KODE-4

Friday, February 16, 2007

Kembali ke Nagari: Program Setengah Hati

OLEH Nasrul Azwar
Mayoritas (lebih kurang 95%) penduduk Sumatra Barat adalah suku bangsa Minangkabau. Mereka dikenal sebagai masyarakat yang unik karena memadukan nilai-nilai adat (tradisi) dan nilai-nilai keagamaan (Islam) dalam kehidupan sehari-harinya. Sebab “Adat bersendi Syarak, Syarak bersendi Kitabullah”, dimana “Syarak mangato (mengatakan), adat mamakai (menjalankan)”.

Masyarakat Minang adalah masyarakat matrilineal, yang menganut sistem keturunan menurut garis ibu. Suku ibu menentukan suku anak dan melekat dengan sistem kekerabatan, harta kaum dan sistem pewarisan. Kehidupan tradisional orang Minang adalah kehidupan bersama yang dipimpin oleh mamak (laki-laki) secara demokratis. Baik dalam keluarga, suku atau nagari. Ada mamak adat (ninik mamak, pimpinan kaum), mamak ibadat (ulama) dan cerdik pandai.
Ketiga unsur kepemimpinan itu, yaitu ninik mamak (pimpinan adat), ulama dan cerdik pandai (intelektual) dikiaskan sebagai “tungku tigo sajarangan” atau “tali tigo sapilin”. Di antara ketiga unsur kepemimpinan tungku tigo sajarangan, tidaklah saling mendominasi atau yang satu di atas yang lainnya. Melainkan mereka adalah satu kesatuan yang mempunyai peran masing-masing di tengah-tengah masyarakat.
Sampai saat ini, ketiga unsur kepemimpinan itu tetap mendapat tempat, setidaknya sebagai kepemimpinan informal di Sumatra Barat, dan terlibat berpartisipasi di dalam semua bidang, baik pembangunan, politik dan pemerintahan, maupun sosial budaya dalam arti yang luas.
Inti terpenting dari nilai-nilai selain sistem matrilineal dan landasan agama Islam (hukum syarak), adalah kehidupan bermusyawarah (demokrasi) dan gotong royong yang berakar pada sifat egaliter masyarakat yang memandang setiap orang sama derajatnya.
Kebiasaan bermusyawarah membiasakan orang Minang fasih bertutur dan berunding. Tidaklah mengherankan jika banyak yang tertarik pada lapangan sastra, jurnalistik dan politik. Secara esensial, orang Minang menganggap dirinya seorang pemimpin hanyalah karena ia “ditinggikan seranting, didahulukan selangkah.” Hal itu membiasakan orang Minang menyadari bahwa ia mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang sama dengan orang lain.
Jalan untuk maju, untuk pembaharuan, ialah “berguru ke alam terkembang”. Orang Minang amat menghargai pendidikan sehingga menjadi masyarakat yang civilize. Gagasan-gagasan moderisme dan sifat kompetitif berkembang dengan baik. Pandangan hidup, sistem dan norma-norma sosial yang bertitik tolak dari adat dan agama itu, tecermin dalam kehidupan sehari-hari, dalam berbagai upacara serta produk-produk seni budaya.
Di antara suku-suku bangsa di nusantara, orang Minang dikenal bersifat terbuka dan terpelajar, demokratis, kopentitif dalam kehidupan, dan suka merantau. Di samping sekitar 4,4 juta jiwa orang Minang yang tinggal di Sumatra Barat, diperkirakan sebanyak itu pula jumlah mereka yang hidup di rantau. Terbanyak di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di pulau Jawa. Namun mereka juga banyak yang merantau sampai keluar negeri seperti Malaysia, Singgapura, Australia, dan di negara-negara lain kelima benua.
Ciri yang menonjol dari mereka adalah kecintaanya terhadap kampung halaman atau negeri asal mereka. Kondisi sosial budaya yang demikian ini, adalah salah satu modal pembangunan yang dimiliki Sumatra Barat, baik untuk pembangunan ekonomi dan yang bersifat fisik maupun untuk meningkatkan kesejahteraan, dan pembangunan mental spiritual dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya.
