KODE-4

Monday, March 24, 2008

Politik Kekuasaan sebagai Investasi

Oleh Nasrul Azwar

Kultur politik ekonomistik adalah kultur politik yang memandang kekuasaan hanya sebagai investasi. Apa yang ada di benak para calon politisi bukan idealisme, melainkan nilai tukar. Seorang calon politisi rela membayar ratusan juta rupiah karena tahu betul bahwa investasinya itu akan membuahkan hasil lebih besar. Selain itu pula, ketidakadilan sosial-ekonomi juga menciptakan kultur politik yang berseberangan dengan kesetaraan kesempatan politik bagi publik.

Gejala demikian terus menguat di negeri ini. Tren demikian makin mengeras seiring dengan penerapan pemilihan kepala daerah secara langsung. Munculnya gejolak dan protes sampai ke tingkat pengadilan dalam setiap proses pilkada di Indonesia merupakan indikator kuat untuk mengatakan kekuasaan dan uang bekerja di dalamnya. Apa yang disebut dengan kultur politik ekonomistik, kekuasaan adalah investasi menemukan wujudnya. Simaklah secara cermat, rata-rata pelaksanaan pilkada di Indonesia kerap menyulut pro kontra. Selalu bermuara pada saling klaim dan tuding. Malah bentrokan antarpendukung.

Tahun 2008 di Provinsi Bangka Belitung ini akan ramai dengan perhelatan pilkada. Paling tidak, daerah yang akan menggelar helat pilkada ini adalah Kota Pangkalpinang, Kabupaten Belitung, dan Kabupaten Bangka. Beberapa kandidat sudah mendaftarkan dirinya ke KPU Daerah masing-masing. Selanjutnya, tentu saja mereka ini akan diverifikasi sesuai dengan aturan.

Perjalanan menuju kursi kekuasaan politik, tentu saja bukan kerja seperti membalik telapak tangan. Untuk mencapai “kursi” nomor satu itu, investasi jangka pendek (paling kurang untuk masa 5 tahun bagi yang berhasil merebut kursi nomor satu dan dua) menjadi keniscayaan.

Untuk menuju kekuasan politik sepasang kandidat presiden, gubernur, bupati, wali kota, malah kepada desa yang ikut bersaing dalam sebuah pemilu, menjadi omong kosong saja jika mereka tak mengeluarkan uang sepeserpun. Mustahil saja jika mereka tak berinvestasi. Sudah menjadi rahasia umum, menjelang pilkada para kandidat bersedia menyewa konsultan politik dan lembaga-lembaga riset politik untuk program pemenangannya. Dan semua orang sudah memahami, setiap pilkada dapat diartikan sebagai lahan bisnis musiman. Malah, beberapa lembaga survei menjadikan bisnis dan usaha yang permanen dan dikelola secara profesional. Untuk menggunakan jasa lembaga ini, memang tak murah. Ratusan juta malah milyaran rupiah akan tersedot ke mereka.

Mencari Ketiak Ular

Maka, dari itu pula, politik kekuasaan yang dipresentasikan dalam pilkada dan pemilu menjadi ajang permainan kapital para kandidat yang berpunya. Dana besar identik dengan pencitraan kandidat dalam skala yang lebih luas. Kapital yang besar akan mampu memukau dan menguatkan citra di mata publik. Sepasang kandidat tampak “terbesarkan” jika mampu mengampanyekan dirinya di televisi-televisi, media cetak ternama, dan baliho-baliho besar dengan kualitas yang bagus. Dan akan menjadi tambah hebat lagi jika tim sukses mampu mendatangkan dan melibatkan remaja-remaja serta selebritis di dalamnya.

Tapi sebaliknya, akan tampak culun dan terkesan “miskin” jika sepasang kandidat datang dengan sangat sederhana dan berjalan dengan dana yang kecil. Ini jadi bumerang. Citranya menjadi turun di mata publik. Karena publik kita masih berada dalam proses belajar memahami politik dan program. Publik masih senang dengan citra glamor ketimbang program yang konkret. Yang berbau selebritas dan penuh bunga-bunga masih jadi getah yang dapat melekatkan ingatan instant publik.

