KODE-4

Showing posts with label SAJAK-SAJAK. Show all posts
Showing posts with label SAJAK-SAJAK. Show all posts

Friday, March 2, 2007

Menonton Televisi Bersama Keluarga

Aku tak mampu tikamkan belati saat tabir kusimbah di atas derai tangis bayi-bayi,
dan pengamen tiupkan bunyi amarah di pintu rumah, real estat, dan jejak penguasa,
mata belati singkirkan bara, tak bisa padamkan dendam yang dibalut besi baja, semen, tanah, hutan, kertas, jas, dan dasi.

aku lontarkan dosa-dosa, keluh-kesal, pes, sampar, malaria, aids, kemiskinan, telenovela, opera sabun, kuis, perang, demonstrasi, amplop, sinetron, pidato, rasa kantuk, dan makana lezat,
ke meja-meja dan mimbar gedung korban tak lagi diceritakan

terus dilanjutkan dengan talk show, temu wicara, asah terampil, ke safari ramadhan, kunjungan kenegaraan, hingga seorang nenek diperkosa ramai-ramai.
Tak henti ia datang ke keluargaku.


Padang, 1990-2003

Kalam

tuju sepi tepi bumi
puja tari barbar
darah pentas marmar ini
telanjang sambungraga di bui

sia-sia
aku pelihata tuan-nyonya
leher pada ujung keris
telan daging tulang papa

wabah-wabah
lempas slogan kotak-kotak
pasung sejuta kakitangan
kebiri cium nanah mimbar

kalam-kalam
tak bermakna dara
tiap inci
lulur tangan di ranjang tahta
aliri saksi
kedip mata
seterusnya, kalam-kalam tak berjiwa

Padang, 1992-2002

X

untai urat
di upacara gajah
anak bumi terumbang upah gaji
lolongnya terpa kain kapan putih

tuba jadi tugu tumbal tunggul
hitam pada nasib unjuk pantat
suntik hati terpangkas panjar

intai upah
dikasak-kusuk
angka-angka

kita yang berpayung tak hujan
lorotkan semua atribut siang
kado mana yang akan dipersembahkan
: tulang pembungkus pijit sendi

tala sumbang tolak talak tak bertaklim
lemparkan murka tiap tiang yang membentur pampas
talam penampung tunggu darah mengucur di andasan
lalu, iris segenap daging yang melekat jadikan senada
mulut kita terngangak beku. pencong.

Bukittinggi, 1995-2003

Seorang Wanita Telanjang Melekat di KTP-ku

terkencing pun aku tak bisa
walau daging telah kembali ke toko emas

esok pagi kubuka jendela

semua kabut menyerbu bibirku

lalu, pesan saja seleramu di mana-mana
agar tangis tak tumpah di piring

aku menyita seluruh musik
biar puas menyetubuhi kerak bumi

“pada lapis mana yang paling nikmat!” kata wanita itu


Padang, 1997-2003

Apologia Mantan Pengkhianat

I. Tahun 1966

memang, hidup mesti dijatah: dari surga hingga bibir neraka
tapi pada sikap, kita menelentangkan siksa tapak kaki jika rumit dibagi
sealir diri pada garis halus dan nisbi
tak selamanya terpuasi
sebeda apapun cara berdiri
ia ada pada pusar angin: tercipta

II. Tahun 1977

saksi tak wujud: memangkas apa yang berdiri dalam makna
kadang ia gagap dipinggir buku
dalam tanah aku membaca kembali
yang sudah-sudah: sebatas itu saja. tak lebih
:“tapi ada kelemahan yang harus disertakan.”

III. Tahun 1988

luka pada realitas
tidak tersembuhkan saat matahari berjanji tidak terbit
menduga-duga apa yang dibisikkan
seolah melenturkan urat yang dimakan usia


IV. Tahun 1999

ketentuan yang kita cakapkan tentang labirin
telah terjawab tadi pagi
tapi itu seperti yang kubayangkan
meletihkan jiwa
eh, kadang ia jadi kekuatan dalam bias gumpal
ia selimuti luka-luka
tapi tak pernah menyudahi salam yang terberi
sampai di situ: apa yang tidak bisa dimaafkan?

V. Tahun …

tadi pagi ia diseret ke rumah sakit
memenggal labirin-labirin pendosa
untuk membangun gundukan tanah


Padang, 17 Agustus 1999-2002

Ke alat

tak ada ranjang
mati
bumi kembar
dalam monitor
bergetar sampai
saat benih
bayi-bayi
layar kaca
cumbu sembur
tabung reaksi
kunjungi kami
online: http://www.puisi.com
E-mail: puisi@puisi.com
coba lagi
hempaskan nafsu
anak zina
di ujung jari
perempuan-perempuan
bungkus kecemasan
dalam bahasa
tunggal nada
pada bulatan
tanah manusia
dalam tabung


Padang, 1992-1997-2003

Selamat Malam, Jiwa

setengah nafas menyita janji sebelum fajar dibelah-belah waktu
di antara ambang yang tidak pernah ditulis
aku membentang tujuh samudera agung
agar dipahatkan di puncak paling luhur
di ujung sujudku tak mudah kutemui fanaul fana
sebagai semua jiwa retak dan aku di dalamnya
jauh dari bashirah
lalu aku melakukan keberpalinganku
orang-orang yang ad-dlalin
mengurung langkah-langkah lurusku
sambil menghunus hawa nafsu
kesesatan di pintu neraka
tuan rumah tamah menyilakan masuk
selamat malam!
Dan selamat malam!


