KODE-4

Friday, May 25, 2007

Entertainment di Dunia Intelektual


OLEH SUDARMOKO
Andaikan sebuah universitas yang telah berumur 50 tahun mengadakan perayaan ulang tahunnya. Dengan perebutan daya tariknya, sebagai sebuah representasi dari dunia intelektual di Sumatra Barat, seorang presiden akan turut hadir karena berkah pemberian gelar kehormatan, doktor honoris causa. Inilah pertaruhan (citra) intelektual di Sumatra Barat.

Sinergi Lembaga Kebudayaan Mencari Strategi Budaya Bersama

OLEH SUDARMOKO
Ranah budaya kita layaknya menjadi ladang pergulatan yang menarik. Banyak lembaga yang berdiri dan memiliki perhatian serta wilayah kerja dalam bidang ini. Bukan hanya universitas yang memang memiliki fakultas dan tenaga ahli serta dukungan finansial dari DIKTI atau perusahaan, namun juga lembaga independen yang menjamur.

MAESTRO ARBY SAMAH: Pencetus Patung Abstrak

Kata abstrak muncul satu persatu. Tanda Tanya muncul perlahan. Mulai dari kecil dari belakang. Tanda Tanya berhenti di belakang huruf K, sebentar lalu terus membesar maju membelah layar.

Tuesday, May 22, 2007

Sekolah (tidak) untuk Semua

OLEH SUDARMOKO
Hari-hari terakhir ini, para murid sekolah dasar dan lanjutan telah mendapatkan hasil dari proses bergurunya selama ini. Sebagian besar murid telah mencari dan diterima di sekolah yang lebih tinggi. Sebagian yang lain juga telah mengikuti ujian untuk memperebutkan kursi di perguruan tinggi.

Parkir: Retribusi dan Perencanaan

OLEH SUDARMOKO
Jasa retribusi perparkiran merupakan salah satu sumber pemasukan yang penting bagi sebuah kota. Jumlah kendaraan bermotor yang cukup banyak tentu menjadi sasaran penghasilan. Baik dalam urusan pajak kendaraan, kelangsungan perputaran BBM, bengkel-bengkel, toko-toko sparepart, sopir-sopir angkutan umum maupun pribadi, dan sebagainya. Bukan hanya pemerintah, namun juga banyak pihak lain yang berkepentingan dalam hal ini.

Anak Gadis Mencari Jodoh

OLEH SUDARMOKO
Kehidupan masyarakat urban Minangkabau memiliki sisi-sisi yang unik dan khas. Di samping masalah ekonomi dan sosial budaya, tuntutan hidup telah membawa masyarakat pada kehidupan yang lain dari kehidupan rural, atau setidaknya masyarakat di daerah menengah.

Centrum

OLEH SUDARMOKO
Bila diibaratkan tubuh, bagian mana dari Kota Padang ini yang merupakan jantung? Atau adakah ia memiliki jantung, sebagai pusat denyut dan sumber kehidupan ini? Mungkin saja kota ini memiliki jantung, yang dipercaya sebagai centrum yang biasanya ditandai dengan lokasi yang nyaman dan tempat cukup hangat untuk berdiam agak sebentar. Sementara jalan-jalan dan tempat-tempat di sekitar centrum itu merupakan urat nadi dan arteri yang mendukung aliran kehidupan untuk memompa semangat dan daya hidup masyarakatnya.

AKDP Masuk Kota lagi

OLEH SUDARMOKO
Setelah sekian lama bus AKDP dilarang memasuki kawasan dalam kota, seiring dengan difungsikannya terminal regional Bingkuang Aie Pacah, beberapa hari belakangan ini bus-bus itu diizinkan kembali memasuki kota dengan beberapa pengaturan atau persyaratan. Sederetan alasan dikemukakan untuk membenarkan, baik dari pihak pemerintah maupun dari kepentingan pengelola AKDP dan pihak penumpang atau pengguna jasa.

Dari Acara "Malam Mengenang BM Syamsuddin"

Pejuang Seni Tradisi, Karyanya Sulit "Ditemukan" Lagi

Bagi dunia sastra Riau, BM Syamsuddin adalah seorang maestro. Sayangnya setelah meninggal, pelan tapi pasti, namanya mulai dilupakan orang. Karyanya juga sudah tak ditemukan lagi kecuali di rak-rak buku para koleganya.

"SEJAK itu ke mana-mana saja pergi Wak Dolah, Atan mahasiswa Universitas Lancang Kuning Jurusan Ilmu Sosial dan Politik smester tujuh mengambil masa langkau itu tetap bersama-sama beliau. Memasuki perairan Sengkanak hingga ke Kepala Jeri Pulau Terong, kadang-kadang menyeberang ke Bukum, ditandai dengan keriat-keriut kalas dayung sampan-koleknya. Mereka berdua beranak telah benar-benar hafal seluk-beluk perairan, sekitar pedesaan pantai itu. Karena itulah pada saat-saat tertentu dipandang mujur, sampan-koleknya melaut waktu pula bagi penduduk sekitarnya.. ."

Dengan penghayatan teaterikal, sastrawan Riau, SPN Marhalim Zaini, membaca salah satu cerpen BM Syamsuddin yang berjudul "Batam Peburuan" tersebut di depan hadirin yang datang pada acara "Malam Mengenang BM Syam" yang diselenggarakan Komunitas Paragraf, di Galeri Ibrahim Sattah Kompleks Bandar Serai Pekanbaru, Ahad (13/5) lalu. Sebelum Marhalim tampil, musisi dan juga dosen musik di Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR), Hukmi dan kawan-kawannya, juga tampil menyanyikan beberapa buah lagu hasil dari gubahan puisi, di antaranya "Lingkaran Aku Cinta Padamu" gubahan Zuarman Ahmad.

Malam itu, ketika hujan membuat beberapa kawasan di Pekanbaru berubah menjadi kubangan air, ada sekitar 50-an lebih pecinta, peminat dan pekerja sastra/seni yang datang dari berbagai komunitas dan sanggar sastra/seni (seperti AKMR, Forum Lingkar Pena [FLP], mahasiswa-mahasiswi FKIP Unri, Latah Tuah, Bahana Mahasiswa Unri, Aklamasi UIR, dan yang lainnya), mau hadir dalam acara sederhana tersebut, yang menurut budayawan Al azhar, lebih bagus jika kata "mengenang" diganti dengan "mengingat". Alasannya, "Kalau ‘mengenang’, kita hanya terperangkap pada memori-memori masa lampau, tetapi kalau ‘mengingat’, apa-apa yang pernah dilakukan oleh orang yang kita ingat harus menjadi pelajaran bagi kita ke depan untuk perbaikan-perbaikan dan spirit," kata Al Azhar malam itu.

Nampak juga hadir beberapa sastrawan seperti Gde Agung Lontar, Olyrinson, Budy Utamy, Titin Kasmila Dewi, Abel Tasman, Herlelaningsih, Parlindungan, Jefry Al Malay, Murparsaulian dan yang lainnya. Hadir sebagai pembicara diskusi adalah Al Azhar dan pengajar FKIP Unri, Elmustian Rahman.

Pejuang Seni Tradisi

Menurut Al azhar, selain kuat dalam karya sastra, jauh sebelum cerpen-cerpennya menghiasi berbagai media di tanah air, BM Syam adalah seorang pekerja teater yang tangguh, ulet, penuh dedikasi dan sangat idealis. Al Azhar menceritakan, pada tahun 1981 di Taman Budaya Riau, dalam diskusi seusai pementasan drama oleh Sanggar Taman Republik, BM Syam kesal karena sutradara yang mementaskan naskahnya yang berjudul Warung Bulan, yakni Al azhar sendiri, menafikan anasir-anasir Makyong dan Begubang Topengka, dua bentuk teater rakyat di Kepulauan Riau. Naskah itu disunting dan ditafsirkan kembali oleh Al azhar menjadi sebuah pementasan yang memang agak berbeda dengan naskah aslinya. Tapi, bagi BM Syam, anasir-anasir Makyong dan Begubang Topengka itu adalah hal yang penting dan esensial dalam naskah tersebut, dan tidak bisa ditafsirkan sembarangan. Meskipun, sebenarnya BM Syam juga telah menafsirkan Makyong dan Bagubang Topengka dari bentuk aslinya.

"Itu adalah contoh bagaimana BM Syam sangat gigih memperjuangkan kehidupan teater tradisional Melayu," kata Al Azhar.

Perjuangan BM Syam untuk kehidupan teater tradisional Melayu seperti Makyong, Mendu, Bangsawan dan lainnya, juga dilakukan di berbagai iven kebudayaan, seperti di Taman Ismail Mazuki (TIM) tahun 1970-an, hingga keterlibatannya dalam Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI) dan Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Nusantara pada tahun 1990-an. BM Syam juga kemudian mengajar sebagai dosen di Program Studi Pendidikan Seni Drama, Tari dan Musik (Sendratasik) FKIP UIR. Menurut Al Azhar lagi, setelah BM Syam meninggal, tak banyak lagi seniman yang mampu seperti dirinya. "BM Syam menunjukkan keprihatinannya bukan hanya dengan ucapan, kajian, wacana dan pemaparan, tetapi juga mengajarkan dan memberi teladan bagaimana menghidupkan bentuk-bentuk seni warisan itu," ungkap pengurus harian Yayasan Bandar Serai ini.

Meski banyak dikritik orang karena dianggap sebagai "perusak tradisi" tersebab telah menafsirkan sendiri teater tradisional, namun BM Syam tetap kukuh dengan apa yang dilakukannya. Dia kemudian mengimbuhkan kata "muda" pada nama-nama teater tradisional itu, misalnya Bangsawan muda, Mendu muda dan sebagainya. BM Syam tidak ingin wacana "tradisional" dan "modern" diadu yang kemudian menimbulkan konflik kebudayaan. BM Syam seperti ingin mendamaikan dua kutub yang dalam wacana kebudayaan beradu pantat tersebut. "Harus kita akui, BM Syam adalah seorang pejuang dan pendobrak teater tradisi," kata Al azhar lagi.

Bobot Estetika

Di bagian lain, Elmustian Rahman menjelaskan, BM Syam telah menemukan bobot estetikanya dengan memilih bahasa lokal (Melayu) dalam karya-karya sastranya. Karya-karya BM Syam, kata Elmustian, telah memperlihatkan sosok kulturnya. Yang menarik, menurutnya, bahasa Melayu yang menjadi dasar dan akar bahasa Indonesia, banyak diterjemahkan orang ke bahasa Indonesia, karena banyak orang yang minim pemahaman dan apresiasi.

