KODE-4

Tuesday, February 20, 2007

Pementasan Teater Sakata Padangpanjang:

Pelajaran Berharga dari “Pelajaran”

OLEH Nasrul Azwar

Dalam sebuah tulisan Eugenio Barba dan kawan-kawan berjudul Anatomie de L’ Acteur (1985) yang diterjemahkan Yudiaryani ke dalam bahasa Indonesia menyebutkan: kata “teks” sebelum menunjukkan teks tertulis maupun lisan, dicetak atau tulisan tangan, berarti rajutan bersama. Dalam pengertian ini, tidak ada pementasan yang hadir tanpa rajutan bersama tanpa “teks”. Artinya, apa yang berhubungan dengan “teks” (rajutan) dapat diartikan sebagai ‘dramaturgi’—yang berarti drama-eregon—suatu kerja, penampakan bekerjanya sebuah laku dalam pertunjukan plot. Memang sulit membedakan dalam pendekatan dramaturgi, pementasan yang dianggap sebagai “penyutradaraan” seorang sutradara dan apa yang disebut sebagai “penulisan” seorang pengarang. Perbedaannya hanya tampak dengan jelas melalui penggarapan teater, melalui penafsiran sebuah teks tertulis.

Dari itu pula, menilik sebuah hasil garapan teater, yang menghasilkan pementasan teaterikal, penonton akan berhadapan dengan apa yang disebut laku. Laku menjadi pusat perhatian dalam dramaturgi. Perhatian yang diberikan bukan saja apa yang didialogkan aktor, akan tetapi juga suara-suara, transformasi properti, dimensi ruang dan waktu, cahaya, musik, karakter, emosi, tempo permainan, dan laku sebagai “teks”.

Kutipan tulisan Eugenio Barba di atas, bagi saya sangat perlu guna menjelaskan apa yang terjadi dalam peristiwa teater yang berlangsung pada pementasan Pelajaran karya Eugene Ionesco yang disutradarai Tia Setiawati dari Ruang Studi Teater Sakata Padangpanjang, pada 26 Juni 2004 di Teater Tertutup Taman Budaya Sumatra Barat.

Pendekatan dramaturgi yang coba saya pasangkan itu semata-mata berguna untuk membaca kemampuan tafsir teks tertulis yang naskahnya bukan dikarang oleh sutradara, juga kamampuan aktor menyerap makna teks tertulis itu sendiri, sekaligus menjenguk “hasilnya” di atas panggung. Selain itu, juga berkorelasi dengan daya jelajah imajinasi referensif saya terhadap kejadian di atas panggung yang berlangsung tak sampai 60 menit itu. Artinya, mencoba mengukur “daya jelajah” imajinasi saya.

Bagi saya Pelajaran karya Ionesco itu bukan semata kecaman dan kritikan yang diarahkan kepada hegemoni ilmu pengetahuan yang telah mengacaukan cara berpikir manusia yang natural, bukan hanya sebatas bahwa ilmu pengetahuan adalah segalanya, bukan juga bagaimana otoriternya seorang guru terhadap muridnya, akan tetapi menyangkut persoalan mendasar dan hakiki manusia: bahwa hidup adalah pelajaran itu sendiri. Memang sampai batas ini, secara general, pementasan Pelajaran belum sempurna membongkar soal mendasar dan hakiki itu.

Kehilangan Roh Ionesco

Mengapa saya katakan belum? Inilah alasannya. Pertama, secara teknis dramaturgi, pementasan nyaris mendekati sempurna. Laku—yang dimainkan aktor Depra Yoza sebagai Profesor, Ichi Desi sebagai Murid, dan Surya Sahminaldi sebagai Marie—mampu memberi ruang komposisi permainan secara fleksibel, tempo yang terjaga, intensitas alur/plot yang tidak kedodoran, kekuatan musik, cahaya, dan sebagainya—menjadikan Pelajaran tontonan teater yang berhasil. Akan tetapi—ini merupakan risiko yang mesti diterima jika sebuah garapan teater dengan naskah yang memiliki beban latar belakang kultural, problem politik dan sosial yang berbeda dalam konteks zamannya. Konteks munculnya naskah Eugene Ionesco itu, jelas sangat berbeda dengan kondisi kekinian. Maka, ia akan terlihat sebagai pertunjukan teater yang “biasa-biasa” saja, jika peristiwa teater yang dibangun di atas panggung tidak diiringi dengan kajian mendalam tentang historistik naskah, kondisi zamannya, dan mainstream pemikiran dan aliran seni yang berkembang saat itu. Tampaknya, inilah yang saya rasakan saat menyaksikan Pelajaran pada malam itu.

