KODE-4

Monday, February 19, 2007

Darah PRRI di Tanah Minang

OLEH Nasrul Azwar

Saat itu tanggal 10 Februari 1958. Saat ini, tepat empat puluh delapan tahun yang lalu. Genderang perang ditalu. Pemicunya, tersebab ketidakpuasan daerah kepada pemerintah pusat: banyak senjang, tak sedikit yang timpang dalam roda pemerintahan. Maka, 10 Februari 1958, lewat Radio Republik Indonesia (RRI) Padang, Dewan Perjuangan membacakan tuntutannya untuk pemerintahan pusat yang dikenal dengan “Piagam Perjuangan”. Isinya: 1). Bubarkan Kabinet Djuanda dan kembalikan mandatnya ke presiden, 2). Bentuk zaken kabinet nasional dibawah suatu panitia pimpinan M. Hatta dan Hamengkubuwono IX, 3). Beri kabinet baru mandat sepenuhnya untuk bekerja sampai pemilu mendatang, 4). Presiden Soekarno/Pj. Presiden agar membatasi diri menurut konstitusi. 5). Bila tuntutannya tak dipenuhi dalam tempo 5x24 jam, Dewan Perjuangan akan mengambil kebijaksanaan sendiri.

Pemerintah Pusat diultimatum. Digaham oleh daerah, tentu saja Pusat murka. Jika orang pusat murka, alamat hancur negeri ini. Lima hari setalah ancaman itu, Pusat kirim tentara ke Padang sebanyak 7500-10000 personil terdiri dari Kodam Diponegoro, Siliwangi, Brawijaya dan elit Banteng Raiders juga KKO khusus Marinir AL ke Sumatra Tengah (Minangkabau). Tidak cukup? Pusat memperkuat lagi dengan mengirim 5-7 kapal perang dan ditambah dengan pesawat tempur. Kolonel Ahmad Yani memimpin penyerangan. Galibnya sebuah pertempuran, tentu pakai sandi. Namanya Sandi Operasi 17 Agustus. Maka, berdarah-darahlah negeri ini. Dentuman dan raungan senjata perang sahut-menyahut. Perang sesama saudara sendiri. Saling mengunus senjata dengan saudara yang pernah sama-sama berjuang mengusir penjajah. Peristiwa yang sangat ironis, dan terkesan naif.

Di Pasa Ateh Kota Bukittinggi, saat pagi masih merangkak, ratusan pedagang dibantai tentara pusat karena dicurigai ada tentara pro PRRI yang menyelinap di dalamnya, ternyata dugaan itu salah. Rakyat sipil yang akan menggelar dagangan pagi itu terbunuh sia-sia. Dan tak ada yang bertanggung-jawab. Di Nagari Simarasok, Kabupaten Agam, kepala seorang datuk dipancung oleh OPR lalu diarak keliling kampung untuk ditonton ramai-ramai. Semua di luar batas kemanusiaan. Harga diri telah hancur. Masyarakat yang tidak tahu apa-apa menjadi tumbal kekejaman ambisi dan ketaatan terhadap perintah. Saat itu, masyarakat tidak mengetahui secara pasti apa sebenarnya yang terjadi di negerinya. Mengapa tiba-tiba saling bunuh sesama bangsa. Meletusnya perang sesama saudara ini hingga kini tidak pernah jelas berapa jumlah nyawa manusia yang terbunuh. Negara Indonesia (pemerintah pusat atau pun daerah) sebenarnya harus menjelaskan sejarah hitam ini secara transparan kepada publik, apa sebenarnya yang terjadi.

Banyak pelaku dan juga sejarhwan mengatakan, semula gerakan itu tidak tampak berniat ingin menghancurkan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tetapi, pemberontakan itu akhirnya dikenal sebagai "gerakan anti-Jawa", karena kesenjangan pembangunan antara Pulau Jawa dan luar Jawa dianggap semakin besar. Sejak kemerdekaan diproklamasikan 1945, beberapa gerakan atau pemberontakan demi memisahkan diri dari negara kesatuan, terjadi di berbagai daerah, mulai dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, sampai Indonesia Bagian Timur. Saksi dan pemaain saat itu berteori sebagai perjuangan koreksi, tetapi mengapa pemerintah pusat tidak mengatakan dengan nada yang sama. Pemerintah pusat saat itu tidak merasa ada yang perlu dikoreksi oleh daerah-daerah yang memberontak. Maka, senjata adalah jawaban yang tepat pagi pusat, karena—bagi pusat—apa yang dilakukan oleh berbagai nama dewan yang dibentuk di daerah sebagai rupa pembangkangan dari sekian banyak para militer yang sakit hati. Di dalam teori militer, mereka disebut desersi. Maka, kebijakannya adalah tumpas.

Banyak hal yang perlu diperdebatkan tentang peristiwa PRRI itu seiring dengan masih banyaknya fakta-fakta yang diselubungi. Seorang pakar sejarah dari daerah ini mengatakan, isu-isu yang jadi latar belakang gerakan protes PRRI terhadap pemerintahan pusat, esensinya mencerminkan isu-isu yang berkembang ditataran nasional, antara lain dominasi pusat terhadap daerah yang sangat besar, peran politik militer, serta meluasnya pengaruh komunis. Selain itu, juga faktor penglikuidasian oleh jajaran tinggi militer di Jakarta terhadap Divisi IX Banteng.

Lalu, bukankah faktor penglikuidasian Divisi IX Banteng itu bisa diasumsikan sebagai kebijakan yang menyakitkan bagi petinggi-petinggi militer yang ada di daerah? Atau bisa juga karena Amerika Serikat kita saling membunuh.

Peristiwa berdarah itu memang membuat luka. Luka bagi siapa saja. Tetapi, saat kini, barangkali, luka itu sudah dilupakan. Dilupakan oleh perjalanan masa. Dilupakan oleh pemerintah yang semakin tidak menghargai rakyatnya. Empat puluh depalan tahun memang rentang waktu yang tidak panjang. Dia masih berada dalam ingatan kolektif rakyat dan pelakunya. Karena masih segar, tentu tidak menutup kemungkinan peristiwa yang sama akan muncul lagi, jika negeri ini masih tetap dijarah, diperkosa, dikuras, dan rakyat makin menderita dari hari ke hari. Kita lihat saja.***

No comments:

Post a Comment