“Menjadi Manusia di Taman”
OLEH Nasrul Azwar
Di sebuah taman entah di mana. Galibnya sebuah taman, ia hadir sebagai ruang publik. Ruang sosial, mungkin juga ruang antisosial. Pohon-pohon rindang dan juga bunga-bunga hadir dalam keteraturan dan beku. Bangku-bangku terpaku di sudut-sudut taman. Kadang taman itu sangat sepi, pun sebaliknya. Orang-orang singgah melepas semua yang terasa lalu pergi: bertemu dan berpisah. Taman adalah “rumah” bagi manusia yang lelah dan ruang gembira bagi binatang piaraan. Taman juga lanskapis nan indah tapi kemurungan tak mungkin menghidar darinya.
Seorang lelaki tua menyeret tubuhnya yang renta menuju taman yang kosong. Senja mulai turun. Di atas sana, awan gelap bertanda hujan, terlihat. Guruh bersahutan dari jauh. Orang Tua (Muslim Noer) terus mengitari taman yang sepi. Tak lama berselang Lelaki Setengah Baya (Fauzul el Nurca)—tampak ada kesombongan dalam langkahnya—menuju taman. Sejenak mereka asyik dengan pikiran-pikiran masing-masing.
“Tidak, tidak! Yang tua mesti tahu diri, dan mau mengalah. Ini musim kemarau.”
“Tidak, tidak! Yang lebih muda mesti tahu menghormati yang lebih tua. Ini musim hujan.”
Penggalan dialog kedua tokoh Orang Tua dan Lelaki Setengah Baya itu membuka perdebatan tentang “posisi” manusia, dan juga absurditas keberadaan “musim”. Secara faktual, memang tampak hujan akan turun tapi dalam pandangan berada dan tidak berada (Korrie Layun Rampan, Ed-1985), malah sebaliknya. Perdebatan tentang musim selanjutnya membuka cerita manusia-manusia yang tidak pernah kunjung selesai. Ada kegetiran dan tragik di dalamnya. Saat itu pula, Penjual Balon (Syafar Alamsyah) datang dengan kecengengan masa lalunya. Pertemuan tiga “jiwa” dengan masa hidup dan pengalaman yang berbeda bukan menyuguhkan sebuah perdebatan yang “solusif”, malah memperuncing posisi dan eksistensi mereka. Balon yang dijual si Penjula Balon —yang memang sesuatu yang lazim di taman-taman orang menjual balon— malah jadi “sesuatu” yang mengiris kenangan kanak-kanak yang tidak sedap bagi Orang Tua. Sebuah balon bagi Orang Tua bukan kesukaan tapi kenangan.
Segumpal taman, di petang itu, mendedahkan manusia yang sia-sia. Wanita dengan kereta bayi (hasil hubungan Wanita (Esthi Bayu) itu dengan Entah Siapa) menambah deretan manusia-manusia yang punya sisi gelap, murung, dan muram. Lengkaplah. Petang itu, taman kecil dipenuhi suara-suara yang keluar dari jiwa yang renta, sedih, obsesif, penuh kegagalan, nafsu, dan juga nista. Manusia yang tersingkir.
Demikianlah cerita tentang orang-orang kalah yang berkumpul di sebuah taman mengalir begitu saja selama dua malam di Teater Tertutup Taman Budaya Sumatra Barat, 24-25 November 2006. Kelompok Teater Size Padang mengangkat naskah Senja di Taman karya Iwan Simatupang (sebelum terbit jadi buku berjudul Taman, setelah diterbitkan pada tahun 1958 bertukar judul Petang di Taman. Dia meninggal dalam usia 42 tahun, umur yang masih produktif sebagai penulis pada 4 Agustus 1970 di Jakarta) dengan sutradara Zamzami Ismail, dan dengan alasan agar lebih familiar, Size menggantinya dengan Senja di Taman.
Pertunjukan Senja di Taman menyita waktu 75 menit. Bentuk garapan dan eksplorasi di atas panggung mengesankan memenuhi harapan penonton. Paling tidak dalam aspek komunikasi. Tapi, dari beberapa elemen artistik dan capaian yang dimaui dari naskah yang penuh gagasan, ide, dan pemikiran filsafat eksistensialisme, kehadiran Senja di Taman terasa belum maksimal.
Memilih naskah dari penulis, seperti Iwan Simatupang yang menganut paradigma postmodernisme dan civil society internasional, bukan tanpa risiko. Karena, dalam pandangan Iwan Simatupang, penyakit kebudayaan seperti etatisme, liberalisme, dan individualisme dapat diselesaikan atau disembuhkan melalui pertolongan orang luar (di antaranya sastrawan--penulis) secara proporsional, sistematis, dan universal. Dari itu pula, hampir semua karya-karya Iwan Simatupang, termasuk naskah yang digarap Teater Size Padang ini, sarat dengan gagasan perlawanan terhadap sistem-sistem yang menyingkirkan keberadaan manusia. Empat sosok manusia yang berdebat tentang ego dan eksistensi diri mereka di sebuah taman adalah potret “perlawanan”, walau akhirnya tampak tak mampu berbuat banyak. Paling tidak, untuk memetik bunga saja mereka dilarang. Sebuah taman, dengan pelbagai aturan-aturan yang dibuat telah menyesakkan diri mereka ke berbagai arah.
