Generasi yang akan menentukan hitam-putihnya masa depan Sumatra Barat pada masa sekarang adalah generasi yang lahir pada dekade 1970-an ke atas. Artinya, generasi inilah pada tahun 2010 nanti berada dalam kondisi yang mapan, baik secara sosial, ekonomi, politik (kekuasaan) dan lain sebagainya. Generasi yang lahir di era ini yang akan memegang tampuk kebijakan roda pemerintahan daerah Sumatra Barat. Maka, alangkah sangat menyedihkan, jika suara lantang kembali ke nagari di Sumatra Barat, justru lebih dominan diteriakkan oleh generasi yang relatif tidak akan hadir lagi di tahun-tahun 2010-an ke atas.
Sementara generasi yang lahir di era 1970-an, nyaris tidak pernah mengecap dan merasakan bagaimana hidup bernagari di kampungnya, hidup dalam tataran di mana adat menjadi subordinasi yang kental dan inheren dalam kehidupan sosial-budaya Minangkabau.
Dan ‘makluk’ apa itu nagari yang pernah hadir di tanah kelahirannya dan dikatakan telah jadi simbol kekuatan masyarakat Minangkabau, justru mereka ini hanya mendapat penjelasan dari generasi tua-tua, tentu pula sebatas kulit dan itu keternagan yang hebat-hebat saja. Tak lebih hanya romantisme masa lalu. Sudah perangai yang tua-tua di mana saja di muka bumi ini, suka bercerita yang hebat-hebat kepada yang muda-muda.
Dari itu pula, kembali menghidupkan nagari-nagari di Sumatra Barat, tentu malah akan menjadi bahan cimeeh dan olok-olok bagi generasi-generasi yang lahir menjelang tahun-tahun nagari itu “dibekukan” di ranah ini. Pertanyaan yang muncul dalam benak generasi di era yang lahir pada tahun 1970-an adalah, apa faedahnya bagi mereka jika nagari itu dihidupkan kembali, apakah ada jaminan nagari akan hebat seperti cerita orang tua-tua itu?
Jika kini, kita setiap hari disuguhi berita-berita di media massa daerah Sumatra Barat tentang pelantikan Badan Perwakilan Rakyat Nagari (BPRN) dan Wali Nagari oleh pejabat daerah minimal pejabat setingkat Sekretaris Daerah, di daerah Kabupaten dan Kota, maka orang tua-tua di nagari bersangkutan tentu bahagia betul wajahnya. Sedangkan yang muda-muda dan sebagian masyarakat, entahlah. Mungkin bingung.
Tentu saja bingung, sebab yang terbaca dari sekian banyak acara pelantikan BPRN dan Wali Nagari di Sumatra Barat selama ini lebih mencogokkan besar-besar seremonialnya daripada apa yang sesunguhnya menjadi keinginan masyarakat pada saat kini. Untuk mendapatkan minyak tanah saja, misalnya, payahnya minta ampun. Belum lagi tarif listrik, telepon, yang naik dan segala macamnya, yang semuanya dibebankan ke pundak masyarakat. Kini ada lagi istilah kembali ke nagari. Pelantikannya pun pakai upacara segala, biayanya, tentu juga beban masyarakat.
Memang aneh. Maraknya pelantikan BPRN dan Wali Nagari di Kabupaten-kabupten di Sumatra Barat, tampaknya tidak jauh beda dengan ketika demikian ramainya para pejabat meresmikan dan melantik kelompencapir dan kelompok asah terampil di masa Orde Baru berkuasa dulu. Iya ya, apakah ada bedanya pemerintah sekarang ini dengan Orde Baru? Entahlah, tapi yang jelas aleh bakuanya dan mekanisme kerja masih sama.
Persoalan masyarakat yang sangat krusial dan mendesak pada saat sekarang ini, bukan lagi aspirasi dan keinginan yang mengucur dari atas, dari pejabat dan juga anggota DPRD. Namun, yang dimaui masyarakat itu adalah bagaimana pola, sistem, dan mekanisme kerja dari aparat pemerintah dan anggota dewan sebagai wakilnya itu melahirkan kebijakan yang berorientasi pada kebutuhan masyarakat dan juga bagaimana mengelola dengan baik persoalan dan masalah yang dihadapi masyarakat setiap hari itu. Apakah benar masyarakat di Sumatra Barat itu dengan suka cita menyambut kembali ke nagari itu? Jelas tidak data dan fakta konkret yang menunjukkan indikasi kuat ke arah itu. Jika ada institusi/lembaga yang ingin menyebarkan polling tentang itu, saya kira hasilnya akan lain. Dan bisa saja peraturan daerah yang telah dikeluarkan tentang kembali ke nagari jadi batal. Sebab, hasilnya akan menunjukkan kenyataan bahwa masyarakat Sumatra Barat sebenarnya tidak ingin kembali ke nagari, karena tidak mengerti apa itu nagari.
