisa ke masalah politik. Ia sudah menjadi konsumsi para elit politik lokal. Politisi pusat yang selama ini hanya pulang kampung saat Lebaran, memanfaatkan sentimen primordial, dan rasa kenagarian sebagai bahan untuk “dilemparkan” ke tengah publik dan ranah politik. Ia seolah representasi kepentingan masyarakat luas. Namun sesungguhnya, ia punya target politik untuk pemilihan umum selanjutnya.

Dari itu pula, bagi saya, membuang isu-isu ke tengah masyarakat dengan klaim sebagai aspirasi dan kepentingan kesejahteraan masyarakat, misalnya, tentang pemekaran Agam itu, jika itu berasal dari mulut seorang politisi, anggap saja sebagai omong kosong: Kita masukkan saja dalam tong sampah yang ada di depan halaman rumah kita.

Dalam kondisi negeri yang masih mencoba merangkak untuk memulihkan nasib mereka akibat bencana alam gempa bumi, mengapungkan keinginan untuk memekarkan Agam, saya kurang bijak. Kurang tepat. Dan tidak perlu. Karena problem utama masyarakat dan nagari-nagari yang berada Agam Timur, bukan pemekaran. Pemulihan ekonomi, kesejahteraan yang rendah, dan tingginya angka pengangguran dan kemiskinan di nagari-nagari Agam Timur, adalah persoalan yang sesungguhnya mesti dicarikan solusinya.

Angka kemiskinan diperkirakan naik drastis pascagempa bumi yang meluluhlantakkan beberapa nagari di Agam Timur pada Maret 2007 lalu. Angka anak putus sekolah akibat kemiskinan juga menjadi problem utama dihadapi hampir setiap nagari di Agam Timur. Rendahnya asupan gizi bagi balita juga jadi soal yang tidak bisa dibiarkan. Tingginya angka kriminal juga menjadi masalah hampir setiap nagari. Rendahnya kemampuan sumber daya manusia mengelola nagari, juga jadi soal yang sangat signifikans.

Fakta menunjukkan, rata-rata nagari-nagari di Agam Timur (juga termasuk nagari-nagari yang ada di Sumatra Barat) tak mampu secara mandiri menghidupi roda pemerintahannya. Semua tergantung pada alokasi dana dari pemerintah. Semua aktivitas nyaris berharap dari dana pemerintah. Karena lemahnya pengetahuan, kurangnya sumber daya manusia yang lebih dinamis dan kreatif, nagari-nagari di Sumatra Barat seperti kehilangan gairah: tampak mati suri. Yang hadir mengisi nagari-nagari itu orang-orang tua yang telah berusia lebih 60 tahun. Dan perhatikan agak serius, semua persoalan demikian itu dihadapi nagari-nagari di Agam Timur. Ini permasalahan yang sangat mendesak untuk dicarikan jalan keluarnya.

Persoalan PP 84/1999 biarkan saja seperti itu. PP 84/1999 tidak akan mengubah nagari-nagari di sekitar itu menjadi hebat dan maju. Demikian juga dengan pemekaran Agam, juga tak ada kepastian dengan hadirnya Kabupaten Agamtuo, nagari-nagari yang masuk ke dalamnya akan menjelma sebagai nagari yang mandiri, kuat, dan masyarakatnya sejahtera.

Tanpa PP 84/1999 dan pemekaran Agam, anak nagari akan tetap seperti itu, karena bukan kedua hal itu yang akan mengubah nagari menjadi maju, tapi kemauan secara tulus anak-anak nagari bersangkutan membangun kampung halamannya. Sumber daya manusia yang cerdas, terlatih, terampil, dan punya jaringan yang kuat dengan lembaga-lembaga lain yang bisa mengembangkan kampung halamannya, untuk satu nagari saja, mereka bertebaran di setiap pelosok negeri ini. Jika mereka rela mengalokasikan waktunya 1 jam dalam sehari untuk kampung halamannya, pastilah nagari di Minangkabau tidak seperti sekarang ini kondisinya: hidup enggan, mati tak mau.***

Sebuah Cerita tentang Wakil Rakyat

Oleh Nasrul Azwar

Teman saya bercerita tentang kurenah salah seorang anggota DPRD yang berasal dari sebuah kabupaten di Sumatra Barat. Nama anggota wakil rakyat ini, sebut saja DR (HC) Sidi Ambin. Dia diuntungkan oleh sistem pemilu. Entah bagaimana logika hitungannya, Sidi Ambin tiba-tiba saja sudah duduk di kursi empuk DPRD dari Partai ESQ, sebut saja dulu demikian. Gelar yang melekat di namanya itu, yang tak boleh lupa menuliskannya, tak jelas riwayat dan sejarah peraihannya. Tiba-tiba saja ada.

Cerita teman saya itu begini. Seperti lembaga lainnya, anggota DPRD tentu memunyai wadah organisasi untuk berkumpul sesama anggota legislatif. Nama wadah itu Asosiasi Anggota DPRD Seluruh Indonesia (AADSI), sebut saja seperti. Hal yang sama juga dilakukan sesama gubernur, bupati, dan walikota se-Indonenesia. Untung saja presiden cuma satu di negeri ini, kalau lebih, tentu akan muncul pula asosiasinya.

Suatu kali, AADSI menggelar pertemuan di Kota Jayapura, Provinsi Tanah Papua. Semua anggota DPRD diharapkan hadir di kota ini. DR (HC) Sidi Ambin jauh-jauh hari telah menyiapkan keberangkatannya. Baginya, ini pertemuan akbar yang maha penting.

Seperti biasa, pihak sekretariat DPRD menyiapkan segala sesuatunya secara makisimal, termasuk tiket yang dipilih executive. Sebanyak 25 orang anggota dewan berangkat berbarengan dalam satu pesawat. Sepanjang hidung ditampuah angok, ini pertama kali DR (HC) Sidi Ambin naik persawat. Kalau bukan anggota legislatif, mungkin ia tak akan pernah naik patatabang.

Dengan kepercayaan diri yang penuh dan sedikit menegakkan kepala (maklum anggota legislatif), bersama rombongan, DR (HC) Sidi Ambin menelusuri koridor Bandar Udara Internasional Minangkabau. Dan terus masuk ke pintu pesawat. Hatinya gembira. Dia pilih kursi dekat jendela. Dihempaskan tubuhnya di kursi itu. Saat bersamaan, seorang pramugari mendekati DR ((HC) Sidi Ambin.

Pramugari itu berkata: “Bapak mesti pindah duduk, Pak. Bapak kan mestinya di executive?”

Langsung saja DR ((HC) Sidi Ambin menghardik, “Tidak! Tidak! Saya bukan executive. Saya legislatif!”

Tidak mengerti maksud penumpang yang satu ini, dengan kebijakannya sendiri, pramugari itu membiarkan saja DR ((HC) Sidi Ambin duduk di kursi yang dipilihnya itu.

DR ((HC) Sidi Ambin pun kembali melihat ke kiri-kanan, dan atas. Tampaknya, ia mengamati semua sudut dan tempat dari kursinya. Sabuk pengaman sudah dikenakan, dan ketika itu pula ia nyaris berteriak ke penumpang di sebelahnya. Dengan bahasa ibunya, DR ((HC) Sidi Ambin bersorak: “Oi sanak, batau juo kecek urang nan alah naik patabang ko yo. Dari ateh patabang ko, yo nampak sagadang samuik urang-urang nan di bawah tu.”

“Patabang ko alun tabang lai, Pak. Masih maagekkan masinnyo. Nan Apak caliak tu, sabana samuik e,” kata penumpang di sebelahnya.

“Oooo!”

Akhirnya, setelah melewati tiga kali transit, rombongan mendarat di Bandar Udara Sentani Jayapura. Di sini mereka dijemput dan diantar panitia ke tempat pertemuan, di sebuah hotel yang cukup besar.

Setelah beristirahat sejenak, semua tamu dijamu makan malam. Karena anggota legislatif seluruh Indonesia ini berasal dari berbagai agama yang berbeda, tentu panitia menyediakan dan membagi tempat sesuai dengan menu agama masing-masing.

Manconconglah DR ((HC) Sidi Ambin sambil mencingangak di dekat meja panitia. Lalu dengan ramah dan bahasa yang lembut, panitia pun bertanya kepada DR ((HC) Sidi Ambin.

“Maaf Pak, Bapak muslim atau...”?

“Siapa bilang saya muslim. Saya Sidi Ambin. Muslim itu Bupati Padang Pariaman (maksudnya Muslim Kasim),” jawab DR ((HC) Sidi Ambin tegas dan penuh percaya diri.

