OLEH Nasrul Azwar
Delapan tahun yang lalu, 21 Mei 1998. Puing-puing sisa kobar api sepekan lalu masih mengoyak langit di beberapa kota-kota besar di Indonesia, termasuk Kota Padang. Bangunan rumah, toko, dan pusat-pusat belanja, tampak buram. Dinding semula bersinar, kini bagai lukisan yang tak inspiratif. Sepi, menghitam, dan angker: Buah amuk yang keluar dari riwayat beradaban purbawi manusia. Massa marah entah pada siapa, entah apa yang menggerakan massa dengan mata merah menjarah, membakar, dan memperkosa. Sadis. Saat itu Indonesia sangat menangis. Tangis misteri. Semisteri peristiwa yang teramat tragis itu.
Tepat 21 Mei 1998, mata bangsa ini—mata yang masih bengkak karena derai air mata yang tak henti—memelototi pesawat televis sosok yang melangkah menatap lantai menuju mikrofon. Tubuh yang dipelototi itu adalah Presiden Soeharto: Anak petani berhati milter telah menjadi orang nomor satu di Indonesia selama 32 tahun. Ia berpidato. Suaranya tidak setegar sebelumnya, tapi tetap melempar senyum yang terkenal itu. Dengan dialek, “kan” dibaca “ken”, dia mundur. Mahasiswa dan semua bangsa Indonesia sujud syukur. Ada sedikit senyum, tentu, itu tanda bahagia. Tapi, tak semua bisa seperti itu, ada yang manangis dan terisak, karena menyadari ada yang hilang dalam diri mereka: anak mereka tewas di ujung peluru aparat keamanan. Rumah dan lahan tempat menumpukan hidup keluaga besar telah kosong, dirampas dan dibakar. Ada anak gadis mereka yang menahan malu sepanjang hidup, meratap dan tak tahu apa mesti dibuat, ada juga yang hilang ditelan reruntuhan dan terpanggang.
Reformasi. Demikianlah setiap detik lantang terucap. Saat itu, delapan tahun lalu, bangsa ini seperti menarik garis jauh ke belakang, dan membuat demarkasi sebagai titik awal pada saat pergantian kekuasaan dari Soeharto ke BJ Habibie. Ingin berubah, berniat jadi negara yang demokratis, dan mendahulukan kepentingan rakyat Indonesia. Itulah harapan saat itu.
Kini, 21 Mei 2006. Sudah depalan tahun lamanya. Orang yang pada 21 Mei 1998 yang terpaksa meninggalkan kursi RI-1, kini masih diberi usia panjang oleh Sang Pencipta, walau terbaring lemas karena sakit. Sepanjang 40 senti meter ususnya dibuang. Tapi, ia kini, satu-satunya manusia di atas dunia ini dibebaskan dari segala tuntutan hukum yang disangkakan kepadanya, termasuk kroni-kroninya. Soeharto dapat berkah. Ia beruntung. Sangat beruntung karena tinggal di sebuah negeri yang pemaaaf sekaligus suka melupakan sesuatu. Memang inilah negeri yang berjalan dengan langkah irrasional. Negeri yang besar tak bisa dilihat dan dikaji dari sudut ilmu apapun di atas dunia ini. Secanggih apapun ilmu itu. Pemerintah dan lembaga hukum sangat mudah “menghapus” ingatan kolektif dengan dasar yang dicari-cari.
Panyakit suka melupakan itu juga menjadi tren bagi tokoh politik, aktivis, budayawan, organisasi masyarakat, partai politik, dan sebagian rakyatnya. Sepertinya, semua tokoh-tokoh yang selama ini meneriakkan pengadilan terhadap Soeharto karena memperkaya dirinya dan menyengsarakan rakyat Indonesia, telah dengan sengaja seolah-olah lupa. Dari sumber majalah Time menyebutkan saat kini kekayaan keluarga Soeharto berjumlah US $ 15.000.000.000. Mungklin takut kehilangan kekuasaan, para totoh-tokoh dan aktivis yang kini duduk di kursi empuk, melengahkan saja bagaimana riwayat Soeharto pernah menghabisi rakyat secara massal di tahun 1965-1966, melupakan bahwa pada tahun 1998 negeri ini penuh darah penculikan, pembunuhan, mahasiswa luka, buruh mati, petani tewas, nelayan tewas, perempuan berdarah-darah. Semua seperti dilupakan demikian saja.
Mengutip lapotan majalah Time yang melakukan investigasi selama 3 bulan pada tahun 1999 menulis, Soeharto membuat fondasi untuk kekayaan keluarganya dengan menciptakan sistem patron yang berskalanasional yang mempertahankannya dalam kekuasaan selama 32 tahun.
Di sini saya bersetuju dengan Milan Kundera: Perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa. ***
No comments:
Post a Comment