KODE-4

Tuesday, February 20, 2007

Catatan Pertunjukan Teater Noktah Padang

Tafsir Dua Teks Kultural Minangkabau

OLEH Nasrul Azwar

Tafsir terhadap teks telah menjadi wilayah kuasa sutradara teater yang paling absolut. Pada wilayah teks budaya yang maha luas itu, sutradara merambah belantara ikon, simbol budaya, dan penanda sosial lainnya untuk diwujudkan dalam estimasi ruang dan waktu dalam satu frame panggung dengan pertanggungjawaban kreatif sutradara.

Tafsir yang direpsentasikan dengan sebutan pementasan teater kerap memiliki kecenderungan pengaktualisasian tematik dengan kondisi kekinian. Teks budaya (tradisi) yang mendasarinya menjadi pijakan dan landasan kreatif sutradara untuk merentangkan sebuah “historiografi” perjalanan masa, katakanlah, semenjak munculnya sebuah cerita dengan tradisi oral hingga ke tradisi tulis pada saat sekarang. Masa atau zaman yang panjang itu—terlihat mencengangkan—dapat dimanpatkan dalam satu kerangka panggung dengan durasi cerita yang singkat oleh sutradara teater. Nyaris semua kelompok teater yang ada di Indonesia tak lepas dari pola dan tafsir seperti itu.

Menoleh ke belakang (tradisi) sebagai basis kreativitas bukan hal baru dalam teater modern Indonesia. Tendensi serupa ini telah berlangsung lama. Dalam tafsir yang demikian, ada “kesombongan tradisi” masa lalu yang menjadi kebanggaan kreativitas. Pada batas ini, kecelakaan tafsir sering terjadi—seperti yang diungkapkan Ninuk Kleden (2004)—anggapan bahwa kebudayaan dapat berperan sebagai identitas etnik mempunyai konsekuensi teoritis yang mengharuskan orang memperlakukan kebudayaan sebagai “tanda”. Sementara pemikiran tentang hubungan antara tanda (signified) dengan yang ditandai (signifier) telah mengalami perubahan. Kalau semula hubungan tersebut boleh dikatakan memiliki makna tunggal, kini tidak demikian lagi. Jadi, tafsiran tentang representasi identitas, dalam hal ini identitas etnik, bukan merupakan hubungan yang linear dan bukan merupakan hubungan yang final.

Tafsir terhadap representasi identitas etinik, taruhlah Kaba Sabai Nan Aluih yang berasal dari etnis Minangkabau, adalah tanda yang ditandai dengan memakai perangkat kekinian dalam pertunjukan teater Perempuan itu Bernama Sabai, yang dipentaskan Teater Noktah Padang di Taman Budaya Sumatra Barat pada 6-7 Agustus 2005 dan 13 Agustus di Tapian Nagari Balingka, dengan sutradara Syuhendri, tampaknya—sepanjang pertunjukan—mengalami metamorfosis pengerucutan simbolisasi dengan menafikan kekuatan tradisi oral (lisan) budaya etnik Minangkabau. Pertunjukan sepanjang lebih-kurang 50 menit itu memang berada dalam cengkeraman “kekuasaan” tafsir sutradara. Kaba Sabai Nan Aluih sebagai tradisi oral laksana lukisan realis yang diresepsi lalu ditafsirkan sebagai karya lukis surealis dengan penamaan Perempuan itu Bernama Sabai. Kekuatan kata-kata dalam Kaba Sabai Nan Aluih tak lagi ditemukan dalam pertunjukan teater Perempuan itu Bernama Sabai. Semua telah digantikan dengan tanda dan simbol yang dihadirkan di panggung.

Rentang zaman—semenjak Kaba Sabai Nan Aluih ditulis Dr. Ph. S. van Ronkel dalam TBG. deel 56 – 1914 (Anas Nafis, 2005), hingga Perempuan itu Bernama Sabai, cerita ini memang telah terbuka untuk ditafsirkan oleh siapa saja. Akan tetapi, ia akan menjadi sangat berbeda dan perlu dipertanyakan juga alasannya ketika kehadiran Perempuan itu Bernama Sabai tidak dikaitkan dengan Kaba Sabai Nan Aluih. Keterkaitan itu jelas telah berlangsung dalam wilayah tafsir teks Kaba Sabai Nan Aluih dengan melewati kode-kode budaya lisan sampai memunculkan teks-teks baru dengan kode-kode budaya kontemporer menurut tafsir sutradara.

