207 Hari PDRI yang Nyaris
Ditenggelamkan
Bangsa yang
Gagap Jujur pada Pahlawannya
OLEH NASRUL AZWAR
Kami,
Presiden Republik Indonesia, memberitakan bahwa, pada hari Minggu tanggal 19
Desember 1948, djam 6 pagi Belanda telah mulai serangannja atas Ibu-Kota
Jogjakarta. Djika dalam keadaan Pemerintah tidak
dapat menjalankan kewadjibannja lagi, kami
menguasakan kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Republik
Indonesia, untuk membentuk Pemerintah Darurat di Sumatera
Jogjakarta,
19 Desember 1948
Presiden
Wakil
Presiden
Soekarno Moh.
Hatta
Secarik
surat berupa telegram itu, kendati ditujukan langsung kepada Mr.
Sjafruddin Prawiranegara—yang saat itu
menjabat Menteri Kemakmuran—tak pernah sampai ke tangannya. Besar kemungkinan, telegram
itu tak pernah sampai karena
Gedung PTT di Yogyakarta keburu diduduki Belanda
pada Minggu 19 Desember 1948, itu.
Belanda
memang sudah sering mengkhianati hasil perundingan. Beberapa jam sebelum
penyerangan itu, pada 18 Desember 1948, pukul 23.30, Dr Beel, Wakil Tinggi Mahkota
Belanda menyatakan bahwa Belanda tak terikat lagi dengan Perjanjian Renville
yang ditandatangani pada 17 Januari 1948. Di sinilah berawal Perang Kemerdekaan
Kedua.
Perang
Kemerdekaan Pertama juga karena perkara serupa. Belanda ingkar dengan isi Perjanjian
Linggarjati yang ditandatangani 25 Maret 1947. Militer Belanda menyerang
Indonesia pada 21 Juli 1947. Perang pun berkecamuk.
Mandat yang Teramanahkan
Telegram
yang dikirimkan itu memang tak pernah ia ketahui. Namun, saat Sjafruddin
Prawiranegara berada di Kota Bukittinggi—satu-satunya
anggota kabinet yang berada di dalam negeri, tapi berada di luar ibu kota
negara—mendengar siaran Radio Republik Indonesia: ibu
kota Yogyakarta telah dilumpuhkan Belanda
dalam serangan militer yang dikenal dengan Agresi II
Belanda. Serangan militer membabi buta itu dimulai pada subuh, Minggu 19
Desember 1948.
Presiden
Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta, berserta anggota kabinet dan pemimpin
lainnya ditangkap Belanda. Presiden Soekarno dikucilkan di Kota Muntok, Pulau
Bangka.
Sementara
pada hari yang sama, militer Belanda berkonsentrasi pula melumpuhkan Bukittinggi
yang saat jadi ibu kota Provinsi Sumatera. Dentuman bom silih berganti membuat
pucat anak negeri. Pasukan Udara Belanda membombardir Kota Bukittinggi selama
setengah jam. Kota pun porak-poranda.
Dalam
makalah Fadli Zon yang dipapar dalam seminar Satu Abad Mr.
Sjafruddin Prawiranegara di Bukittinggi,
pada 3 April 2011, yang ia kutip dari reportase Agus Jaman di majalah Mimbar Indonesia, Edisi Juli 1949,
serangan militer Belanda kali ini cukup serius dan besar-besaran.
Dilaporkan
Agus Jaman, Senin, 20 Desember 1948, jalur dan akses jalan dari Kayutanam ke
Bukittinggi dan dari Solok serta Payakumbuh ke Bukittinggi, tak hentinya ditekan
dari udara oleh pasukan Belanda. Militer Belanda bak babi luka. Mengamuk dan
menembak apa saja yang mencurigakan.
