KODE-4

Wednesday, September 19, 2007

Soeharto, Pemimpin Pencuri Aset Negara Versi PBB


SUMBER: Muhammad Hasits - Okezone

Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meluncurkan program pengentasan budaya korupsi yang disebut "Penemuan kembali aset yang hilang" di Markas PBB di New York. Dalam kesempatan tersebut dirilis juga 10 nama pemimpin dunia yang digolongkan sebagai pencuri aset negara.

"Saya bergembira dan mengucapkan selamat datang di UN dalam acara yang sangat penting ini. Peluncuran ini adalah langkah utama dalam rangka upaya mengatasi masalah korupsi dengan serius," kata Sekjen PBB Ban Ki-moon dalam pernyataannya yang dikutip situs Perserikatan Bangsa-Bangsa, Selasa (18/9/2007).

Dalam daftar yang dikeluarkan PBB, Soeharto masuk sebagai satu dari sepuluh pemimpin dunia yang dianggap telah mencuri kekayaan negara. Bekas penguasa orde baru ini diperkirakan telah mencuri kekayaan negara senilai Rp15-35 miliar dolar AS.

"Masalah korupsi dapat menghilangkkan demokrasi dan nilai-nilai hukum. Hal ini juga membawa pada kejahatan hak-hak manusia. Selain itu dapat mengikis kepercayaan publik kepada pemerintah. Hal ini bisa juga membunuh. Dengan contoh: ketika korupsi mengizinkan sesuatu kesalahan ditutupi dengan menerima suap atau sogokan untuk memudahkan aksi-aksi teroris dimanapun," jelas Ban.

Selain Soeharto terdapat juga sembilan pemimpin dunia lainnya, yang masuk dalam kategori yang sama. Mereka adalah:

  1. Soeharto (Indonesia) pada tahun 1965-1997, kerugian negara USD 15-35 miliar
  2. Ferdinan Marcos (Filipina) pada tahun 1972-1986, kerugian USD 5-10 miliar
  3. Mobutu Sese Seko (Zaire) pada 1965-1997, kerugian negara USD 5 miliar
  4. Sani Abacha (NIgeria) pada 1993-1998, kerugian negara USD 2-5 miliar
  5. Slobodan Milosevic (Serbia/Yugoslavia) 1989-2000, kerugian negara USD 1 miliar
  6. Jean Claude Duvailer (Haiti) 1971-1986, kerugian negara USD 300-800 juta
  7. Alberto Fujimori (Peru) 1990-2000, kerugian negara USD 600 juta
  8. Pavio Lazarenko (Ukraina) 1996-1997, kerugian negara USD 114-200 juta
  9. Arnold Aleman (Nikaragua) 1997-2002, kerugian negara USD 100 juta
  10. Joseph Estrada (Filipina) 1998-2001, kerugian negara USD 70-80 juta

Sunday, September 16, 2007

Goenawan Mohamad:

"TUK itu Bukan Organisasi, Bukan Mazhab"


Pengantar:
Di tahun ini, panggung susastra Indonesia agak panas dengan munculnya gerakan-gerakan yang "menghujat" TUK (Teater Utan Kayu). Mereka menuding TUK , baik secara terang-terangan maupun diam-diam, sebagai sarang "Gerakan Syahwat Merdeka" (GSM). Istilah tersebut pertama kali dicuatkan oleh Taufik Ismail. Ada yang bilang, GSM yang dimaksud adalah inisial dari nama lengkap sastrawan kondang Goenawan Soesatyo Mohamad yang akrab dipanggil GM - salah seorang pendiri Majalah TEMPO.

Lalu muncul ikrar "Ode Kampung" di Rumah Dunia Banten yang juga "menghajar" TUK. Kelompok yang dimotori oleh Saut Situmorang dan kawan-kawan ini tak kenal lelah terus 'mengonceki' para tokoh KUK, seperti Nirwan Dewanto, Ayu Utami, Hasif Amini, Sitok Srengenge dan lainnya. Di mata Saut yang nyalang, mereka tidaklah layak digelari sebagai sastrawan.

Tak heran, di berbagai forum termasuk di milis-milis, Saut dan kawan-kawan terus berkampanye untuk menghajar mereka dari berbagai sudut. Namun, tonjokan-tonjokan yang mereka lakukan selalu berbalas pantun dengan orang-orang yang tak setuju perseteruan itu, apalagi kalau dilakukan dengan bahasa yang kurang santun.

Puncaknya adalah kala harian Media Indonesia memuat sebuah artikel tentang acara berkelas internasional yang digelar oleh TUK dan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) beberapa waktu lalu. Karena isinya amat memojokkan TUK, tak heran kalau TUK bereaksi keras dengan mencap artikel tersebut penuh dengan lumuran dusta. Menurut kabar terakhir dari Saut Situmorang melalui email, penulis artikel tersebut telah digeser jabatannya.

Namun kini, Rumah Dunia yang konon anti pornografi belum bereaksi ketika puisi Saut Situmorang yang "panas" termuat di Harian Republika. Selain "berbau ranjang bergoyang", puisi tersebut juga menyinggung perasaan sebagian umat Hindu Bali, karena jelas-jelas menyebut "pura" dan "Dewa". Reaksi dan komentar pun mengalir, baik di milis maupun blog.

Sayangnya, untuk kasus yang amat serius ini redaksi Republika masih diam seribu bahasa. Padahal Republika baik sengaja atau tidak telah melukai hati umat Hindu Bali. Beberapa umat Hindu pun melayangkan tanggapan ke redaksi Republika, namun tak ada balasan. Mereka cuma berharap agar tanggapan tersebut minimal dapat dimuat di Surat Pembaca. Mereka juga tak menginginkan harian Republika untuk meminta maaf kepada mereka.

Berikut wawancara khusus Rizka Maulana (RM) dengan GM yang berlangsung di Teater Utan Kayu (TUK) pada Jumat, 14 September 2007 lalu:

RM: Apakah mas Goen mengikuti keramaian di internet karena satu sajak Saut Situmorang dianggap menyinggung perasaan umat Hindu Bali?

GM: Tidak langsung. Saya selalu dapat kiriman email dari teman-teman. Tetapi tidak semuanya sempat saya baca. Tetapi seorang teman mengirimkan khusus soal yang Anda sebut tadi.

RM: Menurut mas GM, apakah sajak Saut itu menghina agama Hindu Bali?

GM: Saya bukan orang Hindu Bali, tetapi saya tidak mau berlebihan. Teman saya Ging Ginanjar yang kini mukim di Jerman mengatakan, (saya kutip menurut ingatan saya) bahwa agama dan umat Hindu tidak akan rusak karena sajak itu. Saya setuju dengan pendapatnya. Tetapi dapat saja terjadi bahwa ada umat Hindu Bali yang tersinggung perasaannya. Kan tidak bisa kita melarang orang untuk tersinggung.

Yang penting ialah bahwa ketersinggungan itu dinyatakan tetapi tidak memakai kekerasan dan memobilisasi kemarahan. Saya membaca tulisan I Gde Purwaka di blog Mediacare. Dia tersinggung tetapi tidak akan men-somasi atau mendemonstrasi Republika. Saya kira itu sikap yang dewasa dan terhormat. Berbeda dengan sikap sejumlah organisasi yang mengatas-namakan Islam yang sedikit-sedikit “terhina” dan berdemo.

RM: Tetapi kenyataan bahwa sajak itu dimuat di “Republika” yang dianggap suara Islam bagaimana?

GM: Seharusnya tidak jadi soal di mana saja itu dimuat. Sebuah sajak kan bukan sebuah editorial. Lagipula harus dibuktikan dulu, apakah “Republika” adalah “suara Islam”. Islam itu tidak satu ekspresinya dan “Republika” juga tidak selamanya dianggap satu suara utuh, apalagi ini bukan dalam halaman editorial.