Perpaduan Adat dan Agama
Masyarakat Sumatra Barat, yang berintikan masyarakat Minangkabau, adalah masyarakat yang selalu terbuka untuk perubahan dan pembaharuan. Dengan memahami sejarah, perpaduan antara adat dan agama (Islam) serta ilmu pengetahuan dan teknologi, kita memahami dinamika kehidupan masyarakat Minangkabau dari dulu hingga sekarang. Setelah adat dan Islam menemukan perpaduannya sejak paruhan kedua abad ke 19 hingga awal abad 20, terjadi lagi gelombang pembaruan berikutnya dengan masuknya ilmu pengetahuan Barat. Dikuasainya wilayah Minangkabau oleh Belanda, dan bangsa kolonial membangun sistim pendidikannya, telah menimulkan pula kesadaran baru kepada orang Minang untuk memasuki pendidikan umum, di samping pendidikan agama (madrasah dan surau).
Pendidikan umum inilah yang melahirkan kelompok ketiga kepemimpinan Minangkabau, yakni kaum intelektual atau cerdik pandai disamping kaum adat dan agama. diantara golongan ketiga ini, terdapat para intelektual atau cendekiawan dengan wawasan kebangsaan Indonesia seperti Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, Muhamad Yamin, Mohammad Natsir, Buya Hamka, dan banyak lagi.
Sebagai masyarakat yang menganut garis keturunan matrilinial, masyarakat Minang pun memberikan tempat khusus kepada kaum perempuan yang disebut sebagai “Bundo Kanduang”. Peran kaum ibu tidak hanya karena adanya sistem materilinial tersebut, melainkan telah terbukti sejak zaman dahulu kala, selama masa pergerakan kemerdekaan hingga zaman pembangunan dewasa ini.
Sejarah pula yang secara gamblang dan dapat menjelaskan, betapa kebudayaan, nilai-nilai dan norma yang hidup di masyarakat Minang adalah sebuah kekuatan yang hebat. Dan terus berkembang dalam dialektika, konflik dan harmoni, secara dinamis dan produktif.
Di penyelengaraan pemerintah, pelaksanaan pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan, seorang gubernur atau kepala daerah di Sumatra Barat tidaklah bisa mengabaika nilai-nilai adat dan agama yang hidup di masyarakat. Bahkan setiap kebijaksanaan tindakan dan langkah-langkah yang dilakukanya harus berlandaskan kepada nilai-nilai adat dan budaya tersebut. Sebaliknya, budaya dan agama, bukanlah pula menjadi penghambat bagi setiap langkah pembangunan atau penyelangaraan pemerintah. Justru disinilah uniknya adat Minang. Dimana nilai-nilai yang hidup beserta lembaga-lembaga informal serta sosial dapat bersatu dengan institusi formal pemerintahan dalam memecahkan setiap permasalahan pemerintahan pembangunan maupun kemasyarakatan.
Tingginya partisipasi dan ketertiban seluruh unsur masyarakat dalam pembangunan Sumatra Barat, dapat dikatakan merupakan aspek yang paling penting dalam memajukan daerah dan menyukseskan pembangunan. Sebagai konsekuensinya, seluruh program dan kebijaksanaan pemerintahan dan pembangunan oleh pemda haruslah pula berpedoman kepada nilai-nilai dan adat budaya masyarakat. Dalam arti Pemerintah Daerah haruslah melibatkan masyarakat melalui para pemimpin informasi ninik mamak, ulama dan cerdik pandai, untuk membuat setiap keputusan atau kebijaksanaan di daerah.
Misalnya dalam pembuatan sebuah peraturan daerah (perda), menurut ketentuannya, perda dibuat bersama-sama oleh gubernur kepala daerah (eksekutif) dan DPRD. Namun dalam prosesnya, selalu terlebih dahulu mendengarkan pendapat, saran, dan pandangan kalangan adat, agama, dan kalangan cendekiawan. Hanya di Sumbarlah barangkali dalam proses pembahasan sebuah Perda, DPRD sangat intensif melakukan dengar pendapat dan meminta saran-saran kepada para pemimpin sosial dan pemimpin informal.
Bahkan dapat pula dikatakan, berbagai keberhasilan dan prestasi yang telah diraih Sumbar, tak bisa dilepaskan dari peran serta dan keterlibatan masyarakat dalam seluruh proses pembangunan. Keberhasilan Sumbar meraih tanda kehormatan Parasamya Purnkarya Nugraha Pelita III dan Prayojana Kriya Pata Parasamya Purnkarya Nugraha Pelita V, bukanlah terutama karena kekayaan alam dan modal yang dimilikinya, melainkan lebih merupakan bukti dari keberhasilan masyarakatnya yang memiliki nilai-nilai dan sistem sosial-budaya yang sangat mendukung pembangunan dan kemajuan.