Esoknya,
Selasa, militer Belanda—pasukan darat dan udara—menghancurkan bangunan-bangunan
militer Indonesia dan gedung-gedung pemerintahan. Rabu, 22 Desember, lebih
kurang seribu tentara jalan dan 6 tank serta artileri Belanda, masuk Kota
Bukittinggi. Dalam tiga hari itu, dua jantung Pemerintahan Republik Indonesia,
jatuh ke tangan Belanda: Yogyakarta dan Bukittinggi.
Dibuahi di Bukittinggi
Sebelum
Bukittinggi jatuh benar ke tangan Belanda, 19
Desember 1948 sekitar pukul 09.00 dilakukan rapat
di Gedung Tamu Agung, Tri Arga, Istana Bung Hatta,
Bukittinggi, yang dihadiri Komisaris Pemerintah Pusat di Sumatera Mr Teuku
Muhammad Hasan, Menteri Kemakmuran Mr. Sjafruddin
Prawiranegara, Mr. Lukman Hakim, Kolonel
Hidayat, Kombes Pol. Umar Said, dan Gubernur Sumatera Tengah Moh. Nasroen dan
lain sebagainya.
Rapat
yang membicarakan kondisi terakhir Pemerintahan Republik Indonesia itu, tak
berjalan baik. Rapat diundur karena pesawat tempur Belanda maraung-raung di
langit Bukittinggi.
Sorenya,
atas inisiatif Mr. Sjafruddin Prawiranegara, rapat digelar di rumah
Mr Teuku Muhammad Hasan di Atas Ngarai Sianok,
Bukittinggi. Mr Sjafruddin
Prawiranegara mengusulkan
pembentukan suatu pemerintah darurat (emergency
government). Usulan itu,
intinya sama dengan isi surat mandat yang dikirimkan Soekarno-Hatta yang tak
pernah ia baca itu.
“Di
akhir perundingan, Teuku Muhammad Hasan berkata: “Ketika itu juga kami tetapkan
bahwa di Sumatera, yaitu Bukittinggi pada tanggal 19 Desember 1948 jam 06.00
sore telah dibentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia, dengan Ketua Mr.
Sjafruddin Prawiranegara dan Wakil Ketua
Teuku Muhammad Hasan. Kota yang akan dibombardir Belanda itu, mengukir sejarah,”
terang Ismael Hassan.
Karena
gempuran militer Belanda yang begitu dahsyat, para pemimpin bangsa ini bergerak
terus menerus dari kejaran militer Belanda. Secara bergelombang, pejabat PDRI
malam itu juga bergerak meninggalkan Bukittinggi, terus ke Kota Payakumbuh, perkebunan
Halaban,
lalu bergerilya ke Koto Tinggi, Sumpur Kudus dan daerah sekitarnya.
PDRI diumumkan secara resmi lewat Radio Republik Indonesia di
Koto Tinggi pada 22
Desember 1948, sekitar pukul 04.30 pagi
sekaligus dengan kabinetnya. Mr. Sjafruddin
Prawiranegara menjadi Ketua PDRI dan Mr Teuku Muhammad Hasan sebagai wakilnya. Selain itu, dibentuk kabinet yang terdiri dari
beberapa orang menteri. Mr. Sutan Moh.
Rasjid sebagai Menteri Keamanan/Sosial/Pembangunan/Pemuda, Mr. Lukman Hakim
sebagai Menteri Keuangan/Kehakiman, Ir M Sitompul sebagai Menteri Pekerjaan
Umum/Kesehatan, Ir Indracaya sebagai Menteri Perhubungan/Kemakmuran, dan RM
Danubroto sebagai Sekretaris. PDRI dibuahi di Kota Bukittinggi, dilahirkan di
Koto Tinggi.
Untuk
Pulau Jawa, PDRI membentuk Komisariat PDRI yang dipimpin dr. Soekiman
Wirjosandjojo.
Panglima
Besar Jenderal
Soedirman ditetapkan sebagai Panglima Besar Angkatan Perang
PDRI. Jenderal Soedirman dibantu Kolonel A.H. Nasution terus melakukan
pergerakan militer secara
bergerilya yang merepotkan Belanda, kendati Panglima Besar perokok berat ini dalam
kondisi bernapas dengan satu paru-paru.
