Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 37 Tahun 2006 tentang Tunjangan Komunikasi Intensif dan Operasional Anggota DPRD, yang dikeluarkan pemerintah dipengujung tahun 2006, memicu berbagai reaksi dari pelbagai kalangan masyarakat, mahasiswa, dan LSM. Penetapan anggaran itu bervariasi masing-masing daerah sesuai dengan keinginan penguasa setempat. Walau ada juga pemerintah daerah yang menolak PP itu, tapi banyak juga yang menerima dan berdiam diri saja. Paling tidak, alasan menolak karena dana itu dibebankan kepada anggaran belanja daerah, dan dihitung semenjak bulan 1 Januari 2006. Artinya, masing-masing anggota DPRD menerima rapel terhitung selama 1 tahun. Jumlahnya sangat luar biasa, sehingga banyak daerah-daerah yang pendapatan aslinya kecil, kelisimpansingan memenuhi regulasi yang tidak memihak pada rakyat itu. Sebelum PP No 37/2006 keluar, anggota DPRD sudah menerima gaji yang cukup besar juga. Kini, rata-rata penghasilan anggota DPRD minimal 10-15 juta rupiah setiap bulan ditambah dengan santunan untuk keluarga. Ironisnya lagi, pajak penghasilan yang diterima anggota DPRD itu dibebankan lagi ke APBD.
PP Nomor 37 Tahun 2006 juga mengatur penghasilan pimpinan dan anggota DPRD, menunjukkan angka yang luar biasa besarnya. Selain karena besarnya uang tunjangan, juga karena pada beberapa item tertentu diberlakukan secara surut mulai 1 Januari 2006. Di Yogyakarta misalnya, satu orang Pimpinan DPRD Propinsi dapat memperoleh tambahan pendapatan (kurang lebih) 250 juta rupiah. Dalam beberapa data yang diperoleh di Provinsi Sulawesi Selatan, beberapa menunjukkan defisit anggaran akibat semua PAD habis untuk tambahan penghasilan akibat PP ini.
Demikian, secuil fakta bagaimana negeri ini dirampok, diperas, dan ditodong dengan sistem regulasi yang rapi. Peraturan dibuat untuk mengumpulkan kekayaan.
Gejala-gelaja demikian bukan lagi sebatas “keinginan” yang tersembunyi bagi anggota dewan, akan tetapi gejala itu telah menjelma menjadi tujuan dan target bagi anggota dewan itu sendiri. Indikator demikian, bukan semata sebagai letupan kegembiraan dengan berubahnya posisi legislatif sebagai mitra pemerintah serta euforia penerapan UU No 32/2004, tetapi dapat dinilai sebagai sebuah tabiat yang sangat memalukan.
Ironi dan paradoks. Kebohongan dan kemunafikan. Jika diamati lebih jauh, memperkaya diri bagi anggota DPRD dengan mengeruk uang rakyat dengan cara sistematis, menjadi kaharusan. Sikap dan indikasi negatif itu sebenarnya bukan saja berjangkit di dalam jajaran legislatif saja, juga telah merambah ke para politisi lokal, pemda dan juga kalangan aktivis partai. Sikap demikian, jelas sangat bertentangan sekali dengan sikap positivisme. Jika positivisme dimaknai sebagai suatu pandangan dan sikap manusia yang bertumpu dan berdasarkan pada aliran yang hanya mengakui kebenaran hukum yang kontekstual, maka sikap negativisme merupakan kebalikannya. Negativisme mengakui keberadaan hukum secara kontekstual, namun penafsiran dan penerapannya berdasarkan dan mengacu pada latar belakang kepentingan sendiri atau kelompoknya, dan tidak diletakkan dalam konteks keterkaitan dengan hukum lain yang lebih tinggi atau relevan dengan ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya. Sikap demikian ini lebih cenderung bertentangan dengan isi, jiwa dan semangat dari suatu hukum yang berlaku.
Perilaku dan sikap itu kini menjadi tren bagi kalangan legislatif dan juga eksekutif. Lihat saja, tak ada yang tidak kontroversial setiap tahun dalam penyusunan anggaran. Jika diasumsikan, indikasi dan gejala latar belakang terjadinya sikap-sikap demikian, tampaknya disebabkan era otonomi dan reformasi ditafsirkan dan dimaknai secara berlebihan dan otonomi daerah dimaknai sebagai legitimasi penguatan kekuasaan di daerah. Artinya, penguasa daerah adalah “raja kecil”.
Mitra sejajar legislatif dan eksekutif juga diartikan sama dengan kalamak paruik anggota legislatif. Rembesannya, belanja legislatif juga disejajarkan jumlahnya dengan eksekutif. Maka, penyusunan anggaran belanja anggota legislatif setiap tahunnya seiring jumlahnya dengan anggaran eksekutif. Dan tampaknya, permintaan anggaran legislatif selalu dikabulkan eksekutif, dan jarang terdengar seorang Kepala Daerah di Indonesia ini – termasuk Gubernur Sumatra Barat dan juga Wali Kota serta Bupati di daerah-daerah Sumatra Barat-- yang mempertanyakan anggaran legislatif, dan ini juga terjadi di tingkat pusat, tak pernah Presiden mempersoalakan belanja DPR.
Selain itu, sikap arogansi anggota legislatif juga mencuat kepermukaan. Perkembangan dan informasi yang mutakhir terlihat bagaimana arogansinya DPR (D) itu, ialah sikap yang tidak memperlihatkan sebagai wakil rakyat, ketika salah seorang Wakil Ketua DPRD Sumatra Barat memperlakukan secara tidak wajar salah seorang wartawan harian yang terbit di Kota Padang. Wartawan bersangkutan dihardik karena memberitakan dugaan korupsi yang dilakukan anggota DPRD Sumatra Barat.
Selain itu arogansi anggota legislatif juga terjadi dengan meminta fasilitas berupa gaji yang tinggi, kendaraan setara dengan eselon II di daerah, pakaian dinas lengkap, rumah, kapling tanah, asuransi, dan fasilitas naik haji, serta lain sebagainya, yang jelas sekali tidak memperhitungkan kepatutan, norma, dan kemampuan anggaran.
Gambaran nyata demikian, merupakan sifat kamuflase bagi anggota legislatif. Stigma sebagai wakil rakyat hanya sebagai alat untuk memenuhi kepentingan pribadi dan golongan. Sementara, sudah hampir 3 tahun perjalanan anggota DPR (D), tak dapat dipungkiri, ternyata tak banyak yang diberikan untuk rakyat, hanya rakyatlah yang banyak memberi untuk anggota DPR (D) itu. Paling tidak, rakyat telah memberi, bukan meminta. ***
No comments:
Post a Comment