Kecenderungan berteater-tanpa-kata tampak menonjol di dalam satu minggu hajatan seni kontemporer di Sumatra Barat. Tentu saja tanpa kata itu relatif, karena terkadang masih dibutuhkan sejumlah kata, namun pada dasarnya kebanyakan informasi mereka sampaikan lewat cara-cara lain: gestur, gerak-gerik, vokal, atau potongan musik maupun lagu yang asosiatif dengan pemahaman tertentu.
Sedikitnya ada enam kelompok teater setempat yang tampil di dalam "Pekan Seni III/2002" yang berlangsung 26-31 Oktober di Kampus STSI Padangpanjang tersebut. Penyelenggaranya Dewan Kesenian Sumatra Barat menyebutkan mereka inilah yang diketahui masih giat bekerja.
Sesudah tokoh-tokoh teater semacam Wisran Hadi tidak bergiat lagi, seperti apakah wajah teater masa kini dari kawasan ini? Tampaknya jawaban yang muncul kurang menggembirakan.
"Mereka kurang merenung," tutur Rusli Marzuki Saria, seorang penyair dan puluhan tahun mengikuti berbagai perkembangan seni daerah ini.
Tampak di panggung atau arena tontonan adalah bentuk-bentuk, gerak, properti, "akting", musik, yang umumnya hanya mengarah pada pengokohan aspek "cerita". Dengan kata lain, semua unsur itu tadi berfungsi sebagai ganti kata-kata, sebagai pengusung informasi, dan bukan, misalnya, pencapaian olah rupa tertentu. Sesungguhnya ada peluang bagi olah rupa, gerak, dan bunyi, untuk menghasilkan makna baru yang sama sekali tidak tergantikan oleh kata. Beberapa bagian pertunjukan Teater SAE dekade lalu umpamanya meraih pencapaian ini.
Meski demikian, sebagai tontonan ada saja yang menarik. Sebutlah itu umpamanya penampilan oleh Teater Noktah dari Padang dengan lakon Negeri yang Terkubur karya Syuhendri yang sekaligus menyutradarainya.
Syuhendri memasang seorang pemain perempuan (Irda Ningsih) yang baju tradisinya mewakili nilai-nilai lama. Ia menampilkan tiga pria (Zulkifli, Masrizal, dan Salman) untuk membuat sejumlah aksi. Dua di antaranya menjadi personifikasi generasi muda yang terpapar berat oleh kemajuan zaman. Seorang di antaranya, mengenakan pakaian tradisi, mengendalikan lewat tali yang terpasang di tangan mereka.
Itu digambarkan dengan kuda-kudaan dari pelepah pisang yang segera mereka buang ketika menemukan mainan mobil ber-remote-controle. Mereka tergiur oleh dunia informasi yang ditampilkan lewat papan ketik komputer. Berselancarlah keduanya di Internet. Untuk itu Syuhendri membuat mereka menggunakan kata-kata seperti "www...." yang ibarat mantra untuk ke dimensi baru penuh petualangan.
Pencapaian mereka jauh berbeda dengan Ruang Lilin oleh Teater Eksperimental FSUA yang disutradarai Prel T maupun Jam-jam oleh Komunitas Seni Plong garapan Dharminta. Kedua kelompok ini tampak gagap di dalam merancang tontonan mereka.
Pada sisi lain Sulastri Andras bersama kelompok SMKI Padang meminjam sebuah tontonan klasik untuk menyinggung perkara-perkara jender. Untuk itu ia memanfaatkan ungkapan-ungkapan ketegaran seorang perempuan masa lampau, Sabai, dalam Nasibmu Sabai.
Di panggung tampak sebuah pemandangan teater tari di dalam kemasan lama yang sangat diakrabi oleh warga masyarakatnya. Namun ia juga menyisipkan trio penari, dalam kostum berbeda secara menyolok, yang dengan gerak bisa menguatkan, menolak, atau mengomentari setiap adegan yang dianggap penting.
Dua pementasan lain menguatkan kesan akan kecenderungan untuk menghindari kata. Teater Akar dengan Eforia Malin garapan Afrizal Harun maupun Keluarga Mahasiswa Teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang dengan Senja 200 Kepala rancangan Dede Pramayosa, melakukannya dengan cukup menarik. (efix). Kompas, Sabtu, 2 November 2002
No comments:
Post a Comment