Dari itu pula, publik akan merasa sangat terkesan, jika kandidat bupati atau wali kota, misalnya, mampu mendatangkan Tukul Arwana dalam sebuah kampanyenya. Atau sepasang kandidat lain bisa pula menghadirkan kelompok band yang lagi naik daun di negeri ini.

Investasi yang ditanamkan para kandidat merupakan kapital—terlepas dari mana sumbernya—ibarat sebuah usaha, pengembalian modal jadi tuntutan logis. Terlebih lagi ketika sang kandidat menang dalam pilkada. Konsekuensi yang lain lagi adalah terbukanya peluang perilaku korupsi karena harga investasi politik yang demikian besar.

Selain pengeluaran seperti itu, kontribusi dana pada satu partai politik pun harus menjadi objek limitasi. Seperti diketahui, kontribusi finansial adalah salah satu sarana paling efektif bagi kandidat atau kelompok guna mengekspresikan keyakinan politiknya (Kompas, 6 Februari 2005).

Di dalam masyarakat yang masih terkonsentrasi dalam ekonomistik-politik dan belum kuatnya kesetaraan sosial dan ekonomi, kekuasaan yang masih cenderung berada dalam lingkaran kapital, apa yang disebut dengan demokratisasi seperti utopia. Ciri masyarakat demokrasi yang sebenarnya, paling tidak bisa dilihat dari proses pelaksanaan pilkada atau pemilu. Jika kekuatan kapital yang menguasai akses politik, informasi, dan tertutupnya partisipasi publik, maka demokratisasi masih dianggap sebagai “instrumen” menyela sebuah pesta yang bernama pilkada itu.

Beberapa pengamat sosial dan politik menilai, kekuasaan politik yang identik dengan investasi, memang tak bisa berharap banyak akan tumbuhnya pastrisipasi politik publik secara terbuka. Apalagi masih tertutup kemungkinan calon di luar partai politik ikut bertarung dalam pilkada. Untuk itu pula, langkah yang bisa dilakukan untuk menekan perilaku korupsi adalah memublikasikan secara terbuka kekayaan para kandidat, dan semua publik bisa mengaksesnya. Langkah demikian ini harus dilakukan sebagai wujud kontrol publik terhadap seorang kandidat yang telah duduk sebagai pejabat publik.

Di sisi lain, mengurai rekam jejak perjalanan seorang kandidat sejak proses pencalonan sampai menuju duduk kursi kekuasaannya, memang mengesankan seperti mencari ketiak ular. Bak menelusuri lingkaran setan. Makanya, kasus korupsi dalam sebuah jajaran sulit dilacak, mark up dalam sebuah proyek, misalnya, seperti mencari jarum yang jatuh ke jerami. Ini akibat dari proses menuju tangga kekuasaan yang kental dengan pola politik adalah investasi. Artinya, ada modal dan finansial yang dipertaruhkan di dalamnya.

Selain itu, “politik balas jasa” dengan sekian banyak investor yang ikut di dalamnya, memunculkan lingkaran baru lagi. Investor yang berada dalam ring satu tim sukses akan menagih imbalan berupa proyek-proyek dan juga jabatan. Kandidat yang telah berhasil duduk seperti tak berkutik. Investasi harus menuai untung. Jerih payah menuntut imbalan.

Dari itu pula, memberantas praktik korupsi di level pemerintah daerah di negeri ini, seperti membenturkan kepala ke tembok tebal. Lingkaran setan perilaku korupsi tampaknya sudah dimulai semenjak proses pemilihan. Kecenderungan dan polarisasi kekuasaan politik di Indonesia dari semua level seolah menjadi keniscayaan dianut bahwa untuk meraih kekuasaan perlu investasi yang tak kecil. Meruyaknya korupsi di level provinsi, kabupaten/kota, departemen-departemen, lembaga peradilan, Polri dan TNI, BUMN dan juga BUMD, tidak bisa dilepas dari keterpengaruhan politik kekuasaan adalah investasi dan kapital.