Sistem sosial budaya masyarakat yang spesifik ini pulalah yang mengharuskan setiap pemimpin pemerintahan di Sumbar mengembangkan komunikasi pembangunan yang spesifik. Seorang pemimpin di Sumbar haruslah dekat dengan masyarakatnya, dan dalam memimpin tidak dapat mengandalkan kekuasaan formal saja.
Tantangan ke Depan
Kini, dalam masa peralihan, di dalam perubahan, peran institusi lama, khususnya lembaga-lembaga adat, tak lagi sepenuhnya mampu menjawab persoalan masyarakat modern ini. Sementara institusi-institusi baru belum efektif dalalm menggerakkan masyarakat. Jadi, dalam proses perubahan yang terus terjadi, pemerintah dan para ulama, intelektual dan budayawan beserta kaum adat harus memberi arahnya. Sepanjang institusi lama masih berperan perlu dimanfaatkan, meski di sana sini harus dimodifikasi.
Umpamanya, untuk meningkatkan peran Kerapatan Adat Nagari (KAN), Pemerintah Daerah beserta Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) sudah menelorkan langkah-langkah untuk mendorong supaya KAN menempati posisi penting. Di antaranya dengan revitalisasi fungsi nagari sebagai satu kesatuan masyarakat hukum adat sekaligus sebagai kesatuan wilayah pembangunan pedesaan.
Abad 21 adalah abad keterbukaan. Kehadiran Milenium Ketiga ini ditandai oleh globalisasi dan era informasi yang makin deras, serta liberalisasi di bidang perdagangan dan investasi. Tidak ada lagi batas-batas negara dalam bidang ekonomi dan bisnis. Dunia akan menjadi tanpa batas.
Dalam perkembangan masyarakat dan adat Minangkabau sendiri, ada peristiwa-peristiwa berbentuk penyelesaian konflik sosial budaya, yang menyangkut perbenturan nilai-nilai yang terjadi dalam masyarakat, maupun dalam menghadapi setiap perubahan dan tangangan-tantangan tertentu. Dan setiap penyelesaian tersebut selalu membawa perubahan dan pembaharu-pembaharu tanpa menghilangkan adat. Bahkan justru memperkuatnya. Sebab, di dalam falsafah adat Minang ada ungkapan: “Sakali aia gadang, sakali tapian barubah. Kain dipakai usang, adat dipakai baru.”

Setiap perubahan seyogianya membawa kemajuan. Dan ini telah terbukti dalam sejarah perkembangan orang Minang. Misalnya, terjadi konflik dan pertentangan antara kaum adat dan Islam pada masa Perang Paderi. Konflik tersebut diselesaikan dengan Sumpah Sati Bukit Marapalam yang melahirkan rumusan: Adat Basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah. Rumusan ini adalah hasil pertemuan besar para ulama dengan kaum adat. Kenyataannya, sesudah adanya rumusan tersebut masyarakat Minangkabau dapat berkembang ke arah kemajuan, bahkan lebih cepat lagi.
Berikutnya, Belanda juga memperkenalkan sistem pendidikan Barat ke tengah-tengah masyarakat Minangkabau. Tak ada benturan nilai-nilai, karena justru orang Minang dapat mengambil manfaat dari masuknya budaya baru tersebut. Sehingga, periode ini merupakan tahapan penting dari Minangkabau modern dengan mengadaptasi ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pendidikan modern dari Barat.
Lalu awal abad ke-20 terjadi lagi gelombang pembaruan kedua oleh kaum modernis adat dan agama, terutama dibidang pendidikan dan pandangan keagamaan. Semua itu, yang berproses dalam dialetika konflik dan harmoni, justru memperkuat integritas dan jati diri Minangkabau.
Pada tahun 1950-an dan 1960-an terjadi lagi konflik soal harta pusaka, sistem waris, kewajiban terhadap anak dan kemenakan. Lalu dilakukan seminar besar adat dan budaya Minang di Pagaruyung pada tahun 1970. Hasilnya, didapat rumusan “Anak dipangku kamanakan dibimbing. Harta pusako tinggi ka kamanakan, harta pusako randah untuk anak.” Dengan rumusan itu, selesai lagi masalahnya, dan masyarakat Minang bisa terus maju.
