KODE-4

Tuesday, February 20, 2007

Membaca Minangkabau di Helai-helai Benang

Data buku

Judul : Revitalisasi Songket Lama Minangkabau
Penulis : Bernhard Bart
Pengantar : Edy Utama

Penerbit : Studio Songket ErikaRianti Padang, 2006
Tebal : xi + 132 halaman

OLEH Nasrul Azwar

Salah satu kekayaan tradisi di Minangkabau adalah corak tenun songket. Beragam rupa corak songket berkembang dengan baik di tengah masyarakat tradisi Minangkabau. Beberapa nagari di Minangkabau memiliki kekayaan corak dan rupa songket dan merupakan karya seni yang sangat kaya kadar filosofi, ajaran, dan nilai-nilai kehidupan.

Beberapa peneliti pernah mencatat, sekitar 90 lebih ragam corak pada kain songket lama Minangkabau telah muncul di ranah Minang. Namun, saat ini, corak-corak tersebut sudah jarang ditemui. Kalau pun ada, hanya sebagian saja dan terbatas pada corak-corak sederhana. Itu pun sudah dimodifikasi sesuai dengan kehendak pasar dan massif. Bentuk dan coraknya tidak berkembang. Sementara, beberapa corak lainnya hampir hilang terkubur oleh zaman, bahkan tidak dikenal lagi oleh para penenun masa kini.

Corak songket Minangkabau yang telah langka (bahkan nyaris punah) itu, kini direvilatisasi oleh Bernhard Bart, 59 tahun, seorang arsitek berkebangsaan Swiss. Dia 10 tahun terakhir sangat intens meneliti corak-corak songket lama Minangkabau.

“Bagi saya, melihat sehelai kain songket tidaklah sekadar mengamati selembar kain yang ditenun dengan ribuan helai benang. Memandang sehelai kain songket, saya dapat melihat sebuah dinamika dalam proses kehidupan yang kompleks dan beragam.”

Kalimat itu ditulis Bernhard Bart, 59 tahun, dalam introduksi buku Revitalisasi Songket Lama Minangkabau yang diterbitkan Studio Songket ErikaRianti Padang. Bernhard Bart adalah seorang warga Swiss 10 tahun terakhir melakukan penelitian songket lama Minangkabau. Buku ini membentangkan secara luas dan detail perjalanan dan upaya Bart merevitalisasi motif-motif lama songket yang pernah berkembang di Minangkabau pada abad-19 hingga awal abad-20.

Songket sebuah nama dari bahasa Melayu untuk kain brocade yang ditenun di Indonesia dan Malaysia. Hingga Perang Dunia II kain itu dikenal dengan nama kain makau. Tenun songket adalah seni kerajinan yang cukup tua di Nusantara dan masih bertahan hingga sekarang. Di Sumatra Barat, ada beberapa sentra tenun yang tetap produktif menghasilkan kain songket Minangkabau. Bertahannya produksi tenun ini, karena masih ada konsumen yang membutuhkan. Selain itu, faktor yang membuat tenun songket masih eksis karena masyarakat Minangkabau hingga kini masih kuat mempertahankan adat dan budayanya: kain songket menjadi properti yang wajib dalam setiap pelaksanaan upacara adat.

Namun demikian, kain songket Minangkabau yang beredar di pasaran pada saat sekarang ini hadir dengan motif sederhana, dikerjakan dengan mudah dan cepat karena pasar menjadi target utama. Sebaliknya, jarang ditemui kain songket Minangkabau yang ditenun dan dikerjakan dengan menabur motif lama yang unik dan cerdas, yang setiap motif memiliki makna mendalam menyangkut filosofi hidup.