Jika diikuti secara saksama kasus-kasus korupsi yang bergulir sepanjang 3 tahun terakhir di Indonesia, benang merah yang mengaitkannya adalah karena kekuasaan adalah investasi tadi.

Beberapa simpul yang menjurus ke arah praktik korupsi, taruhlah untuk Provinsi Bangka Belitung, Kabupaten Bangka, dan Kota Pangkalpinang, sebagai contoh, bisa kita pelajari dari temuan BPK yang dilansir Metro Bangka Belitung tiga edisi terakhir. Media ini merespons laporan temuan BPK tentang penggunaan dana APBD tahun 2006 untuk daerah yang disebutkan di atas tadi. Paling tidak, dari catatan BPK itu, indikasi ke arah penggunaan anggaran yang tidak proporsional dan menyalahi kepatutan dan kepatutan, serta melanggar peraturan yang berlaku banyak terjadi. APBD tampaknya seperti ATM bagi instansi dan pejabat-pejabat. Pundi-pundi dikuras tanpa ada pertanggung jawaban yang jelas. Akuntabilitas, transparansi, dan penggunaan keuangan seolah hanya cerita komik.

Entahlah, bagi saya semua bersumber dari pandangan kekuasaan yang menganggap politik kekuasaan adalah investasi dan kapital. Dan yang punya kapital dan finansial jumlahnya tak banyak di negeri ini.*

Sunday, March 23, 2008

Enaknya Menjadi Anggota Dewan

Oleh Nasrul Azwar

Menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat memang mengasyikkan. Paling tidak, sebagian hidup dibiayai dengan uang negara. Bukan saja anggota dewan yang mendapat berkah, keluarga dan anak juga kecipratan. Karena ada juga sebagian tunjangan diperuntukkan pada anak dan istri/suami. Secara moral, keluarga lainnya—di luar istri/suami dan anak—status sosial ikut terangkat juga. Maka, efek domino dari seorang yang berhasil menduduki kursi dewan, memang cukup besar.

Selain diberi gaji yang relatif besar, masing-masing anggota dewan ini juga diberi fasilitas berupa kendaraan, rumah, dan lain sebagai. Semuanya tetap menggunakan uang dari pundi-pundi anggaran pendapatan belanja daerah/negara. Jika mereka melaksanakan tugasnya, misalnya, membahas anggaran, atau RUU, Ranperda, dan jenis-jenis rapat lainnya, atau bikin pansus, kunker, studi banding, mereka juga diberi uang lelah/saku dari situ, walau mereka sudah digaji jutaan rupiah.

Untuk masalah yang terkait dengan besarnya tunjangan dan fasilitas yang diterima anggota dewan di pusat dan daerah, yang belakangan menuai protes adalah sewa rumah sebesar Rp13 juta/bulan bagi anggota DPR. Dan yang juga cukup membuat masyarakat Bangka Belitung geram adalah rencana pembahasan APBD 2008 di sebuah hotel di Kota Pangkalpinang. Kritikan keras masyarakat menyurutkan rencana ini.

Tapi, buat DPRD Kabupaten Bangka, yang dapat pinjaman motor dan mobil dinas baru, seolah cuek-cuek saja mendengar kritikan masyarakat. Kini masing-masing anggota dewan sudah menggunakan motor pinjaman dari Pemerintah Kabupaten Bangka berupa motor jenis vario. Bagi anggota dewan ini, tak ada urusan apakah motor itu digunakan atau tidak: yang penting terima saja dulu.