Pendidikan dan ilmu pengetahuan merupakan representasi munculnya modernisme adalah satu sisi yang pada akhirnya menghadirkan manusia-manusia mekanistis, antihumanistis, sistematis, dan kering. Ilmu menjadi “mesin” pembunuh. Ilmu pengetahuan dengan kedispilinan, keteraturan, dan sistematisasinya yang ketat telah merebut pikiran-pikiran kreatif manusia yang paling primitif dan purba. Ilmu yang dimiliki Profesor dalam Pelajaran—dan selanjutnya akan dituangkannya kepada Muridnya—adalah simbol imaji manusia yang “menuhankan” pengetahuan sebagai “kebenaran” hakiki. Rumus-rumus ilmu pengetahuan adalah kebenaran yang berada di atas segala-galanya. Murid-murid sebagai objek eksperimennya dibunuh secara sadis oleh Profesor dengan alasan keluar dari frame keilmuan dan “kebenarannya”. Padahal, pada hakekatnya manusia, semenjak dari kandungan hingga lahir dibekali Sang Pencipta dengan kecerdasan yang tinggi—dengan mengacu pada hasil penelitian—tingkat sampling error-nya 0% (nol persen). Jika pada akhirnya manusia tidak “menampakkan” kecerdasannya, kering rasa, bebal, kejam, dan sadis disebabkan faktor-faktor yang berada di luar dirinya. Faktor-faktor yang berada di luar diri manusia itulah yang sesungguhnya ingin dikesankan dari naskah Pelajaran itu. Dan inilah yang sebanarnya kurang tergarap dalam “teks” panggung, sehingga kehadiran Pelajaran hanya sebatas menghadirkan realitas bukan substansi.

Kedua, kemiskinan simbol dan eksplorasi properti. Alasan kedua ini memang berkaitan dengan alasan yang di atas. Akan tetapi, sepanjang tontonan yang saya nikmati, miskin simbol dan ekplorasi seolah tertolong dengan permaian ketiga aktor itu. Menjaga keseimbangan tempo permainan sepanjang 50 menit pertunjukan dan capain klimaks yang diinginkan, dilakoni dengan baik dan berhasil. Kekuatan aktor memberi kontribusi cukup besar untuk menyelamatkan miskinnya simbol-simbol teaterikal dan eksplorasi properti. Tampaknya, pada sisi ini, sutradara lebih memberi perhatian khusus kepada permainan aktor, sedangkan sisi lainnya tidak mendapat penekanan yang sama. Sehingga, elemen lain yang justru menjadi sangat penting memberi “energi” dari keseluruhan pementasan, seperti kehilangan fungsinya.

Miskinnya simbol dan eksplorasi itu terbukti dari ruang belajar Profesor dan Murid yang dibangun di atas panggung yang tidak mampu menyibak dan mengatantarkan imajinasi saya—maaf, mungkin karena keterbatasan pembacaan saya di atas panggung—untuk mengakui bahwa ruang itu adalah milik seorang Profesor yang ternama di sebuah kota. Tak ada simbol atau penanda yang demikian substantif dihadirkan agar saya yakin bahwa itu memang itu ruang kuliah, ruang belajar, dan ruang lainnya yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, sekaligus ruang pembantaian.