Tapurangah panitia mendengan jawaban anggota legislatif ini. Dan dia pun membiarkan DR ((HC) Sidi Ambin berlalu entah ke meja mana.

Tiga hari pertemuan itu digelar. Peserta pun kembali ke tempat masing-masing. Banyak juga yang memperpanjang harinya di daerah paling Timur ini. Tapi, rombongan DR (HC) Sidi Ambin langsung pulang sesuai jadwal.

Sesampai di Bandara Cengkareng, DR ((HC) Sidi Ambin tampak tergesa-gesa. Kawan-kawan yang lain heran. Tagageh bana DR ((HC) Sidi Ambin di bandara itu. “Manga tagageh bana, Pak Sidi,” kata salah seorang dari rombongan.

“Oi ngangak bana kalian di Jakarta ko ma! Itu hah, lai tampak dek Apak-apak merek tu: BAGGAGE,” jawab DR ((HC) Sidi Ambin sambil tangannya menunjuk sebuah tulisan yang tergantung di dekat pintu masuk. “Disuruahnyo bagageh awak!”

Semua teman-teman DR ((HC) Sidi Ambin pun tersenyum, tapi DR ((HC) Sidi Ambin tak hirau. Dia tetap bergegas.

***

Anekdot seputar anggota legislatif itu bukan tidak punya latar belakang sosial. Paling tidak, indikasi munculnya bisa saja terkait sikap yang menyebalkan dan juga pandangan yang sinis terhadap tabiat wakil rakyat selama ini.

Buktinya, pada harian Singgalang, Rabu, 24 Oktober 2007, menurunkan 3 berita tentang perangai memuakkan anggota DPRD. Dua berita pada halaman 1 dan satu berita halaman 4. Berita itu intinya berkaitan dengan perempuan. Pada pertengahan Agustus tahun ini, dua orang anggota DPRD ditangkap polisi di sebuah hotel di Bukittinggi. Mereka dituduh menggunakan sabu-sabu dan berbuat mesum.

Selain itu, menjelang Lebaran masyarakat Sumatra Barat juga dibuat bingung: sebagain besar anggota DPRD Sumatra Barat periode 1999-2004 (45) orang sudah dinyatakan bersalah secara hukum dan kasasinya juga ditolak MA, dan sudah memunyai kepastian hukum untuk dijebloskan ke panjara, ternyata bertolak belakang dengan 10 orang anggota lainnya; kasasi mereka diterima MA, dan dinyatakan bebas.

Jika dideretkan dua tahun terakhir, berjuntai-juntai panjangnya perangai anggota DPRD di Sumatra Barat yang membuat masyarakat tidak habis pikir: mengapa hal-hal yang melanggar asas kepatutan, norma-norma itu dilakukan?

Tapi, itulah realitas. Realitas anggota legislatif. Wakil rakyat yang dipilih rakyat. Bukan tak mungkin, bahwa anekdot yang diceritakan teman saya itu, betul-betul terjadi di negeri ini. Jika memang demikianlah kualitas sumber daya dan mentalitas anggota legislatif itu: rata-rata selevel dengan DR ((HC) Sidi Ambin. ***

SUMBER: Harian Singgalang, Rabu, 31 Oktober 2007

Bajulo-julo Membangun Dinding Laut

Oleh Nasrul Azwar

Setelah artikel saya tentang perlunya dinding laut dibangun sebagai salah satu bentuk upaya antisipasi gelombang Tsunami yang didirikan sepanjang pantai Sumatra Barat dimuat di surat kabar ini (Singgalang, 22/10/2007), dan keesokan harinya muncul tulisan Emeraldy Chatra (Padang Ekspres, 23/10/2007), dalam nada yang sama, saya mengirim pesan singkat ke telepon genggam Wali Kota Padang Fauzi Bahar.

Isinya: “Bagaimana pendapat Bapak tentang gagasan membangun dinding laut di sepanjang pantai Sumatra Barat itu, terutama Pantai Padang, yang yang turun di dua surat kabar itu?” Wali Kota menjawab: “Sebagai sebuah wacana atau gagasan, cukup bagus. Dan ini perlu diwacanakan secara luas. Jepang telah membuktikan, dan tembok itu sangat bermanfaat besar bagi masyarakatnya.” Lalu saya balas: “Bagaimana dengan Kota Padang, apakah bisa dirancang pembagunannya? Dan ini saya kira tidak menggaduh benar dengan perencanaan pembangunan kota ini ke depan.” Dijawab: Ya, semua itu akan berpulang pada anggaran. Anggaran sangat terbatas.” Sampai di situ kami “berdiskusi”.

Bagi saya, membangun dinding laut—jika dapat didirikan di semua jalur pantai di wilayah Sumatra Barat—merupakan pilihan yang sangat tepat. Kota Taro dan Pulau Okushiri di Jepang telah melakukan ini. Daerah di Jepang ini terkenal rawan diterjang Tsunami. Maka, bersama masyarakatnya, pemerintah membangun dinding raksasa sepanjang pantainya. Lebar dinding itu 15 meter, tinggi 10 meter.

Kahadiran dinding itu menghadirkan kenyamanan bagi penduduknya beraktivitas. Walau terkesan kota itu terkurung, tapi saat gempa yang berpotensi Tsunami datang, mereka tidak lagi terfokus memikirkan air laut bergulung yang akan melindas isi kota, tapi penyelamatan dari bencana gempa belaka.

Menyangkut dana pembagunannya, seperti yang dikeluhkan Fauzi Bahar, yang memang akan menelan dana besar, saya kira untuk sementara dipinggirkan dulu. Yang utama adalah prinsip. Apakah secara prinsip pemerintah bersama dengan wakil rakyat setuju membangun tembok atau dinding laut itu? Jika secara prinsip setuju, baru kita bicara pola dan strategi penggalangan dana untuk membangun dinding laut itu. Saya andaikan saja pemerintah setuju secara prinsip. Masyarakat? Pasti mendukung gagasan ini sebab menyangkut keselamatan jiwa.

Pola dan strategi pengumpulan dana pembagunan itu saya sebut saja gaya julo-julo dan pastisipasi masyarakat secara total. Di luar itu gaya julo-julo ini, pemerintah, tentu saja tetap mengupayakan proyek pembangunan ini mendapat dana dari mana saja, dan secara berkesinambungan mengalokasikannya di APBD, termasuk kabupaten dan kota yang dilewati pembangunan tembok itu.

Dengan difasilitasi pemerintah, bersama masyarakat dibentuk tim yang efektif atau bisa juga memanfaatkan lembaga yang sudah ada, seperti BAZIS, menggalang dan mengumpulkan dana dari masyarakat sebesar Rp 5.000/bulan setiap kepala keluarga (KK) yang ada di Sumatra Barat dan orang awak yang ada luar Sumatra Barat. Dana yang terkumpul inilah sebagai “modal” untuk membangun dinding itu. Soal teknis dan mekanismen pengumpulan dana bisa diatur dalam pola kerja yang terkoordinatif dan terkontrol. Semua kerja dilakukan sangat transparans.

Jika penduduk Sumatra Barat berjumlah 4,5 juta jiwa dengan pukul rata saja jumlah itu sama dengan jumlah 1.500.000 KK (data sebenarnya saya kurang tahu), maka jumlah uang yang terkumpul setiap bulan adalah Rp 7.500.000.000 X 12 bulan = Rp 90.000.000.000 setahun. Jumlah 90 milyar rupiah ini angka yang pasti. Jika berhasil pula meyakinkan orang Minang diperantauan, dengan perkiraan jumlahnya sama dengan penduduk yang ada di Sumatra Barat, maka dalam setahun berjalan terkumpul dana Rp 180 milyar.

Hitungan ini hanya berdasarkan jumlah kepala keluarga yang bisa dihimpun potensi dananya. Dan saya kira, menyumbang demi sebuah tujuan yang sangat baik bagi kemaslahatan orang banyak dan jelas penggunaannya, bagi masyarakat tak akan berat. Sejarah sudah mencatat bagaimana masyarakat di Minang ini beriyuran bersama-sama untuk membeli pesawat yang memang saat kemerdekaan dulu sangat dibutuhkan. Tak ada panitia dan macam-macamnya, tapi masyarakat dengan tulus memberikan sebagiah hartanya, dan tak ada uang emas pun jadi. Pesawat terbeli, masyarakat pun bangga.