Menjadi anggota dewan dan duduk di kursi empuk dengan ruang ber-ac semerbak dengan harum bunga, dan semua kebutuhan disediakan oleh negara, memang menjadi cita-cita banyak orang. Artinya, ada kehidupan yang cukup menjanjikan di sana.
Paling tidak, setelah duduk di sana, status sosial akan terangkat, derajat akan naik. Di tengah keluarga, menjadi anggota dewan dipandang kedudukan yang bergengsi. Berwibawa. Dan dianggap tahu semua masalah yang terjadi di tengah masyarakat. Pokoknya, menjadi anggota dewan itu, semuanya seperti terangkat.

Untuk menuju ke sana, memang banyak juga rintangannya, walau banyak juga yang sampai ke kursi dewan itu demikian mudahnya. Mulus-mulus saja. Karena proses pemilihan anggota dewan sekarang ini beda dengan yang sebelumnya—walaupun beda tapi substansinya tak berubah—dipilih langsung sesuai nama yang dicalonkan, tentu saja “menjual” program kepada masyarakat menjadi yang utama.

Dahulunya, saat menjelang pemilu legislatif, calon-calon anggota dewan ini mencoba mendekatkan dirinya ke masyakakat, memberikan janji untuk memecahkan permasalahan masyarakat, dan kadang mau memastikan menggratiskan biaya sekolah. Demikian kira-kira cara mereka mengambil hati masyarakat. Mereka merayu dan membius publik dengan janji-janji. Tapi tujuannya adalah pilih saya.

Untuk melakukan pendekatan dan bujuk rayu itu, tentu saja membutuhkan dana yang cukup besar. Karena setiap berkumpul dengan masyarakat, minimal nasi bungkus dan baju kaus harus disediakan caleg bersangkutan. Besaran dana yang dikeluarkan, tergantung pada caleg untuk dewan yang mana: jika caleg untuk provinsi, tentu biayanya akan beda dengan caleg untuk kota/kabupaten. Tapi yang jelas, semuanya caleg dipastikan merogoh kantungnya untuk biaya ini-itu

Kini, mereka yang sudah duduk sebagai anggota dewan—bagi yang belum beruntung, bertarung saja pada pemilu yang akan datang—kini sedang menikmati enaknya menjadi anggota dewan.

Bagi rakyat yang sudah memilih seorang caleg di saat pemilu lalu, dan kebetulan “berhasil”, saat sekarang tinggal menyaksikan bagaimana “tipu muslihat” dan “bujuk rayu” dulu itu terbukti hanya pemanis saja. Hanya omong kosong. Hanya bualan. Suara rakyat suara Tuan (bukan Tuhan), menemukan pembenarannya. Tuan-tuan yang berada di gedung megah yang berstatus sebagai wakil rakyat itu membenarkan bahwa dirinya berada di sana karena suara rakyat, tapi kini lebih mengutamakan suaranya, dirinya sendiri.

Dari itu pula, dua kali pemilu setelah reformasi, yaitu 1999 dan 2004, sangat mengesankan tak memberi apa-apa bagi rakyat. Malah mengesankan menyebalkan masyarakat. Semenjak dari dugaan korupsi berjamaah yang dilakukan hampir semua anggota dewan di Indonesia sampai upaya memperbesar tunjangan dan gaji mereka, setiap saat jadi sorotan publik, dan malah ada yang mengatakan anggota dewan tak punya perasaan dan sikapnya menzalimi amanah masyarakat.

Beberapa pengamat sosial politik menilai, kinerja dewan di terutama di tingkat lokal memang memprihatinkan. Persoalan pengalaman, latar belakang pendidikan, serta lemahnya kemampuan berargumentasi (ini juga menyangkut rendahnya pengalaman organisasi), tidak responsif, sering telat bertindak, membuat mereka seperti berjarak dengan eksekutif. Pemerintah terlihat jauh di depan. Perbedaan demikian sangat kentara sekali saat pembahasan anggaran dan juga penerima laporan pertanggungjawaban pemerintah. Legislatif seperti “dikadalin” eksekutif .

