KODE-4

Monday, February 19, 2007

Dusta dalam Pers

OLEH Nasrul Azwar

Orang Minang mulai menerbitkan surat kabar bernama Bintang Timor semenjak Desember 1864 lalu dengan menggunakan bahasa Melayu, semua orang sudah tahu. Tapi, tidak semua orang bahwa Kota Padang termasuk salah satu kota pers tertua di Sumatra.

Seperti yang ditulis Suryadi (2001), sepanjang paroh kedua abad ke-19 sampai paruh pertama abad ke-20, seperti yang dicatat Ahmat Adam dalam artikelnya “The Vernacular Press in Padang, 1865-1913”, puluhan surat kabar pribumi bermunculan di Padang, tak kurang dari 29 surat kabar daerah telah terbit di Padang dalam periode 1865-1913, dan banyak lagi yang terbit setelah periode itu.

Kini, di Sumatra Barat, semenjak Presiden Soeharto digulingkan pada 21 Mei 1998–di awal abad 21 ini—tercatat 52 buah penerbitan pers hingga akhir tahun 2003—terlepas dari jatuh bangunnya dunia pers itu. Kondisi masing-masing periode itu tentu berbeda sesuai kondisi zamannya, baik itu perbedaan sisi idealisme persnya maupun kepentingan serta latar belakang penerbitan pers itu. Masa lalu tetap sebagai masa lalu. Juga sebaliknya, masa sekarang adalah saat kini. Keterkaitannya adalah spirit dan representasi masyarakat yang melingkunginnya. Beberapa pendapat mengatakan kondisi pers saat sekarang telah kehilangan spirit dan idealismennya. Tak lebih sebagai ruang reportase aktivitas kekuasaan. Sikap pers yang terbit di Sumatra Barat adalah sikap kepentingan kekuasaan dan pengusaha, dan borjuistif. Pers di Sumatera Barat tidak menguatkan sejarahnya sendiri. Pers yang lahir di Sumatra Barat seperti kehilangan identintifikasinya sejalan dengan perkembangan ruang, waktu, dan konteksnya.

Maraknya penerbitan media cetak tidak diiringi dengan makin menguatnya kebutuhan membaca media cetak bagi masyarakat. Sehingga kemampuan untuk bertahan bagi media cetak lebih berorientasi pada pengiklan bukan pembaca. Maka, bagi media cetak “pemburuan” iklan menjadi sangat utama dan vital. Untuk itu pula, seperti harus dimaklumi, menjelang sebuah “peristiwa” besar berlangsung, taruhlah pemilu atau pilkadal, penerbitan media cetak yang baru bak cendawan tumbuh. Orientasi penerbitannya hanya sesaat, instant, dan tanpa idealisme jurnalistik, serta tidak punya arah yang jelas. Kecenderungan demikian berlangsung silih berganti dengan pelaku “pers” yang sama dengan perubahan nama media cetaknya saja.

Memperoleh informasi yang bersih, jelas, dan transparans yang dihadirkan media pers bagi masyarakat menjadi suatu keniscayaan. Sebaliknya, jika informasi yang didedahkan media pers ke tengah masyarakat dengan pelbagai alasan dan bentuk, serta selanjutnya mengalami distorsi yang sangat prinsip, maka media pers telah memanipulasi informasi dan pembohongan sistematis kepada masyarakat.

Maka, bagi media cetak “pemburuan” iklan menjadi sangat utama dan vital. Untuk itu pula, seperti harus dimaklumi, menjelang sebuah “peristiwa” besar berlangsung, taruhlah, misalnya, pilkadal, pelantikan pejabat, anugrah untuk sebuah kota, dan lain-lainnya, penerbitan media cetak yang baru bak cendawan tumbuh. Kecenderungan demikian berlangsung silih berganti dengan pelaku “pers” yang sama dengan perubahan nama media cetaknya saja.

Jika kita jeli, amatilah produk pers yang hadir saat sekarang. Kita akan menjumpai berita dengan pola dan bentuk bervariasi dengan kecenderungan news order (berita orderan) dari sosok pejabat, penguasa, pengusaha, dan lain sebagainya. Berita berita orderan tentu saja dengan imbalan uang sekian ratus ribu sampai jutaan. Dari sini, wartawan yang bernegoasiasi dengan sosok itu juga mendapat komisi atau fee dari perusahaan surat kabar tempat ia bernaung. Besaran komisi dan fee itu bervariasi tergantung kebijakan perusahaan surat kabar masing-masing. Biasanya tak lebih 30% dari nilai negosiasi itu.

Media pers seperti itu telah melakukan pembohongan kepada kepada masyarakat dengan pola pembungkusan yang rapi terhadap fakta-fakta seolah-seolah yang hadir pada lembar surat kabar mereka fakta yang sesungguhnya. Idealnya, kerja jurnalistik mengolah fakta menjadi informasi jurnalisme, Keberadaan media jurnalisme tidak dapat terlepas dari platform demokrasi yang menjaga keberadaan warga dalam konteks kebebasan: "kebebasan untuk" (freedom for) dan "kebebasan dari" (freedom from).

Dengan kata lain, materi yang dijadikan informasi jurnalisme adalah fakta yang berasal dari kehidupan publik. Inilah yang membedakan media jurnalisme dengan media lainnya, yaitu dalam pengutamaan informasi yang berasal dari fakta publik. Karenanya fakta personal kendati menjadi informasi media, tidak dapat disebut sebagai informasi jurnalisme. Suatu fakta hanya dapat dipandang bernilai jika ditempatkan dalam proses sosial yang menjadi "ruang"nya.

Kini dusta jurnalisme terus mengalir ke tengah publik. Manipulasi fakta yang dilakukan media pers sebenarnya telah berlangsung semenjak Orde Baru hingga kini. Dan itu tidak mungkin kita bandingkan dengan pers yang lahir di Sumatra Barat pada abad-19 dan awal 20. Maka, jangan heran, Sumatra Barat tidak memiliki media pers yang “monumental” keberadaannya. Karena semua telah masuk dalam lingkaran politik kepentingan.***

No comments:

Post a Comment