Songket Minangkabau yang pernah ditenun oleh para penenun masa lalu, dapat disebut sebagai karya seni yang berkualitas tinggi. Motifnya unik, rumit, dan kaya makna. Songket lama Minangkabau memang sudah langka dan sulit ditemukan di pasaran. Jika ingin menemukannya, tentu bukan di toko-toko sovenir yang menjual busana adat, melainkan di toko-toko antik, museum, atau pada beberapa keluarga yang masih menyimpan kain songket lama sebagai warisan. Salah satu sumber yang memungkinkan untuk melihat kembali kain songket lama Minangkabau, yakni di Negeri Belanda, baik kain yang dikoleksi oleh museum maupun koleksi perorangan. Itupun jika belum rusak akibat situasi Perang Dunia II. Karena kekuasaan kolonial Belanda mempunyai kemungkinan untuk mengoleksi kain yang benar-benar tua di Indonesia. Kain songket lama yang masih bisa ditemukan pada beberapa keluarga telah berusia sekitar 100-150 tahun.

Buku Reviltalisasi Songket Lama Minangkabau, selain ditulis Bernhard Bart sebagai penulis utama, juga diperkaya oleh beberapa penulis, yaitu Rifky Effendy (kurator seni rupa), Alda Wimar (budayawan), Suwati Kartiwa (peneliti songket), Jupriani (dosen seni rupa UNP), Nasrul Azwar (aktivis budaya), dan diberi pengantar oleh Edy Utama (pengamat budaya Minangkabau).

Kain songket lama—yang nyaris jadi barang langka—di dalamnya terbaca perjalanan peradaban dan kehidupan masyarakat Minangkabau. Melalui motifnya yang begitu beragam, tergambar makna dan pesan-pesan adat, moral, nilai-nilai kemanusiaan. Semua itu yang bersumber dari filosofi alam terkembang jadikan guru. Motif-motif tersebut terukir kuat, rapi, dan memperlihatkan tingkat kerumitan yang sulit dikerjakan oleh tukang tenun masa kini.

Pada awalnya, tahun 1996, Bernhard Bart terpesona memandang kain songket basa hitam dari Nagari Tanjung dan Koto Gadang yang dihiasi corak dan motif yang penuh dengan nilai kearifan adat Minangkabau. Kain basa hitam, saat itu hanya ditenun Hj Rohani, satu-satunya penenun perempuan yang bisa menenun dengan teknik yang benar, yaitu sisinya kain dibalik, yang bagus ke bawah. Galibnya corak lama songket Minangkabau ’tempo dahoeloe’ memang ditenun dengan teknik seperti ini.

Setelah mengenal lebih dekat kain songket basa hitam pun ingin menemui penenunnya, Hj Rohani, saat itu berusia 76 tahun. Dalam tradisi Minangkabau, kain songket basa hitam yang digunakan untuk tangkuluak (penutup kepala) oleh perempuan dan selendang oleh laki-laki (penghulu).

Latar pendidikan Bernhard Bart memang bukan berangkat untuk mendalami tenun songket, keahliannya di bidang arsitektur. Akan tetapi, karena kegemarannya berkeliling dunia dan berkunjung ke situs-situs sejarah dan sentra-sentra kerajinan rakyat di pelosok Nusantara ini—terutama kerajinan menenun—“memaksa” dirinya sejenak meninggalkan dunia arsitektur.

Bernhard menyadari, sepintas, tampaknya, hasil seni tenun dan arsitektur jauh berbeda, tetapi pada sisi cara bekerjanya hampir sama. Seorang arsitek, katanya, harus tahu tentang statik, teknik atau fungsi listrik, air, saluran, mutu bahan bangunan, aturan pemerintah, pengaruh warna kepada orang, mencari solusi yang harmonis di antara lingkungan, gedung, dan masyarakat yang tinggal/bekerja di dalam gedung itu.