Beberapa waktu lalu, Pedagang Pasar Pambangunan dan Sekitarnya (P4S) menyampaikan aspirasinya ke DPRD Kota Pangkalpinang. Pengaduan ini terkait dengan penghapusan aset yang direkomendasikan Pansus DPRD Pangkalpinang. Tapi apa mau dikata, di kantor wakil rakyat itu tak satupun anggota dewan yang ada. Semua anggota dewan pergi ke Jakarta dengan berbagai alasan. Akhirnya, pedagang yang tergabung dalam P4S kecewa.

Ini sudah jadi fenomena di daerah-daerah yang baru dimekarkan atau sedang berkembang, termasuk tentu saja Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Pengalaman panjang eksekutif di birokrasi dan penguasaan mereka terhadap data-data juga soal teknis, “memaksa” legislatif menerima saja laporan eksekutif. Fungsi pengawasan legislatif terhadap eksekutif selama ini hanya sebatas menerima laporan saat diadakan rapat, hearing, dan dengar pendapat secara formal. Dan jarang sekali legislatif berinisiatif mengecek ke lapangan kebenaran laporan sebuah instansi.

Kasus peminjaman motor dan mobil dinas kepada DPRD Bangka oleh Pemerintah Kabupaten Bangka, misalnya, adalah perkara yang cukup unik dan terbilang aneh. Di mana unik dan anehnya? Pertama soal lembaga mana yang pertama berinisiatif mengajukan gagasan pembelian kendaraan itu. Kedua, jenis kendaraan motor yang dipinjamkan eksekutif untuk operasional legislatif itu tidak mempertimbangkan asas manfaat dan keefektivan.

Pihak legislatif (DPRD Bangka) mengatakan, inisiatif pembelian motor untuk dewan datang dari Pemkab Bangka. DPRD merasa tak pernah mengajukan anggaran untuk hal demikian itu. Malah, pihak sekretaris dewan mengakui tidak pernah diajak dan terlibat sema sekali dalam proses pembelian motor itu. Sementara, pihak eksekutif (Pemkab Bangka) beralasan, semua anggaran yang ada dalam APBD berasal dari pengajuan instansi masing-masing, termasuk DPRD Bangka. Namun demikian, ada juga kalangan anggota dewan di Bangka yang mengakui, bahwa DPRD Bangka kecolongan dan terkesan “ditipu” eksekutif.

Demikianlah negeri ini diurus dan diatur dengan saling “memakan”. Legislatif memakan eksekutif, dan sebaliknya. Sementara rakyat korban dari “kanibalisme” itu. *

Pertunjukan Tanpa Elemen Teater

Catatan Pementasan Datuk Layau

Oleh Nasrul Azwar

Tafsir terhadap teks telah menjadi wilayah kuasa sutradara teater yang paling absolut. Pada wilayah teks budaya yang maha luas itu, sutradara merambah belantara ikon, simbol budaya, dan penanda sosial lainnya untuk diwujudkan dalam estimasi ruang dan waktu dalam satu frame panggung dengan pertanggungjawaban kreatif sutradara.


Tafsir yang direpsentasikan dengan sebutan pementasan teater kerap memiliki kecenderungan pengaktualisasian tematik dengan kondisi kekinian. Teks budaya (tradisi) yang mendasarinya menjadi pijakan dan landasan kreatif sutradara untuk merentangkan sebuah “historiografi” perjalanan masa, katakanlah, semenjak munculnya sebuah cerita dengan tradisi oral hingga ke tradisi tulis pada saat sekarang. Masa atau zaman yang panjang itu—terlihat mencengangkan—dapat dimanpatkan dalam satu kerangka panggung dengan durasi cerita yang singkat oleh sutradara teater. Nyaris semua kelompok teater yang ada di Indonesia tak lepas dari pola dan tafsir seperti itu.