Ketua yang Presiden
Meskipun istilah
yang digunakan waktu itu "ketua", namun kedudukannya sama dengan presiden, meskipun hingga hari ini, perkara apakah Mr.
Sjafruddin Prawiranegara presiden kedua
Republik Indonesia, masih pro-kontra.
Adalah
sejarawan Asvi Warman Adam dari LIPI. Asvi dalam beberapa kali ceramah dan
tulisannya, menegaskan, Mr. Sjafruddin
Prawiranegara adalah Presiden ke-2 Republik
Indonesia.
“Meski
memakai nama ‘ketua’ bukan ‘presiden’,
beliau telah menjalankan fungsi kepresidenan,” tegas Asvi.
Ismael
Hassan, salah seorang Notulis Perundingan Sjafruddin Prawiranegara-Mohammad
Natsir di Padang Jopang, Koto Talago, Limapuluh Kota, pada 6 Juli 1949, dalam
buku Sjafruddin Prawiranegara Penyelemat
Republik (2011) menyebutkan, selain surat telegram untuk Sjafruddin
Prawiranegara, Sidang Kabinet yang dipimpin Soerkarno-Hatta pada 19 Desember
1948 itu, juga menghasilkan surat keputusan lainnya. Bunyinya:
Pro: Soedarsono—Palar—Mr. Maramis New Delhi.
Kami Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa
pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 djam 06.00 pagi Belanda telah memulai
serangannja atas Ibu Kota Jogjakarta. Djika ichtiar Mr. Sjafruddin
Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat tidak berhasil, kepada
Saudara-saudara dikuasakan untuk membentuk Exile Government Republic Indonesia
di India. Harap dalam hal ini berhubungan dengan Sjafruddin di Sumatera. Djika
hubungan tidak mungkin, harap ambil tindakan-tindakan seperlunya.
Jogjakarta, 19 Desember 1948
Wakil Presiden Menteri
Luar Negeri
Moh. Hatta Agus
Salim
Jauh
sebelumnya, Dwitunggal ini sudah memprediksi, Belanda akan mengenakan tahanan
rumah bagi mereka dan pejabat tinggi lainnya.
Maka, mengiriman telegram dilakukan sesegerakan mungkin kepada
tokoh-tokoh yang berada di luar negeri itu. Strategi ini dilakukan jika usaha
Mr. Sjafruddin
Prawiranegara di Sumatera Barat tidak berhasil, maka pimpinan lainnya bisa membentuk pemerintahan darurat di luar
negeri. Tepatnya untuk jaga-jaga. Tapi ternyata, Mr. Sjafruddin
Prawiranegara berhasil menyelamatkan
Republik Indonesia.
PDRI berjalan
secara darurat dan berpindah-pindah mulai dari Halaban ke Riau, Bangkinang, Teluk Kuantan,
Kiliranjao, Sungai Dareh, Muara Bungo, Abai Sangir, kemudian bermarkas di Bidar
Alam, Solok Selatan, selama tiga
setengah bulan. PDRI digerakkan
secara mobile dan terpencar yang
cakupan wilayahnya sampai ke Riau, Aceh, Jambi, Sumatera Selatan, dan Sumatera
Utara.
Perjuangan
PDRI di Sumatera, tulis Ismael Hassan, disambut masyarakat penuh semangat dan
pengorbanan yang besar. Masyarakat
bersama tentara rakyat bahu membahu melawan Belanda dengan senjata apa adanya.
Hal
itu terbukti dengan terbentuk kekuatan-kekuatan sipil-militer, antara lain
Front Pertahanan Nasional (FPN), Dewan Perjuangan, dan bermetamorfosis menjadi
Markas Pertahanan Rakyat Daerah (MPRD) dengan Barisan Pengawal Negeri dan Kota
(BPNK), lalu disempurnakan dengan Pasukan Mobil Teras (PMT) BPNK.