Padang-1998-2003

Eksekusi Dinihari

dan pada malam itu
cerita mengalir seperti angin
disaksikan cerita lain pula,
kelelawar menari di kepala sembilan algojo
seperti kabut malam
: semua ramah kepadaku
tapi ada sebutir kata yang tidak pernah kutelan

dan pada malam itu
nafasku bermain 17 tahun ke belakang
kusibak rambut yang mengganggu
ada sejuta tangan yang melambai-lambai
: semua cinta kepadaku
tapi ada sepasang tangan yang tidak pernah kumaafkan

dan pada malam itu
kulepas nyawa ke lima tahun yang akan datang
seperti sebuah opera
mereka melepas busana
: telanjang
ada ribuan tubuh bugil bercerita masa lalu
: semua benci kepadaku
tapi petir begitu cepat mengoyak dada kiriku

jakarta-padang 1995-2003

Pada Malam Kutitipkan Gelap

sebatas apa sejarah dalam ruang dan waktu
saat usia jadi pengukur
semisal skuas pada batas bibir gelas
dan aku menaruhkan masa lalu di pangkal gelap
adakah kepastian yang dipastikan mengunci tanya
sementara kita menakik bayang-bayang
mengipas nalar dan rasa
mengikat kuasa dan tawa
untuk warnai hari tua
dengan kain kapan putih, daging, atau sumpah sekalipun
aku ragu pada rahasia
sebab gazirah tidak kuat membingkai masa lalu

Padang, 1998-2002

THE DEATH OF BANTAQIAH

—dedikasi untuk saudaraku di aceh—

Di blang meurandeh sejumput harap ditabur dikicauan canda anak-anak mengaji --kupiah yang agak teleng – dua anak lelaki melompat ke atas balai bambu: lantunkan isi alquran, begitu fasihnya.

Sementara teungku bantaqiah mengangguk: “esok lusa kamu khatam,” ujarnya seraya luruskan kupiah muridnya. Lalu dua lelaki itu peluk sang guru tercinta, mata terpejam teduh. Ada airmata – tentunya – mengalir tenang sedenting riak sungai beutong, desau batang ilalang di sudut taman dayah babul mukkaramah.

Kemuning bias mentari tertatih bawa airmata dan lalat hijau menapak 100.000 ribu pengungsi:
“Oh tidak, Kita yakin, pengungsi itu akan kembali ke rumahnya. Mereka nggak tahan sengsara. Ini bermotif politik,” ujar seorang panglima tentara sambil terbahak-bahak, sementara seorang bayi mengerang nyawanya dalam dekapan ibunya, di sebelah panglima itu.

Seekor lalat hijau mengawasi di kejauhan, matanya merah menebar ulir-ulir sadis. Anak-anak berlari pucat, dan menghempaskan kepalanya di dada ibunya.

Seratus lalat hijau merayap-rayap, lalu tangis bersahutan: allahu akbar membelah kemuning mentari, memerahkan sungai beutong, dan lalat kian ramai: hijau, loreng, belang, hitam, lalu sepi.

Amis darah singgah di meja-meja, catatan-catatan, dan apologia para eksekutor anak bangsa.

Pagi, siang, dan malam tetap saja menyayat.
Tanpa interval berpesta di atas mayat-mayat yang dikubur hanya setengah meter
Dan angin tak pernah bisa dihentikan: mereka ada didemarkasi.


Padang, 1998-1999-2002


Wednesday, February 28, 2007

Ia Menangis Pagi-pagi saat Kepala Kakaknya Bersua di Tepi Ladang

—dedikasi untuk saudaraku di aceh—


Malam.
Dongeng berganti cerita ketakutan
“Cobalah pejamkan mata, gelap akan bergayut halus.
Sejak kapan kamu benci sejarah?” tanya kakaknya.
“Sejak aku tak mampu lagi picingkan mata, darah membakar kelopak mataku.
Sejak kapan kakak suka sejarah?” tanya adiknya.
“mungkin esok.”

ada ngeri di daun pintu, juga dalam mimpi
lalu, subuh terkapar sambil hela fajar pagi
loreng-loreng membunuh matahari
hijau-hijau mengikir rembulan
senjata mengikis santri-santri
membenamkan sakit hati

lalu mereka tertawa seraya bersihkah mulut bedil
yang lain menyemir sepatu dan mandi
selanjutnya mereka tegus bir
melayang di dedaunan ganja
menikmati kejantanan

melampiaskan sperma yang terpendam

berulang-ulang
lalu perta lagi
“ini kepala kakakku?”


