KODE-4

Wednesday, February 14, 2007

Mencermati Pemakaian Uang Rakyat: Kasus APBD Kota Bukittinggi

OLEH Nasrul Azwar
Pemerintah Kota Bukittinggi tentu boleh bangga karena yang pertama di Indonesia dalam penyusunan APBD tahun 2002 menerapkan sistem anggaran kinerja. Kebanggaan terbersit dari ucapan Drs. Djufri – Wali Kota Bukittinggi – yang dikutip Singgalang (Rabu, 7 Agustus 2002). Disebutkan Djufri, dengan memakai sistem anggaran kinerja dalam pengelolaan anggaran daerah tahun 2002, tumbuhnya sikap akuntabel dalam pengelolaan anggaran, dengan kesadaran bahwa gaji, tunjangan, dan insentif lainnya hanya diterima pegawai, harus dapat dihitung kontribusinya terhadap pencapaian setiap kegiatan satuan kerja.
“Penerapan anggaran kinerja menumbuhkan sikap demokratis dan transparan dalam menetapkan dan menguji validasi anggaran antara pejabat yang bertanggung-jawab untuk menetapkan alokasi anggaran dengan dengan pejabat pengguna anggaran,” paparnya.
Dijelaskannya lagi, penelitian kinerja dari pengguna anggaran dapat dilakukan dengan hasil yang dapat diterima publik lewat penyusunan laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (LAKIP) yang profesional. “Anggaran ini memberi manfaat terjadinya internalisasi value for money pada seluruh jajaran,” katanya.