Kalau tidak, kita akan terjatuh ke dalam teori komplotan: gara-gara sajak itu dimuat Ahmaddun, maka itu berarti itu cerminan sikap anti Hindu “Republika” apalagi “Islam”. Saya kira Ahmaddun memuatnya tidak dengan maksud menghina.

RM: Menurut mas GM, apakah sajak Saut itu bermutu?

GM: Menurut saya, sajak itu bukan sajak yang mengejutkan dalam hal kekayaan imajinya, dan di sana-sini belum orisinal, tetapi agaknya bukan sajak yang buruk. Ada beberapa sajak Saut yang saya suka, karena tidak melingkar-lingkar.

RM: Wah, kan Mas GM orang TUK. Kan TUK tidak suka karya-karya sastrawan yang tidak dekat dengan TUK. Apalagi Saut.

GM: TUK itu kan bukan organisasi. TUK kan tempat kegiatan seni dan gagasan. Di TUK tidak selamanya kami sepaham dalam menilai karya – dan kami umumnya tidak membicarakan karya Saut, atau yang lain, karena masing-masing sibuk. Kami cuma bertemu seminggu sekali untuk merancang program. Itu saja sudah berat.

RM: Jadi Mas GM, Hasif Amini, Nirwan Dewanto dan Sitok Srengenge tidak selalu sependapat?

GM: Ya, dong. Sekali lagi, TUK itu bukan organisasi, bukan mazhab. Hasif Amini bekerja untuk Kompas dengan timnya sendiri, Nirwan di Koran Tempo begitu juga. Malah sajak saya pernah tidak dimuat oleh Hasif.
RM: Begitu ya? Sajak yang mana?

GM: Judulnya “Di Korintha”. Akhirnya sajak itu saya muat di buku pernikahan Hamid Basyaif.

RM: Mas GM ngambek?

GM: Ya, nggak lah. Kan penilaian saya terhadap karya sendiri tidak selalu benar.

RM: Kalau di Koran Tempo?

GM: Saya dapat kesan (tapi tidak pernah saya tanyakan) Nirwan baru mau memuat tulisan saya untuk rubrik yang diasuhnya kalau sudah nggak ada tulisan lain. Nirwan sangat ketat (dan saya anggap sangat bagus) dalam menjaga asas: jangan sampai mentang-mentang karya orang TUK dan Tempo, maka gampang diterima.

RM: Terima kasih, Mas Goen. Ini menarik sekali.

Catatan:Hasil wawancara ini boleh dikutip seperlunya oleh rekan-rekan wartawan tanpa perlu minta izin sebelumnya.

Sejarah Pers Sumbar Dialih Orang Lalu

OLEH NASRUL AZWAR

HARIAN Jurnal Nasional yang terbit di Jakarta, semenjak tanggal 1 Januari dan rencananya hingga 31 Desember 2007 setiap hari menerbitkan semacam kilas balik perjalanan sejarah pers nasional.
Tulisan tentang pers itu hadir berkaitan dengan peringatan seabad pers nasional yang jatuh pada tahun 2007 ini. Dalam pengantar yang ditulis Taufik Rahzen disebutkan, tarikh ini dihitung sejak Medan Prijaji terbit pertama kali pada Januari 1907. Medan Prijaji adalah tapal dan sekaligus penanda pemula dan utama bagaimana semangat menyebarkan rasa mardika disemayamkan dalam dua tradisi sekaligus: pemberitaan dan advokasi. Dan dua kegiatan itu menjadi gong yang ditalu dengan nyaring oleh hoofdredacteur-nya yang paling gemilang di kurun itu: Raden Mas Tirto Adhi Surjo.

“Pada 1973, pemerintah mengukuhkan Raden Mas Tirto Adhi Surjo sebagai Bapak Pers Nasional. Sementara pada 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyempurnakan gelar itu menjadi Pahlawan Nasional atas jasanya menggerakkan kesadaran merdeka lewat jalan organisasi modern dan pergerakan nasional,” tulis Jurnal Nasional. Namun, dalam pengantar itu tidak dijelaskan alasan mengambil tarikh tersebut, yakni Januari 1907 sebagai awal terbitnya surat kabar Medan Prijaji dan titik awal mengukur usia kehadiran pers di negeri ini.

Sepanjang pembacaan saya terhadap sejarah pers (dan pers juga identik dengan penerbitan), dan juga hasil bacaan saya terhadap disertasi Sudarmoko yang dipertahankannya di Universitas Leiden, Belanda (2005) dan beberapa artikel Suryadi yang juga mengajar di Universitas Leiden, mengesankan, semenjak abad-19, pertumbuhan surat kabar dan dunia penerbitan di Minangkabau (Sumatra Barat) sangat signifikans.

Menurut Suryadi (2004) orang Padang bukan kemarin sore mulai membaca koran. Sejak 7 Desember 1864—hampir satu setengah abad lalu—orang Minang untuk pertama kalinya membaca surat kabar berbahasa Melayu. Pada bulan itu, edisi perdana Bintang Timoer diluncurkan. Itulah koran pribumi pertama (vernacular press) yang terbit di kota yang sudah berusia tua ini. Minangkabau memang merupakan kota pers tertua di Sumatra, dan termasuk kota Indonesia yang awal mengenal surat kabar. Karena mendapat respons dan pasar yang baik, maka manajemen Bintang Timoer menerbitkan menjadi mingguan setiap Rabu yang dimulai sejak 4 Januari 1865.

“Ketika di tempat lain di pulau ini orang baru mengenal naskah (manuscript) beraksara Jawi yang berisi sastra pagan, di Padang orang (Minangkabau) sudah membolak-balik halaman kertas lebar bernama surat kabar yang berisi informasi dari luar dunia lokalnya,” tulis Suryadi (lihat di http://www.ranah-minang.com). Sejumlah surat kabar yang terbit di Minangkabau setelah Bintang Timoer antara lain, Pelita Ketjil (Padang, 1892-1894), Warta Berita (Padang, 1895), Tjahja Sumatra (Padang, 1906).

Tokoh pers yang menonjol saat itu antara lain, Mahyoeddin Datoek Soetan Maharadja, anak nagari Sulit Air, Abisin Abbas, Dja Endar Muda, dan Syekh Achmad Chatib. Tokoh pers itu hadir mewarnai dinamika pemikiran, arah kebijakan publik, dan dunia keintelektualan.

Khairul Jasmi (Pantau, Tahun II Nomor 022-Februari 2002) menulis, saat itu, kepiawaian menulis atau mengeluarkan pendapat orang Minangkabau berpendaran di halaman-halaman surat kabar. Media massa jadi sarana melancarkan perbincangan dan polemik. Mula-mula tentang kebangkitan Asia, Jepang, lalu format masa depan negara. Tak luput juga tentang bagaimana agama Islam seharusnya dipahami dan dijalankan. Pesertanya kaum tua dan muda. Perdebatan agama inilah yang malah berlangsung tajam.

Karena demikian bagusnya kondisi pers saat itu, surat kabar Pelita Ketjil mampu menempatkan seorang korespondennya di Kota Mekkah, yang tugasnya mengirimkan berita perkembangan Islam untuk pembacanya di Sumatra Barat. Hal serupa tidak lagi kita temukan dalam manejemen surat kabar sekarang. Berita dari luar cukup dikutip dari kantor-kantor berita yang bertebaran itu.