Jadi, yang utama, untuk menghadapi masa depan, bagaimana nilai-nilai adat dan agama, atau lebih tegasnya budaya Minangkabau, dapat terus menjadi pendorong kemajuan di segala bidang kehidupan. Untuk itu, ia harus dapat menghadapi setiap tantangan masa depan yang terus berkembang dan semakin banyak macam-ragamnya.
Dengan nagari, dia adalah lambang mikrokosmik dari sebuah tatanan makrokosmik yang lebih luas. Dalam dirinya ada sistem yang memenuhi persyaratan embrional dari sebuah “negara” dalam artian miniatur, sehingga tak salah jika penulis-penulis asing suka menjuluki sistem tatanan di tingkat nagari ini sebagai republik-republik kecil[i] yang sifatnya [i]self-contained, otonom dan mampu membenahi diri sendiri. Bukan saja bahwa ketiga unsur utama dari perangkat pemerintahan ada di dalam tatanan nagari, yakni unsur legislatif, eksekutif dan yudikatif, tetapi dia juga merepukan kesatuan holistik bagi berbagai perangkat tatanan sosial-budaya lainnya.
Ikatan bernagari di Minangkabau, dahulunya, bukan saja primordial-konsanguinal (ikatan daerah dan kekerabatan adat) sifatnya, tetapi juga struktural-fungsional dalam artian teritorial-pemerintahan yang efektif. Oleh karena itu kaitannya ke atas, ke Luhak dan ke Alam, dan kesamping antara sesama nagari, terutama adalah kaitan emosional tetapi tidak struktural-fungsional.
Secara antropologis sistem yang sifatnya mandiri dan otonom seperti ini adalah ciri-ciri khas dari masyarakat bersuku (tribal society) demi kepentingan survival dan pelestarian nilai-nilai dari masing-masing nagari yang tekanannya terutama adalah pada “keseragaman antar nagari.” Ikatan Luhak dan Alam terutama adalah ikatan totemis dan kosmologis yang mempertemukan antara nagari-nagari itu dan mengikatnya menjadi kesatuan-kesatuan emosional-spiritual.
Oleh karena itu orang Minang dahulunya secara sadar membedakan antara kesatuan teritorial-konsanguinal dalam bentuk nagari-nagari ini dengan kesatuan totemis-kosmologis itu. Ke dalam, yang penting adalah yang pertama, sementara keluar, yang kedua. Yang pertama menunjukkan suku, adat dan asal-usul, sedang yang kedua, bangsa dan budaya. Yang pertama adalah perlambang dari kesatuan alam mikrokosmik, sedang yang kedua kesatuan alam mikrokosmik.
Semangat kembali ke nagari amat tinggi di masyarakat Sumatra Barat. Alasannya historis-sosiologis nagari merupakan identitas politik, kultural serta basis pemerintahan local (self-governing community). Nagari menerapkan prinsip “trias politica” tradisional, dalam pemerintahan, hubungan sosial masyarakat dan eksploitasi sumber daya alam. Alasan politiknya sebagai bentuk perlawanan intervensi pemerintah lewat UU No 5/1979.
Masyarakat adat nagari merupakan perlambang mikro kosmik dari sistem makro-kosmis masyarakat Minangkabau, ibaratnya “republik-republik kecil” otonom, self contained dan dibangun secara antropologis tidak saja primordial-konsanguinal (berdasar kekerabatan dan ikatan darah), tetapi juga struktural-fungsional pemerintahan berbasiskan teritorial wilayah yang efektif ada di dalamnya.
Kebijakan Lokal versus Birokratisasi
Local wisdom politik di struktur masyarakat adat nagari, terjadi dari implementasi struktur ikatan vertikal, yaitu struktur berhubungan ke arah Luhak dan Alam, sekaligus horisontal yang menghubungkan semua nagari yang ada di daerah Sumatra Barat. Ikatan Luhak dan Alam merupakan ikatan totemis dan kosmologis mempertemukan antar semua nagari dalam kesatuan lokal “identitas Minang”, sementara ikatan antara nagari adalah ikatan teritorial konsanguinal Minang sebagai masyarakat kesukuan (tribal society).