Kembali ke dinding tembok tadi. Jika potensi kedermawanan masyarakat itu digali lagi, tentu akan terhimpun kekuatan yang besar. Pembangunannya pun bisa menyertakan masyarakat. Jika bisa diyakinkan dengan alasan yang masuk akal, saya kira masyarakat juga bersedia memberikan tenaganya untuk membangun tembok itu. Bagi mereka, yang penting berjelas-jelas. Jangan lukai hatinya dengan hal-hal yang mereka nilai sebagai pembohongan. Mekanisme penyertaan masyarakat untuk terlibat menyumbangkan tenaganya, bisa diatur kemudian dengan baik.

Pembangunan jelas dilakukan secara bertahap. Tahapannya bisa saja diprioritaskan terlebih dahulu di daerah pantai yang sangat padat penduduknya, dan seterusnya.

Maka, dengan menyertakan masyarakat dalam pembangunan dinding laut itu, apa yang menjadi problem menyangkut dana yang dicemaskan Wali Kota Padang, sedikit sudah terjawab. Dana yang terkumpul Rp 180 milyar dalam setahun, merupakan modal sosial yang sangat besar sekali dampaknya. Jika publik telah merasa memiliki dinding itu, persoalan dana bukan lagi masalah yang rumit. Yang rumit itu adalah mengelola, menata, dan meyakinkan masyarakat. Jelas hal ini dituntut kerja keras dan berkesinambungan dari pihak pemerintah. Meyakinkan masyarakat saat sekarang bukan perkara enteng, karena selama ini mereka banyak dikecewakan. Tapi hal itu tidak akan menutup rapat hati mereka untuk sungguh-sungguh dan tulus membangun.

Kini, berpulang ke pemerintah, bagaimana membaca hati masyarakat. ***

Institusi Seni-Budaya dan HKI

Oleh Nasrul Azwar

Dalam banyak hal, pemerintah Indonesia memang selalu telat bertindak apalagi berpikir. Salah satu buktinya adalah ribut-ribut tentang pembajakan lagu “Rasa Sayange” yang berasal dari Maluku, oleh Pemerintah Malaysia untuk promosi wisatanya, dan lagu dari ranah Minang, “Indang Sungai Garinggiang” yang digunakan tanpa ada penjelasan dalam sebuah iven budaya Asia Festival 2007 di Osaka, Jepang ( Singgalang , 27/10/2007).

Sekait dengan itu, barulah pemerintah merespons. Menko Polhukam Widodo A.S. pada akhir pekan Oktober lalu, mengadakan Rapat Koordinasi Tim Nasional Kekayaan Intelektual yang dihadiri Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta, Mendagri Mardiyanto, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, Menteri Perindustrian Fahmi Idris, Jaksa Agung Hendarman Supandji, dan Kabareskrim Polri Komjen Pol Bambang Hendarso Danuri ( Jawa Pos , 25/10/2007).

Hasil rapat itu sepakat membentuk tim nasional kekayaan intelektual. Walau terlambat, karena sebelum ini, sudah banyak pula negara lain yang mengklaim kekayaan bangsa Indonesia sebagai miliknya, tindakan pemerintah dinilai cukup bagus. Biarlah telat daripada tidak bertindak sama sekali.

Dalam rapat itu disepakati, pemerintah segera mendata atau menginventaris seluruh karya bangsa agar tidak diklaim atau dibajak pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Kata Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta, pemerintah akan mendata ulang seluruh lagu, makanan khas daerah, kesenian, dan cerita-cerita rakyat. Selama ini, banyak karya yang menjadi milik bangsa dan tidak dikenal penciptanya (anonim) sehingga rawan terhadap klaim atau pembajakan dari pihak-pihak tak bertanggung jawab.

Andi menyatakan telah meminta bantuan Mendagri Mardiyanto dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik untuk mempercepat pendataan. "Nanti, di Depkum HAM, prosesnya akan dipermudah juga supaya tidak ada yang menilai pemerintah justru menghambat," katanya.

Sebelumnya, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Ir Jero Wacik mengharapkan pemerintah daerah untuk segera mendaftarkan karya-karya budayanya ke lembaga hak intelektual. "Kami himbau kepada Gubernur, Bupati dan Walikota di Indonesia agar rajin-rajin mendaftarkan karya-karya budayanya ke lembaga hak intelektual," kata Menbudpar, Ir Jero Wacik di Nusa Dua, Bali ( Jawa Pos , 18/10/2007).

Bagaimana di Sumatra Barat? Sejauh ini, reaksi dari pejabat di daerah ini belum terdengar. Entah belum tahu, entah tidak menyimak perkembangan informasi. Tak ada respons menyangkut “Indang Sungai Garinggiang”, karya anak nagarinya, yang kini dibajak negeri jiran itu, misalnya, oleh Gubernur Sumatra Barat atau paling tidak dari Dinas Parsenibud Sumbar. Tampaknya, sikap pejabat di Sumatra Barat ini bertolak belakang dengan motto PT Semen Padang: kami telah berbuat sebelum orang lain memikirkannya.

Reaksi kecil memang muncul dari beberapa budayawan Sumatra Barat menyangkut pembajakan lagu yang dipopulerkan seniman Tiar Ramon itu ( Singgalang , 31/10/2007). Namun, reaksi itu masih sebatas tataran wacana, belum menyentuh substansi persoalan yang sesungguhnya.

Persoalan sebenarnya adalah bagaimana langkah dan strategi yang mesti dilakukan lembaga-lembaga yang terkait langsung dengan seni itu sendiri, misalnya, UPTD Taman Budaya Provinsi Sumatra Barat, Museum Negeri Adityawarman Provinsi Sumatra Barat, Balai Bahasa Padang, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisi Sumatra Barat, Dekranasda, Dewan Kesenian Sumatra Barat (DKSB), dan lain sebagainya.

Institusi-institusi itu, terutama Taman Budaya Sumatra Barat dan DKSB adalah lembaga yang sangat bertanggung jawab terhadap perlindungan dan hak cipta seniman, baik kontemporer dan maupun tradisi. Lembaga ini semestinya memprakarsai agar-agar karya-karya seniman itu terdaftar secara hukum. Untuk kasus lagu, “Indang Sungai Garinggiang”, misalnya, seharusnya lembaga ini tidak menunggu wartawan mewawancarai baru membuat peryataan.

Sesuai dengan fungsinya sebagai pelaksana teknis seni dan budaya, yang bukan semata hanya menampilkan karya seniman belaka, tentu Taman Budaya Sumatra Barat bertanggung jawab juga mengadvokasi karya-karya seniman daerah ini jika muncul perkara seperti pembajakan lagu itu. Tapi hal ini tidak dilakukan lembaga ini.

Sama halnya dengan DKSB, seharusnya lembaga seni semi pemerintah ini juga melakukan hal yang sama dengan Taman Budaya Sumatra Barat. DKSB mestinya memberikan tanggapan resmi dan memberikan advokasi. Paling tidak memunculkan secara resmi tanggapan dan pandangan yang jelas ke publik. Ternyata idem ditto.

Karya seni anak nagari Minang memang rentan dan rawan untuk dibajak, terutama oleh negara-negara yang punya hubungan historis dan kultural yang erat dengan Minangkabau: Malaysia salah satu saja.

Sejarah sudah mencatat, setiap nagari di Minangkabau punya kekayaan seni dan tradisinya. Dan jumlahnya sangat banyak dan beragam. Kekuatan nagari adalah dipermainan anak nagari itu. Permainan itu banyak terkait dengan seni: ada lagu, pantun, kaba, cerita rakyat, masakan khas, tari tradisi, alat musik, pidato adat, seni pertunjukan (peran), seni lukis, motif, kaligrafi, ukir, kerajinan tangan, arsitektur, tumbuhan, dan lain sebagainya yang jumlahnya banyak dengan berbagai variasi dan versi. Belum lagi karya seniman kontemporer, tentu, akan berderet-deret panjangnya.

Lalu siapa yang mesti bertanggung jawab untuk mendaftarkan ke instansi terkait agar karya itu terproteksi secara hukum? Jawaban tentu saja Taman Budaya Sumatra Barat dan DKSB. Karena lembaga ini tidak bisa dilepaskan dengan dunia seni dan budaya. Menyangkut soal teknis pendaftaran karya-karya, itu soal lain.

Namun demikian, karena sebagian besar masyarakat seni dan lembaga seni masih belum memahami benar prosedur dan mekanisme pendaftaran hak cipta itu, maka upaya yang perlu dilakukan dalam waktu dekat ini adalah mengundang Ditjen HKI Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk memberikan penjelasan, prosedur, mekanisme, dan lain-lainnya menyangkut hak kekayaan intelektual (HKI) itu. Dan diharapkan program ini melibatkan semau pihak yang terkait dengan masalah ini. Program itu bisa berbentuk seminar sehari, lokakarya, dan lain sebagainya.

