KODE-4

Thursday, February 15, 2007

Ironi Kemerdekaan dan Bung Hatta

OLEH Nasrul Azwar

Barangkali, jika saja Bung Hatta hidup pada saat kini, dan menyaksikan kondisi rakyat di negeri ini, pasti saja Hatta menagis. Paling tidak sesaat Hatta akan menggeleng-gelengkan kepalanya, dan airmatanya berderai-derai bercucuran. Tentu saja, karena kondisi sebagian besar rakyat Indonesia kini masih didera kemiskinan dan kesengsaraan. Sepertinya, apa yang diperjuangkan selama hayatnya, berhenti sia-sia. Dan sementara itu anggota legislatif (DPR) D hanya berteriak terus agar gajinya ditingkatkan. Hal demikian diilustrasikan jika Bung Hatta lahir di tahun 40-an misalnya. Ternyata Hatta lahir bukan di tahun itu. Ia lahir seabad yang lalu. Kita masih bisa bersyukur, Hatta tidak menyaksikan hal itu.

Setahun terakhir, tokoh-tokoh dari pelbagai kalangan – semenjak dari Pusat hingga daerah -- merancang Peringatan 100 tahun Bung Hatta. Puncak dari serangkaian kegiatan, yang cenderung jauh dari nilai-nilai kerakyatan itu, berlangsung klimaks pada tanggal 12 Agustus 2002 lalu.

Konon, untuk daerah Sumatra Barat, juga dibentuk panitia untuk Peringatan 100 Tahun Bung Hatta ini, yang sudah tentu di-SK-an Gubernur Sumatra Barat. Dan sudah pasti pula, anggaran dana untuk kesuksesan dan kelancaran program Peringatan 100 tahun Bung Hatta dikucurkan dari pundi-pundi APBD Sumatra Barat. Kabarnya – dari informasi yang beredar – hampir mencapai Rp 350 juta.

Tentu dana sebesar itu, bagi seorang Hatta cukup banyak. Dan menjadi sangat ironis sekali jika dana sebesar itu, jika dikaitkan dengan motto Peringatan 100 Tahun Bung Hatta: hemat, santun, dan jujur. Kita dapat mengatakan bahwa Bung Hatta tidak akan setuju uang rakyat dihambur-hamburkan hanya semata memperingati 100 Tahun Bung Hatta dengan pola seremonial dan upacara-upacaraan para pejabat, dan bisa juga sebaliknya Hatta hanya diam-diam saja melihat hal demikian.

Inilah ironi sebuah bangsa saat kehilangan sosok kepemimpinan yang dipercayanya. Ada kerinduan di dalamnya, dan juga kamuflase. Paling tidak, inilah gambar yang terpotret dari prosesi Peringatan 100 Tahun Bung Hatta yang berlangsung di negeri ini. Dan ada ironi, yang kadang sangat menyakitkan, ketika masyarakat Batuhampa dan juga Auatajungkang tidak tahu bahwa Bung Hatta akan diperingati secara besar-besaran.

Jika soal ketidakterlibatan dan tak kesertaan masyarakat dalam Peringatan 100 Tahun Bung Hatta ditelusuri lebih dalam, ada cerita yang cukup tragis dari Batuhampa. Ceritanya begini. Dalam falsafah Minangkabu, ada yang disebut milik dan punya. Bung Hatta memang milik bangsa Indonesia, tetapi Bung Hatta itu punya masyakat Batuhampa. Akan tetapi, ketika akan dilaksanakan Peringatan 100 tahun Bung Hatta sebagai “program” nasional, tak satupun dari pihak keluarga Bung Hatta di Batuhampa yang dibawa serta, atau paling tidak diajak berunding. Inilah ironi yang tentu saja menyakitkan bagi pihak keluarga dan keturunan Bung Hatta di Batuhampa dan juga di Auatajungkang.

Kini Peringatan 100 tahun Bung Hatta telah berlalu. Hattta sendiri barangkali tidak tahu ia diperingati dan dirayakan besar-besaran? Dan ia sendiri mungkin gembira, karena orang-orang yang ditinggalkannya masih mengenangnya, atau bisa juga Hatta akan bertanya: untuk apa ia diperingati jika rakyat yang ia perjuangkan selama hayatnya tidak pernah merasakannya? Dan juga Hatta akan berpikir seribu kali untuk melakukan kerja menghamburkan uang dan terlihat ria itu?

Kini kita akan saksikan lagi, drama terakhir Peringatan 100 Tahun Bung Hatta dengan penurunan spanduk dan poster-poster. Sebelumnya, terutama Kota Padang, setiap pojok dan sudut kota spanduk-spanduk bergantung dengan tema yang seragam dan kalimat yang seragam: santun, jujur dan hemat. Tentu, kini spanduk-spanduk itu sudah kadaluarsa. Kalimat-kalimat yang tertera di spanduk itupun tidak ada lagi artinya. Peringatan itu telah berlalu. Dan orang-orang yang lalu-lalang di bawah spanduk-spanduk itu tak akan ingat lagi, apa arti dari kalimat-kalimat yang ditulis di spanduk itu. Demikian juga dengan pejabat-pejabat yang di daerah dan juga pusat, tentu akan mencari siapa lagi tokoh yang pantas diperingati untuk kelahirannya 100 tahun.

Sepintas memang ada krisis figur dan sosok dalam perjalanan bangsa ini, sehingga ada semacam kelatahan dan “kerinduan” untuk mengingat dan merayakan figur yang telah tiada. Namun, kelatahan itu cenderung menghilangkan makna dari sisi perjuangan serta komitmen pada rakyat. Dan kelatahan ini merayap di benak para pejabat dan politisi negeri ini. Maka, kita tak perlu heran jika sepanjang tahun akan ada peringatan-peringatan 100 tahunan, dan dirayakan besar-besaran.

Peringatan 100 tahun Bung Hatta yang baru usai dirayakan pejabat-pejabat, bukan rakyat, tentu hanya menjadi sebuah proyek yang berarti bagi panitia saja dan pejabat, sekali lagi bukan bagi rakyat. Pola penyelenggaraan yang cenderung dari kemauan yang di atas, memang tidak ada artinya bagi masyarakat bawah. Penyelenggara Peringatan 100 Tahun Bung Hatta telah melakukan kesalahan besar, karena tidak melibatkan masyarakat secara langsung dan tidak mengajak rakyat secara transparan. Dan pola ini seperti mencerabutkan pikiran kerakyatan Bung Hatta secara sistematis, dan tentu menjauhkan Bung Hatta dari rakyat Indonesia. Ini perlu dikritisi dan perlu dihentikan pola yang sistematis demikian. ***

No comments:

Post a Comment