KODE-4

Sunday, February 18, 2007

Tiga Peristiwa yang Membingungkan

OLEH Nasrul Azwar

Sepekan terakhir, paling tidak perhatian masyarakat Sumatra Barat tertuju pada: Pertama, Universitas Andalas memberikan gelar doktor honoris kausa kepada Presiden, dan ini pertama kali universitas tertua di luar Pulau Jawa memberikan gelar HC kepada orang lain. Tapi, jika Anda mau mengamati lebih dalam prosesi upacara pemberian gelar Dr (HC) itu, ada kalimat yang tertulis di selempang warna hijau (warna khas Unand) yang dikenakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bagi orang-orang yang selalu berurusan dengan penggunaan bahasa Indonesia yang benar, terasa ganjil. Kalimat di selempang tertulis seperti ini: DOCTOR. H.C

Tanyalah ke Balai Bahasa Padang, misalnya, apakah tanda baca “titik” setelah “Doctor” itu telah sesuai dengan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar? Jika tak sempat menanyakan itu, coba buka Kamus Besar Bahasa Indonesia, lihatlah bagaimana menuliskan tanda baca (.) yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. Hal-hal yang kecil seperti itu, memang dianggap remeh dan tidak menjadi perhatian serius, tapi bagi akan jadi sangat serius jika penggunaan tanda baca yang salah itu melekat di tubuh orang nomor satu di negeri ini. Semua mata mengarah ke satu titik ini. Dan ironis sekali hal ini dilakukan oleh dunia perguruan tinggi.

Kedua, pemberian gala sangsako adat Yang Dipertuan Maharajo Pamuncak Sari Alam kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Puan Puti Ambun Suri kepada Ny. Ani Yudhoyono. Pro-kontra pemberian gelar adat itu pun mengiringi perjalanan “sejarah” budaya Minangkabau.

Jika disingkap dalam pandangan kajian kultural, menurut Jordan dan Weedon (1995) membahasakannya dalam politik kebudayaan seperti ini: kekuasaan untuk memberi nama; kekuasaan untuk merepresentasi akal sehat; kekuasaan untuk menciptakan “versi-versi resmi”, dan kekuasaan untuk merepresentasi dunai sosial yang sah. Di sini, ranah budaya publik didominasi dan diklaim oleh kekusaan yang sah. Klaim dan dan penciptaan yang dihasilkan oleh kekuasaan itu menjadi kebenaran.

Dalam pandangan budaya Gramscian, menyatakan bahwa ada suatu blok historis dan faksi kelas penguasa yang menerapkan otoritas sosial dan kepemimpinan terhadap kelas-kelas sosial yang dipinggirkan dengan cara merebut persetujuan. Kekuasaan selalu melibatkan basis-basis sosial yang bersetuju dengannya, dan pemberian gelar adat oleh hegemoni kepada hegemoni lainnya menjadi pilihan dalam pengendalian sosial.

Ketiga, pencanangan gerakan pengentasan kemiskinan berbasis nagari oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Yang Dipertuan Maharajo Pamuncak Sari Alam, di Parikmalintang, Padangpariaman. Bagi saya, program ini terkesan sangat naif malah sebuah pelecehan terhadap otoritas nagari di Minangkabau. Kita tahu, nagari merupakan satu sisi perkembangan sejarah yang relatif panjang selama berabad-abad.

Prof Dr Abdul Aziz Saleh (1990) menyebutkan, sejarah nagari di Minangkabau jauh lebih panjang daripada masyarakat perkotaan. Kehidupan masyarakatnya berlandaskan kepada struktur sosial dan nilai budaya, dan pola interaksi sosial yang dimapankan dalam tradisi dan adat. Semua ini mengatur hal-hal yang berkaitan dengan (1) distribusi kekuasaan, teramasuk distribusi wewenang dan tanggung jawab (distrubution of authority and responsibility), dan proses dan mekanisme pengambilan keputusan, (2) distribusi kemakmuran (distrubution of wealth), termasuk proses dan mekanisasi serta distribusi informasi, dan (3) distribusi penghargaan kekuasaan, menentukan posisi dan status seseorang atau kelompok tertentu dalam masyarakat.

Selain itu, dalam mamangan adat Minangkabau tentang nagari juga disebutkan seperti ini: sawah balantak basupadan/ladang diagiah bintalak/bukik dibari bakaratau/rimba diagiah bajiliung. Secara sederhana, kandungan makna dari mamangan itu adalah bagaimana nagari mendistribuksikan potensi alamnya secara ekonomis. Secara sistemik, nagari tidak memberi, atau meminimalisir, ruang kemiskinan, dan ketidakadilan dalam memperoleh kemakmuran bersama lewat konsep distribusi di atas. Pendek kata, tak ada kemiskinan di dalam nagari.

Maka, apa yang disebut dengan “mengentaskan kemiskinan berbasis nagari” yang dicanangkan pemerintah dan sebagai model pengentasan kemiskinan di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa kembali ke pemerintahan nagari di Sumatra Barat yang diemban Perda No 9/2001, gagal total. Paling tidak, dengan kalimat “mengentaskan kemiskinan berbasis nagari”, dapat diasumsikan angka kemiskinan telah meningkat di tingkat nagari, maka pemerintah perlu mengetaskannya.

Anehnya, hingga kini angka kemiskinan masyarakat di tingkat nagari tak pernah diketahui. Jika pun ada masyarakat yang miskin di Sumatra Barat, maka angka itu berkisar di perkotaan atau masyarakat urban. Untuk Kota Padang, misalnya, konon angka kemiskinannya hampir mencapai 150 ribu jiwa.

Namun pada tingkat nagari—yang dijadikan basis pengentasan kemiskinan—tampak jelas bahwa Pemerintah Provinsi Sumatra Barat belum memahami secara mendalam esensi masyakakat nagari di Minangkabau. Paling tidak, program yang dicanangkan pemerintah adalah gambaran ketidakmengertian itu. ***


No comments:

Post a Comment