Taman Budaya dan DKSB dapat bersinergi melakukan ini. Dan soal “sinergian”, bagi kedua lembaga ini bukan soal besar. Karena sudah sering dilakukan, walau sembunyi-sembunyi. Maka, untuk itu, program ini dipandang sangat mendesak untuk dilakukan. Jika tidak sekarang, ya besoklah. Tapi jangan seperti kalimat awal di atas: lamban berindak telat berpikir. Semua ini dilakukan mengingat sudah berangsur-angsur kekayaan seni dan budaya kita dialih orang lain. Kalau bukan kita yang memikirkan, siapa lagi? Seniman. Oh biarkan saja mereka berkarya. Tak ada waktu bagi mereka mengurus yang macam begini. Bagaimana, Bung?***

SUMBER: http://www.hariansinggalang.co.id/komentar.html

Harian Singgalang, Selasa, 6 November 2007 (Rubrik Komentar)


Thursday, October 25, 2007

Mambaca Minangkabau, Mengurai Problem

OLEH Nasrul Azwar

Tradisi dalam istilah yang jeneral dimaknai kebiasaan turun-temurun sekelompok masyarakat (komunitas) berdasarkan nilai budaya bersangkutan: bagaimana anggota masyarakat bertingkah laku, baik yang bersifat duniawi, gaib atau keagamaan. Tradisi itu secara “alamiah” mengesankan “mengatur” hubungan antarindividu manusia, antarkelompok, memperlakukan lingkungan secara bijak, dan bagaimana perilaku masyarakat terhadap alam yang lain. Di tengah masyarakat seperti itu, tradisi membiak menjadi suatu sistem, pola, norma, dan selanjutnya masuk ke dalam pengaturan penggunaan sanksi dan ancaman terhadap individu yang melakukan pelanggaran dan penyimpangan.

Maka, membincangkan tradisi berarti berbicara tentang tatanan masyarakat, struktur sosial, nilai-nilai, regulasi dan norma-norma. Di Minangkabau, misalnya, norma-norma itu terkandung dalam berbagai bentuk ekspresi kabahasaan seperti pepatah petitih, pantun, dan cerita lisan berupa kaba. Tatanan masyarakatnya adalah masyarakat dengan sistem kekerabatan matrilineal dan bahkan dalam batas tertentu, sistem politik matriarki.

Seni Tradisi dan Globalisasi

Dalam perjalanan studi budaya, tradisi selalu dipertentangkan dengan modernitas. Modernitas (isme) diartikan sebagai sebuah periode historis pascatradisional yang dicirikan oleh industrialisme, kapitalisme, negara bangsa dan bentuk-bentuk pengawasan, juga dipahami sebagai pengalaman kultural modernitas yang dicirikan oleh adanya perubahan, ambiguitas, keraguan, risiko, ketidakpastian, dan keterpecahan.

Di sisi lain, tradisi malah berjalan berdampingan dengan modernitas itu sendiri, dan tampaknya kian rumit untuk dibedakan. Tradisi—dalam pengertian seni tradisi, misalnya—mengesankan sekali tidak bersifat statis, tapi cenderung dinamis: seni tradisi, taruhlah seni tradisi randai, melangkah pasti dan berubah sesuai dengan perkembangan zaman, malah perubahan itu terkesan sebagai proses adaptasi yang cukup kreatif.

Posisi seni tradisi randai mengalami modernisasi secara berlahan dan kini posisi randai Minang sudah berada di era posmodernisme, sebuah periode sejarah setelah modernitas yang ditandai oleh posisi utama konsumsi dalam konteks masyarakat pascaindustri, sensibilitas kultural yang menolak narasi-narasi besar dan lebih memilih kebenaran-kebenaran lokal yang ada dalam permainan-permainan bahasa yang spesifik. Dan dengan sangat mengesankan sekali, seni tradisi randai tetap bertahan dengan caranya sendiri.

Dunia kesenian tradisi Minangkabau—barangkali sudah terstruktur dalam sistem budaya masyarakatnya—semenjak dulu sampai hari ini telah dengan sendirinya tersegmentasi atas nagari-nagari yang ada Minangkabau. Pola yang segmentatif ini pada batasan tertentu mempersempit ruang gerak perkembangan seni itu sendiri, namun tidak membatasi dirinya secara ketat. Rumusan adat selingkar nagari yang berlaku di Minangkabau memberikan tanda bahwa seni tradisi yang tumbuh di nagari-nagari diakomodasi pada batas nagari. Seni tradisi indang berkembang di Solok dan Pariaman misalnya, tidak akan dijumpai di nagari-nagari 50 Koto. Juga seni tradisi sijobang juga tak akan ditemui di daerah pesisir Sumatra Barat.

Sebagai ilustrasi, jika masa dahulunya, tokoh perempuan dalam cerita randai tidak dibenarkan dimainkan oleh perempuan, tapi oleh laki-laki yang berlaku seperti perempuan. Kini, perempuan bisa tampil memainkan tokoh-tokoh yang ada dalam cerita randai. Cerita yang ditampilkan pun disesuaikan dengan era kekinian. Kemampuan beradaptasi tanpa meninggalkan substansi, hakikat, dan nilai-nilai seni randai Minang itu yang sesungguhnya perlu disikapi bersama.

Namun kondisi seni tradisi randai sangat bertolak belakang dengan kondisi secara umum kebudayaan Minangkabau. Kalangan budayawan menyebut Minangkabau sekarang ini sudah berada di ambang kebangkrutan kultural. Penyebabnya, lemahnya ikatan adat dan tradisi di Minangkabau. Nagari sebagai basis kekuatan dialektika Minangkabau tidak berfungsi lagi. Nagari yang selama ini mengajarkan anak nagarinya tentang adat, budaya, dunia dagang, politik, dan lain sebagainya, kini hanya kenangan. Upaya pemerintah dengan perda kembali ke nagari, tampaknya tidak ada artinya. Malah kembali ke pemerintahan nagari itu cenderung membuka dan memperbanyak lubang-lubang korupsi di tingkat nagari.

Berbagai tantangan dan perkembangan yang bersifat paradoksal di dalam kebudayaan Minangkabau akhir-akhir ini akan menentukan masa depan Minangkabau itu sendiri. Satu sisi, ada tantangan yang dihadapkan secara langsung dengan apa yang disebut dengan globalisasi. Sisi lainnya, muncul berbagai hambatan budaya tradisi secara internal—misalnya rendahnya atensi kaum cendekiawan di nagari-nagari di Minangkabau yang merupakan masalah tersendiri yang harus diselesaikan secara baik, kekuatan dan modal sosial nagari yang demikian berpotensi seolah tak ada artinya lagi. Kahadiran cendekiawan (katakanlah kepemimpinan informal di nagari), tentu diharapkan mampu dan dapat menentukan sikap nagari sebagai landasan normatif dalam merekonstruksi masa depan nagari itu sendiri.

Minangkabau dan Tantangan

Selain itu, perkembangan zaman yang demikian derasnya juga jadi faktor membuat merosotnya nilai budaya dan bangkutnya modal sosial Minangkabau. Menurut Faruk HT, seorang budayawan yang cukup menaruh perhatian terhadap Minangkabau menyebutkan, globalisasi memberikan dampak cukup dahsyat terhadap kehidupan masyarakat Minangkabau, termasuk karakter individu dan juga perilaku sosialnya. Kecenderungan otonomisasi diri—terutama bagi masyarakat Minangkabau yang hidup di kota— dalam kehidupan sehari-harinya tampak telah melemahkan ikatan adat dan nilai-nilai tradisional. Kehidupan sosial mereka telah dipengaruhi kekuatan kebudayaan modern dan juga arus globalisasi.

Pada saat sekarang ini, di kancah deraan arus globalisasi, pola kehidupan masyarakat Minang sudah bertukar dengan menyesuaikan diri dengan eranya. Dulu kehidupan sosial dijalani dengan keluarga besar di rumah gadang kini sudah diganti dengan keluarga inti, yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Posisi perempuan dalam keluarga inti tidak lagi seperti di rumah gadang.

Jika dalam sistem matrilineal yang dianut Minangkabau selama ini, bahwa perempuan memegang posisi terpenting di rumah gadang, tidak hanya sebagai penerus generasi tetapi pewaris yang memiliki hak sebagai penentu, serta mengelola harta keluarga tersebut, di dalam keluarga inti hal seperti itu tidak ada sama sekali: Laki-lakli (sebagai kepala keluarga yang menentukan semua kebijakan rumah tangga).