Selain koran mainstream di atas, seperti Bintang Timoer, Pelita Ketjil, Warta Berita, Tjahja Sumatra dan lain sebagainya, di tingkat nagari dan etnis juga muncul berbagai penerbitan berkala. Media komunitas hadir dikesankan sebagai ruang komunikasi dan silaturahmi bagi masyarakatnya. Dalam catatan Sudarmoko (2005) beberapa penerbitan “pers” komunitas saat antara lain, Barito Koto Gadang (Fort de Kock, 1929-32), Boedi Tjaniago (Fort de Kock, Drukkery Agam, 1922), Soeara Kota Gedang (Fort de Kock, Vereeniging Studiefonds Kota Gedang, 1916-17), Al Achbar (Padang, 1913-14, dalam bahasa Arab), Al I’laam (Koto Toeo, Ampat Angkat, 1922-23), Moeslim India (Padang, Moeslim India, 1932), Algementeen Advertieblad (Padang, Padangsche Snelpres, 1921, dalam bahasa Belanda), Bintang Tiong Hoa (Padang, Tiong Hoa Ien Soe Kiok, 1910-15).

Dari catatan sejarah dan tarikh keberadaan dunia pers di Sumatra Barat, tampaknya, kehadiran surat kabar Medan Prijaji (1907) yang lahir di Bandung (Jawa Barat) masih muda dibanding surat-surat kabar yang sudah terbit di Minangkabau sebelumnya. Lalu, pertanyaan selanjutnya, alasan apa sesungguhnya menempatkan awal lahirnya Medan Prijaji tahun 1907 sebagai tarikh lahirnya pers nasional, yang kini (tahun 2007) diperingati sebagai “satu abad pers nasional”?

Apa artinya kehadiran Bintang Timoer yang lahir pada 7 Desember 1864, Pelita Ketjil (1892-1894), Warta Berita (1895), Tjahja Sumatra (1906) itu? Dan kita tidak mengetahui pula, siapa atau lembaga apa yang memutuskan dan melegetimasi satu abad pers di Indonesia ini dimulai hitungan tahun 1907? Bagaimana mekanisme dan prosedurnya, apakah ditetapkan dengan Surat Keputusan Pemerintah, atau Surat Keputusan Presiden, dan lain sebagainya? Apakah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), atau lembaga pers lainnya ikut serta melegitimasi tahun kelahiran surat kabar Medan Prijaji 1907 sebagai awal lahirnya pers nasional? Selanjutnya, di mana suara sejarahwan Sumatra Barat yang jumlahnya tidak sedikit itu: Apa sesungguhnya yang terjadi di negeri ini, sehingga fakta sejarah bisa saja diubah dan diklaim sesuka hati?

Pertanyaan serupa bisa dilebarkan lagi. Tapi, yang jelas, dari titik berangkat sejarah pers Indonesia, sudah diambil orang, sejarah itu sudah dianjak orang lain. Sejarah sudah berada di negeri orang lain. Kita yang berbuat, orang lain yang hebat. Berteriaklah kita sekuat tenaga, bahwa pada pertengahan abad-19 orang Minanglabau sudah baca koran, dan banyak surat kabar yang terbit di sini, dan lain sebagainya, jelas tak ada gunanya.

Para sejarahwan yang bertebaran di Unand dan UNP, dan di perguruan tinggi di kota-kota lainnya, yang diharapkan bisa menjelaskan duduk perkara fakta sejarah ini, tampaknya lebih tertarik menyelesaikan proyek penelitiannya yang tidak akan pernah habis-habisnya. Karena proyek itu terus mengalir sepanjang bangsa ini terus memakai APBN (D) dan proyek penelitian memang banyak di sana.

Sementara, tokoh pers di daerah ini dan juga lembaga pers terkait lebih asyik dengan dirinya sendiri. Padahal, di pundak mereka tanggung jawab itu kini berada. Fakta sejarah pers telah diplintir orang lain, kita diam saja. Dikatakan orang lain bahwa pers berawal di Bandung, kita di sini seolah mengangguk balam saja.
Entahlah, entah apa yang salah di negeri saya ini: Semua seperti sudah tergadai, termasuk harga diri itu. ***

Padang Eskpres, Minggu 16 September-2007, 09:15:33

Festival Teater Sumatera Barat 2007: Konsep Program yang Kacau


OLEH NASRUL AZWAR, Presiden Aliansi Komunitas Seni Indonesia (AKSI) Padang

Keinginan melihat pertunjukan teater di Sumatra Barat yang berbobot, agaknya harus dipupus. Sejak tahun 2000-2007 pertunjukan teater di Sumatra Barat jumlahnya mungkin mencapai ratusan, dan sebanyak itu pula reportoar yang sudah diangkat ke atas pentas.
Tapi, nyatanya, kuantitas pertunjukan tidak menjamin kualitas pertunjukan. Problem utamanya tak jauh dari seputaran: berkesenian (berteater) dilakukan karena adanya iven atau memenuhi undangan atau dalam rangka. Artinya pula, teater di Sumatra Barat telah kehilangan substansi dan hakekatnya. Maka, jika menyebut konstelasi dan peta perteateran mutakhir di Indonesia, jangan berharap banyak Sumatra Barat menjadi salah satu simpul.