Efek dan dampak birokratisasi nagari dari UU pemerintahan desa, menjadi alasan kalangan perangkat desa untuk menolak kembali ke struktur nagari. Temuan tiga kasus di Nagari Gadut, Tilatang Kamang, Agam perangkat desa melakukan manuver mobilisasi massa untuk memboikot pemilihan wali nagari. Temuan penolakan kedua terkait identitas etnonasionalisme masyarakat Mentawai, membuat identitas suku dan agamanya sebagai identitas penolakan kembali ke nagari lewat slogan “Laggai yes, nagari no”.

Nagari: Aktor dan Konteks
Yang menarik, justru gerakan dari pemerintah (Gubernur) pasca lokakarya Padang 1998 yang membentuk komisi penelitian. Polling menyimpulkan mayoritas masyarakat Sumatra Barat lebih suka kembali ke dalam struktur masyarakat adat nagari. Pemimpin adat biasanya pendukung kuat gerakan ini, dilanjutkan pembuatan perda yang sangat aktif diikuti kalangan DPRD Propinsi, organisasi Islam, kalangan adat non-pemerintah, warga Minangkabau perantauan. Tapi tidak kalangan partai politik dan simpatisannya, asosiasi lembaga adat propinsi (LKAAM, bagian Golkar) adalah pendukung utama gerakan sebab anggotanya di dominasi mantan pejabat, akademisi yang juga elit-elit pemimpin adat.
Kebijakan pertama tentang pemerintahan Nagari disahkan yaitu Perda No 9/2000, yang efektif diberlakukan bulan Januari 2001. Perda memberikan rintisan kembali ke adat nagari dalam batas wilayah sebelum tahun 1999, berbasis kebijakan lokal Minangkabau sebagai landasan nagari yaitu lewat rumusan ritual “Adat basandi Syarak, Syarak basandi kitabullah, Syarak mangato, Adat mamakai, Alam takambang jadi guru”. Meskipun dalam prosena ada perdebatan tentang lembaga Kerapatan Adat dan nama pengganti, lembaga Adat itu akhirnya diatur perda tapi bukan merupakan bagian pemerintah resmi nagari.
Quo Vadis Nagari
Ada empat tantangan orang Minang bagaimana akan bisa bersikap kompromistis terhadap format pemerintahan nagari yang berbeda dengan self-governing community cara lama. Kedua, bagaimana merevitalisasi serta memperkuat kepemimpinan “tali tigo sapilin, tungku tigo sajarangan” (ninik mamak, alim ulama dan cerdik pandai). Tantangan ketiga, mengembalikan sumberdaya lokal, terutama tanah ulayat milik nagari. Tantangan keempat, membangun partisipasi masyarakat karena meski masyarakat semakin kritis, rasa kepemilikan lokal lemah akibat pembangunan Orde Baru yang bergaya sinterklas, seperti misalnya dalam kalimat “Masjid itu urusan perantau, jalan itu urusan pemerintah”.
Silang pendapat mengenai semua ini nyaris menemukan jalan buntu. Ironisnya gejolak ini hampir tidak mendapat tanggapan cerdas dari jajaran eksekutif dan legislatif setempat, yang umumnya berkutat pada soal meraup PAD. Juga tidak dari perguruan tinggi.
Otonomi semula menjanjikan harapan optimistik, namun kemudian efeknya sangat “merisaukan”. Otonomi seperti tidak dikehendaki. Daerah seperti gentar karena kucuran dana dari pusat dihentikan, sementara alternatifnya belum ditemukan. Tidak hanya pada jajaran birokrasi daerah dan kabupaten, tetapi juga sejumlah BUMN yang diprivatisasikan seperti TVRI lokal. Sementara alokasi dan distribusi serta kontrol Dana Alokasi Umum (DAU) dan data base tentang nagari masih belum siap menjawab tuntutan pembangunan.
Kedua, dalam suasana jenuh dan kisruh dalam soal otonomi seperti sekarang, hubungan intern antara nagari-kabupaten adalah fotokopi hubungan pusat- daerah. Bedanya mungkin hanya terletak pada skala kadar suhunya saja. Tak membara dan eksplosif seperti hubungan pusat-daerah seperti tercermin dari ketakberdayaan pusat mengelola konflik. Lihatlah betapa kronisnya kasus Aceh, kasus Poso, Ambon dan kasus koruptor kelas kakap yang tetap jadi petinggi eksekutif atau legislatif. Di Sumatra Barat sini juga demikian.