Dampak berkembangnya keluarga-keluarga inti baru di Minangkabau dan juga di perantauan, tampaknya memberi kontribusi yang cukup dominan untuk melemahkan posisi perempuan di Minangkabau dan sebagai determinatif yang cukup signifikans.

Dalam makna tertentu, kebudayaan Minangkabau dapat dimaknai sebagai sistem nilai yang fungsinya mendorong dan membimbing masyarakatnya menjawab tantangan yang mereka hadapi sepanjang masa. Sistem nilai tersebut merupakan ciri identitas sebuah kelompok masyarakat budaya. Pada masyarakat Minangkabau dicirikan dengan paham egalitarian yang hidup di dalam nagari-nagari.

Nagari-nagari teridealisasikan dengan hadirnya ruang publik di tengah-tengah kehidupan nagari di Minangkabau, misalnya, galanggang (sasaran), yang merupakan ranah bagi anak nagari untuk mengekspresikan diri mereka, dapat disebut sebagai sistem nilai budaya. Di dalam galanggang itu akan teraktualisasikan ekspresi individu, masyarakat, dan komunal.

Dalam tataran kajian budaya, Minangkabau salah satu suku yang dikenal sebagai masyarakat yang unik karena memadukan nilai-nilai adat (tradisi) dan nilai-nilai keagamaan (Islam) dalam kehidupan sehari-harinya. Kehidupan tradisional orang Minang adalah kehidupan bersama yang dipimpin oleh mamak (laki-laki) secara demokratis. Baik dalam keluarga, suku atau nagari. Ada mamak adat (nini mamak, pimpinan kaum), mamak ibadat (ulama) dan cerdik pandai.

Namun demikian, semenjak reformasi tahun 1998, lebih jauh lagi sejak ditetapkannya Peraturan Daerah No 9 Tahun 1999 dan direvisi lai dengan Peraturan Daerah No 2 Tahun 2007 tentang kembali ke nagari di Sumatra Barat, eforia yang cenderung romantik akan kebesaran masa lalu, kian terasa dan mengemuka.

Berkembangnya semangat kembali ke nagari pascaruntuhnya rezim Orde Baru merupakan sebuah reaksi terhadap sifat hegemoni budaya yang melekat pada budaya global, berupa homogenisasi atau penyeragaman budaya secara kolosal, yang menyebabkan semakin sempitnya ruang gerak dan merosotnya pamor budaya-budaya lokal, sehingga menimbulkan kekhawatiran akan lenyapnya budaya karena dilindas arus globalisasi.

Nagari dan Sorak-sorai Eforia

Kekhawatiran tersebut telah mendorong munculnya berbagai bentuk perjuangan budaya, khususnya perjuangan representasi budaya (cultural repre-sentation), yang di dalamnya respeks terhadap akar-akar budaya lokal digunakan sebagai senjata untuk menentang kekuatan impersonal, predator dan anonim globalisasi.

Menurut Yasraf Amir Piliang, globalisasi tampaknya telah menghadapkan kebudayaan-kebudayaan lokal pada situasi dilematis: antara tradisi dan perubahan, antara identitas dan transformasi. Situasi dilematis ini muncul akibat sosok globalisasi itu sendiri yang menampakkan ‘wajah ganda’.

Di satu sisi, globalisasi menciptakan integrasi, homogenisasi, standardisasi, internasionalisasi, di dalam ‘dunia tanpa batas’; sementara di sisi lain, globalisasi justeru telah menguatkan semangat desentralisasi, penganekaragaman, pluralitas, tribalisme, sukuisme dan sektarianisme.

Situasi dilematis tersebut juga dihadapi oleh gerakan-gerakan ‘budaya lokal’ di Indonesia, khususnya dalam upaya revitalisasi budaya. Di satu pihak, semangat reformasi, otonomi, dan demokratisasi telah memunculkan berbagai sentimen lokal (kesukuan, keagamaan, ras, dan kedaerahan), yang bahkan pada titik yang ekstrim telah menyulut berbagai bentuk konflik dan kekerasan.

Di pihak lain, kehidupan sehari-hari masyarakat lokal justru sangat dipengaruhi oleh pola-pola kehidupan masyarakat global dan budaya global. Pengaruh tersebut telah merubah cara hidup, gaya hidup bahkan pandangan hidup mereka, yang pada titik tertentu justru mengancam eksistensi warisan adat, kebiasaan, simbol, identitas dan nilai-nilai budaya lokal.

Dalam situasi dilematis tersebut, upaya-upaya bagi revitalisasi budaya-budaya lokal dalam konteks perkembangan budaya global, tampaknya harus didukung oleh pemikiran, filosofi, visi dan strategi budaya yang cerdas dan kreatif, sehingga globalisasi dapat dijadikan sebagai peluang bagi pengkayaan budaya lokal di dalam kancah budaya global, tanpa ha-rus meninggalkan nilai-nilai kunci budaya lokal itu sendiri

Menarik jika kita mencermati lebih dekat tentang apa yang terjadi antara pemerintahan kabupaten/kota dengan pemerintahan provinsi, dan pemerintahan terdepan, yaitu nagari. Hubungan pemerintahan itu seperti tidak lagi “mesra”. Masing-masing berjalan dengan niat dan strategi masing-masing daerah.

Gagasan menghapus pemerintahan provinsi yang pernah disampaikan Gamawan Fauzi, Gubernur Provinsi Sumatra Barat, beberapa waktu lalu, dapat dimaknai sebagai indikator adanya hubungan yang tak sedap dengan pemerintahan kabupaten dan kota. Mereka dengan caranya masing-masing memiliki gaya sendiri dalam menyikapi otonomi dan demokratisasi. Dan semua itu membuat pemeritahan provinsi tak ada artinya sama sekali. Demikian juga dengan pemerintahan nagari, yang dengan caranya sendiri bisa mementahkan keputusan pemerintahan di atasnya dengan alasan masyarakatnya tidak menerima. Misal, keinginan investor untuk mengembangkan usahanya di sebuah nagari.

Para pengamat berpendapat, semua itu bermula dari krisis moralitas sebagai dampak dari krisis kepercayaan, saling pengaruh timbal balik terhadap krisis kepemimpinan hampir di semua sektor, terutama kepemimpinan politik. Dampak dari krisis kepemimpinan memberi pengaruh terhadap otoritas pemimpin, tokoh dan figur yang selama ini dipercayai sebagai pembawa amanat.

Krisis otoritas menjalar pada otoritas hakim, pengadilan dan kepolisian sebagai penegak keadilan, bahkan otoritas ninik mamak dan ulama. Kepastian hukum dan ketidakadilan, amat dirasakan oleh rakyat atas kebijakan hukum yang berlaku. Tingginya tingkat pengaduan masyarakat nagari ke pihak polisi untuk menyelesaikan berbagai perkara, membuktikan bahwa pemimpin informal di tengah kaum (masyarakat) sudah tidak dipercaya lagi. ***

Sunday, September 16, 2007

Sejarah Pers Sumbar Dialih Orang Lalu

OLEH NASRUL AZWAR

HARIAN Jurnal Nasional yang terbit di Jakarta, semenjak tanggal 1 Januari dan rencananya hingga 31 Desember 2007 setiap hari menerbitkan semacam kilas balik perjalanan sejarah pers nasional.
Tulisan tentang pers itu hadir berkaitan dengan peringatan seabad pers nasional yang jatuh pada tahun 2007 ini. Dalam pengantar yang ditulis Taufik Rahzen disebutkan, tarikh ini dihitung sejak Medan Prijaji terbit pertama kali pada Januari 1907. Medan Prijaji adalah tapal dan sekaligus penanda pemula dan utama bagaimana semangat menyebarkan rasa mardika disemayamkan dalam dua tradisi sekaligus: pemberitaan dan advokasi. Dan dua kegiatan itu menjadi gong yang ditalu dengan nyaring oleh hoofdredacteur-nya yang paling gemilang di kurun itu: Raden Mas Tirto Adhi Surjo.

“Pada 1973, pemerintah mengukuhkan Raden Mas Tirto Adhi Surjo sebagai Bapak Pers Nasional. Sementara pada 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyempurnakan gelar itu menjadi Pahlawan Nasional atas jasanya menggerakkan kesadaran merdeka lewat jalan organisasi modern dan pergerakan nasional,” tulis Jurnal Nasional. Namun, dalam pengantar itu tidak dijelaskan alasan mengambil tarikh tersebut, yakni Januari 1907 sebagai awal terbitnya surat kabar Medan Prijaji dan titik awal mengukur usia kehadiran pers di negeri ini.