Teater di Sumatra Barat tidak dianggap penting dalam kancah dan arah perkembangan teater di Indonesia. Pegiat-pegiat teater yang muncul sekarang ini, tak lebih sekumpulan orang yang hanya mampu bersorak sorai di kandangnya sendiri: narsisisme. Malah, minus referensi perkembangan teater mutakhir. Mereka ini kurang membaca. Kalimat di atas merupakan paragraf pertama artikel saya yang dimuat koran ini beberapa waktu lalu. Bagian ini saya kutip karena terkait dengan sebuah iven teater yang bernama Festival Teater Sumatra Barat (FTSB) 2007 yang digelar di Taman Budaya Sumatra Barat sejak 21 Agustus – 1 September 2007 lalu. FTSB-2007 diikuti 12 kelompok teater yang berasal dari daerah ini. Peserta FTSB-2007 didominasi kelompok teater dari Padang (10 kelompok teater), dan dua kelompok dari luar Kota Padang (Komunitas Seni Intro Payakumbuh dan Teater Bunga Pakis Solok Selatan).
Selain 12 kelompok teater yang ikut FTSB-2007, iven ini juga dimeriahkan dengan kahadiran tiga kelompok teater demi memberi “wibawa” FTSB-2007, yaitu Teater Dayung-Dayung dari Kayutanam tampil dalam pembukaan, Komunitas Rumahitam, Batam, Kepri, dan Teater Keliling Jakarta untuk penutup iven ini.Tapi tiga kelompok ini tidak dimasukkan dalam penilaian pengamat. Namun demikian, tulisan ini juga tidak berkeinginan membincangkan hasil pengamatan tiga orang tokoh teater Indonesia itu yang hasil amatan mereka telah diumumkan pada tanggal 1 September 2007. Artikel ini cuma memberi gambaran tentang kehendak sebuah festival, arah dan capaian sebuah festival. Dan sejauh mana FTSB-2007 yang digelar oleh Taman Budaya Sumatra Barat memberi arti bagi pertumbuhan teater di Sumatra Barat untuk masa selanjutnya. Yang pasti saja, ini bukan satu-satunya iven yang mesti ditunggu oleh pegiat teater di daerah ini, yang sesungguhnya telah terkubur 20 tahun.
Iven serupa memang bukan pertama kali digelar di Sumatra Barat: semenjak tahun 1978 hingga 2007 sudah sering dilaksanakan. Selain festival teater yang berupa lomba ini, festival teater dengan tujuan petemuan dan parade juga acap digelar. Paling tidak, pada tahun 2002, Dewan Kesenian Sumatra Barat telah melakukan pagelaran sejenis dengan nama “Temu Teater” 2002 yang diikuti 10 kelompok teater yang ada di daerah ini. Saat itu, “Temu Teater” mengangkat tema “spirit tradisi Minangkabau dalam seni pertunjukan (teater) kontemporer”. Dan hampir setiap kali Pentas Seni yang digelar DKSB, pertunjukan teater selalu tampil. Juga, di tingkat perguruan tinggi, misal, Fakultas Sastra Unand juga telah sukses menggelar empat kali Pertemuan Teater Mahasiswa (PTM) dengan cakupan wilayah Indonesia, Pekan Apresiasi Teater (PAT) STSI Padangpanjang yang sudah dua kali dilaksanakan.
Jika sebuah festival yang diarahkan sebagai sebuah lomba, sebuah kompetisi yang kelak menetapkan dewan juri sebagai “hakim”, tentu memiliki konsekuensi. Minimal konsekuensinya adalah dihadirkannya sebuah tema dalam festival itu. Ada bahasa ekspresi dalam pengertian makna yang sama di dalamnya. Kesamaan itu mesti ditetapkan panitia. Bukan hanya soal teknis, tapi yang lebih penting adalah soal bentuk dan konsep garapan itu sendiri. Visi yang sama bukan diartikan penyeragaman. Tapi, ia lebih menekankan pada soal titik berangkat belaka. Pada FTSB-2007, dari informasi buku acara, poster, dan lain sebagainya, hal yang jadi titik berangkat itu tidak ditemukan. Jika soal teknis yang dicantumkan dalam poster, misalnya, naskah yang dimainkan adalah naskah standar, itu pun tidak jelas pengertiannya.
Karena beberapa naskah yang dimainkan dalam FTSB-2007 perlu juga dipertanyakan nilai “standarnya”. Menyangkut konsep pertunjukan, juga tak jelas. Panitia tidak memberi penjelasan dan informasi, bentuk teater macam apa yang mesti ditampilkan dalam FTSB-2007. Mengenai tema FTSB-2007 sebagai “frame” agar ada keharmonisan dan arah dan nilai garapan, tampaknya juga tidak dipedulikan penyelenggara. Apa yang disampaikan di dalam buku acara bahwa FTSB-2007 menggangkat tema “Pertemuan Teater Sumatera Barat, Menjaga Pertumbuhan dan Silaturahmi”, seperti lelucon saja. Bagi saya itu bukan tema sebuah festival seni, tapi berupa kalimat “ka lapeh tanyo se”.
Yang jelas, siapa pun mengerti bahwa kalimat itu sebagai tujuan sebuah iven diadakan. Bukan tema. Selain itu, bentuk garapan teater yang ikut FTSB-2007 pun tak jelas: Apakah teater yang akan tampil pada FTSB-2007 bentuk realisme, surealisme, eksplorasif, eksperimentatif, avant-garde, dadaisme, tradisi atau ala srimulat televisi sekalian. Ini tak pernah dijelaskan oleh Taman Budaya Sumatra Barat. Akibatnya, bentuk teater yang hadir di atas pentas sepanjang FTSB-2007 menjadi tak jelas karena tak ada acuan. Akibatnya, dewan pengamat yang kelak mesti memilih pemenang dalam FTSB-2007 pun akhirnya “terpaksa” memilih kelompok teater yang tampil seperti “kenyataan” sehari-hari.
Lalu bagaimana dengan teater yang tampil di luar itu? Bagaimana pula teater yang hadir tanpa lakon, tak ada alur cerita, tak ada karakter, tak ada konflik sebagaimana yang selalu muncul dalam sebuah lakon yang baik, tetapi pasti ada irama, suasana, ada bentuk-bentuk, nuansa, progresif yang membangun energi? Soal demikian tampaknya belum menjadi perhatian pihak Taman Budaya Provinsi Sumatra Barat. Niat yang sebenarnya menghidupkan kembali festival—yang katanya sudah hampir dua puluh tahun tidak tersentuh—ternyata tidak diiringi dengan konsep program yang matang, jelas, terukur, dan kerja yang maksimal. Festival Teater 2007 menjelma seperti program-program kebanyakan yang pernah dibuat Taman Budaya Sumatra Barat: kedodoran dari segi konsep dan capaian.
Sesungguhnya, iven-iven budaya yang diprogramkan Taman Budaya Sumatra Barat bisa mencapai hasil yang maksimal jika lembaga ini mau secara tulus menerima pikiran dan bersedia berdiskusi dengan pihak lain. Keterbatasan yang dimiliki Taman Budaya Sumatra Barat bisa ditutupi dengan baik jika mau mangajak orang lain untuk ikut serta setiap penyusunan programnya. Ini memang sesuatu yang ideal, tapi sulit untuk dijalankan. Karena kebanyakan kita tak tulus meneriman kekurangan diri sendiri, termasuk Taman Budaya Sumatra Barat.***

Padang Ekspres, Minggu, 09-September-2007, 09:11:56

Monday, September 10, 2007

Bahasa Indonesia Alami Penurunan Mutu

MEDIA massa memiliki peran penting dalam pengembangan bahasa Indonesia. Kata ‘unduh’, ‘canggih’, ‘tombol’ muncul di masyarakat berkat sosialisasi media massa. Di sisi lain, media massa juga memberi sumbangan negatif, yaitu menyuguhkan kekerasan fisik dan verbal. Sialnya, itu terjadi pada jam produktif bagi anak menonton tayangan televisi. Demikian diungkapkan Dr. I Wayan Pastika, M.S., dosen Fakultas Sastra (FS) Unud dalam diskusi “Sumbangan Media Massa kepada Perkembangan Bahasa Indonesia” yang diadakan Forum Bahasa Media Massa (FBMM) Bali bekerja sama dengan FS Unud, Kamis (30/8). Diskusi diawali Orasi Ilmiah berjudul “Fonetik Eksperimental dan Manfaatnya pada Kajian Fonologi” oleh I Nyoman Suparwa. Kegiatan tersebut berlangsung dalam rangka ulang tahun ke-49 Fakultas Sastra Unud.

Pastika yang membawakan materi “Bahasa Pijin dan Bahasa Kasar Dalam Acara TV” itu mengatakan, bahasa Indonesia dewasa ini (terutama sejak merebaknya stasiun televisi) mengalami penurunan dari segi mutu karena penggunaannya hampir tanpa kendali baik dari segi leksikal, gramatikal, maupun sosial. Peran media massa sangat besar dalam memberdayakan suatu bahasa menjadi bahasa yang bermartabat tanpa terlalu banyak dikendalikan oleh unsur-unsur bahasa lain.

Bahasa Indonesia yang kita tuturkan dewasa ini bukanlah bahasa pijin (sebuah bahasa yang dibentuk dari percampuran dua bahasa atau lebih) atau bahasa kreol (bahasa pijin yang dijadikan bahasa ibu oleh suatu guyub tutur). Namun, sejak reformasi sistem perpolitikan di Indonesia, nasib bahasa Indonesia terancam oleh masuknya kosakata dan struktur bahasa asing dan daerah. Masuknya sistem bahasa lain ke bahasa Indonesia hampir tanpa melalui proses penapisan sehingga dapat mengacaukan sistem bahasa Indonesia yang pada akhirnya dapat menggoyahkan kemampuan bahasa Indonesia sebagai penanda jati diri bangsa Indonesia.


“Menurut pengamatan saya dari segi penggunaan bahasa, siaran berita telah menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan kaidah bahasa. Hal ini dapat dilakukan karena ranah berita menggunakan ragam tulis,” kata Editor Pelaksana Jurnal Terakreditasi Nasional Linguistika ini. Namun, Metro TV mempunyai kegemaran mengklasifikasikan acara-acaranya (terutama siaran berita) dengan istilah-istilah asing, seperti Headline News, News Flash, Live by Phone, Top Nine News, dan Business Corner. “Benarkah akan terjadi penurunan jumlah pemirsa apabila stasiun televisi itu mengganti istilah asing dengan bahasa Indonesia, yakni Berita Utama, Sekilas Berita, Langsung melalui Telepon, Sembilan Berita Utama, Sudut Usaha?” tanyanya. “Judul acara hanya pandangan pertama yang kemudian dengan mudah ditinggalkan jika tak sesuai keinginan pemirsanya,” tambahnya.