Syeikh
(Inyiak) Abbas Abdullah Padang Jopang tak ketinggalan ikut memberi kontribusi
dalam perjuangan PDRI itu. Inyiak ini membentuk Barisan Sabilillah (Pasukan
Syahid) untuk membentengi PDRI. Pekikan dan gelora perjuangan Inyiak yang sangat
terkenal, yaitu syahid membela Republik!
Koto
Tinggi mengambil peran penting sebagai pusat PDRI. Demikian juga dengan Bidar
Alam.
Selain
di Sumatera, perang melawan Belanda juga berkecamuk di Jawa Barat, Jawa Tengah,
dan Jawa Timur.
Semua
informasi itu, disimak pejuang PDRI lewat radio India, Austraslia, VOAn dan BBC
London.
Marah
Menurut
sejarahwan Nina Herlina Lubis, ketika Letnan Jenderal Simon Spoor mengatakan bahwa Republik
Indonesia sudah tidak ada lagi, ternyata Sjafruddin berhasil mengumandangkan ke
dunia luar bahwa Republik masih ada, dengan esksistensi
Pemerintah
Darurat Republik Indonesia. Hal ini menyebabkan PBB mendorong Belanda untuk
kembali ke meja perundingan. Selain itu,
diplomasi Indonesia di luar negeri intensif berjalan.
Perundingan
itu disebut dengan perundingan Roem-Roiyen yang dilakukan pada 14 April 1949 saat perang gerilya
tengah bergejolak. Tak jelas sebabnya, perundingan itu dilakukan
tanpa sepengetahuan Ketua PDRI sehingga membuat Mr Sjafruddin
Prawiranegara tersinggung dan marah.
Kemarahan
itu wajar saja. Karena Mr Sjafruddin
Prawiranegara adalah Ketua PDRI yang
memegang kekuasaan pemerintah termasuk memegang komando taktis perang gerilya
yang dipimpin Panglima Besar Jenderal Soerdirman.
Dalam
buku kecil Sekilas Catatan Satu Abad Mr Sjafruddin
Prawiranegara (1911-2011)
yang ditulis A.M. Fatwa dikatakan, sejak semula Panglima Besar Jenderal
Soerdirman kecewa terhadap Presiden Soekarno yang memilih menyerah untuk
ditawan Belanda. Padahal semula menjanjikan akan memimpin langsung perang
gerilya di Jawa dan Sumatera. Jenderal Soerdiman kepada Ketua PDRI di Sumatera
menyampaikan protes kerasnya kepada Bung Karno atas perundingan Roem-Roiyen.
“Terjadi
ketegangan antara Ketua PDRI dan Bung Karno karena memberi mandat kepada Mr Mohomad
Roem yang sama-sama masih dalam status tahanan Belanda melakukan perundingan
dengan Van Roiyen dari Belanda,” kata A.M. Fatwa.
“Mengapa
PDRI tak dibawa serta dalam perundingan itu!” tegas Mr Sjafruddin
Prawiranegara, pria kelahiran Serang, Banten, 28 Februari 1911, yang dalam lingkungan keluarganya dipanggil “Kuding”
ini.
Saat
itu, demi mempertahan
dan menjaga persatuan kesatuan Republik Indonesia, Mr
Sjafruddin
Prawiranegara dengan jiwa kenegawanannya menerima
keputusan hasil perundingan Roem-Roiyen,
kendati saat itu, Wakil Presiden Moh Hatta cukup sulit meyakinkan Mr. Sjafruddin
Prawiranegara.
Dalam
sidang
kabinet yang digelar secara resmi pada 13 Juli 1949, Mr Sjafruddin Prawiranegara ketika
menyerahkan mandat (yang tidak pernah secara resmi diterimanya), menegaskan kembali sikap PDRI.