Menurut Anas Nafis (2005) dalam pengantar saduran cerita klasik Kaba Sabai Nan Aluih, sebenarnya kaba atau cerita Sabai Nan Aluih ini tidaklah tertata dalam struktur adat Minangkabau yang baku. Dalam cerita ini diriwayatkan Rajo Nan Panjang membunuh Rajo Babandiang, yaitu ayah si Sabai karena lamarannya ditolak. Dalam adat Minangkabau seorang ayah tidaklah berperan atau menentukan jodoh anak-anaknya. Sebagai seorang sumando dalam keluarga isterinya sang bapak boleh dikatakan sebagai tukang aminkan saja. Seharusnya Rajo Nan Panjang berang kepada mamak Sabai, sebab mamaknyalah yang berperan dalam menentukan jodoh Sabai dan bukan ayahnya, yaitu Rajo Babandiang.

Dalam pertunjukan Perempuan itu Bernama Sabai karya/sutradara Syuhendri gagasan yang dimunculkan tak jauh beda dengan sumber ceritanya, namun pada Perempuan itu Bernama Sabai porsi lebih besar ditujukan kepada perjuangan Sabai terhadap eksistensinya sebagai perempuan.

Mamak dalam struktur adat Minangkabau secara genetikal adalah saudara laki-laki dari ibu. Posisi mamak sangat dominan dan penting dalam keluarga dan sistem kekerabatan matrilineal Minangkabau. Pada naskah Sabai Nan Aluih klasik dan juga pada teater Perempuan itu Bernama Sabai, posisi mamak memang tidak tampak, dan dari itu pula tidak relevan menggugat dan mencari posisi mamak dalam kedua naskah itu. Karena aksentuasinya akan berbeda.

Dalam Perempuan itu Bernama Sabai posisi penceritaan berada dalam kapasitas “audio visual” yang berlangsung di atas pentas. Dalam kaba klasik Sabai Nan Aluih posisi penceritaan dipegang tukang cerita atau tukang kaba dengan kapasitas “audio” minus visual. Dari dua wilayah cerita yang berangkat dalam titik yang sama itu menandai sejarahnya masing-masing, menyimbolkan tanda dan penanda yang berbeda. Artinya, telah terjadi transformasi kultural dalam konteks pemaknaan yang berubah. Pemikiran tentang hubungan antara tanda (signified) dengan yang ditandai (signifier) telah mengalami perubahan. Perempuan itu Bernama Sabai adalah penanda kultural yang diaktulisasikan dengan kuasa tafsir sutradara, sedangkan kaba klasik Sabai Nan Aluih menempati kuasa tafsir dalam “teks” yang si tukang kaba. Ada dua wilayah historis kultural yang berdialog dengan bahasanya sendiri.

Selain itu, pilihan Teater Noktah bermain di alam terbuka dalam keterkaitannya dengan teks yang sesungguhnya telah demikian menyatu dengan masyarakat Minangkabau, bagi saya merupakan pilihan yang tepat. Kaba klasik Sabai Nan Aluih merupakan cerita rakyat telah akrab dalam aktivitas sehari-hari masyarakat Minangkabau, dan hampir semua orang mengenalnya. Pilihan di alam terbuka juga berkaitan dengan seni pertunjukan randai Minangkabau yang dimainkan di alam terbuka (galanggang). Pilihan demikian memperlihatkan sinkronistis yang menautkan dua wilayah teks. Kaba Sabai Nan Aluih adalah cerita rakyat yang acap dimainkan dalam pertunjukan randai di nagari-nagari di Sumatra Barat. Maka, pertunjukan Perempuan itu Bernama Sabai yang dipentaskan Teater Noktah tak lebih sebagai “reinkarnasi” dalam resepsi publik yang telah membenam di ruang-ruang “imajinasi” mereka.

Dari itu pula, pertunjukan Perempuan itu Bernama Sabai yang dilangsungkan di Tapian Nagari Balingka Kabupaten Agam pada 13 Agustus 2005, yang audiennya adalah masyarakat nagari itu sendiri, sambutan penonton sangat antusias. Dan sangat berbeda dengan pertunjukan yang digelar sebelumnya di Plaza Taman Budaya Sumatra Barat, yang memang penontonnya tidak lagi memiliki memori ingatan dengan teks kaba Sabai Nan Aluih.

Pada batas ini, teater berada posisi yang sangat terbuka untuk ditafsirkan. Pementasan Noktah memperlihatkan kuasa tafsir yang berlangsung dalam resepsi dan memori ingatan penonton tampak sangat dominan. Publik penonton di Nagari Balingka lebih leluasa memberi makna baru terhadap teks teater yang disuguhkan di galanggang ketimbang penonton di Kota Padang. Pengayaan tafsir berkembang dalam ingatan publik dengan referensial yang pernah singgah dalam memori masa kecil mereka, sementara resepsi dan referensial publik yang menyaksikan pertunjukan Perempuan itu Bernama Sabai di Padang mengalami distorsi tafsir. Artinya, mereka kurang leluasa. ***

No comments:

Post a Comment