Bahasa Kasar
Pastika juga menyoroti bahasa sinetron. “Hidup kita di Indonesia tidak didominasi oleh Jakarta, termasuk bahasa. Jika dicermati, tayangan televisi nasional banyak menggunakan bahasa Melayu-Jakarta,” ujar doktor linguistik dari Faculty of Arts The Australian National University, Canberra itu. Percampuran kosakata Melayu-Jakarta dengan bahasa Indonesia merupakan suatu bentuk penghilangan jati diri bahasa Indonesia. Ia mencontohkan, 90% sinetron menggunakan bahasa Melayu-Jakarta. Sinetron “Untung tidak selalu Untung” (SCTV), “Soleha” (RCTI), “Hikayah” (Trans), dan “Candy” (RCTI) disebutnya sebagai contoh. Cuplikan sinetron “Untung tidak selalu Untung” yang dicatatnya antara lain “ya deh”, “gua blum bikin PR nih”, “udah deh, PR gua nggak perlu dibacain”, “baru tau rasak, lho”. Jika bahasa ini diungkap kepada orangtua yang hanya mengerti bahasa Indonesia, tentu mereka tak mengerti.

“Berbeda halnya kalau film televisi itu adalah film impor,” katanya. Sebagian film impor diterjemahkan secara lisan dengan menggunakan bahasa Indonesia ragam umum. Tahun 1980-an, film Jepang berjudul “Oshin” sangat digemari masyarakat karena ceritanya menarik dan mengandung pesan moral positif. Film “The Jewel of Palace” (Indosiar) juga digemari karena mengandung filsafat hidup yang menghargai sesama dan etos kerja. Bahasa yang dipakai adalah bahasa Indonesia ragam lisan umum seperti “Aku tidak mengerti mengapa kejadian seperti ini selalu kualami”, “Aku rasa aku tidak bisa memakannya. Apakah kau bisa memakannya?”, “Nanti kau akan mendapatkan kembali pekerjaanmu”. “Meskipun bukan bahasa Melayu-Jakarta, film ini tetap digemari masyarakat umum,” katanya.

Pastika pun mengritik bahasa pesohor seni seperti pemain film, penyanyi, dan pembawa acara televisi. Saat mereka berbicara dalam acara televisi yang bersifat informal, mereka lebih menggunakan bahasa “gaul” yang pada intinya juga sebuah bahasa pijin. “Mereka berbahasa seenaknya, tidak sadar bahwa mereka tidak terbatas berada di studio televisi,” kritiknya. “Lu ngomong dong. Enak aja.”, “Gue ngadepin biasa aja.”, “Kayak gini, ngapain pegang-pegang.” merupakan contoh cuplikan pembawa acara dan pesohor yang dicatatnya dalam acara “Infotainmen” dan “Ada Gosip”.

Buruknya lagi, petelevisian di Indonesia sudah menganggap bahwa bahasa kasar merupakan hal yang biasa. Bahasa kasar merupakan bentuk kekerasan verbal dan diyakini membawa pengaruh tidak baik bagi perkembangan emosi dan budi pekerti. “Diam, tolol” dan “Kalau nongol, mukanya dipecahin” menjadi contoh bahasa kasar yang dianggap lucu dalam lawakan “Tawa Sutra”. “Di luar negeri, stasiun televisi yang menyiarkan bahasa kasar, ada sanksinya. Di sini malah biasa. Tak mengherankan, perilaku kasar adalah hal yang biasa dalam masyarakat kita,” sindirnya.

Menurut Pastika, berbahasa kasar bertolak belakang dari nilai-nilai budaya kita. “Kalau kita berbicara, harus menjaga mulut kita karena menyangkut etika,” jawabnya menanggapi pertanyaan Pius, mahasiswa FS Unud. Nyoman Suparwa, dosen FS Unud memperhatikan penggunaan kata “joss” yang sangat sering dipakai Harian Denpost. “Kadang dipakai untuk anak-anak yang disetubuhi, kadang untuk PSK. Konotasinya apa? Hati-hati, koran juga dibaca oleh anak-anak,” katanya.

Ida Bagus Martinaya, Redaktur Bali Post yang juga menjadi salah seorang pembicara utama dalam diskusi tersebut menyatakan, kata ‘joss’ diambil dari kata ‘extra joss’. “Menurut penyair, kata ‘joss’ memiliki kedekatan rasa dengan ditusuk dan dicoblos. Tetapi, seharusnya gunakan saja ‘diperkosa’,” kata Gus Martin. Ia menyatakan bahasa koran yang baik harus memiliki sifat komunikatif, informatif, efektif, inovatif, dan reaktif. Pastika berpendapat, kata ‘joss’ berkonotasi ‘enak’ yang terkesan menistakan orang lain. “Untuk anak-anak yang bernasib sial, kata itu seolah menertawakan mereka,” tandasnya.

Peran media massa dalam pengembangan bahasa Indonesia juga menjadi perhatian Sukarda dari FS Unud. “Kalau Pusat Bahasa memasarkan bahasa bisa ditolak, tetapi kalau media massa, langsung diikuti,” katanya. Oleh karena itu, Pastika mengatakan, Pusat Bahasa harus bisa “memasarkan” bahasa Indonesia kepada media massa. “Media massa harus mengikuti perkembangan produk Pusat Bahasa. Mereka harus punya kepedulian terhadap kebahasaan, terutama lembaga yang mampu secara ekonomi,” imbuhnya.

Laksmi dari MGMP Bahasa Indonesia SMK mengatakan, penggalan kata yang ada di koran banyak yang tidak tepat. Ini tentu membingungkan. Ia juga mencermati bahasa iklan. “Kalau baku, bahasa iklan memang kurang pas tetapi jangan sampai membingungkan,” pintanya. Contoh, iklan shampo yang berbunyi, “Sunsilk untuk rambut hitam berkilau.” “Untuk apa rambut yang sudah hitam diberi Sunsilk. Kata ‘untuk’ harusnya ‘agar’,” koreksinya.

Djoko, dari RRI Stasiun Denpasar mengatakan, RRI pernah bangga karena menjadi rujukan berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Kemunculan televisi dan radio swasta sangat kuat pengaruhnya. Masyarakat lebih memilih koran dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar tetapi tidak memilih radio berbahasa Indonesia yang baik dan benar. “Sekarang kami sulit mencari pewara atau reporter yang memiliki spontanitas berbahasa Indonesia yang baik dan benar,” akunya.

Widminarko, Pemimpin Redaksi Koran Tokoh menambahkan, penggunaan bahasa di media massa perlu ada rambu-rambunya. Tiap media massa, bahkan lingkungan kerja lainnya, perlu memiliki ‘buku pintar’. “Penggunaan bahasa Indonesia di media massa perlu memperhatikan aspek logika dan ekonomi kata,” katanya.
Ida Bagus Suwana dari SMAN 1 Denpasar menanyakan, apa yang bisa kita lakukan mengatasi masalah kebahasaan itu? “Kita harus mulai dari diri sendiri. Sejak tiga tahun lalu, keluhan terhadap tayangan televisi kita sudah dilaporkan ke KPI. Tetapi, hingga saat ini tetap saja acara penuh kekerasan disiarkan. Saya sanksi jika kita memerlukan sanksi untuk itu. Masalahnya, ini ibarat kita terbiasa makan yang enak tetapi tidak sehat. Orang Jepang makan sushi yang tidak enak tetapi panjang umur. Mana yang kita pilih?” ujar Pastika. - rat



Ratna Hidayati
Koran Tokoh
Gedung Pers Bali K. Nadha Lantai 3
Jalan Kebo Iwa 63A Denpasar, Bali
Tlp. +62 361 416 676, 740 2414
Faks. +62 361 416 659
SUMBER Koran Tokoh Edisi Minggu 9 September 2007

Thursday, September 6, 2007

Muhammad dan Kaum Cerdik Pandai Kristen

OLEH MOHAMAD GUNTUR ROMLI

Kepribadian dan pengetahuan Muhammad dibentuk oleh lingkungannya. Leluhurnya dikenal menaati prosedur dan ajaran kenabian. Salah satu lingkungannya adalah kaum cerdik pandai Kristen.