Perilaku tokoh, properti, simbolisasi dari bahasa tubuh, tekanan dialog dari 3 tokoh, dimensi waktu dan ruang, dan capaian yang dihadirkan dalam “teks tulis” menjadi “teks panggung” menjadi dunia yang asing di dalam diri masing-masing laku. Memainkan pisau tajam oleh Marie secara berulang-ulang dengan cara menyayatkannya secara tak beraturan ke sayur-sayuran sebagai gambaran kejengkelannya pada Profesor, memang berhasil digambarkan bahwa ruang kerja Profesor bukan semata tempat mendidik, akan tetapi sebagai ranah penghilangan nyawa murid-muridnya yang tidak mampu dia didik. Telah 40 orang murid tewas di tangan Profesor itu.

Capaian yang diharapkan dalam Pelajaran itu adalah bahwa perilaku sadis Profesor itu pada setiap muridnya bukan berlangsung pada tingkat paling sadar seorang pendidik, seorang manusia. Jika hal ini yang diinginkan, maka aksi pembantaian Profesor itu jatuh kepada tindakan kriminal. Sementara, naskah Pelajaran Ionesco—dan juga berlaku pada semua karyanya—intinya tidak mempresentasikan tindakan yang berada dalam kerangka kesadaran normatif manusia yang memang secara sadar melakukan tindakan kriminal. Dengan pengertian lain, apa yang dialami dan dilakukan Profesor terhadap 40 murid-muridnya itu mesti dimaknai dalam frame ketidaksadaran seorang manusia, perspektif alam bawah sadar dan keabsurditasan hidup.

Dari itu pula, karena capaian demikian tidak berhasil diimplementasikan Tia Setiawati di atas panggung, maka apa yang dilakukan Profesor terhadap muridnya, mengarah pada tindakan kriminal murni dan terencana. Dan ini, pada sisi yang paling subtansi dan penting pada karya-karya Ionesco, menjadi terabaikan. Pada sisi lain, Tia tetap menyajikan pertunjukan teater dengan “bahasa” lain. Pendek kata, Ruang Studi Teater Sakata Padangpanjang sedikit kewalahan menangkap “roh” Ionesco.

Fragmentasi panggung dan juga sorotan cahaya terang yang mendominasi panggung tidak bersimultan dengan “teks” yang seyogyanya menghendaki meruaknya kemungkinan-kemungkinan antoropologis dan identifikasi “laku” di dalamnya. Penempatan tangga sebagai “singgasana” Profesor, dua kursi dan meja yang diisi patung, satu level trap, serta kain hitam digantung seperti kelambu yang diisi dengan sobekan lembaran kerta-kertas, seperti “asesoris” yang kehilangan fungsionalisasinya dalam pertunjukan itu. Hampir sebagian besar properti itu menjelma menjadi benda mati yang mengering di atas panggung. Hanya kursi yang diduduki Murid untuk menerima curahan ilmu dari Profesor yang sedikit tergarap dan multifungsi. Celakanya, eksplorasi terfokus hanya di satu benda ini saja, dan tidak membuka keseimbangan untuk yang lainnya. Kahadiran prop lainnya di atas pentas seperti tidak efektif.

Akan tetapi, sepanjang pertunjukan itu, sebagian apa yang dimaui Tia Setiawati telah tercapai. Naskah Eugene Ionesco yang terkenal dengan tingkat kerumitan filsafat dan kecenderungan absurditasnya, memang menjadi pertunjukan yang enak, jelas, dan mudah dicerna bagi siapa saja. Di tangan Tia Setiawati, naskah Pelajaran sangat komunikatif, familiar, dan renyah. Mengutip dari yang tertera pada leaflet pertunjukan, “Banyak ikon-ikon yang coba dibangun bukan dalam kerangka “memberatkan” teks Ionesco agar semakin kelihatan “eksklusif”, tapi justru mempermudah komunikasi tentang (salah satunya) kebuntuan komunikasi.” Memang, untuk hal ini Tia berhasil. Akan tetapi pada penyutradraan ketiganya di Ruang Studi Teater Sakata ini, Tia kehilangan substansi, mungkin juga Ionesco. Semoga “Pelajaran” menjadi pelajaran yang berharga.***

No comments:

Post a Comment