“PDRI tidak punya pendapat mengenai pernyataan Roem van Roiyen, tetapi semua
akibat ditanggung bersama.”
Perundingan Dicairkan dengan Syair
Sepekan
sebelum Mr Sjafruddin Prawiranegara menyerahkan mandat PDRI itu kepada
Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta, tepatnya pada 14 Juni 1949, Mr Sjafruddin Prawiranegara bersama dengan kabinetnya, melakukan Musyawarah
Besar sebagai antisipasi hasil
Perundingan Roem-Roiyen itu. Musyawarah Besar digelar Nagari Silantai, Sumpur Kudus, Sawahlunto.
Pernyataan Roem-Roiyen kemudian
dirundingkan dengan hasil
Mubes Sumpur Kudus ketika Mr.
Sjafruddin Prawiranegara-Mohammad Natsir
berunding pada 6 Juli 1948 di Nagari Padang Jopang, Limapuluh Kota. Padang Jopang merupakan pusat terakhir PDRI.
Bung
Karno mengutus delegasi yang dipimpin Mohammad Natsir dengan anggota dr.
Leimena dan dr. A. Halim menemui Mr Sjafruddin
Prawiranegara merundingkan tata cara penyerahan kembali mandat
kepada Presiden Soerkarno. Sebelumnya, Bung Hatta gagal menemui Mr Sjafruddin
Prawiranegara.
“Dengan
cara ini Mr. Sjafruddin
Prawiranegara telah
memperlihatkan makna etika kekuasaan(ethics
of power) dalam kehidupan politik bernegara
yang
nyata. Kini etika kekuasaan seperti itu jarang kita temukan
saat ini,” kata Nina Herlina Lubis dalam sebuah tulisannya.
Perundingan
Padang Jopang, Tujuh Koto Talago itu memang berjalan menegangkan. Perundingan
antara delegasi Mohammad Natsir yang dihadiri lengkap petinggi PDRI, antara
lain Mr Sjafruddin Prawiranegara, Teuku Muhammad Hasan, Sutan Moh. Rasjid,
Lukman Hakim, dan lainnya.
SJ
Sutan Mangkuto, sebagai Bupati Militer Limapuluh Kota bertindak sebagai tuan
rumah. Ia didampingi Azwar ZA dan Ismael Hassan. Perundingan yang dilakukan di
rumah Kak Jawa dimulai pukul 20.00 sesudah Isya hingga pukul 04.00 menjelang
Subuh pada 6 Juli 1949.
Saat itu, pihak PDRI mempertanyakan tentang perundingan
Roem-Roiyen kepada pihak utusan Mohammad Natsir: “Kenapa PDRI tidak diajak
dalam perundingan Roem-Roiyen padahal yang berkuasa sesungguhnya adalah PDRI.”
Lalu
utusan Mohammad Natsir menjawab: “Dulu sewaktu Soekarno-Hatta
ditawan kami tak tahu bagaimana nasib Republik apabila PDRI tidak ada, dan
sekarang pun kami tak tahu bagaimana nasib Republik kalau Bung Sjafruddin tidak bersedia kembali ke Yogyakarta.”
“Tiba-tiba dalam
perundingan yang menegangkan dan mencekam, serta nyaris buntu itu, jelang masuk
waktu Subuh, M Natsir melantunkan syair klasik Arab. Syair ini melunakkan hati
pihak PDRI. Suasana pun cair. Akhirnya, Ketua PDRI menyerah dan bersedia ke
Yogyakarta mengembalikan mandat, yang sesungguhnya tak pernah ia terima itu
kepada Soekarno-Hatta,” terang Ismael Hassan.
Di akhir
perundingan itu, Sjafruddin Prawiranegara berkata: ”Dalam perjuangan kita tak
pernah memikirkan pangkat dan jabatan karena kita berunding pun duduk di atas
lantai, yang penting adalah kejujuran, siapa yang jujur kepada rakyat dan jujur
kepada Tuhan, perjuangannya akan selamat.”