Mengapa demikian? Karena sebagian generasi muda di Sumatra Barat, belum mengerti benar apa itu nagari. Jumlah generasi ini bukan sedikit jumlahnya di Sumatra Barat. Lakukanlah polling secara objektif, saya kira dugaan saya tidak meleset jauh. Ini bisa jadi proyek sebenarnya bagi lembaga/individu yang mau melakukan polling. Satu lagi kans proyek, yang sebelumnya tidak terpikirkan di orang lain.
Maka, jika peraturan daerah telah dikeluarkan sebagai pedoman untuk membentuk pemerintahan nagari, itu pun tak lebih dari produk generasi tua-tua yang ingin menyaksikan di akhir hayatnya ‘ilusi’ nostalgia masa lalu. Sebab, tak ada jaminan yang kuat dan indikator yang jelas dan dapat dipakai bahwa masyarakat ingin kembali ke dalam kehidupan bernagari. Tidak ada data statistiknya yang dapat dipertanggung-jawabkan dan independen. Selain itu pula, tak ada pula jaminan dan kontrak sosial yang mantap bahwa dengan kembali bernagari, kehidupan sosial masyarakat akan terberdayakan dengan baik.
Simbol-simbol Palsu
Pola pelantikan BPRN dan Wali Nagari oleh pejabat pemda sebagai simbolisasi dan konkretisasi kembalinya pemerintahan nagari, jelas sekali sebagai simbolisasi palsu yang benuansa politis ketimbang mengarah pada representasi kehendak masyarakat yang sesungguhnya. Pada batas ini menyarakat justru dijadikan sebagai objek kebijakan pemda yang sarat muatan politisnya. Artinya, ada visi dan misi politis didalamnya.
Gaya macam ini memang tak jauh beda dengan gaya Orde Baru dulu. Semua operasional kebijakan pemerintah diawali dari atas dan selanjutnya “rekayasa” dan muatan politis bermain lincah di dalamnya. Dan kembali ke nagari hanya aktivitas politik yang sifatnya instan. Karena ia punya target dan misi. Dan masyarakat tidak mengetahui ini.
Bayangkan saja, sementara hampir sebagian besar BPRN dan Wali Nagari di Sumatra Barat ini telah terbentuk dengan simbol pelantikan itu, yang namanya pola, wujud, sistem, dan mekanisme bernagari seperti apa yang sesungguhnya ingin diterapkan di nagari-nagari, hingga ini belum duduk. Bagaimana pertanggungjawaban BPRN? Apakah ia bertanggungjawab ke masyarakat nagari, atau ke pemda? Atau tidak pernah bertanggung jawab? Belum jelas. Sama halnya dengan Wali Nagari, apakah ia sama dengan Kepada Desa dulu, yang tidak pernah bertanggung jawab ke masyarakat, tapi ke Camat dan seterusnya? Lalu, bagaimana dengan adat salingka nagari itu, di mana posisinya? Sementara, pluralitas kultural kini sedang hangat dibincangkan. Sedangkan, pemahaman yang kini terjadi, bahwa filosofis adat salingka nagari itu punya kadar yang tinggi untuk menafikan suku, ras, budaya, dan agama lainnya yang bukan berasal dari nagari bersangkutan?
Banyak soal dan permasalahan yang sebenarnya belum duduk saat orang-orang yang tidak jelas ujung pangkalnya berteriak lantang ‘kembali ke nagari’. Banyak pola dan sistem nagari itu semenjak jauh sebelum Belanda masuk ke ranah ini sampai ke masa Orde Baru. Dan mana yang kita pilih dan diakomidir untuk dipakai saat kini. Ini pun belum jelas. Sementara dunia terus berputar, sedangkan generasi yang akan hidup dalam nagari kini relatif tidak pernah mengenal bagaimana kehidupan bernagari itu sesungguhnya.
Maka, kembali ke nagari yang kini telah mengelinding dan terealisasikan di pelbagai tempat di Sumatra Barat ini, pada akhirnya menjadi sebuah proyek politik sekaligus sebagai kendaraan politik bagi penguasa (pemerintah) pada saat kini, untuk kepentingan jangka panjangnya. Jika kini banyak pejabat dan anggota DPRD bersorak-sorak kembali ke nagari, tampaknya perlu sekali kita curigai dan harus berhati-hati mencermatinya. Pola seperti ini dengan sangat cerdas telah berhasil diterapkan oleh kekuatan Golkar dan Orde Baru. Dan pada tahun 2004, bukan tidak mustahil, pejabat daerah dan juga anggota DPRD kini, akan menikmati hasil sorak-soraknya sekarang. Bisa saja terpilih lagi dalam jabatan yang sama, atau naik setingkat, atau mungkin juga jadi Wali Nagari. ***
No comments:
Post a Comment