Sepanjang pembacaan saya terhadap sejarah pers (dan pers juga identik dengan penerbitan), dan juga hasil bacaan saya terhadap disertasi Sudarmoko yang dipertahankannya di Universitas Leiden, Belanda (2005) dan beberapa artikel Suryadi yang juga mengajar di Universitas Leiden, mengesankan, semenjak abad-19, pertumbuhan surat kabar dan dunia penerbitan di Minangkabau (Sumatra Barat) sangat signifikans.

Menurut Suryadi (2004) orang Padang bukan kemarin sore mulai membaca koran. Sejak 7 Desember 1864—hampir satu setengah abad lalu—orang Minang untuk pertama kalinya membaca surat kabar berbahasa Melayu. Pada bulan itu, edisi perdana Bintang Timoer diluncurkan. Itulah koran pribumi pertama (vernacular press) yang terbit di kota yang sudah berusia tua ini. Minangkabau memang merupakan kota pers tertua di Sumatra, dan termasuk kota Indonesia yang awal mengenal surat kabar. Karena mendapat respons dan pasar yang baik, maka manajemen Bintang Timoer menerbitkan menjadi mingguan setiap Rabu yang dimulai sejak 4 Januari 1865.

“Ketika di tempat lain di pulau ini orang baru mengenal naskah (manuscript) beraksara Jawi yang berisi sastra pagan, di Padang orang (Minangkabau) sudah membolak-balik halaman kertas lebar bernama surat kabar yang berisi informasi dari luar dunia lokalnya,” tulis Suryadi (lihat di http://www.ranah-minang.com). Sejumlah surat kabar yang terbit di Minangkabau setelah Bintang Timoer antara lain, Pelita Ketjil (Padang, 1892-1894), Warta Berita (Padang, 1895), Tjahja Sumatra (Padang, 1906).

Tokoh pers yang menonjol saat itu antara lain, Mahyoeddin Datoek Soetan Maharadja, anak nagari Sulit Air, Abisin Abbas, Dja Endar Muda, dan Syekh Achmad Chatib. Tokoh pers itu hadir mewarnai dinamika pemikiran, arah kebijakan publik, dan dunia keintelektualan.

Khairul Jasmi (Pantau, Tahun II Nomor 022-Februari 2002) menulis, saat itu, kepiawaian menulis atau mengeluarkan pendapat orang Minangkabau berpendaran di halaman-halaman surat kabar. Media massa jadi sarana melancarkan perbincangan dan polemik. Mula-mula tentang kebangkitan Asia, Jepang, lalu format masa depan negara. Tak luput juga tentang bagaimana agama Islam seharusnya dipahami dan dijalankan. Pesertanya kaum tua dan muda. Perdebatan agama inilah yang malah berlangsung tajam.

Karena demikian bagusnya kondisi pers saat itu, surat kabar Pelita Ketjil mampu menempatkan seorang korespondennya di Kota Mekkah, yang tugasnya mengirimkan berita perkembangan Islam untuk pembacanya di Sumatra Barat. Hal serupa tidak lagi kita temukan dalam manejemen surat kabar sekarang. Berita dari luar cukup dikutip dari kantor-kantor berita yang bertebaran itu.

Selain koran mainstream di atas, seperti Bintang Timoer, Pelita Ketjil, Warta Berita, Tjahja Sumatra dan lain sebagainya, di tingkat nagari dan etnis juga muncul berbagai penerbitan berkala. Media komunitas hadir dikesankan sebagai ruang komunikasi dan silaturahmi bagi masyarakatnya. Dalam catatan Sudarmoko (2005) beberapa penerbitan “pers” komunitas saat antara lain, Barito Koto Gadang (Fort de Kock, 1929-32), Boedi Tjaniago (Fort de Kock, Drukkery Agam, 1922), Soeara Kota Gedang (Fort de Kock, Vereeniging Studiefonds Kota Gedang, 1916-17), Al Achbar (Padang, 1913-14, dalam bahasa Arab), Al I’laam (Koto Toeo, Ampat Angkat, 1922-23), Moeslim India (Padang, Moeslim India, 1932), Algementeen Advertieblad (Padang, Padangsche Snelpres, 1921, dalam bahasa Belanda), Bintang Tiong Hoa (Padang, Tiong Hoa Ien Soe Kiok, 1910-15).

Dari catatan sejarah dan tarikh keberadaan dunia pers di Sumatra Barat, tampaknya, kehadiran surat kabar Medan Prijaji (1907) yang lahir di Bandung (Jawa Barat) masih muda dibanding surat-surat kabar yang sudah terbit di Minangkabau sebelumnya. Lalu, pertanyaan selanjutnya, alasan apa sesungguhnya menempatkan awal lahirnya Medan Prijaji tahun 1907 sebagai tarikh lahirnya pers nasional, yang kini (tahun 2007) diperingati sebagai “satu abad pers nasional”?

Apa artinya kehadiran Bintang Timoer yang lahir pada 7 Desember 1864, Pelita Ketjil (1892-1894), Warta Berita (1895), Tjahja Sumatra (1906) itu? Dan kita tidak mengetahui pula, siapa atau lembaga apa yang memutuskan dan melegetimasi satu abad pers di Indonesia ini dimulai hitungan tahun 1907? Bagaimana mekanisme dan prosedurnya, apakah ditetapkan dengan Surat Keputusan Pemerintah, atau Surat Keputusan Presiden, dan lain sebagainya? Apakah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), atau lembaga pers lainnya ikut serta melegitimasi tahun kelahiran surat kabar Medan Prijaji 1907 sebagai awal lahirnya pers nasional? Selanjutnya, di mana suara sejarahwan Sumatra Barat yang jumlahnya tidak sedikit itu: Apa sesungguhnya yang terjadi di negeri ini, sehingga fakta sejarah bisa saja diubah dan diklaim sesuka hati?

Pertanyaan serupa bisa dilebarkan lagi. Tapi, yang jelas, dari titik berangkat sejarah pers Indonesia, sudah diambil orang, sejarah itu sudah dianjak orang lain. Sejarah sudah berada di negeri orang lain. Kita yang berbuat, orang lain yang hebat. Berteriaklah kita sekuat tenaga, bahwa pada pertengahan abad-19 orang Minanglabau sudah baca koran, dan banyak surat kabar yang terbit di sini, dan lain sebagainya, jelas tak ada gunanya.

Para sejarahwan yang bertebaran di Unand dan UNP, dan di perguruan tinggi di kota-kota lainnya, yang diharapkan bisa menjelaskan duduk perkara fakta sejarah ini, tampaknya lebih tertarik menyelesaikan proyek penelitiannya yang tidak akan pernah habis-habisnya. Karena proyek itu terus mengalir sepanjang bangsa ini terus memakai APBN (D) dan proyek penelitian memang banyak di sana.

Sementara, tokoh pers di daerah ini dan juga lembaga pers terkait lebih asyik dengan dirinya sendiri. Padahal, di pundak mereka tanggung jawab itu kini berada. Fakta sejarah pers telah diplintir orang lain, kita diam saja. Dikatakan orang lain bahwa pers berawal di Bandung, kita di sini seolah mengangguk balam saja.
Entahlah, entah apa yang salah di negeri saya ini: Semua seperti sudah tergadai, termasuk harga diri itu. ***

Padang Eskpres, Minggu 16 September-2007, 09:15:33

Thursday, August 9, 2007

Pemusnahan Peradaban

Oleh Nasrul Azwar

Minggu pertama bulan ini, dunia perbukuaan Indonesia, terutama buku pelajaran untuk SLTP dan SLTA, sedikit gerah. Kejaksaan di berbagai kota melakukan razia dan penyitaan buku-buku yang dinilai lembaga ini “menyesatkan”.

Di Kota Padang, (Singgalang, 4/8), Kejaksaan Negeri, Poltabes, Satpol PP, dan Dinas Pendidikan Kota Padang berhasil menyita 25 buku sejarah hasil sweeping ke pelbagai toko buku di kota ini.

Di Kota Depok, Jawa Barat, aparat terkait telah memusnahkan 1.247 buku sejarah kurikulum 2004 dengan cara dibakar (Koran Tempo, 21/7).

Cerita pemusnahan buku-buku di negeri ini bukan barang baru lagi. Buku-buku yang dinilai bermasalah oleh penguasa, apakah terkait dengan fakta, pemikiran, atau pun ideologi, seperti sudah menjadi tradisi setiap rezim yang berkuasa. Kayaknya, setiap rezim, termasuk rezim penjajah, berkehendak membuat sejarahnya sendiri.

Razia dan sweeping yang digelar aparat baru-baru ini berangkat Surat Keputusan (SK) Kejaksaan Agung No 19/A/JA/03/2007 tanggal 5 Maret 2007, sebagian buku yang dilarang itu merupakan buku pelajaran kelas I SMP. Alasan pelarangan adalah tidak memuat pemberontakan Madiun dan 1965 dalam buku-buku itu serta tidak mencantumkan kata “PKI” dalam penulisan G 30 S.

