OLEH Nasrul Azwar
TEKS teater memang telah mati, dan memang mati. Sudah lama sekali mati, malah. Siapa yang demikian tangguh jadi “algojo” yang membunuhnya? Jawab adalah teater itu sendiri plus pelakunya. Lalu di mana kuburnya? Tak ada yang tahu. Karena sejarah, hidup dan matinya tak ada yang mengawasinya. Ia lahir dari rahim festival, pertemuan, undangan, dan juga tugas mata kuliah jika ia mengambil jurusan sastra atau teater di perguruan tinggi. Festival, pertemuan, serta beragam nama yang domodifikasi adalah “orangtua” teater. Dan orangtua itu jelas tidak akan bertanggung jawab membesarkan, mengawasinya, dan lain sebagainya. Sebab, ia bukan tipe orangtua yang diharapkan demikian. Ia hanya menitikkan satu “benih” dari sekian juta benih bertebaran. Terserah, mau diapakan setelah itu: mati, atau setengah mati, atau mati-mati hidup, atau hidup lagi setelah ada orangtua baru hadir, dan seterusnya.
Maka, teater di pulau Sumatra, Jawa , Bali, Sulawesi, Kalimantan, dan Papua, bukan lagi jadi satu ikon “perlawanan” pada mainstream kondisi stagnasi atas kebekuan pemikiran tentang teater itu sendiri. Ia telah berwujud pada pelarutan diri ke kondisi realitas kekiniaan. Teater telah kehilangan identifikasi dirinya, dan jadi teramat sulit untuk diurai, karena antara panggung politik, sinetron, dan sihir AFI dengan teater telah saling membocorkan diri. Teater kehilangan satu-satunya barang berharga yang dipunyainya: kebaruan militansif.
Dari sinilah proses awal dari pembantaian terhadap teater, dan ini telah berlangsung cukup dasyat 13 tahun terakhir, untuk Sumatra Barat, yang saya tahu, lebih lama dari itu, sekitar 17 tahun terakhir. Jadi apa yang mesti dikatakan lagi? “Dicoba untuk membangun harap?” kata seorang pegiat teater.
Kini, untuk beberapa kota di Indonesia, tampaknya harapan itu ada, walau bukan jaminan untuk menghidupkan kembali teater dapat dilakukan dengan baik. Paling tidak—sementara—tumpuan itu ada di perguruan tinggi. Lima tahun terakhir pertumbuhan teater di perguruan tinggi umum/seni di pelbagai kota, memperlihatkan warna yang jelas. “Gerakan” dapat dipantau dari aktivitas dan progam festival dan pertemuan yang digelar di masing-masing kampus mereka, baik dalam skala lokal maupun nasional.
Namun demikian, di luar teks teater, kenyataan memang tidak berpihak pada teater itu sendiri. Faktor yang kuat adalah soal dominasi teks-teks kapitalisme, konsumerisme selanjutnya juga pengdangkalan makna teater itu sendiri yang dilakukan para “dewa-dewa” dan “abdi-abdi” teater. Teater dijelmakan sebagai metamorfosis untuk memproklamasikan diri sebasgai stigma-stigma pembenaran. Di luar dirinya, yang bukan teater dianggap tidak benar. Sementara, ruang publik sebagai basis teater kini ditukar dengan “layar kaca” dan orientasi massif dengan baragam kemudahan dan kenyamanan, dan semua itu menyajikan efek-efek motoris bagi publik untuk bertahan berlama-lama di depannya.
Di depan layar kaca berlangsung “interaksi” kebutuhan: semenjak pembalut perempuan, makanan ringan, transaksi hingga kebutuhan biologis manusia. Semua dihadirkan dengan banyak pilihan-pilihan. Setelah letih mata memelototi layar kaca, di luar akan menanti kenikmatan lainnya. Ada makanan cepat saji, plaza, mall, panti pijat, seks, dan café-café, dengan tetap menyajikan kemudahan dan kenikmatan syaraf motorik kita.
Paradoks dan memilukan. Sisi lain, teater tetap dalam pengembaraan yang miskin, nestapa, dan dekil. Tak ada infrastruktur penunjang aktivitas teater yang representatif. Fasilitas gedung pertunjukan yang demikian jelek, membuat teater hancur-hancuran menerima nasibnya, terus mengaburkan identitasnya. Inilah sepanjang hari yang menggerogoti tiang-tiang teater, selain, tentu saja, pelakunya sendiri yang lari terbirit-birit saat teater itu roboh. Dan akan muncul lagi ketika ada undangan, festival, pertemuan, atau sejenis ini. Seperti siklus dan hukum alam, kondisi demikian telah lama berlangsung. Selama itu pula teater sebenarnya telah tiada: telah mangkat.
Kini ahli “waris”—yang menamakan dirinya pelaku teater—mencoba meneruskan cita-cita teater itu, walau tantangan untuk itu lebih berat lagi. Tampak ada juga kegagapan saat mereka mencoba mengidentifikasi persoalan “teks” teater itu. Ada juga kebingungan yang terlihat saat mereka kehilangan juru bicara untuk menjelaskan apa sesungguhnya keinginan teater mereka. Kesan ini bukan saja terjadi pada kelompok-kelompok teater yang berada di luar kampus, di dalam kampus sendiri juga demikian: kesulitan “intelektual” memaparkan dan menjelaskan identitas teks teaternya. Belum lagi masalah yang berada di luar teks teater itu sendiri, semua bagabalau.
Tentu, soal yang paling dasar adalah internal teater itu sendiri. Pengidentifikasian masalah teater yang bersifat internal, menjadi sangat krusial sekali, jika mau melihat persoalan eksternal teater. Dan jika ini telah dilakukan, maka soal eksternal akan mudah dipecahkan. Polarisasi program, visi, arah, serta target berteater, tentu soal ke dalam. Menjalin jaringan, membuka diri untuk kerja sama dengan pihak luar, adalah soal ke luar. Dan semuanya itu disinergikan dalam sebuah komitmen bersama, baik itu yang berada dimanajerial maupun pelaku teater di kelompok itu sendiri. Bukan hal demikian itu merupakan bahaya laten teater. ***
No comments:
Post a Comment