Jauh sebelum kenabian Muhammad telah ada anasir-anasir kenabian dan ketauhidan (monoteisme) yang merujuk pada peran dua komunitas teologis di Mekkah, yang warganya dikenal sebagai penyembah berhala. Yang pertama ialah pengikut al-hanîfiyah yang mendaku sebagai ahli waris ajaran Ibrahim. Abdul Muthalib yang adalah kakek Muhammad dan ketua Bani Hasyim merupakan tokoh terpenting dalam aliran ini. Tercatat pula nama Zaid bin Amru, paman Umar bin Khathab, yang memiliki syair-syair kepasrahan. Salah satu baitnya, aslamtu wajhi liman uslimat, lahu al-ardlu tahmilu shakhran tsiqâla, ’aku pasrahkan diriku pada Dia, seperti kepasrahan bumi yang membawa batu karang yang berat’.

Yang kedua adalah komunitas Ahli Kitab. Ini sebutan bagi pemeluk agama Yahudi dan Kristen. Orang Kristen di kalangan Islam disebut sebagai Nasrani yang dinisbatkan pada al-Nâshirah atau Nazaret, asal Isa al-Masih. Namun, bagi orang Kristen mayoritas, Nasrani di Jazirah Arab adalah sebuah sekte. Berbeda dengan bangsa Arab yang mandul dari kenabian, bangsa Yahudi subur dengan kenabian. Dua komunitas itu punya satu misi. Sama-sama memusuhi kaum pagan. Pada masa itu mereka tersebar luas di Jazirah Arab. Orang Yahudi bermukim di Yastrib (Madinah), orang Kristen menunjukkan pengaruhnya di Mekkah.

Menurut Al-Ya’qubî dalam Tarîkh: orang Quraisy yang memeluk Kristen dari Bani Asad antara lain adalah Utsman bin al-Huwairits dan Waraqah bin Naufal. Khadijah yang istri Muhammad berasal dari bani ini. Informasi yang lebih menarik datang dari Muhammad bin Abdillah al-Azraqi dalam Akhbâr Makkah (Kabar-kabar Mekkah), tentang gambar dan arca Isa (Yesus) bersama ibunya, Maryam (Maria), di Kabah. Ketika berhasil menaklukkan Mekkah dari pemeluk pagan, Muhammad membersihkan Kabah dari segala perupaan, kecuali Isa dan Maryam. Arca tersebut baru hancur bersama puing-puing Kabah akibat perang di era Yazid bin Muawiyah.

Mengakui

Alquran (al-Ma’idah: 82) menegaskan kedekatan orang Kristen dengan Muhammad yang berbeda dari orang Yahudi dan kaum pagan Mekkah yang bersikap memusuhi. Orang Kristen mencintai Muhammad dan pengikutnya "karena di antara mereka ada pendeta-pendeta (qissîsîn) dan rahib-rahib (ruhbân) dan mereka tidak menyombongkan diri". Maksudnya, mereka mengakui kenabian Muhammad, tetapi tidak mengikutinya.

Yang terkenal adalah Waraqah bin Naufal, kakak sepupu Khadijah. Dia memberi kesaksian terhadap wahyu pertama yang diterima Muhammad dan disebut dalam riwayat al-Bukhari hadis nomor tiga sebagai "seorang yang memeluk Kristen pada zaman Jahiliah, menulis kitab dalam Ibrani, dan mampu menyalin dari Injil Ibrani".

Kependetaan Waraqah ditegaskan Muhammad dalam Sîrah (biografi Muhammad) karya Ibn Ishaq (1999: 203): "Sungguh aku telah melihat Pendeta (Waraqah) berada di surga dengan memakai pakaian dari sutra." Dalam versi riwayat lain hadis tadi adalah respons ketika nasib Waraqah di akhirat dipertanyakan karena tetap setia memeluk Kristen sampai akhir hayatnya meski ia menyaksikan kenabian Muhammad.

Para penyair Kristen dan al-hanîfiyah melantunkan syair-syair keagamaan mereka di pasar-pasar Mekkah, khususnya di Ukadz. Alquran (al-Furqan: 7) menyebut kebiasaan Muhammad menjelajahi pasar-pasar bukan bertujuan berbelanja, melainkan menyimak dan mengamati seluruh kegiatan pasar yang berfungsi pula sebagai "festival kebudayaan".

Dua jilid karya Luis Syaikhu, Târîkh al-Nashrâniyah wa Adâbuhâ Bayna ’Arab al-Jâhiliyah (Sejarah dan Sastra Arab Kristen di Era Arab Jahiliah) terbitan Dar al-Masyriq, Lebanon, tahun 1989, menjelaskan peran nyata kaum cerdik pandai Kristen terhadap kebudayaan Arab. Syaikhu menyebut peran Umayyah bin Abdillah bin Abi Shalat, penyair Kristen era Jahiliah yang memiliki syair-syair keagamaan. Syair-syair Umayyah telah mengenalkan nama-nama lain Allah yang disebut al-asmâ’ al-husnâ (nama-nama terbaik). Demikian juga nama malaikat Jibril, Izrail, dan Israfil; tingkatan surga dan neraka; tujuh lapis langit dan bumi; asal-usul penciptaan alam; kisah Adam-Hawa dan dua anaknya; air bah Nuh; Yunus (Yunan) yang ditelan dan bisa hidup di perut ikan; serta kisah-kisah para nabi lainnya hingga kisah Ashabul Kahfi yang masyhur di kalangan orang suci Kristen sebagai les Sept Dormants (Tujuh Orang yang Tertidur) yang merujuk pada masa pertengahan abad ke-3 Masehi.

Demikian pula dua kawasan yang menjadi tujuan utama kafilah niaga Kabilah Quraisy: Yaman dan Syam. Keduanya merupakan pusat kekristenan. Yaman dikuasai oleh dinasti Kristen Habsyah (Etiopia) yang mengikuti aliran monofisit-koptik, sedangkan Syam diperintah oleh dinasti Ghassan yang mengikuti aliran monofisit-yakobis. Muhammad telah mengunjungi dua kawasan itu ketika masih remaja bersama kafilah pamannya, dan saat jadi buruh niaga Khadijah. Pusat kekristenan lain di al-Hira diperintah oleh dinasti Kristen Lakhm yang mengikuti aliran monofisit-nestorian.

Khadijah

Khadijah menurut informasi sejarah adalah istri Muhammad yang berasal dari keluarga Kristen di Mekkah (Bani Asad). Sumber sejarah Islam tak ada yang secara tegas menyebut agama Khadijah sebelum Islam. Namun, ada fakta menarik mengenai keteguhan Muhammad tetap setia monogami dan tidak menikah lagi, kecuali setelah Khadijah wafat. Monogami dan perceraian atas dasar kematian adalah tradisi kekristenan kuno yang berbeda dari tradisi poligami bangsa Arab.

Khadijah berjuluk al-Thâhirah (Perempuan Suci). Ini simbol teologis. Perempuan terhormat biasanya cukup disebut al-Syarîfah atau al-Karîmah. Perempuan suci dalam Kristen disebut santa. Diakah Santa Khadijah? Julukannya yang lain Sayyidah Nisâ’ Quraisy (Puan dari Seluruh Perempuan Quraish) yang memperlihatkan Khadijah sebagai "perempuan suci dan pilihan".

Gelar dan pengakuan terhadap Khadijah ini bisa disamakan dengan pengakuan Alquran terhadap Santa Maria, Bunda Yesus, dalam Surat Ali Imran Ayat 42 yang menyatakannya sebagai "perempuan pilihan dan suci".