"Karya-karya BM Syam terlihat kuat penggunaan aspek lokalitas sebagai kekuatan, dalam hal ini lokalitas Melayu. Aspek-aspek bahasa tersebut terlihat dalam struktur kalimat, kosa kata, dan penggunaan istilah-istilah yang khas Melayu, ungkapan-ungkapan yang semuanya arkhaik dan memperlihatkan ciri-ciri bahasa Melayu," kata Elmustian.

Menurut Elmustian lagi, BM Syam tidak hanya memasukkan aspek tertentu dari kampung halamannya dalam karya-karyanya, tetapi juga mampu memberi warna tersendiri dengan polesan dan campuran yang sempurna kepada karyanya dan menjadi persoalan-persoalan dan ungkapan-ungkapan serta sikap dan kebiasaan-kebiasaan dari negeri lain di luar kampung halamannya. "Dalam karya BM Syam, upaya tersebut bukanlah sesuatu yang harus dipersoalkan atau dituduh sebagai sesuatu yang tumpang tindih. Hal ini disebabkan karena persoalan-persoalan yang muncul di kampung halamannya juga menjadi persoalan di luar kampung halamannya," ungkap Elmustian.

Di bagian akhir, Elmustian menjelaskan bahwa saat ini sangat sulit mengumpulkan dan mendapatkan semua karya BM Syam. "Mahasiswa tidak tergoda untuk menulis skripsi tentang sastrawan Riau, pertimbangannya bukan karya sastra Riau tidak bermutu, layak atau tidak, tetapi karena sulitnya mendapatkan karya-karya itu, termasuk karya-karya BM Syam," jelas Elmustian.

Generasi Terputus

Dalam diskusi yang berkembang, salah seorang peserta diskusi, Parlindungan, mempertanyakan mengapa kita harus menyelenggarakan acara untuk mengenang orang yang sudah mati. "Saya kira banyak karya dan sastrawan kita yang masih hidup yang bisa dibedah dan didiskusikan, " ungkapnya.

Mengomentari hal tersebut, Koordinator Komunitas Paragraf, Marhalim Zaini menjelaskan, apa yang dilakukan Paragraf sebaiknya juga dilakukan oleh komunitas lain yang ada di Riau, karena banyak hal dan tema yang bisa dijadikan bahan kajian diskusi. "Saya kira di Pekanbaru saja, banyak komunitas maupun sanggar. Kalau satu komunitas atau sanggar menjadwalkan diskusi sebulan sekali, bayangkan bagaimana pembicaraan seni dan sastra, atau teater, di Pekanbaru ini. Alhamdulillah apa yang dilakukan Paragraf selama ini mendapat respon dari masyarakat sastra dan seni di Pekanbaru dan Riau, meskipun semuanya masih serba terbatas," jelas Marhalim.

Di bagian lain, Marhalim juga risau tentang terputusnya generasi teater tradisi seperti Makyong, Mendu, Randai atau Bangsawan, karena persoalan komunikasi. Menurutnya, di tempatnya mengajar, yakni di Jurusan Teater AKMR, ada mata kuliah Teater Melayu 1 hingga 5, dan agar mahasiswa bisa memahami dengan baik, pihaknya langsung mendatangkan para pelaku teater tradisi itu untuk mengajar langsung ke AKMR. Namun, kebanyakan, komunikasi menjadi persoalan karena banyak dari mereka yang tidak bisa berkomunikasi (menularkan ilmunya) dengan baik, dan malah membuat mahasiswa juga kebingungan. "Ini yang menjadi masalah kita. Jika seperti ini terjadi terus-menerus, lama-lama teater tradisional kita akan lenyap karena kesulitan komunikasi tersebut," jelas Marhalim.

Di sinilah peran seorang BM Syam yang semasa hidupnya mau langsung mengajarkan pemahamannya tentang Makyong dan Begubang Topengka yang memang dipahaminya, sementara latar belakang guru memudahkan BM Syam untuk berkomunikasi dengan siswa dan mahasiswanya. "Kita telah kehilangan orang-orang seperti BM Syam," lanjut Marhalim.

Di bagian lain, Hukmi berpendapat, karya-karya BM Syam yang "sangat Melayu" bisa diterima oleh media-media Jakarta yang "sangat Indonesia", berarti ada yang istimewa dari karya-karya BM Syam tersebut. "Persoalannya, karya-karya BM Syam tersebut bisa diterima khalayak yang lebih luas karena eksotikanya atau karena estetikanya? " tanya Hukmi membuka ruang pemahaman.

Pada mulanya, karya BM Syam seperti beberapa cerpen terkenalnya yang dimuat di banyak media Jakarta seperti Kompas dan Suara Karya, yakni "Jiro San, Tak Elok Menangis", "Nang Nora", "Asrama Itu Telah Tiada", "Bianglala di Langit Natuna", "Nang Sahara" atau "Cengkeh pun Berbunga di Natuna", "Bintan Sore-sore", "Perempuan Sampan", "Toako" dan yang lainnya bisa menembus media Jakarta, kata Al azhar, karena cerpen-cerpen tersebut sangat eksotik menggambarkan setting Riau dan persoalan-persoalan yang dimunculkan. "Saya mengambil kesimpulan itu karena saya yakin, mereka (media Jakarta, red) tidak memahami estetika Melayu. Yang mereka pahami adalah Melayu yang eksotik, yang terkesan tradisional dan lain sebagainya."

Hal itu ditambah oleh Elmustian Rahman, bahwa menerjemahkan bahasa Melayu ke dalam bahasa Indonesia adalah hal yang konyol. "Bahasa Melayu itu ibunya bahasa Indonesia, mengapa harus diterjemahkan dengan mencari padanan kata dan kalimat dalam bahasa Indonesia? Ini juga berlaku terhadap karya-karya BM Syam," kata pengajar di FKIP Unri tersebut.

Lebih Dikenal Penulis Roman

BM Syam adalah seorang pengarang yang ulet dan berprinsip. Latar belakang pendidikan gurunya membuatnya seperti itu. Lahir pada 10 Mei 1935 di Selubuk Sedanau, Pulau Tujuh Kabupaten Natuna (kini Provinsi Kepulauan Riau), bakat menulisnya mulai terlihat kuat saat duduk di bangku Sekolah Guru Bantu (SGB) pada tahun 1953. Seperti ditulis Kazzaini Ks dalam kata pengantar Kumpulan Cerpen Jiro San, Tak Elok Menangis (Yayasan Sagang, 1997), BM Syam adalah seorang guru yang mengajar di Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dari tahun 1955 hingga 1981, berpindah-pindah di beberapa kawasan di Riau. Selain itu, BM Syam pernah mengajar di FKIP UIR (1988-1994) dan pernah menjabat sebagai Kepala Subseksi Pendidikan Luar Sekolah Dinas P dan K Kota Pekanbaru, sampai pensiun dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada tahun 1994.

Di awal-awal kepengarangannya, BM Syam lebih banyak menulis cerita panjang dalam bentuk roman/novel yang dimuat sebagai cerita bersambung di beberapa media, di antaranya Haluan (Padang), dan beberapa naskah drama. Namun meski begitu, dengan nama samaran Dinas Syams, dia menulis cerpen di Majalah Merah Putih pada tahun 1956. Tetapi, memang, karya-karya panjang BM Syam lebih dulu terbit dalam bentuk buku, misalnya empat roman, yakni Damak dan Jalak (1983), Harimau Kuala (1983), Braim Panglima Kasu Darat (1984), Tun Biajid I (1984) dan Tun Biajid II (1984). Juga dua buku tentang drama tradisionalnya, yakni Mendu Kesenian Rakyat Riau (1981) dan Seni Peran Makyong (1982) yang diterbitkan oleh Balai Pustaka.

Namun, ternyata, seperti diceritakan oleh Al azhar, jauh sebelum itu BM Syam sudah menulis beberapa buku (berdasarkan catatan Zaini yang menulis skripsi tentang BM Syam di FKIP UIR), yakni empat naskah drama: Fatimah Sri Gunung (1972), Payung Orang Sekampung-kampung (1975), Warung Bulan (1980) dan Tunggul (1981); dua cerita bersambung yang dimuat di Haluan: Perkawinan di Atas Gelombang (1979) dan Ombak Bersabung (1980); cerita anak-anak: Si Kelincing dan Sepasang Terompah Cik Gasi (1981), Batu Belah Batu Bertangkup (1982), Dua Beradik Tiga Sekawan (1982), Ligon (1983) dan Cerita Rakyat dari Batam (1996). Sementara yang khusus memuat cerpen-cerpennya adalah Jiro San, Tak Elok Menangis (1997). Penerbit buku-buku BM Syam antara lain Balai Pustaka, Karya Bunda, Grasindo dan Yayasan Sagang.

Ciri khas bahasa dalam karya-karya BM Syam adalah kemampuannya menggunakan bahasa Melayu dengan kosa kata lama yang kadang sudah jarang digunakan oleh masyarakat. Penggambarannya tentang perkampungan Melayu yang eksotik dan kadang ironis, memperlihatkan kepiawaiannya dalam mengarang.

BM Syam meninggal dengan damai pada hari Jumat, 21 Februari 1997 di Rumah Sakit (RS) Ahmad Muchtar, Bukittinggi, karena penyakitnya. Kepada rekan-rekan seniman yang menjenguknya, baik ketika masih dirawat di RS Yayasam Abdurrab, Pekanbaru, maupun di RS Ahmad Muchtar, BM Syam selalu mengatakan keinginannya untuk menulis dan tetap menulis kalau dirinya sembuh. Sayang, maut akhirnya menjempunya lebih cepat yang membuat keinginannya untuk terus menulis menjadi terhenti.

Keinginan untuk selalu menulis tanpa henti tersebut juga tersirat pada apa yang dikatakannya kepada Hasan Junus, sahabatnya, ketika dianjurkan untuk menulis cerpen. "Kawan, mana bisa menulis cerita pendek. Tiga puluh halaman masih belum berbentuk cerita," katanya ketika itu ("Sagang" Riau Pos, Minggu 23 Februari 1997, dikutip oleh Kazzaini Ks dalam kata pengantar Jiro San, Tak Elok Menangis [1997]).

Lalu, di manakah karya-karya BM Syam tersebut kini? Kecuali di rak-rak buku para sahabatnya atau di rak-rak apak dan berdebu di beberapa perpustakaan, buku-buku BM Syam kini sudah tak ditemukan lagi di toko buku. Generasi sekarang pun sudah banyak yang melupakan karya-karya tersebut karena tak ada lagi penerbit yang mau mencetak ulang lagi buku-bukunya.