Secara umum, karya seni pertunjukan teater harus diartikan sebagai kesatuan hal-hal yang universal dan khusus. Maka, dengan demikian, teater tidak dapat dinikmati jika tidak disertai dengan nilai kesatuan/unitas. Pada karya teater simbolis, nilai kesatuan dari yang universal sampai dengan yang khusus (lokal) dapat diterima sebagai suatu kenyataan tanpa adanya pertimbangan lain; sedangkan pada karya surealisime nilai kesatuan/unitas selalu dihadirkan oleh adanya hal-hal yang bersifat tidak langsung. Definisi-definisi demikian sesungguhnya belum selesai. Masih banyak ruang yang perlu diperdebatkan. Namun, saya saat ini tidak tertarik mengurai panjang lebar tentang aliran dan ideologi berbagai kelompok teater di Sumatra Barat.
Komposisi ruang pementasan Senja di Taman menyita pentas secara penuh. Ada tiga level di atas panggung, dan seonggok perkakas pembersih taman di sisi kanan pentas. Aktor menuju panggung melewati empat penjuru, kakan-kiri panggung, digunakan sebagai pintu masuk masing-masing aktor. Artinya, taman bisa dimasuki dari arah mana saja. Di tengah panggung, batang kayu yang meranggas berdiri memokus. Sesekali ruang itu disiram dedaunan. Lucunya, dedaunan itu gugur saat-saat dialog aktor di atas pentas. Dialog berhenti, daun pun tak gugur. Tidak natural. Secara estetis, terasa kurang indah.
Dalam pementasan teaterikal, laku (akting) yang dibawa pelaku di atas pentas memilih ukurannya sendiri. Biasanya, laku bukan hanya apa yang dilakukan atau yang dikatakan oleh aktor, tapi ia akan merambat pada suara-suara musik, keributan, suara hempasan di atas panggung, dan perubahan ruang dan waktu yang dilakoni. Juga, ia akan masuk dalam ruang karakter, konflik, alur cerita, dan elemen penting, yakni klimaks.
Senja di Taman punya dialog kunci, yang bagi saya inti dari semua problem cerita, yaitu kalimat yang diucapkan Lelaki Setengah Baya, “Dilarang memetik bunga.” Bagi orang lain, kalimat ini terasa biasa-biasa saja, namun bagi keempat tokoh dengan problem eksistensi sosial mereka, justru suatu penghinaan terhadap keberadaan harga diri mereka. Kalimat larangan itu sangat melecehkan ego mereka sebagai manusia. Posisi kalimat itu menjadi penting saat ia dibaca secara utuh. Namun, sayang, capaian Teater Size di atas panggung tergelincir ketika kalimat itu diucapkan dengan datar dan nonekspresi. Padahal, jika tokoh Orang Tua dan Lelaki Setengah Baya mampu menjaga tempo dan timing, kalimat itu akan terdengar cukup dasyat. Ruang dan waktu akan terseret kembali untuk mencapai klimaks cerita.
Tokoh-tokoh yang hadir karya Iwan Simatupang, baik novel, cerpen, puisi, dan juga drama, adalah manusia-manusia marginal, aneh dalam kehidupan sosial, bukan para hero yang ingar-bingar yang penuh gegap gempita dan senang retorika, serta hidup dala sepi tapi optimis. Dalam drama Senja di Taman yang liris puitis, tokoh-tokohnya seperti berkata pada dirinya sendiri (monolog), berfilsafat, dan putus komunikasi dengan orang lain, atau lingkungannya. Tapi, di sinilah kekhasan karya Iwan, yang membedakannya dengan karya-karya para pendahulunya (K. Usman, Sinar Harapan, 18 Januari 2003).
Dari itu pula, membawa ke atas pentas karya Iwan Simatupang bukan tidak ada konsekuensi. Minimal, konsekuensi yang mesti diawasi adalah latar belakang pemikiran dan pandangan penulisnya. Sisi ini memang mesti dipertajam oleh Teater Size Padang. Apa yang dituju oleh naskah Senja di Taman, bukan semata menyangkut bahwa naskah itu sangat ideal untuk dimainkan dalam kondisi carut marut bangsa ini. Tapi, bagaimana Iwan Simatupang dalam setiap karyanya menyimpan persoalan dan memproyeksikan tentang situasi kesenian Indonesia di masa depan, walau drama Senja di Taman itu lahir 58 tahun yang lalu, tapi teks dan referensi teksnya sarat dengan pikiran dan pandangan sosial masyarakat tentang manusia itu sendiri. Itu pula barangkali mengapa nyaris semua karya Iwan Simatupang tokoh-tokohnya tidak diberi “nama” kecuali “sebutan”.
Apa yang disuguhkan Teater Size Padang malam itu memang menawarkan sisi lain dari semangat berteater di Sumatra Barat, setelah Size hampir satu dasawarsa “berkontemplasi”, tapi masih tetap mampu “menyihir” penikmat teater di daerah ini. Dalam cacatan perjalanan Teater Size Padang, kelompok ini didirikan 19 Maret 1988. Senja di Taman merupakan produksi ke delapan. Sebelumnya mereka mengangkat Penjual Bendera (karya Wisran Hadi) , Malin Kundang (Wisran Hadi), Pinangan (Anton Chekov), Perkawinan (Anton Chekov), Tanda Silang (Eugene O’ Neil), Salonsong (Wisran Hadi), dan Kereta Kencana (Ionesco). ***
No comments:
Post a Comment