Khadijah bisa dibilang "ibu" Muhammad karena perbedaan umur mereka yang terpaut 25 tahun. Dalam Ansâb al-Asyrâf (Nasab-nasab Orang Mulia) karya al-Baradzari, Muhammad menikah pada usia hampir 21 tahun—merujuk pula pada kebiasaan pemuda Arab waktu itu yang menikah pada umur 20 tahun—sedangkan Khadijah berusia 46 tahun. Menurut Bint Syathi’, penulis buku Nisâ’ al-Nabî (Istri-istri Nabi), peran Khadijah sebagai istri sekaligus ibu bagi Muhammad tak hanya bersumber dari perbedaan usia, tetapi juga tersebab Muhammad anak yatim piatu yang kehilangan kasih sayang ibunya.

Bagi Khalil Abdul Karim, penulis Fatrah Takwîn fi Hayâti al-Shâdiq al-Amîn (Periode Kreatif dalam Kehidupan Muhammad) terbitan Dar Mishr al-Mahrusah, Cairo, tahun 2004, Khadijah adalah "arsitek" kenabian yang dibantu oleh "komunitas inteligensia Kristen". Mereka adalah Waraqah bin Naufal dan adiknya, Qatilah, seorang rahibah, serta saudara sepupu mereka, Ustman bin al-Huwairits, yang mengikuti aliran Kekristenan Bizantium (Melkitis) hingga diangkat menjadi kardinal. Khadijah memiliki dua budak Kristen: Nashih yang jauh- jauh hari meminta tuannya menikah dengan Muhammad, dan Maisarah yang bertugas mengamati Muhammad dalam perniagaan ke Syam. Selain dengan anggota keluarganya, Khadijah juga membangun korespondensi dengan beberapa pendeta: Adas di Taif, Buhaira di Bushra, Syam, dan Sirgius di Mekkah. Buku Khalil tadi merujuk pada sumber-sumber primer Sîrah Muhammad yang jarang disentuh, seperti Sîrah Ibn Ishaq, Ibn Sayyidi al-Nas, al-Halabiyah, al-Syamiyah, Târîkh al-Thabari, dan al-Ya’qubi.

Khadijah dan timnya telah mengamati Muhammad sejak lama. Dalam Sirah Ibn Katsir diriwayatkan Khadijah sudah dikabari oleh Nashih, budaknya, dan Pendeta Buhaira di Syam untuk menikah dengan Muhammad. Dikisahkan juga bahwa Qatilah telah menawarkan diri kepada Abdullah, ayah Muhammad, untuk dijadikan istri karena Abdullah memiliki "cahaya kenabian". Buhaira telah melihat Muhammad dua kali sebelum penetapan kenabian. Informasi ini menunjukkan bahwa komunitas itu mengamati keluarga Muhammad secara saksama.

Khadijah mengangkat Muhammad sebagai buruhnya saat berusia 18 tahun agar bisa mengamatinya dari dekat. Sebelum menikah, Muhammad telah melakukan dua perjalanan niaga Khadijah ke Habsyah dan ke Syam. Niaga ke Habsyah hampir tidak disebut dalam versi umum biografi Muhammad, tetapi kisah itu dituturkan oleh sejarawan klasik, seperti al-Thabari, al-Suhayli, dan al-Maqrizi.

Sementara dalam perniagaan ke Syam, Khadijah perlu menyertakan seorang hambanya bernama Maisarah yang kenal baik dengan Pendeta Buhaira untuk mengamati gerak-gerik Muhammad, khususnya pertemuannya dengan Buhaira.

Setelah yakin bahwa Muhammad adalah sosok tepat dari beberapa pertimbangan (keluarganya yang menjalankan prosedur kenabian, nasihat-nasihat anggota komunitasnya, serta pengamatannya secara langsung), barulah Khadijah melamar Muhammad tak hanya sebagai suami, tetapi lebih itu dari sebab—dalam kata-kata Khadijah sendiri—"aku sangat ingin agar kamu (Muhammad) menjadi nabi bagi umatmu."

Dalam proses pernikahan mereka, tampak kegembiraan Abu Thalib dan antusiasme Waraqah dari pembacaan khotbah nikah mewakili pihak keluarga Khadijah. Sedangkan wali Khadijah—bapaknya, al-Khuwailid atau pamannya, Amru—tidak terlalu antusias dengan pernikahan itu. Bagi mereka, Muhammad tetap dipandang sebagai anak yatim yang berasal dari keluarga miskin. Adapun Khadijah dan Waraqah memiliki tujuan lain dengan pernikahan itu.

Nubuat kenabian

Pernikahan Muhammad yang berasal dari keluarga al-hanîfiyah (Bani Hasyim) dengan Khadijah yang berasal dari keluarga Kristen (Bani Asad) adalah koalisi kelompok ketauhidan melawan kelompok pagan.

Dua komunitas tersebut telah membangun suasana-suasana kenabian. Nubuat kenabian dari jalur Abdul Muthalib telah dikabarkan jauh sebelum Muhammad lahir. Abdul Muthalib dengan sadar telah mempraktikkan kembali semacam prosedur-prosedur kenabian. Posisinya seperti Ibrahim yang memusuhi berhala dan menyembelih anaknya sebagai kurban bagi Allah. Abdul Muthalib telah menyerukan ajaran Ibrahim itu dan bernazar menyembelih putranya, Abdullah, ayah Muhammad.

Masa pernikahan hingga pewahyuan yang terentang kira-kira 20 tahun—Muhammad menerima wahyu berumur 40 tahun—adalah "tahun-tahun yang hilang" dari kehidupan Muhammad yang disebut oleh Khalil Abdul Karim sebagai fatrah al-takwîn (periode kreatif). Muhammad adalah seorang ummî (buta huruf), maka di masa-masa itulah Khadijah, Waraqah, dan kaum cerdik pandai Kristen memiliki andil dalam menyiapkan proses kenabian Muhammad. Di siang hari Muhammad menjelajahi pasar-pasar di Mekkah yang membuatnya mengetahui segala kisah dan perkembangan masyarakatnya. Di malam hari Muhammad akan menghabiskan waktu berbincang-bincang dengan Khadijah.

Adalah hal biasa bila Waraqah sering berkunjung untuk menceritakan hal-hal yang ia ketahui dari kitab-kitab yang ia salin. Kita bisa membayangkan betapa marak aktivitas-aktivitas dalam rumah Khadijah yang dipenuhi kaum intelektual yang memiliki ambisi kenabian itu.

Khadijah bersama Waraqah telah membimbing Muhammad menelusuri tangga-tangga spiritualitas hingga mencapai puncak kenabian. Perkembangan Muhammad diamati secara saksama oleh Khadijah, baik dengan mengantarnya ke Gua Hira untuk menyendiri—tradisi yang telah dilaksanakan pengikut al-hanîfiyah termasuk kakeknya, Abdul Muthalib—maupun ketika Muhammad mulai didatangi "suara- suara" yang mengaku sebagai utusan Tuhan. Khadijah-lah yang menguji kualitas "suara" itu apakah berasal dari malaikat atau setan. Menurut Sîrah al- Halabiyah, dalam menguji suara itu Khadijah di bawah bimbingan Waraqah, yang pakar masalah kenabian dan pewahyuan.

Tak hanya itu. Ketika Muhammad memperoleh wahyu pertama, Khadijah yang memiliki inisiatif mendatangi anggota kaum cerdik pandai itu satu per satu, dimulai dari Waraqah dan Sirgius di Mekkah, Adas di Thaif, hingga Buhaira di Syam. Tujuannya tak hanya meminta konfirmasi tentang kebenaran pewahyuan itu, tetapi juga mengumumkan bahwa seorang nabi telah datang.

Jadi, kita bisa melihat bahwa Muhammad bukanlah nabi yang datang dari dunia antah berantah. Kepribadian dan pengetahuannya telah dibentuk oleh lingkungannya. Leluhurnya dikenal menaati prosedur dan ajaran kenabian. Khadijah bersama komunitas memiliki pengaruh yang tak bisa disanggah. Kenabian dan pewahyuan itu adalah hasil dari eksperimentasi kolektif setelah melalui proses kreatif yang sangat panjang.

