OLEH Nasrul Azwar
Penetapan anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Daerah, yang dimasukkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional/Daerah (APBN/D) dan besarnya diambil dari pendapatan asli suatu daerah, kini memang telah menjadi realitas publik. Hampir semua lembaga legislatif di negara ini tak pernah lepas dari kontorversi penetapan anggaran legislatif itu sendiri.
Gejala-gelaja demikian bukan lagi sebatas “keinginan” yang tersembunyi bagi anggota dewan, akan tetapi gejala itu telah menjelma menjadi tujuan dan target bagi anggota dewan itu sendiri. Indikator demikian, bukan semata sebagai letupan kegembiraan dengan berubahnya posisi legislatif sebagai mitra pemerintah serta euforia penerapan UU No 22/1999, tetapi dapat diinilai sebagai indikator yang sangat-sangat negatif.
Jika diamati lebih jauh, maka indikator yang menguatkan kesan sangat-sangat negatif itu adalah; menyangkut sikap lembaga legislatif — termasuk di Sumatra Barat — sangat bertolak belakang dengan hakiki dan prinsip makna dari otonomi daerah itu sendiri. Buktinya, indikasi penafsiaran otonomi daerah mengarah pada ancaman keutuhan negara kesatuan Indonesia (simak Maklumat DPRD Sumatra Barat tentang Spin-off Semen Padang); juga tentu saja gejala dan sikap anggota legislatif menutupi kemungkinan pemberantasan korupsi kolusi, dan nepotisme. Bagaimana akan memberantas KKN, sementara anggota DPRD Sumatra Barat saja, kini sedang dalam penyelidikan Kejaksaan Tinggi Sumatra Barat, karena dugaan korupsi dalam penetapan anggaran mereka, misalnya?
Sikap dan indikasi negatif itu sebenarnya bukan saja berjangkit di dalam jajaran legislatif saja, juga telah merambah ke para politisi lokal, pemda dan juga kalangan aktivis partai. Sikap demikian, jelas sangat bertentangan sekali dengan sikap positivisme. Jika positivisme dimaknai sebagai suatu pandangan dan sikap manusia yang bertumpu dan berdasarkan pada aliran yang hanya mengakui kebenaran hukum yang kontekstual, maka sikap negativisme merupakan kebalikannya. Negativisme mengakui keberadaan hukum secara kontekstual, namun penafsiran dan penerapannya berdasarkan dan mengacu pada latar belakang kepentingan sendiri atau kelompoknya, dan tidak diletakkan dalam konteks keterkaitan dengan hukum lain yang lebih tinggi atau relevan dengan ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya. Sikap demikian ini lebih cenderung bertentangan dengan isi, jiwa dan semangat dari suatu hukum yang berlaku (Bambang Yudoyono, 2001).
Perilaku dan sikap itu kini menjadi tren bagi kalangan legislatif dan juga eksekutif. Lihat saja, tak ada yang tidak kontroversial setiap tahun dalam penyusunan anggaran. Jika diasumsikan, indikasi dan gejala latar belakang terjadinya sikap-sikap demikian, tampaknya disebabkan era otonomi dan reformasi ditafsirkan dan dimaknai secara berlebihan dan otonomi daerah dimaknai sebagai legitimasi penguatan kekuasaan di daerah. Artinya, penguasa daerah adalah “raja kecil”. Sehingga, berakibatnya penafsiran terhadap peraturan yang berlaku menjadi seenak perutnya saja. Ini terjadi pada penafsiran PP 110/2000.
Mitra sejajar legislatif dan eksekutif juga diartikan sama dengan kalamak paruik anggota legislatif. Rembesannya, belanja legislatif juga disejajarkan jumlahnya dengan eksekutif. Maka, penyusunan anggaran belanja anggota legislatif setiap tahunnya seiring jumlahnya dengan anggaran eksekutif. Dan tampaknya, permintaan anggaran legislatif selalu dikabulkan eksekutif, dan jarang terdengar seorang Kepala Daerah di Indonesia ini – termasuk Gubernur Sumatra Barat dan juga Wali Kota serta Bupati di daerah-daerah Sumatra Barat -- yang mempertanyakan anggaran legislatif, dan ini juga terjadi di tingkat pusat, tak pernah Presiden mempersoalakan belanja DPR.
Enggannya Presiden/Kepala Daerah mengurusi dan mempersoalkan mata anggaran legislatif tentu dapat saja dimaklumi. Sebab, jika permintaan itu tidak dikabulkan/atau katakanlah terjadi penyusutan, maka jangan harap laporan pertanggungjawaban seorang Presiden/Kepala Daerah diterima oleh legislatif dengan mulus. Dan inilah yang menjadi senjata bagi legislatif (DPR) D, untuk memeras eksekutif.
Selain itu, sikap arogansi anggota legislatif juga mencuat kepermukaan. Perkembangan dan informasi yang mutakhir terlihat bagaimana arogansinya DPR (D) itu, ialah sikap yang tidak memperlihatkan sebagai wakil rakyat, ketika salah seorang Wakil Ketua DPRD Sumatra Barat memperlakukan secara tidak wajar salah seorang wartawan harian Singgalang. Wartawan bersangkutan dihardik karena memberitakan dugaan korupsi yang dilakukan anggota DPRD Sumatra Barat.
Selain itu arogansi anggota legislatif juga terjadi dengan meminta fasilitas berupa gaji yang tinggi, kendaraan setara dengan eselon II di daerah, pakaian dinas lengkap, rumah, kapling tanah, asuransi, dan fasilitas naik haji, serta lain sebagainya, yang jelas sekali tidak memperhitungkan kepatutan, norma, dan kemampuan anggaran.
Gambaran nyata demikian, merupakan sifat kamuflase bagi anggota legislatif. Stigma sebagai wakil rakyat hanya sebagai alat untuk memenuhi kepentingan pribadi dan golongan. Sementara, sudah hampir 3 tahun perjalanan anggota DPR (D), tak dapat dipungkiri, ternyata tak banyak yang diberikan untuk rakyat, hanya rakyatlah yang banyak memberi untuk anggota DPR (D) itu. Paling tidak, rakyat telah memberi, bukan meminta. ***
No comments:
Post a Comment