"Mestinya lembaga kesenian di Riau dan Pemerintah Provinsi Riau mengambil peran untuk menerbitkan karya-karya BM Syam lagi, agar generasi kini bisa belajar dari apa yang telah diperbuatnya lewat karya-karyanya, " kata Sekretaris Komunitas Paragraf, Budy Utamy.***

LAPORAN HARY B KORIUN (Komunitas Paragraf Pekanbaru)

Monday, May 21, 2007

Sastra, Media Massa, dan Beberapa Fenomena

OLEH SUDARMOKO
Prosa Indonesia telah berkembang sedemikian rupa mencari bentuknya. Dengan dukungan sarana publikasi media massa cetak, prosa bersama dengan puisi dan kritik sastra dan seni tumbuh subur dalam kehidupan sastra. Dari hari ke hari kian muncul sejumlah karya baru dan penulis baru. Disertai dengan capaian-capaian yang memperkaya keberadaan sastra kita. Sastra seakan mengukuhkan diri sebagai sebuah lini dari seni dan budaya yang mendapatkan tempat penting di tengah-tengah masyarakat. Sesuatu yang telah dilontarkan oleh Sartre dalam What is Literature? (1986), karena keunikan sastra dalam mengolah berbagai emosi dan keberterimaannya dalam masyarakat luas, terutama karena peran bahasa sebagai media utamanya.

Peristiwa Kebudayaan dan Proses Kebijakan

OLEH SUDARMOKO
Sejumlah kegiatan kebudayaan yang bersentuhan dengan pemerintah lebih banyak ditekankan pada orientasi pariwisata. Kebudayaan tak lebih menjadi komoditi. Dengan logika seperti ini, maka perkembangan budaya tak dapat diharapkan akan menjadi lebih baik. Bukan hanya kebudayaan kemudian akan menjadi artefak dan komoditas belaka, namun juga kebudayaan dalam artian ‘proses’ akan menjadi mandul.

Orang Minangkabau dalam Global Village

OLEH SUDARMOKO

Arus globalisasi yang terangkum dalam istilah global village, ternyata tidak hanya membawa manusia pada kemudahan dalam mengakses belahan dunia manapun, atau melakukan perpindahan fisik dan intelektual imajinatif kemanapun dia suka, namun juga membawa manusia pada pencarian identitas diri yang semakin intens. Kebutuhan identifikasi diri ini menjadi begitu mendesak di tengah-tengah kondisi yang ditengarai sebagai pelucutan manusia dari sekat-sekat primordial. Inilah dilema kemanusiaan yang selalu muncul, bagaimanapun arus utama peradaban dijalankan. Hal ini juga terlihat dengan jelas dalam karya sastra.

UKM dan Kehidupan Kota


OLEH SUDARMOKO
Ketika krisis ekonomi melanda Indonesia sekitar 10 tahun yang lalu, sebagian besar orang berpendapat bahwa mereka yang menggeluti ekonomi menengah ke bawah mampu bertahan. Mereka tidak hanya mampu bertahan karena modal yang mampu mereka kendalikan, namun juga karena interaksi bidang dan produk mereka terhadap pasarnya yang demikian intim. Misalkan saja petani yang menjadi produsen bagi kebutuhan perut sebagian manusia Indonesia yang hidup di kota-kota.

ANAS NAFIS

Referensi Minang yang Berjalan

Dalam usia 74 tahun ia masih tampak cekatan dan cerdas. Jika ditanya sesuatu, dengan sigap ia menjawab panjang lebar sembari meraih buku di rak buku sederhana di ruang tamunya yang berisi ratusan referensi yang kebanyakan dalam bahasa Belanda atau tulisan Arab-Melayu.

Pagi itu dia menghabiskan dua gelas kopi hangat dan merokok tak putus-putusnya. Ia adalah Anas Nafis, budayawan Minang yang disegani.

Anas Nafis membuka pembicaraan soal asal nama Indonesia. "Sesungguhnya, nama Indonesia orang bule yang menemukan. Tetapi, pada zaman penjajahan, Belanda enggan mendengar, apalagi memakainya. Untuk bangsa Indonesia, mereka lebih suka memakai kata inlanders, atau inheems (bumiputra) atau bevolking van Nederlandsch Indie (penduduk Hindia Belanda)," katanya.

Anas Nafis juga menyebut suatu kekeliruan besar bila ada anggapan bahwa nama Indonesia dipakai pertama kali oleh etnolog pengembara Adolf Bastian pada tahun 1884. Itu bisa dibaca dalam Het Kolonial Weekblad tanggal 16 September 1929 No 37 halaman 11 dan Encyclopaedie van Winkler Prins (3e dr, 1908) serta Encyclopaedie van Nederlandsch Indie (1918).

Menurut Anas Nafis, yang menemukan kata Indonesia adalah JR Logan seperti tertulis dalam Journal the Indian Archipelago and Eastern Asia (Jilid IV tahun 1850 halaman 254, dengan judul The Ethnologi of the Indian Archipelago. Logan memilih nama Indonesie untuk tanah Kepulauan Hindia dan Indonesiers bagi penduduknya.

Mengilhami

Sejumlah ide bisa mengalir begitu saja dari ceritanya. Sastrawan AA Navis (1924-2003) saat menulis cerpen Robohnya Surau Kami (1956) dan sejumlah cerpen lainnya mengaku mendapat idenya dari Anas Nafis.

Saat Eros Djarot hendak mencari referensi tentang pahlawan Aceh Cut Nyak Dien, seorang karyawan Perpustakaan Nasional Jakarta membawa Eros kepada Anas Nafis. Anas Nafis dengan senang membantu, tetapi dia tak tahu bahan yang dibutuhkan itu untuk membuat film Cut Nyak Dien.

Ketika Wali Kota Padang Fauzi Bahar datang ke rumahnya mencari referensi tentang Bagindo Aziz Chan yang diusulkan menjadi pahlawan nasional, Anas memberi bahan sangat lengkap dan ikut menuliskannya di surat kabar daerah. Anas yang menduda dengan tiga anak yang belum berkeluarga senang ketika kini Bagindo Aziz Chan resmi menjadi Pahlawan Nasional.

Pusat dokumentasi

Di Sumatera Barat (Sumbar), Anas Nafis tidak asing lagi bagi banyak kalangan. Setiap hari ada saja yang datang ke rumahnya di Jalan Aur Duri I No 3A Padang.

"Prinsip saya, untuk kemajuan dan kemaslahatan orang banyak, apa yang saya punya silakan manfaatkan. Apa yang bisa saya bantu, saya bantu. Pinjam buku silakan, tidak bayar," ujarnya.

Sayangnya, ada juga peneliti, akademisi, dan seniman yang pinjam referensinya dan tidak mengembalikan. Anas ingat siapa saja yang belum mengembalikan bukunya. "Sudah 60 judul buku saya hilang, tidak kembali dari tangan peminjam," ungkap Anas.

Di rumah kontrakannya, Anas menyimpan 520 judul buku terbitan sebelum Perang Dunia II, ratusan bahkan ribuan kliping koran/majalah, serta 800 gambar dan foto tempo dulu yang ia repro lalu disimpan di komputer bekasnya, yang akhir-akhir ini sering berulah karena memorinya hampir penuh. Dia belum pernah kesampaian membeli komputer baru karena sebagai pensiunan kemampuan finansialnya terbatas.

Usaha Anas Nafis, yang pernah mengecap pendidikan di Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (1952-1955), mengumpulkan referensi, terutama tentang Minangkabau, dengan tujuan agar masyarakat Sumbar dan Indonesia tak perlu jauh-jauh mencarinya sampai ke Belanda atau Eropa.

Tahun 1987 ia menggagas berdirinya Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau (PDIKM) di Padang Panjang. Niat itu mendapat sokongan dari mantan Kepala Bulog Bustanil Arifin. Lalu, dibangunlah rumah bagonjong untuk dijadikan PDIKM yang sejak itu menjadi salah satu tujuan wisata utama Sumbar.

Kondisi PDIKM saat ini memprihatinkan akibat minimnya perhatian Pemerintah Kota Padang Panjang dan Pemerintah Provinsi Sumbar. Sebagai Direktur PDIKM Padang Panjang sejak tahun 2003, Anas yang mantan guru ilmu alam ini tak bisa berbuat apa-apa kecuali terus menghimpun literatur guna membuka cakrawala masyarakat dalam banyak hal tentang Minangkabau.

Menulis

Di luar itu, Anas Nafis terus menulis artikel tentang hal-hal yang berhubungan dengan Minangkabau di surat kabar Singgalang, menulis pidato adat, menyadur sejumlah naskah dari bahasa Belanda, dan sebagainya.

Tahun 2004, 10 naskah cerita rakyat Minangkabau yang ia sadur diterbitkan Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau. Sebelumnya, ia menulis buku Peribahasa Minangkabau (1997) yang sudah cetak ulang berkali-kali. Sejumlah skenario yang ditulisnya sudah difilmkan di TVRI, seperti Dang Tuanku (1975) dan Perang Kamang (1980), serta mengolah cerita dan sinopsis film Palasik untuk RCTI (1997).

Kesungguhan Anas Nafis menghimpun literatur dan lalu mengolahnya, menurut Sekretaris Dewan Kesenian Sumatera Barat Nasrul Azwar, patut dipujikan.

"Tetapi, kami juga prihatin. Sudah ia bekerja tanpa pamrih, kepedulian Pemerintah Kota Padang dan Pemerintah Provinsi Sumbar kepada Anas Nafisnya masih kurang. Ia sangat layak diberikan penghargaan dan tanda jasa," ujarnya. Anas Nafis meninggal dunia 18 April 2007 yang sebelumnya dirawat di Rumah Sakit M Djamil Padang.*

SUMBER, YURNALDI, KOMPAS, KAMIS, 6 APRIL 2006

GUS TF SAKAI

Sastra yang Melintas
TAK seperti biasanya, Gus tf Sakai, sastrawan yang kini bermukim di Kota Payakumbuh, sebuah kota kecil sekitar 30 kilometer utara Bukittinggi, Sumatera Barat, tertegun begitu lama.

KAMARDI RASI DT P SIMULIE


Mencatat Sejarah yang Tercecer

Lewat buku Mesin Ketik Tua, Haji Kamardi Rais Datuk Panjang Simulie mencatat kekayaan sejarah yang jarang ditemukan di buku-buku sejarah lain. Sejumlah catatan sejarah yang tercecer ia ungkap di buku tersebut.