MOHAMAD GUNTUR ROMLI Aktivis Jaringan Islam Liberal

SUMBER: KOMPAS, SABTU, 1 SEPTEMBER 2007

Saturday, September 1, 2007

Logas, Neraka di Tengah Rimba

SEKITAR tahun 1943-45 mendengar nama Logas, membuat bulu kuduk merinding. Kawasan ini terletak di tengah hutan belantara.antara Muaro Sijunjung (Sumaters Barat) dan Riau. Agaknya generasi sekarang kurang mengenal daerah tersebut apalagi tak secuilpun tertera dalam peta. Mungkin juga tidak terdaftar dalam administrasi pemerintahan terbawah.

Logas, jadi episode tragedi yang mengerikan ! Kawasan ini sebagian besar terdiri dari rawa belantara. Tak banyak didiami manusia. Kepadatan penduduk peladang cuma sekitar sepuluh jiwa tiap kilometer persegi. Curah hujan di jantung pulau Sumatera itu cukup tinggi sehingga tidak bisa dipertahankan lahan kering untuk pertanian. Hutan lebat ini dihuni harimau, rusa, beruang, babi, biawak, beruk, kera, babi, ular dan bermiliar nyamuk malaria.

Waktu Jepang menjajah Indonesia yang cuma tiga tahun lima bulan (Maret 1942 dan Agustus 1945), setelah berjaya dalam perang Pasifik, Asia Timur Raya, waktu perang dunia kedua berkobar awal tahun 1939 Orang dipaksa datang kesini membangun jalan kereta api. Orang kita yang ke Logas umumnya penduduk kampung berpendidikan rendah atau buta huruf. Mereka tidak bisa merekam riwayat pilu dan menakutkan di tengan belantara itu. Beda dengan tawanan Belanda dan Barat lainnya, mereka banyak kaum terpelajar. Kendati sama-sama kerja paksa, namun mampu mencatat berbagai peristiwa pilu di “neraka” ini, setidaknya ingat di luar kepala.

Berjubel kasus dramatis mereka rekam.. Seorang tawanan teknisi kereta api Belanda yang juga kerja di sini Ir. Mijer menyimpulkan, sekitar satu tahun, orang seperti tidak pernah tertawa. Sepanjang hari berdukacita melepas belasan rekan yang tewas. Karena tidak mampu menahan siksaan, malah ada yang berdoa semoga Tuhan cepat menjemput. Di antara tawanan Belanda yang terlibat kerja paksa di Logas, terdapat Henk. Neuman Dia sudah dua kali (tahun 1976 dan 1981) napak tilas mengunjungi tempat-tempat perkemahannya di daerah Riau. Neuman dan kawan-kawan juga mengunjungi penjara Padang dan Muaro Sijunjung guna membayangkan kesengsaraan masa silam.

Melepas Belenggu

Dalam perang dunia kedua, berkat keperkasaan Jepang, berhasil melepas belenggu penjajahan Barat di beberapa negara Asia Tenggara sehingga kemudian menjadi negara merdeka, seperti Indonesia, Malaysia, Filipina dan Thailand. Pukulan terakhir Jepang terhadap Sekutu terjadi 8 Maret 1942 di Laut Jawa. Tentera Belanda KNIL (Koningkelijke Nederlandsch Indisch Lager) mendapat serangan hebat dan menyerah. Semua orang Barat jadi tawanan. Baru 3,5 tahun, Jepang, Minggu kedua Agustus 1945 bertekuk lutut pada Sekutu Amerika, Inggris, Perancis dan Belanda. Jepang mengingkari sumpahnya: “Dari pada menyerah kepada musuh, lebih terhormat harakiri, atau bunuh diri”...

Mitra Jepang dalam perang yang dahsyat ini adalah negara kuat nun di sana daratan Eropa, Jerman, yang dipimpin Adolf Hitler.(1889-1945), seorang diktator paling kejam. Takut diadili Sekutu sebagai penjahat perang setelah kalah, dia bunuh diri dalam bunker bawah tanah istananya di Berlin. Jerman punya teman tetangga Italia pimpinan diktator Benito Mussolini (1883-1945). Keduanya sama tabiatnya. Usai perang dunia, sekitar April 1945 Kepala Negara Italia itu ditangkap. Tidak lama kemudian ditembak mati di Milan.

Hampir tidak ada lagi orang kita yang jernih ingatannya mengenang Logas, walau dia mengalami kekejian. Peristiwanya berproses sejak tahun 1943. Jika waktu itu mereka yang ikut kerja paksa berusia sekitar 20 tahun, berarti kalau masih hidup, kini berusia 80 tahun, Usia sepanjang itu suatu mukjizat yang patut disyukuri, sebab jasmani dan rohaninya mengidap aneka penderitaan tiada tara, malaria tropika-tertiana, tipus, disentri, korengan bernanah, biri-biri, atau lumpuh. Banyak pula penderita tbc (tuberculose),.atau. mendapat gangguan jiwa. Mereka berbulan-bulan hidup di alam buas dengan siksaan fisik.

Ditangkap paksa

Di Sumatera Barat rekrutmen tenaga kerja dilakukan terhadap pria dewasa dari seluruh desa melalui Kapalo Nagari.. Atau menjaringnya dengan mengepung bioskop waktu pertunjukan usai di kota-kota seperti Padang dan Bukittinggi. Ketika penonton keluar, beberapa truk terbuka menyonggeng di pintu keluar, menyeret kaum pria tanpa pilih bulu, tua atau muda. Dipaksa naik ke atas truk tersebut. Di pos tertentu. diseleksi. Yang masih sekolah atau sudah menjadi pegawai Jepang, tidak diangkut. Menolak? Diancam hukuman berat. Malam itu juga dibawa dengan pengawalan ketat serdadu bersenjata.

Hujan panas harus ditahan. Sama sekali tidak diberi kesempatan pulang pamit dengan keluarga. Yang terbawa hanyalah pakaian yang lekat di badan. Sebagian besar memang tidak pulang-pulang lagi. Mati tidak tahu kuburnya, hilang tidak tentu rimbanya. Ada yang dikubur di tengah hutan sepanjang jalan kereta api, atau dimana saja tanpa ada tanda batu nisan. Nyaris tidak ada upacara ritual keagamaan ketika mengubur korban.. Bila ada satu-dua orang yang bisa pulang, kondisi fisiknya sudah gawat, tinggal menunggu malaikat maut Di kampung mereka tutup mulut, tidak menebarkan kekejaman yang mereka alami.

Setelah apel di pagi yang masih dingin, semua harus kerja keras mulai pukul 07.00, didahului sarapan ala kadar, umumnya singkong rebus. Nyaris tidak ada kopi untuk menghangatkan tubuh. Siang pun setelah bekerja enam jam tidak diberi makan secukupnya. Dengan perut keroncong, kerja dilanjutkan sampai menjelang senja, atau sekitar 10 jam sehari. Selagi bekerja tak boleh minum walau panas terik. Air minum yang dimasak diambil dari rawa, warnanya keruh sama dengan air yang diberi teh

Setaat-taat beribadah, jangan diharap dapat menunaikan shalat wajib lima waktu. Malam pegal-pegal dan sangat letih, tidur kedinginan tanpa selimut. Ada tambahan tugas: Berburu kutu busuk (kepinding) yang menggerayang di mana-mana Serdadu Jepang yang jadi mandor rata-rata kejam. Lari ? Resikonya maut, sebab akan ditelan rimba raksasa.yang gelap. Pasti jadi mangsa binatang buas. yang banyak berkeliaran. Sulit menemukan pondok peladang untuk bersembunyi. (***)

Padang Ekspres, Sabtu, 01 September 2007