Lebih jauh, mungkin menarik jika kita mencermati lebih dekat tentang apa yang terjadi dengan hubungan kabupaten-nagari di Sumatra Barat. Masing-masing Bupati memiliki gaya sendiri dalam menyikapi otonomi dan demokratisasi. Di Kabupaten 50 Koto, misalnya konon menurut media lokal, Bupati sibuk melakukan pelantikan kepala-kepala nagari dengan upacara kebesaran “adat bernagari”.
Para petinggi nagari sibuk mendandani diri dengan pakaian kebesaran penghulu. Pada tingkat ini, demokratisasi masih pada tataran seremonial seperti yang digemari Orde Baru. Tetapi Pak Bupati tentu melihat ini sebagai kiat untuk mendekatkan diri guna menghidupkan wacana “kembali ke nagari” di tingkat nagari, dan bukan di kota. Lagi pula beliau percaya kesiapan basis kelembagaan nagari di Sumatra Barat untuk kembali ke nagari sebetulnya tidak terlalu mencemaskan. Persoalan mendasar agaknya ialah terbatasnya pengetahuan dan wawasan untuk menginterpretasikan secara cerdas dan konstruktif terhadap aturan dan perundang-undangan yang sudah ada di pelbagai level birokrasi.
Bagaimanapun geliat untuk berbenah diri saat ini tampaknya hadir di setiap kabupaten dan kota. Mereka sibuk mereka-reka komoditi unggul yang bisa “dijual” guna menambah PAD. Seringkali kebijakan pemerintah terganjal dengan kasus pro-kontra tentang keputusan yang dikeluarkan. Ini juga amat menonjol dalam reklamasi tanah ulayat yang belum jelas kedudukan barunya. Akibatnya, konon, investor masih ragu-ragu untuk masuk. Tebaran statistik tentang ini kabarnya belum menggembirakan. Tetapi cobalah tanya pejabat kabupaten dan kota, semuanya pasti sudah memiliki program dan prioritas-prioritas yang jelas dan bisa dibentangkan secara panjang lebar. Meskipun itu lebih banyak pada tataran wacana, tidak di lapangan.
Sumatra Barat seharusnya memiliki basis yang kuat untuk menegakkan demokratisasi di tingkat lokal, baik dalam hubungan daerah/provinsi-kabupaten, kabupaten-nagari maupun internal nagari-nagari itu sendiri. Harapan ini bukan tak memiliki dasar sosiologis-historis, terutama karena basis kelembagaan dan nilai-nilai demokrasi Minangkabau bisa dihidupkan kembali dalam rangka “kembali ke nagari”.
Barangkali karena sudah terlalu lama terbiasa hidup dalam birokrasi komando, sehingga prakarsa setempat tampaknya masih rendah. Namun harap dimengerti, bahwa anak nagari bukanlah orang yang bodoh dan kurang rasional seperti yang sering “dituduhkan”. Yang diperlukan sebetulnya pembenahan birokrasi di tingkat atasnya, terutama kemimpinan yang bisa diterima semua pihak karena identitas moral dan kecakapan yang dimilikinya.
Agaknya sudah menjadi watak manusia untuk melihat “ke atas”. Kalau di atas “baik”, baik menurut penilaian di bawah, semua akan diikuti. Tetapi sejauh ini tidak beres, maka agaknya sulit untuk mengharapkan imbauan atau apa pun bentuk law enforcement yang ingin diterapkan guna memacu demokratisasi ada level akar-rumput.
Dalam hubungan ini, menggeser desentralisasi ke tingkat kecamatan agaknya bisa semakin mendekatkan partisipasi dan kerjasama antar kabupaten-nagari atau antar-nagari. Selain itu formula yang lebih terprogram untuk membangun jaringan nagari-rantau terlalu berharga untuk disia-siakan, di samping semakin melibatkan perguruan tinggi untuk mendikusikan, berdebat sekaligus sosialisasi isu-isu sentral dan kronis dalam meredakan sikap konfrontatif dan tarik-menarik yang disebutkan di atas.
Di atas segala-galanya, perang untuk mengalahkan egonya sendiri di lingkaran pemimpin di setiap lini sudah harus dimulai sekarang juga. Soalnya, moralitas pemimpin itulah sekarang yang paling parah kondisinya. * **

No comments:

Post a Comment