APBD tahun 2002 ini telah dijabarkan dengan Surat Keputusan Wali Kota Bukittinggi Nomor 02 Tahun 2002. Dalam APBD tahun 2002 Pemerintah Kota Bukittinggi mengalokasikan anggarannya sebesar Rp 113.642.320.403.00. APBD bersumber dari sisa perhitungan anggaran tahun 2001 Rp 6.869.579.000.00, bagian pendapatan PAD berjumlah Rp 10.040.601.380.00, dana perimbangan Rp 96.282.140.023.00, dari bagian lain-lain penerimaan yang sah Rp 450.000.000.00. Karena sifat dana APBD itu harus dihabiskan, maka anggaran itu digunakan untuk anggaran belanja administrasi umum Rp 56.153.655.790.00, anggaran belanja operasi, pemeliharaan sarana dan prasana publik Rp 13.906.631.000.00, anggaran belanja modal Rp 39.782.729.00, anggaran belanja transfer Rp 2.758.857.403.00, dan anggaran belanja tidak tersangka Rp 1.040.447.000.00. Maka, total pengeluaran Rp 113.642.320.403.00.
Pada APBD 2001, Kota Bukittinggi mengalokasikan dana Rp 87.066.975.734.08. Sebelumnya, APBD 2001 ditetapkan melalui Perda No 3 Tahun 2001 berjumlah Rp 70.348.483.067.08. Namun, kemudian dengan sebuah SK Wali Kota Bukittinggi Nomor 26 Tahun 2001, APBD 2001 berjumlah Rp 87.066.975.734.08. Ini sama artinya terjadi kenaikan sebesar 23,77%. Dalam status dan kekuatan hukumnya, belum jelas, apakah sebuah perda yang mengatur dan mensahkan APBD dapat dirubah dengan Surat Keputusan Wali Kota seperti yang terjadi pada APBD 2001 ini. Pada kasus ini ini sesungguhnya perlu didiskusikan bersama. Pada anggaran APBD 2002 ini jumlahnya juga mengalami kenaikan sebesar Rp 26.066.975.734.00. Kenaikan ini mencapai 26%.
Menurut laporan pertanggungjawaban APBD 2001 yang disampaikan Wali Kota Bukittinggi di depan DPRD Kota Bukittinggi pada 30 Meret 2002, alasan perubahan anggaran 2001 ini berkaitan dengan kebijakan pusat dan pemerintah daerah, antara lain: Kepres N0 64/2001 dan PP No 26 tahun 2001 tentang penyesuaian gaji pokok bagi PNS, TNI dan Polri, perberlakuan tarif baru beberapa jenis pajak, pengembalian bagi hasil PBB 10% dari pusat, penetapan daerah penghasil dan dasar perhitungan bagian daerah penghasil sumber daya alam sektor kehutanan tahun 2001, alokasi bantuan dana kontingensi tahun 2001, bantuan dari ADB LOAN-183 INO untuk penunjang proyek pemukiman dan prasarana wilayah, dan kebijakan daerah untuk perubahan APBD Kota Bukittinggi 2001.
Perubahan itu memang tergambar dalam laporan pertanggungjawaban Wali Kota Bukittinggi saat disampaikan dalam sidang paripurna DPRD Kota Bukittinggi, dan laporan itu sekaligus menjadi gambaran setahun kinerja Pemerintah Kota Bukittinggi, seiring dengan penyampaian RAPBD tahun 2002.
Dari gambaran pertanggungjawaban itu pula, banyak persoalan yang sesungguhnya tidak dijelaskan Wali Kota Bukittinggi secara terbuka dan transparan kepada publik. Termasuk—tentu saja— pemanfaatan anggaran yang digunakan anggota DPRD Kota Bukittinggi pada APBD 2001.
Permasalahan anggaran DPRD Kota Bukittinggi—juga terjadi di DPRD di tempat lainnya—memang selalu dipenuhi dengan kontroversial, dan tidak adanya etika kepatutan menyangkut gaji yang diterima seorang anggota DPRD. Untuk DPRD Kota Bukittinggi, pada APBD 2001 uang yang dialokasikan untuk DPRD Kota Bukittinggi dan Sekretariatnya berjumlah Rp 1.710.429.721.
Uang rakyat sebanyak ini tidak pernah dilaporkan pemanfaatan kepada publik. Hal ini jelas sekali terlihat dari laporan tertulis pertanggungjawaban APBD 2001 yang disampaikan Wali Kota Bukittinggi. Ini tentu saja menjadi soal yang sangat aneh dalam logika sebuah pertanggungjawaban keuangan. Pertanyaan yang paling sederhana saja, dimasukkan ke pos bagian mana anggaran belanja dan penghamburan uang rakyat untuk anggota DPRD Kota Bukittinggi? Jika diletakkan dalam Pos Pengeluaran Rutin, yang dalam anggaran berjumlah Rp 57.327.455.490.08, namun dalam realisasinya bisa saja membengkak, dan jelas tidak tercantum dengan tegas rincian anggaran untuk belanja wakil rakyat yang terhormat itu. Yang tercantum dalam laporan pertanggungjawaban Wali Kota itu hanya belanja pegawai, belanja barang, belanja pemeliharaan, belanja perjalanan dinas, belanja lain-lain, angsuran pinjaman hutang/bunga, ganjaran subsidi/sumbangan kepada daerah bawahan, pengeluaran yang tidak termasuk bagian lain, dan pengeluaran tidak tersangka.