“Seusai
perundingan yang menegangkan itu, kami antarkan Sjafruddin dan Natsir mandi di
pincuran Tabek Gadang,” kata Ismael
Hassan.
Kurang
lebih delapan bulan, 19 Desember 1948–13 Juli 1949 bergerilya di pedalaman Sumatera untuk mempertahankan
eksistensi Republik Indonesia, akhirnya, Mr. Sjafruddin
Prawiranegara menyerahkan mandat
kepada
Presiden Soekarno pada 13 Juli 1949 di Yogyakarta.
Menangis Setelah 10 Tahun Berlalu
Adalah
H Kamardi Rais Dt P Simulie seorang wartawan dalam bukunya Mesin Ketik Tua (2005), menuliskan wawancaranya dengan Mr
Sjafruddin Prawiranegara saat berkunjung ke Payakumbuh, sekitar tahun 1970.
Dengan
sangat apik, Kamardi mengisahkan bagaimana Mr Sjafruddin Prawiranegara
terisak-isak di depan masyarakat Suliki dan Koto Tinggi yang sudah sepuluh
tahun ia tinggalkan. Ia bicara tak begitu panjang.
“Saya
catat pesannya yang pendek, tak lebih sepuluh menit. Tenggorokannya tersekat
oleh isak tangisnya. ‘Saudara-saudaraku. Dua kali kita berjuang menentang
kezaliman. Pertama, kezaliman Belanda dan kita tegakkan PDRI. Lalu yang kedua
menentang kezaliman diktator Soekarno, dan perlawan kita dinamakan PRRI. Kita
berjuang dengan hati tulus dan jujur,’” tulis Kamardi .
Butuh 57 Tahun Mengakui PDRI
Ironis
memang. Rezim berkuasa, semenjak Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi, tampak
sangat berat hati mengakui eksistensi fakta sejarah bahwa PDRI yang telah
mempertahankan keberadaan Republik Indonesia semenjak 19 Desember 1948-13 Juli
1949.
Sejarah
sepertinya milik yang sedang berkuasa. Apa yang dikatakan sejarahwan Taufik
Abdullah, terasa benar: pemegang kekuasaan mempunyai kepentingan dengan
bagaimana sejarah ditulis.
Maka,
tak heran, selama lima puluh tujuh tahun, sejarah PDRI secara sistemik, seperti
direnggutkan dari ingatan rakyat Indonesia. Rezim yang berkuasa punya peran
untuk mengaburkan ingatak kolektif itu.
Banyak
kalangan yang berpendapat, keterlibatan sebagian besar aktor-aktor PDRI dalam
perjuangan koreksi terhadap kebijakan pemerintah pusat, yang dikenal dengan
Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang
diketuai oleh Mr Sjafruddin yang bagi
Pemerintah Pusat disebut pemberontak, sebagai salah satu faktor agar PDRI
dikubur.
Dalam
buku Membaca Sjafruddin Prawiranegara:
dari Ekonomi sampai PRRI (2011), Yusril Izha Mahendra menulis: “Kita harus
jujur lebih jujur memandang sejarah, gejala-gejala yang kompleks tidak dengan
begitu saja dapat disederhanakan dalam satu-dua kalimat.”
Untuk
itu pulalah, setelah berbagai proses dan perjuangan panjang berbagai pihak,
akhirnya pemerintah harus mengakui bahwa 19 Desember sebagai Hari Bela Negara
pada tahun 2004. Penetapan tanggal 19 Desember itu terkait dengan berdirinya
PDRI pada tahun 1948 di Bukittinggi. Pada tahun 2011, pemerintah
menganugerahkan Pahlawan Nasional untuk Sjafruddin Prawiranegara.
Syafruddin
Prawiranegara pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri, Menteri Keuangan,
dan Menteri Kemakmuran. Ia menjabat sebagai Wakil Menteri Keuangan pada tahun
1946, Menteri Keuangan yang pertama kali pada tahun 1946 dan Menteri Kemakmuran
pada tahun 1947.