“Saya hanya bisa berhasil dengan baik, kalau saya mendapat sebuah solusi yang optimal (tak pernah mungkin maksimal, selalu ada kompromi) bersama orang yang ingin membangun gedung. Hampir sama dengan seni tenun. Saya harus tahu fungsi alat tenun, seperti ATBM, alat tenun gedogang, sistem dobi, pelengkapan atau penambahan alat tenun (karok, sisir, turak, dan lain-lain), teknik tenun (ikat, songket, tapestry weaving dan lain-lain), mutu bahan (sutra ulat, katun, rami, polyester, benang makau, dan lain-lain),” paparnya.

Selain yang bersifat teknis tadi, tambahnya, kita harus memahami dengan baik sisi filosofi Minangkabau yang sangat berkait dengan adatnya. Kain songket ditenun sesuai dengan aturan fungsi dan tujuan penggunaannya (deta, selendang, sarung, ikek pinggang, dan lain-lain). Juga, ada corak yang spesifik atau unik dalam kain songket, misalnya, corak kepala kain ("tumpal-dobel", pucuak-rabuang timba baliak) hanya untuk selembar sarung, tak pernah untuk selendang. Semua ini harus diteliti/diperiksa sebelum menggambar kain songket Minangkabau dengan corak lama, yang nanti ditenun dengan tehnik yang dipakai penenun-penenun Minangkabau ratusan tahun sebelum masa kini. Semua memiliki kandungan filosofi.

Kini, Bernhard Bart telah menikmati hasil jerih payahnya. Paling tidak, untuk saat kini, lebih 1000 corak songket Minang telah dikembangkannya, dari yang paling sederhana (hanya 2 baris yang berbeda) sampai corak yang sangat rumit dengan 110 baris dan lebar sampai 260 “gigi” sisir tenun. Katanya, yang sebesar 260 “gigi” hanya ditemukan di dalam kain songket Koto Gadang yang sangat khas.

“Saya telah mencoba mendesain sendiri alat tenun yang bisa dipergunakan oleh penenun di Sumatra Barat, dan membuatnya dengan bantuan seorang tukang kayu yang cukup ahli. Beberapa alat tenun telah saya buat dan alat itu pun kini telah menghasilkan beberapa lembar replika kain songket lama. Sekarang, saya sudah punya mesin tenun sesuai dengan desain saya, dan juga mesin untuk menggintir benang dari sutra tunggal yang cukup kuat untuk losen dan pakan,” ujar Bernhard Bart.

Pada awal penelitiannya, Bernhard Bart sudah mempunyai rencana untuk menghidupkan kembali corak lama songket Minangkabau. Jika tidak dilakukan semenjak sekarang, kekhawatiran punahnya tradisi menenun motif lama Minang akan terbukti. Dia melihat, kain tenun songket yang beredar di Sumatra Barat saat ini, motif-motifnya terasa membosankan karena sudah masuk dalam industri yang massif. Tidak ada perkembangan corak lagi. Komposisi kain tetap (statis), selalu sama: pinggir kiri-kanan lebar, di antaranya banyak pengulangan baris bercorak kecil. Tentu tidak jadi masalah jika dipakai untuk sarung atau selendang, karena pinggirnya harus sama lebar. Yang divariasikan dan selalu dikembangkan pada kain songket di pasaran saat ini adalah kain dengan warna yang kerap menggunakan warna tren pada masa kini. Hampir tidak terlihat warna yang menjadi tradisi Minangkabau, misalnya merah terang, merah hati, biru tua (indigo), kuning, coklat, dan lain sebagainya. Banyak hal harus diteliti lebih dulu untuk menenun kain songket seperti yang ditenun 100 tahun yang lalu.

Kehadiran buku Revitalisasi Songket Lama Minangkabau, paling tidak telah mengisi khasanah referensi tentang songket Minangkabau yang selama ini diisi Fables Cloths of Minangkabau (1991) karya John Summerfield, terbitan Santa Barbara of Art. Selain ditulis dalam bahasa Indonesia, buku Revitalisasi Songket Lama Minangkabau juga akan diterbitkan dalam bahasa Inggris. ***


No comments:

Post a Comment