Dalam acara peluncuran dan bedah buku yang digelar Komunitas Penggiat Sastra Padang (KPSP), 11 Maret lalu, para undangan tetap tinggal duduk ketika acara usai. Orang memang menaruh hormat kepada Datuk Simulie, Pemangku Adat Minang yang disegani ini.

Dalam bukunya ini ia, misalnya, menceritakan mengenai Bung Hatta. Ketika kita tidak melihat dalam buku-buku bacaan lain tentang hubungan Hatta dengan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), atau bagaimana peranan Bung Hatta dalam PDRI, Datuk Simulie memberikan jawabannya, yang didasarkan catatan lebih dari 30 tahun lalu.

Ketika itu ia aktif dalam dunia kewartawanan dan mewawancarai Mr Sjafruddin Prawiranegara, pemimpin PDRI (1948-1949) dan pemimpin Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia atau PRRI pada tahun 1958-1961.

"Ketika saya tanya, ia mengakui bahwa ia tidak pernah menerima mandat dari Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Yaitu mandat yang memberi kuasa kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara untuk membentuk pemerintah darurat di Sumatera (PDRI). Waktu itu Sjafruddin sebagai Menteri Kemakmuran RI sedang berada di Bukittinggi," papar Datuk Simulie.

Menurut Sjafruddin, seperti dikutip Datuk Simulie, strategi dan konsep PDRI sebenarnya adalah konsep Bung Hatta. Situasi Tanah Air ketika itu semakin gawat dan ada tanda-tanda bahwa perundingan RI-Belanda akan menghadapi jalan buntu.

Menurut konsep Bung Hatta, Presiden Soekarno akan memimpin pemerintahan Indonesia di luar negeri. Hatta akan memimpin pemerintah darurat di Sumatera. Sementara Dr Sukiman, Kiai Masykur, Susanto, Jenderal Sudirman, Simatupang, dan AH Nasution akan tetap memimpin gerilya di Pulau Jawa.

Sepulang dari Tapanuli, November 1948, Bung Hatta bilang, "Sjaf! Keadaan semakin gawat. Nada-nadanya Belanda mau mengangkangi Perjanjian Renville. Saya diminta Bung Karno kembali ke Yogya. Sjaf tinggal di sini dulu. Konsep kita kan sudah ada. Tinggal kita melaksanakan saja. Nanti saya datang lagi."

Menurut Datuk Simulie, apa yang dinamakan strategi Hatta ini bak kato urang Minang, "Bagi Sjafruddin Prawiranegara sudah dalam paruik penghulu."

Buku berjalan

Datuk Simulie genap 73 tahun pada 12 Maret lalu. Dalam usia seuzur itu, ayah 11 anak ini memiliki daya ingatan yang tajam, dan sampai sekarang masih terus menulis.

Datuk Simulie hanya mengenyam pendidikan hingga sekolah lanjutan tingkat atas. Dari ayahnya, H Rais Datuk Machudung yang dia sebut sebagai "politikus lokal", ia banyak mendapatkan dorongan untuk belajar tentang hidup, termasuk tentang masalah politik.

Ia kini sering disebut-sebut sebagai "buku berjalan". Kalau bercerita tentang sesuatu, kita mendengarkan penjelasannya bagai membaca buku. Akan tetapi, penjelasannya tetap lebih menarik dari buku karena hampir selalu ia bercerita sembari menirukan gaya, intonasi, dan vokal seseorang.

Lebih dari itu, sebagai Pemangku Adat Minang, Datuk Simulie adalah orang yang selalu gelisah dan prihatin akan kondisi adat dan budaya Minangkabau. Ia akan cepat tanggap setiap ada pembicaraan menyangkut adat dan ranah Minangkabau. Berkat mesin ketik tua miliknya, berbagai gagasan, paparan, ulasan, dan komentarnya masih sering dibaca di media cetak terbitan Sumbar.

Bicara soal adat Minang, pidato adat yang kaya dengan pantun-pantun, petitih-petatah, dan sebagainya, Datuk Simulie yang juga salah seorang penggagas dan pendiri Lembaga Kerapatan Adat dan Alam Minangkabau (LKAAM) 40 tahun lalu sangat menguasai. Karena itu, ia dipercaya untuk kedua kalinya menjadi Ketua Umum Pucuk Pimpinan Lembaga Kerapatan Adat dan Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat periode 2005-2010.

Sampai sekarang, satu keinginan Datuk Simulie yang terus disuarakan sejak puluhan tahun lalu adalah bagaimana merevisi pasal hak guna usaha (HGU) dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. Alasannya, Minangkabau punya warisan budaya yang mengatur hukum adat soal tanah ulayat atau pusako tinggi di nagari-nagari (pemerintahan terendah di Sumbar).

"Tanah di Minangkabau adalah lebensraum (ruang untuk hidup) dan tempat ia berkubur. Tanah adalah milik komunal yang bukan saja untuk dimanfaatkan oleh orang yang hidup sekarang, tetapi juga diperuntukkan bagi generasi berikutnya. Karena itu, tanah ulayat harus diwariskan secara utuh kepada generasi pelanjutnya," papar Datuk Simulie pula.

Dalam usianya yang 73 tahun, Datuk Simulie masih kuat masuk kantor setiap hari, bahkan menghadiri dan memberikan sambutan pada berbagai acara.

Sebagai wartawan tiga zaman, mantan Pemimpin Redaksi Harian Semangat di Padang, mantan Ketua PWI Cabang Sumbar, dan pernah menjadi anggota DPRD Sumbar, Datuk Simulie masih sering diundang menyampaikan pemikiran dan gagasan dalam berbagai aspek kehidupan. Termasuk tampil menjadi narasumber dalam berbagai forum diskusi, seminar, serta workshop tingkat nasional dan internasional di berbagai kota di Indonesia dan luar negeri.

"Satu hal yang sangat berjasa dalam hal itu adalah mesin ketik tua saya, yang sejak tahun 1970-an sampai sekarang masih saya pakai. Bagi saya, bunyi gemerincing mesin ketik tua tersebut telah ikut memberikan inspirasi untuk menulis artikel by line di berbagai media cetak," ungkapnya.*

SUMBER, YURNALDI, KOMPAS, RABU, 19 APRIL 2006

INYIAK UPIAK PALATIANG


Semangat Tradisi Minang

DINGIN membalut Kota Bukittinggi. Jam Gadang di depan Istana Bung Hatta menunjukkan pukul 23.30. Minggu, 14 Desember 2003, itu berlangsung pertemuan bersejarah, diprakarsai Perhimpunan Aliran Silat Tradisional (Pasti) Minangkabau. Untuk pertama kalinya 79 orang pandeka (guru besar) silek tuo (silat tua) dari berbagai aliran bersilaturahmi dan unjuk kebolehan. Mereka semua berusia 70 tahun ke atas.

Yang mengejutkan sekitar 200 hadirin adalah munculnya perempuan pandeka satu-satunya, yang dalam usia 104 tahun masih tetap berkesenian, melestarikan, dan mewariskan silat tradisi Minang. Namanya Inyiak Upiak Palatiang atau disapa Inyiak. Ia tampil bersama anak dan cucunya.

Di hadapan para pejabat dan Pengurus Besar Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI), Inyiak menampilkan silat tua Gunuang. Gerakannya lincah, sorot matanya tajam dan waspada. Ia menghalau serangan dengan elakan (gelek) dan tangkisan (tangkih). Ketika tangan lawan mengarah ke dadanya, dengan secepat kilat ia tangkap dan memelintirnya dengan satu gerakan mengunci. Inyiak memberi hormat, permainan usai. Tepuk tangan riuh, pertanda salut dan kagum.

"Kecepatan dan ketangkasan gerak silat Inyiak sepertinya menyaksikan perempuan berusia 30-40 tahun. Padahal Inyiak telah berusia 104 tahun. Luar biasa dan mengagumkan," kata H Indra Catri, pengamat seni tradisi dan Kepala Dinas Informasi dan Komunikasi Kota Padang.

TIDAK sulit mencari Inyiak di kediamannya di Dusun Kubugadang, Kecamatan Batipuah, Nagari IV Koto, Kabupaten Tanah Datar. Semua orang tahu.

Pagi itu Inyiak tengah beristirahat sembari menikmati rokok keretek setelah membersihkan halaman rumahnya. Duduk lesehan, Inyiak bercerita dengan penuh semangat, sesekali mencontohkan gerakan silat dengan jurus-jurus unggulannya, baik dalam posisi berdiri maupun dalam posisi rebah di lantai.

Inyiak masih melakukan pekerjaan sehari-hari di rumah, bahkan ke sawah, menyiangi padi. Ingatan, pendengaran, dan penglihatannya ternyata masih normal dan tajam.

Inyiak mengatakan, silat merupakan salah satu jenis tradisi Minang yang banyak diminati masyarakat. Silat di lahirnya mencari kawan, sedang di batinnya mencari Tuhan. Maksudnya, silat adalah ajang untuk silaturahmi, memperkokoh persaudaraan dan persatuan. Dari mana saja mereka berasal, kalau sudah menyebut nama sang guru, berarti mereka bersaudara. Karena itu, amat jarang ada perkelahian antarkampung, antardaerah.

Mencari Tuhan, maksudnya, bagaimana mendekatkan diri kepada-Nya. Menyadarkan orang yang berniat jahat sekaligus menyadarkan kita sendiri. "Makanya, dalam prosesi bersilat, turun ke gelanggang, berdoa kepada Tuhan dan keselamatan atas Nabi menjadi yang utama. Murid yang ingin menuntut ilmu silat pun harus memenuhi persyaratan, misalnya mempunyai niat dan hati bersih, tidak untuk gagah-gagahan. Perlu diingat, silat bukan untuk membunuh orang, tapi membunuh sifat-sifat buruk seseorang, seperti busuk hati, dengki, buruk sangka, sok jagoan, dan sebagainya. Pada akhirnya murid silat akan dekat kepada Tuhan," katanya menjelaskan.

Sebagai ilmu bela diri, silat tak kalah hebat dari ilmu bela diri lainnya. Silat itu ilmu Tuhan. Ia runcing tapi tidak menusuk, ia tajam tapi tak menyayat. Begitu salah satu filosofinya.

Menurut Inyiak, keunggulan silat tradisi Minang itu di gelek, semacam gerak refleks yang bagaikan kilat. Pada saat lawan mau menghunjamkan pisaunya, misalnya, tendangan atau gerakan tangan kita sudah bersarang di titik-titik vital di tangan lawan sehingga senjata tajam terlepas.