Syafruddin Prawiranegara memiliki
nama kecil Kuding,
lahir di Serang, Banten 28 Februari 1911 mengalir
darah
Minangkabau dan Sunda Banten. Darah Minangkabau berasal dari buyutnya Sultan
Alam Intan masih keturunan raja Pagaruyung. Sultan Alam Intan dibuang ke Banten
oleh Belanda karena terlibat perang Paderi. Di sana ia menikah dengan
putri bangsawan Banten dan melahirkan kakeknya R. Arsyad Prawiraatmaja.
Jujur
Sjafruddin
Prawiranegara berpulang ke rahmatullah pada 15 Februari 1989 di Jakarta.
Selesai salat jenazah di Masjid Agung Al-Azhar,
Jakarta, menjelang diberangkatkan ke TPU Tanah Kusir, Mohammad Natsir atas nama
sahabat seperjuangan dan mewakili tokoh Masyumi yang masih hidup saat itu, memberi sambutan
perpisahan. Pak Natsir berkata, “Tidak ada kata-kata yang tepat untuk
menggambarkan almarhum Sjafruddin Prawiranegara, selain kata: Istiqamah!” tulis M. Fuad Nasar, M.Sc dalam blognya.
Dalam
buku Mr. Sjafruddin
Prawiranegara Pemimpin Bangsa dalam Pusaran Sejarah
(2011), yang ditulis Johannes Riberu disebutkan, berdasarkan paham
etis ini, Sjafruddin dan juga rekan-rekannya Kasimo, Simatupang, Mohamad Roem,
Mohammad Natsir, menghayati paham bahwa kebesaran manusia tidak terdiri atas
kekayaan, kegemerlapan
dan kemewahan hidup, tidak terdiri atas penampilan yang serba ‘wah!’, melainkan
atas kebesaran dan kekesatriaan jiwa, yang tampil dalam pengabdian kepada sesama
tanpa banyak berbicara dan bergembar-gembor.”
“Karakter
dan sifat kepribadian yang menonjol pada diri Sjafruddin adalah jujur,
sederhana dan terbuka. Jujur dalam perkataan dan perbuatan,” tulisnya lagi.
Tapi
sayang, tak banyak pemimpin saat ini yang mau meneladani Sjafruddin Prawiranegara. ***
DAFTAR BACAAN
1.
Hasaan, Ismael, Sjafruddin
Prawiranegara Penyelamat Republik, Jakarta, YAPI, 2011
2.
Fatwa, A.M, Sekilas
Catatan Satu Abad Mr Sjafruddin
Prawiranegara, Jakarta, YAPI, 2011
3.
Mahendra, Yusril Ihza, Membaca Sjafruddin
Prawiranegara (Dari Ekonomi ke PRRI), Jakarta, YAPI,
2011
4.
Rais, Kamardi Dt P Simulie, Mesin Ketik Tua (Paparan, Ulasan, dan Komentar Seorang Wartawan Tua),
Padang, PPIM, 2005
5.
Zed, Mestika, dkk, Sumatera Barat di Panggung Sejarah
(1945-1995), Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1998
6.
Zed, Mestika, Pemerintah
Darurat Republik Indonesia: Sebuah Mata Rantai Sejarah yang Terlupakan,
Jakarta, Grafiti, 1997
7.
Sambutan AM Fatwa sebagai Ketua Umum Panitia Satu Abad
Mr Sjafruddin
Prawiranegara (1911-2011)
8.
Makalah Fadli Zon berjudul Sjafruddin
Prawiranegara dan Peran PDRI dalam Mempertahankan Eksistensi RI,
dalam seminar Satu Abad Mr Sjafruddin Prawiranegara (1911-2011) di Bukittinggi
9.
Majalah Tempo Edisi 12-18 November 2012
No comments:
Post a Comment