Dalam sejarah larang-melarang buku ini, buku yang berbau “PKI” atau “komunis” yang paling banyak dilarang, terutama dalam masa Orde Baru. Namun, semenjak Orde Baru tambin pada 21 Mei 1998, kebijakan pelaranga mulai agak mencair. Masyarakat, sekadar menyebut contoh, sudah bebas menikmati karya-karya Pramoedya Ananta Toer di toko-toko buku, yang dulu akan menjadi perkara besar jika kita memilikinya. Selain itu pula, publik Indonesia dengan mudahnya dapat mengakses dan sekaligus “berselancar” di mesin mencari google.com, yahoo.com dengan hanya mengetik “partai komunis indonesia”, “g 30 s/pki” atau “karl marx” dan lain sebagainya. Teknologi sangat memudahkan kita itu.

Kini, siswa setingkat SLTP dan SLTA sudah mahir berselancar di dunia maya itu. Dan jangan pula heran, masing-masing mereka sudah punya blog, semacam catatan harian yang berbasis web, tentu bukan hal lagi yang aneh dalam dunianya. Yang aneh mungkin bagi orang-orang tua yang tidak memahami apa itu internet.

Maka, dari itu pula, terasa mengada-ada dan terkesan ironis jika beberapa judul buku pelajaran mereka dilarang oleh Kejaksaan Agung hanya semata karena dianggap mengaburkan fakta sejarah bangsa ini.

Mengapa saya katakan seperti itu?

Pertama, pelarangan dengan alasan demikian itu malah akan menumpulkan daya kritis siswa dan mengesankan lebih mentolerir tontonan sinetron dan gosip di televisi kita yang justru sangat memengaruhi mental dan cara berpikir anak didik itu.

Kedua, larangan itu mempertegas bahwa bangsa ini sangat tidak menghargai karya-karya intelektual anak bangsanya sendiri. Jika pun ada yang dinilai “keliru”, tentu sangat elegan jika “diluruskan” lagi dengan karya intelektual berupa buku pula. Bukan dengan cara dibakar.

Ketiga, ketakutan anak didik akan salah memaknai sejarah bangsanya juga bukan alasan yang cerdas. Siswa sekarang sudah punya alternatif mencari sumber pengetahuan lainnya. Mereka punya sumber-sumber, seperti disinggung di atas, selain buku teks sekolahnya. Kita tak bisa melarang mereka menjelajahi dunia maya yang penuh informasi dan pengetahuan itu. Dari situ mereka akan bisa secara kritis membandingkan dan menilai: mana fakta yang dikaburkan mana yang jelas.

Keempat, menyita dan selanjutnya membakar buku-buku itu jelas kerja yang merugikan: Kita bisa bayangkan, berapa dana dihabiskan untuk melahirkan sebuah buku, dan berapa pula dana yang hanyut sia-sia untuk melakukan rasia dan sweeping itu?

Buku, kata Nurani Soyomukti, seorang penulis buku, adalah sarana untuk melakukan pencerahan melalui aktivitas literasi. Dunia literasi adalah dunia di mana semakin banyak orang yang mengenal baca-tulis, dan lebih jauh lagi menggunakan kemampuan tersebut untuk memahami persoalan (dan untuk memajukan) bangsanya. Ketika kebebasan literer dipasung, musnahlah harapan untuk melihat bangsa yang cerdas, melek sejarah, dan menciptakan masyarakat pembelajar yang merupakan syarat bagi kemajuan suatu peradaban manusia. Negara yang besar adalah negara yang menghargai sejarahnya. Negara yang besar adalah yang masyarakatnya menyukai kebiasaan membaca dan menulis. Kebiasaan budaya baca dan tulis ini disebut sebagai budaya literer.

Untuk Minangkabau, budaya baca dan turunan dari itu, tidak perlu diulang-ulang kehebatannya. Baratus-ratus tokoh dengan latar kemampuan yang berbeda telah memberikan pemikiran, gagasan, dan darahnya untuk perjalanan bangsa Indonesia. Dan semuanya itu tak lepas karena mereka membaca, menulis buku, dan punya sikap yang jelas terhadap pengetahuan, bermacam aliran, dan ideologi.

Lalu, sekarang, kita melakukan hal yang sebenarnya memasung sebuah peradaban manusia, atau mungkin yang kita lakukan adalah peradaban itu sendiri.***

Friday, August 3, 2007

Malin Kundang dan Perantaun Budaya [1]

Oleh Edy Utama

Dalam beberapa dekade terakhir, kebudayaan kita telah melakukan perantauan yang jauh ke negeri asing, dan sekali-kali pulang kampung dengan wajah malu-malu. Tetapi ada juga yang merantau Cina karena tidak pernah kembali lagi ke kampung halamannya. Ia menjadi si Anak Hilang yang terlupakan. Kebudayaan kita bagaikan legenda Malin Kundang. Malin Kundang pergi merantau dan kemudian pulang kampung setelah Kaya dan punya seorang isteri cantik dari negeri yang jauh. Ia membawa berbagai atribut dan simbol-simbol baru, yang relatif belum begitu dikenal di negeri ibunya sendiri.perjumpaan terjadi, antara keduanya tidak lagi begitu saling mengenal dan tidak lagi merasa memiliki masa lalu yang sama. Bahkan keduanya merasa asing dan berjarak. Diantara keduanya terdapat tirai pemisah yang sulit dipertemukan.

Syukurlah kemudian, Sang Ibu yang setia menunggu kampung Malin Kundang, dalam kenangan masa lalunya masih dapat mengenal sedikit tanda dalam diri anaknya. Sang ibu sangat yakin, lelaki yang didampingi perempuan cantik dengan segala atribut tersebut, adalah anak kandungnya. Anak yang dilahirkan dari rahim warisan budaya nenek-moyangnya. Sang ibu menyapa anaknya dengan perasaan balau dan cemas, karena khawatir Sang Anak tidak lagi mengenal dirinya. Sang ibu berharap Malin Kundang tidak melupakan. Namun Malin Kundang tidak lagi begitu mengenali masa lalunya, meskipun di dalam dirinya kadang-kadang muncul lintasan-lintasan kenangan tentang kampung, tentang ibunya, tentang masa kecilnya, tentang saudara-saudaranya, tetapi semuanya berwujud dalam kesamaran ingatannya. Ia tidak begitu yakin tentang masa lalunya tersebut, karena bagi Malin Kundang yang telah merantau tidak lagi memerlukan masa lalu tersebut. Ia telah menjadi masa kini, di tengah zaman yang dapat menyediakan kebutuhan duniawinya. Itu pulalah sebabnya, ketika perjumpaan budaya terjadi antara ia dan ibunya, antara rantau dan kampung, antara masa lalu dan masa kini, ia tidak lagi merasa ada hubungan emosional di antara keduanya. Malin Kundang tidak lagi mampu mengenal dan mengarifi perjumpaan tersebut sebagai peristiwa kultural yang memiliki tali sejarah yang berkesinambungan. Tali sejarah itu telah terputus atau diputuskan oleh pengalaman kekinian, yang begitu bergemuruh, memukau, instan, exotis, telanjang, memabukan, dunia yang selalu bergoyang dan segala bentuk kesenangan sesaat yang selalu dimimpikan. Malin Kundang telah mengalami keterputusan sejarah dengan lingkungan budayanya sendiri, yang sebelumnya telah mengasuh dan membesarkan.

Seperti yang kita ketahui, mitos Malin Kundang beerakhir dengan sebuah tragedi. Sebuah chaos. Tetapi, mungkin juga merupakan sebuah pembebasan budaya dari penjelajahan duniawi yang dilakukan Malin Kundang. Ia telah menjadi sebuah simbol yang asing bagi masa lalu dari kebudayaannya sendiri. Sebuah simbol yang tidak lagi mengenal bumi yang melahirkannya. Karena itu, ia kemudian dikutuki sang ibu sebagai anak yang durhaka, dan kemudian menjadi batu. Malin Kundang kemudian menjadi simbol pembangkangan budaya dan penafian masa lalu. Bahkan ia dikutuki secara bersama-sama.