"Apa pun jenis senjata, termasuk peluru yang ditembakkan, bukan hal aneh dalam silat tradisi Minang. Secepat peluru melesat, lebih cepat lagi tangan menangkap peluru tersebut. Seseorang yang mendalami ilmu silat bisa jatuh bak kapas atau hinggap di daun seperti kapas," papar Inyiak.

Didampingi anaknya kemudian, Mawardi (58) dan Zulfachri (42) alias Uncu, Inyiak mengiyakan apa yang dijelaskan anaknya itu. "Aliran silat tua di Minang cukup banyak, puluhan. Salah satunya, yang kini diajarkan dan diwarisi Inyiak, adalah silat Gunung (Marapi)," kata Uncu.

INYIAK Upiak Palatiang tidak hanya seorang perempuan pendekar satu-satunya yang masih hidup dan masih tetap bersilat, tetapi juga seniman yang telah menciptakan ratusan syair/lagu dendang saluang dan pantun-pantun pertunjukan randai. Bahkan, ia juga seorang pendendang terkenal.

"Inyiak telah menciptakan ratusan syair/lagu dendang saluang dan pantun-pantun untuk randai, yang sampai kini karya-karyanya masih dikagumi orang. Inyiak juga seorang pendendang terkenal dan mempunyai karisma. Pitunang (daya pikat, bagai magnet) suaranya mengagumkan," kata Musra Darizal Rajo Mangkuto (56), seniman tradisi Minang dan murid Inyiak.

Lagu/syair dendang ciptaan Inyiak yang terkenal antara lain Singgalang Kubu Diateh, Singgalang Gunuang Gabalo Itiak, Singgalang Ratok Sabu, Singgalang Layah, Singgalang Kariang, Singgalang Alai, Indang Batipuah, dan Parambahan Batusangka.

Menurut Musra, atau lebih dikenal Dakatik, lagu terakhir yang sempat ia pelajari dari Inyiak adalah Singgalang Gubalo Itiak. Syairnya begini: Urang Gunuang gubalo itiak/ Hari sadang pukua duo/ Kalau rancak usah diambiak/ Nantikan rila dek nan punyo//. Syair ini bercerita tentang seorang perempuan cantik, yang membuat banyak pemuda tergila-gila. Namun, meski ia cantik, tak usah diambil (digaet), tanpa seizin yang punya (pacar atau suaminya). Pesan yang hendak disampaikan adalah hidup ini harus berjelas-jelas.

Yang khas dari syair-syair ciptaan Inyiak adalah ia suka lagu-lagu ratok (ratap) atau lagu-lagu rusuah (risau hati). Pilihan kata atau sampiran pada lagu/syair ciptaannya cerdas dan punya logika. Tidak asal bunyinya sama. Sampirannya tidak terlalu jauh.

Contohnya Manga dek bolai nan dibubuik/ Bungo tampunik lareh balun/ Manga dek carai tuan sabuik/ Niaik di hati sampai balun//. Bolai adalah jenis kunyit yang harum. Namun, bungo tampunik lebih harum lagi. Di situ terlihat bahwa sampirannya lebih mengandung isi. Pesannya adalah janganlah ada niat memperistri lagi perempuan cantik, sementara istri yang lebih cantik belum terniat untuk menceraikannya.

Menurut Musra, kalau syair-syair itu didendangkan sendiri oleh Inyiak, kekuatannya menjadi lain. Sebab, garinyiak suaro (vibra, semacam anak suara yang diiringi cengkok) atau pitunang suaro Inyiak memukau. Katanya, "Mendengar suara Inyiak, orang bisa tertarik, terkesima, dan jatuh hati. Sesuatu yang tidak dipunyai oleh banyak pendendang lain."

Kelebihan lain, Inyiak juga guru bagi sejumlah peniup saluang. Inyiak pandai mengajarkan garitiak saluang, bagaimana "menikam" garinyiak suara/dendang.

"Melihat peran yang begitu besar dan kecintaan Inyiak kepada kesenian tradisi Minang, seperti silat, randai, saluang, hingga menciptakan ratusan syair/lagu yang abadi sampai kini, bahkan di usianya yang lebih 100 tahun masih terus berbuat, seharusnya pemerintah atau lembaga kesenian memberikan penghargaan buat beliau," kata Musra dan Indra Catri.*

SUMBER, YURNALDI, KOMPAS, JUMAT, 9 JANUARI 2004

Tuesday, May 15, 2007

SYAHRUL TARUN YUSUF

Popularitas Lagu Minang

Pada suatu masa, sekitar tahun 1960 sampai 1970-an, lagu-lagu Minang pernah berjaya dan menjadi lagu populer di Tanah Air. Penggemarnya tidak hanya orang Minang, tetapi juga warga etnik lain, bahkan penduduk negara tetangga Malaysia.

Sampai sekarang, lagu-lagu Minang masih terdengar diputar di mana-mana. Menyebut nama Elly Kasim, Erni Djohan, Nuskan Syarief, Lily Syarief, Tiar Ramon, misalnya, banyak orang pasti hafal syair-syair lagu Minang yang pernah mereka populerkan.

Kalau ada lagu-lagu Minang yang bertahan dan po-puler lebih 30 tahun, dibawakan oleh beberapa penya-nyi dan direkam berkali-kali, hingga syairnya dihafal oleh banyak orang, pasti itu karya Tarun, atau leng-kapnya Syahrul Tarun Yusuf (sering juga disingkat Satayu).

“Lagu-lagu yang diciptakan Tarun tahun 1960 sampai 1970-an kini sudah menjadi lagu Minang kla-sik, tetap disukai masyarakat,” kata budayawan Edy Utama, Senin, 28 Januari 2002, di Padang.

Menurut Edy Utama yang juga Ketua Umum Dewan Kesenian Sumatra Barat (DKSB), ada dua alasan me-ngapa lagu-lagu ciptaan Tarun bertahan puluhan ta-hun dan menjadi lagu Minang klasik. Pertama; ia sa-ngat menghayati dan memahami budaya Minang-kabau. Ia dengan cerdas belajar dari alam, mengambil simbol-simbol alam sebagai kekuatan karyanya. Kedua: dalam lagu-lagu Minang ciptaannya ia menggambar-kan dengan sangat kuat perasaan kolektif masyarakat Minang. Tak heran lagu-lagunya menjadi dekat dan berkesan sekali dengan banyak orang.

“Komponis lagu Minang sekarang tak mampu mela-kukan hal itu. Wajar saja tidak ada lagu-lagu Minang yang populer, kecuali karya-karya Tarun,” tambahnya.

Penilaian senada diungkapkan Syuhendri, seniman yang juga seorang ninik mamak bergelar datuk, yang dihubungi terpisah di Nagari Balingka, Kabupaten Agam. Katanya, “Syair-syair lagu Tarun kaya dengan pengalaman batin banyak orang, yang diungkapkan dengan nilai sastra yang kuat, sehingga berkesan dan disukai banyak orang.”

Menurut Syuhendri, penyanyi Elly Kasim bisa po-puler dan bertahan menjadi penyanyi Minang adalah karena karya-karya Tarun.

Bagi Tarun, adalah suatu yang tak diduga, bila lebih seratus lagu ciptaannya, menjadi lagu-lagu yang po-puler, menjadi lagu Minang klasik dan abadi di masya-rakat hingga kini.

“Saya menganut prinsip kehati-hatian, tidak asal jadi dalam mencipta lagu. Saya banyak belajar dari alam dan budaya Minangkabau. Ditambah pengalaman, be-gitu datang feeling, jadilah lagu,” ungkapnya di ru-mahnya di Nagari Balingka, Kabupaten Agam, Sumatra Barat.

Ia mengungkapkan, sampai sekarang masih ada pu-luhan syair yang masih tersimpan dan, menurut dia, belum bisa dijadikan lagu. “Lagu-lagu Minang yang sudah jadi ada lebih kurang 300 lagu. Yang belum jadi sekitar 100,” kata Tarun, seraya memperlihatkan daftar lagu, tahun dibuat, penyanyi yang mempopulerkan, dan produsen rekaman, yang dikeluarkan Yayasan Karya Cipta Indonesia.

Lagu ciptaannya antara lain “Bugih Lamo”, “Kasiah Tak Sampai”, “Bapisah Bukannyo Bacarai”, “Ampun Mande”, “Ranah Balingka”, “Gasiang Tangkurak”, “Roda Padati”, “Kabau Padati”, “Batu Tagak”, “Aia Mato Mande”, “Ayah”, “Bungo Cinto”, “Bungo Bapaga”, “Kumbang Batali”, “Di Taluak Bayua”, “Samalam di India”, “Takuik”, “Tinggalah Kampuang”, “Oto Triarga”, “Alang Bangkeh”, “Angin Sarugo”, “Buyuang Boneh”, “Cak Sarak Cak Suruik”, “Caraikan Denai”, “Hujan”, “Kanai Sijundai”, “Minang Maimbau I”, “Minang Maimbau II”, “Bagaluik”, “Saputiah Hati”, “Karam di Lauik Cinto”, “Jatuah Tapai”, “Balam Tigo Gayo”, dan “Pakiah Geleang”.

Lagu-lagu ciptaan Tarun lebih banyak dipopulerkan oleh penyanyi Elly Kasim dan Lily Syarief. Sebagian kecil oleh Erni Djohan, Tiar Ramon, Kardi Tanjung, Edi Cotok, dan juga pernah dipopulerkan penyanyi serba bisa, Hetty Koes Endang. Syair-syair lagu ciptaannya, karena saking populer, melegenda, dan dinilai klasik, menjadi bahan kajian untuk skripsi sejumlah maha-siswa dari Universitas Andalas, Padang. Juga jadi bahan telaah pengikut ajaran tasawuf.

Dalam mencipta, Tarun tak jarang meneliti ke lapa-ngan dan belajar khusus. Untuk mencipta lagu “Gasiang Tangkurak”, misalnya, ia mendatangi orang pandai (dukun) untuk menimba ilmu gasing tengkorak, pergi ke hutan dan bertapa. Kalau ia mau mencu-kupkan syarat, yakni memutar gasing tengkorak, “tembus”-lah ilmu yang ia tuntut. “Syarat yang satu itu tidak saya lakukan, karena dari awal niat saya untuk kebaikan. Lagu “Gasiang Tangkurak” dan “Kanai Sijundai”, yang saya ciptakan berdasarkan pengalaman itu tujuannya agar masyarakat, khusus-nya kalangan anak muda, tidak melakukan hal itu,” jelas Tarun.