Padang, 1998-2002

Mereka: Episode yang Dipenggal

jauh sebelum garis peta diberi garis – untuk siapa?—
mereka ungkai tafsir-tafsir butir darah
senyampang asab bedil kabut tipis
tak lebih hanya sebatas pembeda: kau dan aku
teriak dan bungkam sekalipun di ujung rencong
kami bersikap: tak lebih karena itulah sikap
lalu semua berjalan masing-masing dengan nyawanya
sang sakti tak mengais di sarung rencong
mulut sipangkalan cibir detak jantung tamu
dan menebar kematian dini – untuk siapa?—
rencong menitis dendam
tak juga kembali ke sarung
di sana orang berbisa
beri catatan yang tewas
di depan televisi mereka basahi dengan darah bintang empat di bahu
:senyinyir-nyinyirnya berdalih, di matanya sejuta anak menangis
siapa orang itu?


Padang 17 Agustus 1999-2002

Puisi untuk TNI dari Nenek di Kampung

—dedikasi untuk saudaraku di aceh—

nenek tetap bangun sebelum shalat subuh, seperti dulunya
saat kamu masih tinggal di kampung bersama nenek.
tak ada yangb berubah.
insya allah nenek masih menjaga semua album fotomu,
ketika kamu masih dalam pendidikan militer itu.
nenek bangga, nenek senang, dan nenek cerita pada semua orang
:”surbat— cucu nenek— tentara yang berani.”
nenek tambah muda jika tetangga cerita tentang tentara, apalagi tentang kamu.
tapi, kadang-kadang tetangga bertanya: benarkah kamu ikut ke aceh untuk berperang?
mereka bilang, orang-orang yang menjadi musuh tentara itu, juga saudara kita?
dan tentara banyak menembak mereka?
benarkah itu cucuku?
nenek tak bisa jawab, jika orang bertanya tentang itu!
jelaskan ke nenek dalam suratmu, ya!?

surat nenek belum juga kamu balas!
sudah enam kali nenek kirim surat
tetangga terus bertanya
apa benar kamu ikut menembak orang?
tetangga kita cerita pada nenek, saudaranya di aceh mati terbunuh,
kepalanya dipenggal, dia dibunuh tentara!
kini tetangga itu tidak mau lagi menegur nenek, sebab cucu nenek seorang tentara.
nenek tidak suka kalau cucu nenek jadi tukang tembak orang.
nenek benci, nenek telah bakar semua albummu.
mengapa kamu tidak balas surat nenek!?
nenek tak bangga lagi, nenek tak senang lagi, kamu tidak gagah lagi!

ini surat nenek yang terkhir kali,
jika belum juga kamu balas, nenek akan pergi ke aceh, ke tempatmu berperang itu!
nenek akan paksa kamu pulang, nenek tak ingin kamu membunuh orang,
apalagi saudara kita!
berdosa membunuh orang!


‘surbat titik cepat pulang nenekmu sakit keras titik’
surbat haus, ia tidak pulang
ia suka lihat orang mati di matanya.


Padang, 17 Agustus 1999- 9 Desember 2002

Kubenam Selusin Peluru di Jantung Garuda

—dedikasi untuk saudaraku di aceh—

ia dalam busana loreng memanjangkan rambut
untuk mengikat kaki garuda yang selalu disandang di dada
dan mematuhkan paruhnya di bangkai-bangkai saudaranya yang disembelih tiap pagi
: sebuah kemenangan
tentu ia menyisir saban hari bebuluan garuda yang dipeliharanya menjelang dewasa
barangkali, iapun metamorfosis dari palasik yang disuarakan jakarta
sekalipun seekor burung murai batu lebih berharga daripada garuda,
yang tidak pernah diajarkan menggeleng,
yang tidak pernah bersuara,
yang tidak pernah menitikkan airmata,
dan heh, ia anggap pula unggas yang paling cerdas di muka bumi
“milik bangsa kita,” katanya.
ehm, siapa yang tak jengkel!


Padang, 1999-2003

Friday, February 23, 2007

Kesaksian Seorang Algojo

.oleh nasrul azwar


“seekor kelabang hitam nyanyikan jeritan
lemparkan sejuta bisa
saat laras akan mencabik dinihari
kulihat siulnya pada paku dan selubung hitam
yang kutahu, sampai kini keinginannya tak pernah ada,” kata seorang algojo kepada anak sulungnya.

“ia koyak langit malam
ia congkel perut bumi
ia telan semua nyawa
lalu dimuntahkan di wajah pemegang keadilan
katakanlah: sebuah kerja sia-sia,” ucap algojo itu kepada anak bungsunya.

“kini, disaksikan bulan mencibir itu,
kelelawar yang mengepak
lambang, atribut, dan isi kitab
:lakukan eksekusi wahai kedua anakku.”

halilintar membelah subuh
“perintah telah dilaksanakan,” koor mereka

Padang, 1995-2002