Tetapi salahkah Malin Kundang? salahkan ibu yang telah melahirkannya Salahkah masa lalunya? Salahkah masa kininya? Salahkah tempat ia dibesarkan? Salahkan masyarakat yang telah mengasuhnya? Entahlah. Apakah Malin Kundang yang pergi disebabkan ketidaknyamanan lingkungan budaya yang mengasuhnya dapat disalahkan sebagai anak yang durhaka? Bukankah perantauannya didorong oleh kenyataan, bahwa lingkungan budaya dan masyarakat tempat ia tumbuh tidak lagi dirasakan sebagai sesuatu yang dapat menentramkan kegelisahan kulkural yang dirasakannya? Jadi ada alasan-alasan tersembunyi di dalam kebudayaan ibunya, yang tidak lagi begitu disadari dan dipertanyakan sebagai sumber-sumber kegelisahan kultural dari Malin Kundang. Dalam konteks ini, Malin Kundang dapat dilihat sebagai sosok yang ingin mencari sorga baru yang lebih sesuai dengan gejolak bathinnya sendiri, namun tidak terpahami oleh sejarah budayanya dapat dianggap sebagai sebuah pembangkangan? Atau hanya sekedar pilihan, karena tekanan, kepungan dan godaan budaya di sekitarnya yang tak terelakan?

Namun ibunya yang merupakan masa lalu Malin Kundang, mungkin juga tak dapat disalahkan. Ia telah menunggu dan menjaga rumah budaya yang ditinggalkan Malin Kundang. Sang Ibu selalu menanti dan berharap, Malin Kundang suatu saat akan kembali lagi dan dapat mengenal masa lalunya. Sang ibu masih ingin menuturkan kembali dongeng-dongeng dari negari antah baratah, yang menjadi permainan tidur Malin Kundang pada kecilnya. Sang ibu sngat berharap Malin Kundang kepangkuannya di dalam rumah warisan budaya, yang sudah mulai ditinggalkan oleh banyak orang kampungnya.

Sebuah legenda, sebuah peristiwa budaya, baik yang datang dari masa lalu maupun yang akan datang dari masa kini, sangat terbuka untuk ditafsirkan dari berbagai perspektif. Tak ada yang dapat ditafsirkan secara tunggal. Tafsiran ini bergerak dan berkembang sesuai dengan konteks zamannya dan pengalaman manusia yang ada di dalamnya. Sebuah kebudayaan apapun bentuknya, selalu membutuhkan tafsiran yang baru yang bersifat dinamis, sehingga mampu menangkap tanda-tanda zaman yang berubah. Mampu membaca dan sekaligus memberikan tafsiran tentang masa lalu, tentang apa yang telah terjadi serta kecendrungan-kecedrungan masa depan yang mengepung dar segala penjuru.

Begitu juga dengan Malin Kundang. Malin Kundang sebagai manifestasi kultural mungkindapat ditafsirkan dari berbagai sudut pandang yang berbeda pula. Selama ini ia lebih banyak dipandang sebagai anak dan kemudian menjadi batu karena mendurhaka kepada ibunya. Pandangan tentang Malin Kundang sebagai anak durhaka sepertinya telah menjadi bagian dari paradigma kebudayaan kita. Namun bagi sastrawan A.A. Navis, justru sebaliknya. Bagi A.A. Navis yang mendurhaka itu justru adalah. A.A. Navis telah memberikan suatu tafsiran baru tentang Malin Kundang.

Dalam konteks inilah saya kira menarik untuk menyimak kembali apa yang telah ditulus sastrawan A.A. Navis. Dalam salah satu cerita pendeknya, Malin Kundang Ibunya Durhaka A.A. Navis dengan tajam telah mengaktualkan berbagai persoalan yang lebih kontektual dari lingkungan budaya tersebut. Melalui cerita pendek ini, A.A.Navis mengemukan berbagai persoalan mendasar dalam kehidupan kebudayaan kita, baik yang bersumber dari masa lalu maupun masa kini, ppersoalan gap antar generasi, kesetiaan budaya dan sekaligus penghianatan yang ada di dalamnya, telah digambarkan melalui interpretasi baru legenda Malin Kundang. Dengan argumentasi yang berbeda, A.A Navis memberikan alasan-alasan baru kenapa Malin Kundang sebagai anak zaman melakukan pembangkangan dan pendurhakaan terhadap ibunya. Dalam cerita pendek tersebut, A.A. Navis tampaknya ingin menegaskan kembali, bahwa pendurhakaan Malin Kudndang terhadap ibunya, bukanlah tersebab oleh Malin Kundang itu sendiri, tetapi lebih didorong oleh prilaku budaya masyarakat yang telah ditinggalkan Malin Kundang. Malin Kundang bagi A.A. Navis telah menjadi simbol pembangkangan budaya yang bersifat konstruktif.

Seperti diceritakan dalam cerpen tersebut, ketika Malin Kundang pulang kampung dengan membawa isteri yang cantik, dan tentu saja dengan kekayaannya yang diperoleh di perantauan, Malin Kundang marah besar karena melihat kampungnya sendiri telah berubah. Telah menjadi wilayah yang gersang, kering kerontang karena digerogoti untuk berbagai kepentingan. Kekayaan alamnya, budayanya, dan segala hal yang indah-indah yang masih terpelihara ketika Malin Kundang akan pergi ke perantauan, telah lenyap di telan bumi. Malin Kundang menemukan kerusakan yang luar biasa dari tanah kelahirannya. Ia tidak lagi menemukan keakraban masa lalunya. Itulah yang menyebabakan Malin Kundang menganggap ibunya tak mampu menjaga dan memeliharanya.

Amukan Malin Kundang tidak membuat ibunya marah, karena memang telah merasa bersalah menjaga amanah. Ibunya bahkan berhiba-hiba pada Malin Kundang. Itu pulalah dalam versi cerita pendek ini Sang Ibu tidak mengutuk Malin Kundang sebagai anak durhaka. Namun Malin Kundang yang kemudian mengutuki dirinya sendiri, sehingga menjadi batu. Malin Kundang tidak mau memjadi anak yang durhaka, tetapi ia juga merasa bersalah membiarkan negerinya dihancurkan ketika ia sedang melakukan perantauan. Malin Kundang marah kepada sendiri dan mengutukinya. Malin Kundang telah memilih keberanian kultural untuk melakukan sebuah otokritik yang radikal terhadap dirinya sendiri. Sebuah keberanian yang sangat jarang terjadi.

Dari sinilah tragedi baru Malin Kundang mulai menjadi persoalan kebudayaan kita. Tragedi yang melahirkan berbagai kecemasan budaya karena setelah itu, semakin banyak yang meninggalkan kamoungnya dan melakukan perantauan yang jauh ke dunia lain, yang penuh dengan ketidakjelasan dan ketidakkepastian. Bamyak orang berangkat meniggalkan tradisinya dan merayakan tanpa mempersoalkanmasa lalu dan masa depan. Perayaan inilah yang sekarang kita sebut dengan perayaan budaya massa. Semuanya tumpah ke daratan kehidupan budaya yang begitu hiruk pikuk dan memabukan. Tapi tak banyak yang berani memilih menjadi Malin Kundang seperti dalam cerita pendek A.A. Navis.

Tafsiran A.A. Navis tentang legenda Malin Kundang melalui cerita pendeknya ini, saya kira sesuatu yang sangat tepat untuk menggam,barkan situasi kultural kita dewasa ini. Situasi kultural yang compang-camping, tanpa akar budaya, penuh dengan paradok, serta tercabik-cabik akibat tarik menarik antara keinginan untuk melanjutkan tradisi yang diwarisi dengan budaya massa yang digerakkan oleh kekuatan industri-kapitalisme dengan segala kekuatan teknologinya. Malin Kundang yang ingin digambarkan A.A. Navis, adalah Malin Kundang yang tanpa sabar telah melakukan penyebrangan kultural dari wilayan tradisi kepada budaya massa dengan sebuah pertanggungjawaban kultural.

Beberapa dasawarsa terakhir dalam kehidupan kebudayaan kita, memang telah terjadi migrasi budaya besar-besaran. Telah terjadi perantauan yang jauh denganmeninggalkan kampung halamannya sendiri. Banyak pendukung kebudayaan tradisi dari berbagai etnik di Indonesia, yang berimigrasi ke kota-kota sebagai rantau yang menjadi basis pertumbuhan dari budaya massa tersebut. Sekarangpun kampung-kampung telah dirambah pula oleh budaya massa tersebut. Banyak perantau yang pulang, dan menularkannya, baik secara langsung maupun melalui teknologi yang makin canggih. Sayangnya tak banyak yang mau menjadi Malin Kundang seperti yang digambarkan A.A. Navis, yang memiliki keberanian untuk mengutuki dirinya sendiri, sebagai sebuah pertanggungjawaban kultural. Kita lebih senang menyalahkan orang lain, sehingga terhindar dari perasaan berdosa.***