Nilai sastra dari lagu-lagu itu ia angkat dari mantra-mantra sang dukun, disesuaikan dengan alam, kemu-dian irama lagunya dibuat. Tambahnya, “Semula, lagu tersebut saya buatkan untuk dibawakan penyanyi Tiar Ramon, tetapi Elly Kasim meminta karena suka dan merasa cocok. Setelah dipopulerkan penyanyi Elly Kasim, kini lagu tersebut dipopulerkan kembali oleh penyanyi Andi Mulia.”

Untuk tujuan komersial, sejumlah pencipta lain “menggunting” syair dan irama lagu-lagu ciptaan Tarun. Harusnya, menurut Tarun, pencipta atau pemu-sik generasi sekarang bisa mencari kosakata atau ung-kapan baru, tetapi punya makna yang sama.

“Lagu juga menjadi jati diri penciptanya. Daripada disebut pengekor, peniru, penjiplak, dan sebagainya, lebih baik ciptakanlah syair-syair baru, meski mak-nanya sama dengan yang lama,” ujarnya.

Satu hal yang membuat Tarun, putra Balingka ke-lahiran 12 Maret 1942, prihatin adalah banyaknya lagu-lagu pop yang syairnya diubah ke dalam bahasa Minang, yang dikenal Pop Minang. Harusnya, seniman musik ranah Minang berpikir bagaimana membuat lagu Minang populer, lagu yang bisa dinyanyikan/dipopulerkan oleh semua orang.

Menyelesaikan SR di Balingka dan pernah duduk di bangku SMP, SMEP, dan INS Kayutanam, serta me-nyelesaikan SMA di Bukittinggi, Tarun yang mengaku gemar menciptakan puisi-puisi Minang dan me-nonton kesenian saluang dengan dendang, dalam mencipta karyanya dibolak-balik berkali-kali, agar jangan sampai ada persamaan dengan karya orang lain, baik syair mau pun iramanya. Dalam proses mencipta, ia sering berdendang-dendang dulu baru mencari syairnya, atau sebaliknya menciptakan syair dulu baru kemudian mencari iramanya.

Lagu ciptaan Tarun yang pertama direkam adalah “Bugih Lamo”, yang sampai sekarang sudah 11 kali di-rekam. Tahun 1996, lagu itu mengantarnya meraih Anugerah HDX. Lagu tersebut sampai sekarang menjadi populer di Malaysia dan Brunei Darussalam, dengan syair yang dialihkan ke dalam Bahasa Indonesia dan diganti judul “Lagu Lama”.

Senang karya-karyanya “bernilai jual” dan “meng-hidupi” orang lain, Tarun memegang prinsip tak mau merendah dengan karya-karyanya. Merendah, menu-rut dia, akan membuat Tuhan marah, karena ide-ide dalam mencipta lagu Dia-lah yang memberikan.

Oleh karena sudah berbuat banyak untuk kesenian Minang, tahun 2001 ayah tujuh anak dari hasil perka-winannya dengan Misnani yang asal Makassar dan ka-kek dari tiga cucu ini meraih Anugerah Pedati dari Pemerintah Kota Wisata Bukittinggi.*

SUMBER (Yurnaldi) Kompas, Kamis, 31 Januari 2002

MUSRA DAHRIZAL KATIK RAJO MANGKUTO

“Ruh” Seni Randai

Arena laga-laga Taman Budaya Provinsi Sumatra Barat di Jalan Diponegoro, Padang, Selasa, 27 Agustus 2002, pagi, dipadati pengunjung tak seperti biasanya. Sekelompok pelajar sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) berpakaian tradisional tengah bersiap menampilkan randai, salah satu seni tradisi Minangkabau. Ada festival randai pelajar SLTP se-Sumatra Barat, rupanya. Melalui pengeras suara, panitia memanggil-manggil nama. “Tuo Randai kita, Mak Katik, mohon sangat kehadirannya.”

Mak Katik adalah nama keseharian Musra Dahrizal Katik Rajo Mangkuto. Setiap ada barandai (pertunjukan randai) di mana pun, lelaki berkumis dan berjambang lebat itu selalu hadir.

“Semalam saya tidur dini hari, sekitar pukul 02.00. Ada anak-anak barandai. Pagi ini, saya dipercaya jadi juri festival randai. Ini sesuatu yang perlu kita sokong dan kita bantu,” katanya.

Suatu kali, dini hari usai pertunjukan randai Ke-lompok Tungku Tigo Sajarangan pada awal Agustus 2002 di Pauh, dini hari seusai pertunjukan, Mak Katik memberi kesan dan pesannya.

“Kesenian Minang hidup dan berkembang, serta me-narik dan dikagumi banyak orang dari berbagai etnis dan negara karena kesenian itu sendiri punya ruh; se-hingga dia hidup dan memberikan kesan mendalam bagi pengunjung.”

Menurut dia, kesenian Minang apa pun jenisnya, termasuk randai, harus memperhatikan penontonnya, kalau perlu melibatkan penonton. Pertunjukan kese-nian randai, misalnya, baru bisa dikatakan berhasil bila orientasinya untuk tiga kategori penonton: Orang buta, dengan kekuatan dialog, dendang, dan musik, ia seolah melihat langsung mimik para pemain. Pe-nonton yang tuli, tetapi mata nyalang, seolah men-dengarkan dan mengerti apa yang diucapkan pemain. Kemudian, penonton yang normal, cukup mata dan te-linga, juga mendapat kesan mendalam dari per-tunjukan itu.

Bila Anda menonton randai, perwatakan tokoh da-lam penampilan randai tidak diungkapkan melalui tata rias, tetapi disampaikan lewat dendang (gurindam) ber-bahasa Minang. Kemudian, yang menjadi musik selain tepuk galembong, juga tepuk tangan, tepuk kaki, tepuk siku, petikan jari, hentakan kaki, dan teriakan-teriakan “hep...ta...ti.. hai” oleh tukang gore, dan nyanyian atau dendang yang dilakukan para pemain sambil mela-kukan gerakan-gerakan galembong, gerakan silat.

Sudah banyak peneliti yang menjadikan Mak Katik sebagai narasumber untuk kajian randai, antara lain peneliti dari University of Hawaii, Manoa, Amerika Serikat, Kirsten Panka, menjadi doktor karena randai.

Bahkan, ketika Mak Katik menampilkan randai dengan melibatkan mahasiswa asing dari delapan ne-gara menjadi pemain, pemusik, dan pendendang untuk cerita “Umbuik Mudo” yang dialihbahasakan dari bahasa Minang ke bahasa Inggris, seorang profesor dari University of Hawaii dengan spontan menyatakan kekagumannya. Dia sampai empat kali menonton.

Mak Katik diundang University of Hawaii menjadi pengajar selama enam bulan pada tahun 2000/2001, mewakili kesenian Asia. Ada 53 mahasiswa berbagai negara mengikuti pelajaran randai.

Menurut catatan Dewan Kesenian Sumatra Barat, saat Mak Katik jadi dosen tamu di University of Hawaii, Manoa, AS, itulah kali pertama kesenian randai tampil dan jadi bahan studi di luar negeri.

Sukses dalam 12 kali penampilan di empat tempat, antara lain di Kennedy Theatre, Amerika Serikat, Mak Katik yang juga menguasai seni silat, saluang, dan petatah-petitih Minang yang semuanya terpakai dalam pertunjukan randai, dengan Kelompok Singo Barantai mendapat undangan tampil beberapa kali di Jepang. Terakhir dia tampil di Melaka, Malaysia. Akhir tahun 2002, Mak Katik ada kemungkinan tampil di Brunei Darussalam.

Pergumulan Mak Katik secara intens dengan randai sudah sejak 43 tahun lalu. Tak heran ia dipanggil Tuo Randai”, panggilan kehormatan dalam sistem kebu-dayaan Minang yang sejajar dengan sebutan guru besar atau pakar dalam sistem pendidikan Indonesia. Bedanya, seorang yang dianggap Tuo Randai tidak hanya sekadar ahli dan sangat menguasai, tetapi juga sekaligus pelestari.

Menurut Mak Katik, kesenian randai disukai dan dikagumi antara lain karena di balik dialog, di balik gerak silat, sarat filosofi adat dan agama yang menjadi dasar kehidupan. Ia melukiskan, di balik semua ge-rakan silat randai, filosofinya sama. Dalam proses ke-budayaan Minang ada proses yang harus dilakukan. Bila dibawakan ke kehidupan, itu warna kehidupan, karakter hidup.

Dalam dialog randai, filosofinya ia lukiskan seperti sapakaik hati jo jantuang, sakato budi jo aka, budi manimpo ilimu, baso basisiah paham dalam batin. Bila dikaji terus, larinya bisa ke tasawuf. “Persoalannya, tidak seberapa orang randai yang pengetahuan dan pemahamannya sampai ke tingkat (tasawuf) itu,” ujarnya. Begadang setiap malam untuk kesenian randai, bagi Mak Katik itu konsekuensi dari pilihan hidup. Dilahirkan di Subang Anak, Nagari Batipuah tanggal 18 Agustus 1949, pada usia 10 tahun Mak Katik belajar randai dari pamannya, Kabun Rangkayo Batuah. Bersamaan dengan itu ia juga belajar silat dan saluang. Tiga tahun kemudian ia belajar petatah-petitih Minang. Sebagai pemain randai, Mak Katik kecil sudah tampil di berbagai daerah di Sumatra Barat.

Tahun 1976, ia membentuk sendiri kelompok ran-dai Talago Gunuang di Padang. Mak Katik langsung se-bagai pelatih. Pemainnya orang Cina dan Nias. Randai tersebut sempat terkenal dan bertahan lebih kurang delapan tahun. Kini, sekitar 52 kelompok randai di Kota Padang, Mak Katik salah seorang pembinanya. Tidak hanya di Padang, pada hampir seluruh daerah di Sumatra Barat, Mak Katik terlibat sebagai pelatih atau pembina.

“Untuk mengurus randai sampai tahun 1986, sudah satu mobil dan satu sepeda motor cair (tandas-red). Bagi ambo — begitu ia menyebut ke dirinya — tak ada pamrih. Melatih randai, silat, dan saluang, tidak untuk mencari makan, tetapi mengembangkan kesenian tra-disi dan menjalin tali silaturahmi. Sudah seluruh pelo-sok daerah di Sumatra Barat dikunjungi untuk mema-jukan kesenian randai. Sampai sekarang tali silatu-rahmi dengan masyarakat tempat randai itu hidup dan berkembang, tetap jalan,” papar seorang pembinanya.