Menoleh ke belakang (tradisi) sebagai basis kreativitas bukan hal baru dalam teater modern Indonesia. Tendensi serupa ini telah berlangsung lama. Dalam tafsir yang demikian, ada “kesombongan tradisi” masa lalu yang menjadi kebanggaan kreativitas. Pada batas ini, kecelakaan tafsir sering terjadi—seperti yang diungkapkan Ninuk Kleden (2004)—anggapan bahwa kebudayaan dapat berperan sebagai identitas etnik mempunyai konsekuensi teoritis yang mengharuskan orang memperlakukan kebudayaan sebagai “tanda”. Sementara pemikiran tentang hubungan antara tanda (signified) dengan yang ditandai (signifier) telah mengalami perubahan. Kalau semula hubungan tersebut boleh dikatakan memiliki makna tunggal, kini tidak demikian lagi. Jadi, tafsiran tentang representasi identitas, dalam hal ini identitas etnik, bukan merupakan hubungan yang linear dan bukan merupakan hubungan yang final.

Tafsir terhadap representasi identitas etnik, taruhlah kisah Datuk Layau (Kek Layau) yang berasal dari etnis Bangka, adalah tanda yang ditandai dengan memakai perangkat kekinian dalam pertunjukan teater Datuk Layau (Pertumpahan Darah 1850) yang dipentaskan Teater Lantera Kota Pangkalpinang di pelataran rumah dinas Wali Kota Pangkalpinang pada 29-30 Desember 2007 dengan sutradara Willy Siswanto, tampaknya—sepanjang pertunjukan—mengalami metamorfosis pengerucutan simbolisasi dengan memaknai kekuatan tradisi oral (lisan) budaya etnik Bangka. Pertunjukan sepanjang lebih-kurang 80 menit itu memang berada dalam cengkeraman “kekuasaan” tafsir sutradara. Kisah Datuk Layau yang diangkat dari tradisi tutur (tradisi oral) laksana lukisan realis yang diresepsi menjadi kisah dramatik heroik, dan dipertunjukkan dengan mencoba-coba serealistis mungkin, namun gagap.

Pada tulisan ini, sebenarnya saya tak ingin membincangkan tentang elemen-elemen teater, konsep penyutradaraan, konsep pertunjukan, dan lain sebagainya yang terkait dengan dramaturgi. Saya menghindar dari perbincangan tersebut karena memang pertunjukan teater Datuk Layau tak bisa dilihat dari kaca mata itu. Keterbatasan fasilitas, dan kondisi tempat pertunjukan yang sangat minimalis, menyebabkan saya tak kuasa bicara elemen-elemen teater.

Namun demikian, proses pertunjukan sudah dilewati. Pementasan Datuk Layau sudah dinikmati publik. Satu sisi, yakni penonton terhibur, sudah tercapai. Pesan yang ingin disampaikan tentang sosok Datuk Layau, seorang pejuang dari kampung kecil bernama Bakam dalam menantang kolonial Belanda, sudah sampai pula pada publik.

Lalu, menjelang menyaksikan pertunjukan Datuk Layau dengan segenap persiapan yang saya bangun dalam pikiran saya, ternyata tak seindah yang saya bayangkan. Sambutan dari pejabat yang berlama-lama membuat suasana yang sebelumnya tampak seremonialis menjadi betul-betul pertunjukan seni yang seremonial.

Setengah pertunjukan teater Datuk Layau yang memang sangat membosankan, saya mulai teringat apa yang diucapkan Eugenio Barba dan kawan-kawan dalam sebuah tulisannya. Eugenio Barba dalam tulisan berjudul Anatomie de L’ Acteur (1985) yang diterjemahkan Yudiaryani ke dalam bahasa Indonesia menyebutkan: kata “teks” sebelum menunjukkan teks tertulis maupun lisan, dicetak atau tulisan tangan, berarti rajutan bersama. Dalam pengertian ini, tidak ada pementasan yang hadir tanpa rajutan bersama tanpa “teks”. Artinya, apa yang berhubungan dengan “teks” (rajutan) dapat diartikan sebagai ‘dramaturgi’—yang berarti drama-eregon—suatu kerja, penampakan bekerjanya sebuah laku dalam pertunjukan plot. Memang sulit membedakan dalam pendekatan dramaturgi, pementasan yang dianggap sebagai “penyutradaraan” seorang sutradara dan apa yang disebut sebagai “penulisan” seorang pengarang. Perbedaannya hanya tampak dengan jelas melalui penggarapan teater, melalui penafsiran sebuah teks tertulis.