Dan jika kita teliti pos belanja rutin itu, sangat absurd dan sangat-sangat ambigu sekali makna dari dari rincian-rincian tersebut. Barangkali hanya Wali Kota dan DPRD saja yang mengerti apa arti dari pengeluaran tidak tersangka, ganjaran subsidi/sumbangan kepada daerah bawahan, dan belanja lain-lain itu?
Tentu ini bagi banyak pejabat dianggap soal yang sederhana dan tidak perlu diperdebatkan. Akan tetapi bagi masyarakat umum, tentu saja ini sangat perlu bagi mereka. Tentu saja mereka harus mengerti apa arti semua kalimat yang dibunyikan dalam pos-pos anggaran tersebut.
Pada batas ini saja, memang tak salah jika banyak kalangan yang kritis menyebut penyusunan APBD dan sekaligus pertanggungjawabannya tidak jelas dan kabur. Dan kalimat-kaliamat dan pos anggaran menggunakan bahasa “gelap” dan bias. Dan tidak salah jika ini akan memunculkan kecurigaan di tengah publik. Memang, bagi kalangan legislatif nyaris setiap hari menyebutkan bahwa penyusunan APBD itu sangat transparan dan terbuka. Akmal Siddik, salah seorang anggota DPRD Kota Bukittinggi, malah berkali-kali mengatakan semenjak proses rancangan sampai kepada penetapan APBD oleh DPRD Kota Bukittinggi lewat Perda, selalu menyerap aspirasi masyarakat dan ini dilakukan oleh tim anggaran DPRD Kota Bukittinggi. Dan tim anggaran ini turun ke lapangan.
Sedangkan Drs Salman, Kepala Bagian Pemberdayaan Masyarakat Kota Bukittinggi, menyebutkan bahwa dalam menjaring aspirasi masyarakat di tingkat bawah ada perbedaan antara legislatif (DPRD Kota Bukittinggi) dengan eksekutif (Pemko Bukittinggi). Tim eksekutif melakukan penjaringan melalui sebuah proses yang disebut dengan musyawarah pembangunan (Musbang). Penjaringan dimulai dari tingkat bawah (kelurahan), kecamatan, dan terakhir akan dibahas dalam tim anggaran Kota Bukittinggi. Karena keterbatasan kemampuan anggaran, maka diukur dengan standar prioritas. Mana yang akan dimasukkan dalam RAPBD dan mana yang harus ditunda dulu.
Pendapat dua orang ini saja, jelas sekali terjadi ketumpangtindihan pola dan sistem penyusunan anggaran. Dan dalam logika yang paling umum saja, muncul pertanyaan sederhana: Anggaran siapa yang disusun siapa? Apakah anggaran belanja DPRD Kota Bukittinggi disusun berdasarkan masukan dan aspirasi dari masyarakat Kota Bukittinggi? Apakah anggaran yang disusun tim anggaran Pemerintah Kota Bukittinggi juga akan membahas anggaran belanja DPRD Kota Bukittinggi, atau hanya sebatas anggaran pembangunan saja? Dan lebih jauh misalnya, anggaran apakah yang disusun oleh tim anggaran DPRD Kota Bukittinggi, jika memang mereka ini katanya turun ke lapangan?
Memang terlihat kerancuan pola dan sistem kerja dalam penyusunan APBD, dan ini mungkin tidak hanya terjadi di Kota Bukittinggi saja. Dari informasi yang berkembang, kontroversi yang kerap terjadi dalam penyusunan APBD, memang hampir di setiap daerah di Indonesia permasalahan sistem dan pola penyusunan APBD selalu mencuat dan tidak memuaskan masyarakat. Intinya, tentu saja ketidakjelasan dan DPRD lebih condong hanya mementingkan diri sendiri saja.
Dan permasalahan yang sama juga terlihat dari APBD 2002 Pemerintah Kota Bukittinggi. Walau disebut APBD 2002 yang pertama memakai konsep anggaran kinerja, namun pola dan sistem penjaringannya masih mengunut pola lama. Dan tetap saja tidak terbuka dan acuannya pun tidak berorientasi pada publik.
Paling tidak, pada APBD 2002 sektor biaya dan belanja rutin masih mendominasi untuk menghabiskan dana APBD. Sedangkan pos untuk pembangunan tidak tersentuh dalam anggaran yang memadai. Sementara itu untuk belanja anggota DPRD Kota Bukittinggi dianggarkan sebesar Rp 1. 463.256.400, dan Sekretariat DPRD-nya 920.433.567.
Jumlah Rp 1. 463.256.400 alokasi dana untuk 20 orang anggota DPRD Kota Bukittinggi, jika dibagi, masing-masing mendapat Rp 73.162.820 dalam setahun, dan jika ini dibagi 12 bulan, maka masing-masing wakil rakyat itu menerima bersih Rp 6.096.901. Mengapa menerima bersih? Karena untuk pos pajak penghasilan disediakan pos anggarannya. Kini, apakah gaji anggota DPRD Kota Bukittinggi itu telah menganut nilai etika kapatutan di saat masyarakat masih didera kemiskinan? Soalnya, tentu saja berpulang kepada nurani masing-masing anggota dewan yang terhormat itu. Dan kita lihat juga bagaimana dengan laporan pertangungjawaban Wali Kota untuk APBD 2002 nanti, dan bagaimana pula dengan RAPBD 2003-nya.***

No comments:

Post a Comment