Tidak hanya di Padang, pada hampir seluruh daerah di Sumatra Barat, Mak Katik terlibat sebagai pelatih atau pembina.

Untuk kebutuhan hidup dan membiayai istri dan empat anaknya, Mak Katik sejak tahun 1974 sudah punya usaha percetakan di Padang yang dijalankan adiknya.

Karena alasan tanpa pamrih melestarikan dan me-ngembangkan kesenian tradisi itu, ia tidak pernah memberi tahu bahwa ia punya usaha percetakan dan tidak pernah meminta proyek kepada pejabat-pejabat (Wali Kota/Bupati, dan Gubernur) yang pernah dekat dengannya.*

SUMBER (Yurnaldi) Kompas, Selasa, 29 Agustus 2002

MURSAL ESTEN

Fenomena Datuak Maringgih

Masih ingat potret tipikal tokoh kontroversial Datuk Meringgih dalam roman Sitti Nurbaya (juga di sinema televisi dengan judul sama yang diperankan dengan amat bagus oleh HIM Damsjik) karya Marah Rusli? Ia terbilang tokoh kontroversial. Bergelar “Datuk”, tetapi tidak tahu asal-usul ke-”Datuk”-annya. Ia dikesankan sebagai tokoh jahat dan berkarakter buruk, tetapi di sisi lain ia pulalah yang menggerakkan rakyat untuk melawan Belanda.

Bagi Prof Dr Mursal Esten (59)—tokoh budaya dari tanah Minang, yang justru dikenal lebih banyak mengritik perilaku orang Minang itu sendiri—karakter dan sosok Datuk Meringgih sangat multidimensional. Sebagai pedagang ia kaya-raya. Dengan kekayaannya itu ia lalu membabat saingan-saingan bisnisnya, se-hingga bisa melakukan praktik monopoli. Dengan ke-kayaannya itu pula ia dapat dengan mudah menggaet wanita-wanita cantik untuk diperistri, tak terkecuali si cantik Sitti Nurbaya.

Dalam tataran inilah Datuk Meringgih tampil sebagai sebuah fenomena menarik. Sosok tipikal Datuk Meringgih yang dibangun Marah Rusli di awal 1920-an itu, pada hakikatnya adalah potret dari perubahan dan pergeseran yang terjadi dalam masyarakat Minang-kabau khususnya di Kota Padang yang ketika itu te-ngah berkembang menjadi bandar perniagaan pada saat roman Sitti Nurbaya ditulis.

“Akan tetapi, jangan lupa, tokoh seperti Datuk Meringgih ini ternyata tetap hadir di dalam berbagai zaman: dahulu dan sekarang,” kata Mursal, lelaki kela-hiran 5 September 1941 di Kacang, suatu daerah di pinggiran Danau Singkarak, Kabupaten Solok, Sumatra Barat.

Saat meluncurkan dua buku terbarunya tentang ke-budayaan, Desentralisasi Kebudayaan dan Kajian Transformasi Budaya, di Padang akhir tahun lalu, de-ngan gaya sinis Mursal Esten menguraikan kaitan so-siologis munculnya kelompok “masyarakat baru” Mi-nangkabau yang tak lagi takluk kepada nilai-nilai tra-disi yang selama ini dijunjung tinggi di satu pihak, dengan fenomena munculnya sosok Datuk Meringgih masa kini.

Menurut dia, “masyarakat baru” Minangkabau se-perti itulah yang kemudian melahirkan orang-orang seperti Datuk Meringgih. Para datuk yang tak jelas asal-usulnya ini memiliki kenalan amat luas, bahkan bisa mempengaruhi kebijakan yang diambil penguasa. Di masa Orde Baru lalu ia jadi tokoh yang amat dihormati, bahkan dianggap juru selamat rakyat. “Di Sumatra Barat ini ia jauh lebih dimuliakan daripada datuk-datuk se-benarnya. Jika ia datang dari rantau (baca: Jakarta), di bandara ia dijemput oleh Gubernur atau pejabat-pejabat negara. Saya kira di daerah-daerah lain hal itu juga dilakukan,” katanya.

Sosok Datuk (datuk-datuk) Meringgih baru itu be-rubah menjadi sosok yang baik dan dermawan. Daerah-daerah, desa atau kota, menjadi berkilau oleh keha-diran mereka. Jika tokoh-tokoh tersebut belum bergelar datuk akan diupayakan dicarikan asal-usul yang me-mungkinkan mereka mendapat gelar tersebut. Mereka bisa tampil menjadi Menteri atau menjadi wakil rakyat di DPR.

Demikianlah citra mereka di saat faktor ekonomi dan industri menjadi Panglima. Akan tetapi, sewaktu ekonomi ambruk, citra mereka pudar, apalagi ternyata datuk-datuk itu kaya karena KKN. Watak dan perangai aslinya pun mulai terbuka. Ternyata, mereka lebih buruk dari Datuk Meringgih yang ada di roman Sitti Nurbaya.

“Tokoh Datuk Meringgih ini sampai sekarang tetap aktual dan kontekstual. Bukankah tokoh-tokoh seperti itu dapat mengerahkan massa dengan dana yang dimi-likinya? Bukankah menjelang dan sewaktu kampanye Pemilu lalu mereka juga dengan ‘ikhlas’ menyum-bangkan dana dalam jumlah ratusan juta rupiah ke-pada rakyat? Bukankah praktik-praktik seperti itu juga yang dilakukan Datuk Meringgih, yakni (istilah men-terengnya) money politics? Kalau Datuk Meringgih dulu melakukannya untuk melawan Belanda, tetapi se-karang untuk apa?”

Bagi sementara orang Minang, kritik dan gugatan seperti yang kerap diucapkan Mursal ini terdengar ke-ras, jauh dari gambaran ideal orang Minang sebagai-mana ajaran, nilai budaya, dan tradisi setempat. Dalam tradisi Minang, seseorang baru ideal sebagai manusia bila selalu tampil low profile. Sikap rendah hati tersebut, menurut cerpenis Harris Effendi Thahar, tergambar da-lam pepatah: “kok bakato, di bawah-bawah; kok mandi, di baruah-baruah.”

Mursal tidak begitu. Dalam pandangan Harris, Mursal adalah lelaki Minang modern yang tak lagi me-nempatkan diri di balik mitos-mitos kebesaran Minang-kabau masa lalu. Oleh karena itu, seorang Mursal Esten tidak akan berkata di bawah-bawah, tetapi sesuai kon-teks dan proporsinya. Ia juga tidak akan mandi di ba-ruah-baruah, melainkan akan ‘memandikan’ orang lain kalau memang mitra bicaranya itu perlu dimandikan.

“Oleh karena itu, tak heran kalau sebagian teman sejawat menilainya arogan,” kata Harris mengomentari posisi Mursal, yang kini dipercaya memimpin Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang dan Ketua Umum Pengurus Pusat Himpunan Sarjana Kesusaste-raan Indonesia.

Tidak aneh pula bila dalam kesempatan lain Mursal dianggap sebagai Malin Kundang yang hidup di alam modern. Tekadnya mengubah orientasi keilmuan STSI Padangpanjang dari “hanya” sebagai pusat kajian tra-disi Minangkabau menjadi pusat kajian Melayu, di-tanggapi oleh sebagian orang Minang sebagai bentuk lain dari “pengingkaran” Mursal terhadap tradisi yang membesarkannya.

Di dunia intelektual ia bahkan dituduh sekuler. Per-nyataannya tentang sikap Islami seseorang tidak di-tentukan oleh kepatuhannya terhadap segala bentuk ritual ibadah, tetapi oleh sikapnya yang selalu mem-pertanyakan dengan akal pikiran yang diberikan Tuhan kepada manusia, sempat mengundang tanda tanya di antara sejawatnya. Bahkan isu sekuler ini pula yang (konon) membuat ia gagal pada tahap akhir pe-milihan Rektor Universitas Negeri Padang (UNP; sebe-lumnya IKIP Padang-red) beberapa waktu lalu.

Adanya berbagai tudingan tersebut tak membuat Mursal surut. Terhadap isu dirinya penganut paham sekuler, ia cuma berujar ringan. “Kalau dunia aka-demik tidak sekuler, lalu bagaimana mungkin ia bisa berkembang?” Sedangkan menyangkut kebiasaannya melakukan semacam otokritik terhadap perilaku orang Minang, Mursal juga punya jawaban sendiri. “Di dalam alam dan adat Minangkabau, tokoh-tokoh yang dihargai adalah orang-orang yang ‘memberontak’, berpikir kri-tis dan kreatif, meskipun itu terhadap alam dan adatnya sendiri.”


Menyelesaikan program doktor di Universitas Indo-nesia (1990), Mursal kini tercatat sebagai guru besar pada Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra UNP, serta Ketua STSI Padangpanjang. Ia juga menjadi Ketua Pusat Kesenian Padang (1974-1979), Kepala Taman Budaya Provinsi Sumatra Barat (1979-1989), Ketua Badan Koordinasi Kesenian Nasional Indonesia (BKKNI) Padang (1986-sekarang), selain sebagai Ketua Pengu-rus Pusat Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia sejak tahun 1997.

Di samping menjadi staf pengajar di UNP, Mursal te-tap produktif menulis artikel tentang sastra, kesenian, dan kebudayaan di berbagai media massa nasional dan majalah terbitan Kualalumpur, Malaysia. Suami dari Ny Tati Mursal dan bapak dari Eka Anugraha, Aria Natalia, dan Triyana Citra ini juga sering melakukan penelitian dan banyak menulis buku. Selain dua buku terbarunya yang diluncurkan akhir 1999 lalu, ia telah melahirkan sejumlah buku, di antaranya Kesusastraan, Pengantar Teori dan Sejarah (1979), Sastra Indonesia dan Tradisi Sub Kultur (1981), Kritik Sastra Indonesia (1984), Sepuluh Petunjuk dalam Memahami dan Mambaca Puisi (1987), Apresiasi Sastra Indonesia (1987), Sastra Jalur Kedua (1987), dan editor buku Menjelang Teori dan Kritik Susastra yang Relevan (1988). Mursal Esten meninggal dunia pada tanggal 17 Agustus 2003 di Padang.