Dari itu pula, menilik sebuah hasil garapan teater, yang menghasilkan pementasan teaterikal, penonton akan berhadapan dengan apa yang disebut laku. Laku menjadi pusat perhatian dalam dramaturgi. Perhatian yang diberikan bukan saja apa yang didialogkan aktor, akan tetapi juga suara-suara, transformasi properti, dimensi ruang dan waktu, cahaya, musik, karakter, emosi, tempo permainan, dan laku sebagai “teks”.

Laku yang dibawa para aktor ke atas panggung tak menguatkan ingatan dan imajinasi saya ke sosok seorang pejuang dan ulama yang bernama Kek Layau. Properti dimensi ruang dan waktu, musik, karakter, emosi, dan lain sebagainya, gagal merekonstruksi ingatan saya pada masa lalu. Pertunjukan teaterikal yang penuh dengan kejutan, seolah berhenti malam itu. Pementasan Datuk Layau tak berhasil menyugesti kesiapan saya untuk bertahan di kursi penonton.

Lemah pada Konsep

Teater yang dibangun dengan konstruksi dan landasan yang kuat, ia akan menjelma menjadi pertunjukan yang siap tampil di mana saja. Panggung sebagai wilayah pementasan bukan properti yang dijadikan harga mati. Teater yang sudah jelas konsep penyutradaraan dan pertunjukannya, tak akan gagap jika dipertunjukan di panggung mana saja: teater tertutup, terbuka, arena, dan di lapangan terbuka sekalipun.

Pementasan Datuk Layau sebenarnya bermasalah dari sisi tempat pertunjukan. Artinya, konsep pertunjukan yang belum matang membuat pementasan malam itu seakan kehilangan momentum. Sutradara yang bertanggungjawab dalam wilayah ini seperti tak membayangkan soal ruang dan waktu, properti, dan juga komposisi panggung. Akibatnya, untuk mengatakan satu bukti ketidakmatangan konsep ini adalah penukaran “babak” dengan kode matinya lampu. Cara ini jelas, sutradara tidak mempertimbangkan suasana lingkungan sekitar yang lampunya tetap terus menyala. Bagi saya, konsep ini bisa jalan jika pertunjukan dilakukan di teater tertutup. Seperti yang saya sebutkan di atas, soal elemen teater rasanya sulit untuk diperbicangkan lebih jauh dalam pertunjukan Datuk Layau ini.

Aspek lain yang sangat berpengaruh pada hasil garapan adalah soal naskah. Naskah sebagai urat pertunjukan yang terlihat dari dialog-dialog yang disampaikan pemain di atas panggung, masih terkesan artifisial, verbalistik, dan renggang.

Konsekuensi dari sebuah naskah yang berangkat dari kisah nyata adalah karakter tokoh yang semestinya tidak berada di bawah watak sebenarnya. Kek Layau, salah seorang tokoh pejuang, tentu akan kehilangan aura dan pesonanya, saat dia dimainkan dalam kadar yang verbalistik. Dan apa yang terjadi di atas panggung, peran Datuk Layau seperti kehilangan kharismatiknya.

Pada batas ini, studi sosiologis, antropologis, psikologis, dan juga kultur menjadi sangat penting. Walau ada upaya untuk datang ke kampung Bakam sebagai bentuk observasi, tapi dalam pertunjukan tak terlihat sama sekali. Pemain seperti kahilangan karakter, sutradara seolah kehilangan konsep. Dan pertunjukan Datuk Layau malam itu, seperti menyaksikan pementasan teater tanpa elemen teater. Tapi, satu upaya telah dilakukan: pementasan teater. Satu terobosan di saat publik Bangka merindukan pertunjukan seni. ***