Guru yang Tak Pernah Merasa Lelah


KETIKA pagi itu saya memasang bendera di depan rumah untuk merayakan HUT ke-58 RI, Minggu 17 Agustus 2003, bendera itu jatuh ke tanah dengan tiangnya meski rasanya sudah saya ikat erat-erat ke pagar. Di saat yang sama, handphone berdering, cuma SMS: Mursal Esten meninggal, pukul 06.15 pagi ini. Innalillahi wa ina ilahi rojiun. Telah kembali ke kampung asal seorang tokoh nasional, budayawan, kritikus sastra, mahaguru, teman sejawat, yang namanya sering disebut-sebut teman sejawat karena beberapa bulan belakangan ia sudah berkali-kali keluar masuk rumah sakit akibat diabetes melitus yang dideritanya sejak lama.

Sekitar enam bulan lalu, kami berdua bermobil dari Maninjau ke Padang (sekitar 90 km) sehabis seminar sehari "Budaya Melayu" dengan dua orang pembicara pakar dari Malaysia. Dan, Mursal Esten adalah salah seorang pembicara dari pihak Indonesia untuk sesi pertama dan saya moderatornya. Waktu itu ia sudah mulai sakit, cepat lelah, tapi ia menolak ketika saya menawarkan diri jadi sopir. Alasannya, justru kalau sedang mengemudi, ia jadi lupa bahwa ia sakit. "Mengemudi termasuk hobi saya," tambahnya.

Ia memilih tampil pada sesi pertama karena ia ingin mengajak saya makan siang di Kota Pariaman yang terkenal dengan gulai ikan lautnya yang segar. Meski masih sesi pertama, justru pada babak diskusi Mursal Esten berlangsung seru. Mursal terkesan begitu keras "memandikan" seorang datuk yang getol mengatakan bahwa semua orang Melayu harus pakai jilbab karena Melayu identik dengan Islam.

"Saya justru tidak percaya pada atribut-atribut luar. Untuk Anda ketahui, Perda Kota Padang Panjang- tempat STSI yang saya pimpin berada-mewajibkan semua pegawai negeri wanitanya memakai jilbab. Tapi, kok skandal seks di sana yang paling banyak diekspos pers? Kalau Anda memang seorang datuk, lebih baik mengurus perilaku anak-kemenakan. Bukan mengurus jilbab."

Dalam perjalanan menuju Pariaman, menjelang siang itu, kami masih membicarakan suasana seminar di tepi Danau Maninjau yang permai itu. Saya katakan, "Sikap Pak Mursal menjawab datuk tadi itu semakin meyakinkan sebagian orang-orang di ranah Minang ini bahwa Pak Mursal Esten itu sekuler."
Konon, tahun 1999 lalu, Mursal Esten kalah bersaing dengan Prof Dr A Muri Yusuf untuk kursi rektor Universitas Negeri Padang (UNP, dulu IKIP Padang) adalah lantaran isu sekuler yang diembuskan pihak "lawan" ke senat universitas. Akhirnya, semula diramalkan Mursal menang, suara berbalik dan mengalahkan dia. Bahkan, nama Mursal Esten ditolak masuk dalam kepengurusan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) di Sumatera Barat (Sumbar) lantaran isu itu juga. Dua bulan setelah pemilihan rektor UNP, ia diangkat sebagai Ketua STSI Padang Panjang-yang sebelumnya ASKI Padang Panjang-yang juga dipimpin Prof Dr Mursal Esten sejak 1994. Perubahan status dari akademi ke sekolah tinggi itu berkat perjuangan Mursal. Semua orang di Sumatera Barat tahu itu. Dan, Mursal Esten jugalah yang mengundang Wakil Presiden Megawati (waktu itu) berkunjung ke STSI Padang Panjang dan berhasil mendapatkan hadiah tiga bus baru untuk angkutan kampus yang sejuk itu, setelah Megawati jadi presiden beberapa bulan kemudian. Hingga hari-hari terakhir menjelang kepergiannya, ia masih Ketua STSI Padang Panjang.

Mursal Esten termasuk orang yang "ditakuti" kalangan pemangku adat yang berhimpun dalam Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) di Sumbar karena kesinisannya terhadap lembaga itu. "Tuan-tuan yang datuk-datuk ini sebenarnya mengerjakan apa sih? Dari dulu hingga sekarang fungsi LKAAM ini tidak lebih dari sekadar untuk pelengkap acara seremonial, selebihnya apa? Mengapa tidak mengurus anak kemenakan agar menjadi anak Minang yang berbudi luhur? Menurut saya, LKAAM ini tak perlu ada, bubarkan saja!" katanya dalam suatu seminar. Padahal, waktu itu yang menjadi Ketua LKAAM adalah Gubernur (Hasan Basri Durin, Dt Rajo Nan Kuniang).

Dalam perjalanan menuju Pariaman, Mursal Esten bilang pada saya tentang keinginannya menunaikan ibadah haji tahun 2004 ini. Sayang, dokter yang merawatnya melarang karena kesehatannya yang tak meyakinkan. "Apakah agar supaya Pak Mursal jangan dianggap orang sekuler lagi?" tanya saya.
"Karena dari segi ekonomi saya sudah mampu," jawabnya.
"Tunggulah, kalau Pak Mursal sudah benar-benar sembuh," bujuk saya.

Ia tak menjawab, seperti sedang mempertimbangkan kata-kata saya itu. Meski demikian, ia toh masih terbang ke sana-ke mari, sesuai tugas yang diembannya sejak ia menjabat sebagai Ketua HISKI (Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia) hingga Ketua Paguyuban Pimpinan Perguruan Tinggi Seni, Anggota Steering Committee Kongres Bahasa Indonesia 2003, mengajar dan menguji mahasiswa program pascasarjana UNP, belum lagi waktunya untuk STSI yang kabarnya sedang diusahakan meningkatkan statusnya menjadi Institut Seni Indonesia Padang Panjang. Ia pun, sejak tiga tahun lalu, telah merintis pembentukan Pusat Kajian Melayu di STSI PadangPanjang yang banyak mendapat sokongan dari Pemerintah Indonesia dan Malaysia.

Konon, di Sumatra Barat, ia termasuk tokoh pelobi nomor satu. Seolah-olah ia tak peduli dengan penyakit yang menggerogoti tubuhnya.

MINGGU PAGI itu, cuaca redup, seperti hendak turun hujan. Di rumah duka, sekitar pukul sepuluh siang menjelang jenazah dimandikan, begitu ramai oleh pelayat datang. Tidak terbilang provinsi, pemerintahan kota, instansi, legislatif, kalangan perguruan tinggi tentu saja. Kalangan muda, terutama mahasiswa sastra dari tiga universitas (UNP, Unand, Universitas Bung Hatta) generasi muda pencinta dan pekerja seni hadir melayat, memperlihatkan rasa kehilangan yang dalam.

Sejak muda, Mursal memang peduli pada anak-anak muda yang aktif berkesenian, terutama sastra dan teater. Ia lebih suka menyumbang daripada dibayar apabila ada kelompok-kelompok diskusi sastra dan teater yang mengundangnya menjadi pembicara. Bahkan, ia tak segan-segan menyumbang penerbitan buku puisi anak-anak muda yang berbakat.

Ketika pertama kali Kota Padang memiliki sebuah Pusat Kesenian yang didirikan di atas lahan bekas Padang Fair tahun 1975, Mursal Esten ditunjuk sebagai Ketua Pusat Kesenian Padang (PKP). Sejak itu, seniman di Kota Padang merasa memiliki "rumah" tempat berekspresi. Ternyata Mursal mampu menghidupkan kesenian dan menyatukan seniman di Padang yang terkenal suka bertengkar itu. Sanggar-sanggar teater, seni rupa, sastra, dan tari bermunculan. PKP jadi hidup ketika itu karena didukung oleh tokoh-tokoh seniman seperti Alm AA Navis, Alm Chairul Harun, Leon Agusta, Abrar Yusra, Wisran Hadi, Hamid Jabbar, Darman Moenir, Upita Agustine, Alm Asneli Luthan, BHR Tanjung, Bagindo Fahmi, dan lainnya.

PKP akhirnya dikukuhkan menjadi Taman Budaya Sumatera Barat di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan 1979 dan Mursal Esten langsung menjadi Kepala Taman Budaya. Kesenian di Padang menjadi hidup. Malah banyak di antara seniman-seniman di luar Sumatera Barat ingin diundang datang ke Taman Budaya Sumbar di Padang pada masa itu. Bagi seniman Sumatera Barat waktu itu, kalau sudah mentas di Taman Budaya seperti telah merasa "disahkan" jadi seniman.

Pamor Taman Budaya mulai redup ketika Mursal Esten mundur dari jabatannya selaku Kepala Taman Budaya Sumbar karena harus berangkat ke Leiden (Belanda) menyelesaikan program studi doktornya, kerja sana dengan Program Pascasarjana Universitas Indonesia di bidang Sastra, tahun 1988.

Meski ia telah menyandang gelar akademis Doktor dua tahun setelah itu (satu-satunya Doktor Sastra di Sumatera saat itu), penampilan Mursal tidak pernah berubah. Masih tetap sebagai guru (dosen) favorit, lebih banyak tersenyum, dan suka membantu mahasiswa dengan buku-buku. Malah ia dengan senang hati memberikan buku yang ditulisnya secara gratis untuk mahasiswa yang tidak mampu. Kalau ada mahasiswanya yang menulis puisi, cerpen, atau esai kesenian di koran, ia sempatkan diri memberi semangat, kalau perlu dengan mentraktirnya minum kopi di kantin sambil berdiskusi. Saya termasuk orang yang mengalami hal itu dengan Pak Mursal ketika saya menjadi mahasiswa di tahun-tahun awal.

Di bulan-bulan terakhir sebelum kepergiannya, saat sakitnya mulai parah, ia masih menyempatkan diri datang ke ruang sidang Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FBSS UNP, "habitat"-nya, mengendarai mobil sendiri meski hanya untuk silaturahmi. Banyak teman sejawat menyarankannya agar lebih baik beristirahat di rumah, dan kalau rindu telepon saja kami. Tapi ia langsung menjawab, "Saya tidak bisa istirahat!"

Kini, ia betul-betul telah beristirahat untuk selama-lamanya. Sebelum meninggal, ia minta dikuburkan di kaki kuburan ibunya di Kacang, Solok. Ia meninggal dalam usia hampir 62 tahun (lahir di Bireuen, Aceh, 5 September 1941), meninggalkan seorang istri, tiga putra, dan dua menantu. Semoga Tuhan mengasihinya dan memberinya tempat yang indah.*

SUMBER (Yurnaldi/Kenedi Nurhan), Kompas, Senin, 24 Januari 2000

Harris Effendi Thahar, Staf Pengajar FBSS-UNP, Kompas. Minggu, 31 Agustus 2003