OLEH Nasrul Azwar
Festival Minangkabau—semula bernama Pekan Budaya—dari pelbagai informasi yang berkembang akan diselenggarakan pada 19 – 26 November 2004. Rencana Festival Minangkabau dikesankan sebagai iven kelanjutan dari Pekan Budaya yang sebelumnya pernah digelar di Sumatra Barat. Tujuannya dasarnya adalah mendenyutkan aktivitas seni dan budaya Minangkabau sebagai aset kebudayaan yang pantas dilestarikan dan dijaga, terutama kesenian tradisi, juga, tentu saja, arahnya untuk menarik hati wisatawan mancanegara dan lokal agar datang ke daerah ini. Maka, Festival Minangkabau dimungkinkan sebagai iven yang mengentalpekatkan aspek-aspek wisata di dalamnya.
Dengan dasar dan tujuan yang demikian itu, janganlah berharap besar pada Festival Minangkabau itu kita akan menyaksikan pertunjukan seni yang memiliki kualitas yang bersandar pada aspek seni kontemporer, pertunjukan seni dari seniman yang melakukan perjelajahan kreativitas, inovatif, proses pencapaian-pencapaian baru dalam ranah seni dan budaya. Jangan juga meminta kehadiran pertunjukan seni tradisi Minangkabau yang pelakunya sendiri telah berpuluh-puluh tahun mengawal kesenian itu sendiri. Karena tujuan dasar adalah pariwisata, maka yang paling diutamakan adalah semarak, ramai, massal, dan instant.
Dari beberapa puluh kali rapat untuk merancang program ini, baik yang diadakan di Kantor Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya (Parsenibud) Provinsi Sumatra Barat, maupun di Kantor Gubernur Provinsi Sumatra Barat, namun sampai kini banyak hal yang belum jelas, baik itu posisi dan peran masing-masing lembaga, arah, bentuk, tujuan program ini, serta posisi seniman dan budayawan, maupun mekanisme penyelenggaraannya. Sehingga, agenda rapat seolah berkisar di dalam kain sarung saja. Itu ke itu saja yang dibicarakan setiap rapat. Kondisi dan sikap demikian jelas sangat-sangat menyebalkan.
Kini, Surat Keputusan Gubernur telah diterbitkan untuk meletakkan “dasar hukum dan legalitas” dari penyelenggaraan Festival Minangkabau ini. Jumlah panitia penyelenggara di luar pelindung dan panitia pengarah, melebihi 200 orang. Jumlah yang cukup dasyat, memang, untuk ukuran sebuah iven tingkat provinsi. Maka, jangan bicara tentang efektivitas dan efesiensi di dalam penyelenggaraan iven ini. Karena, hal itu sama dengan meludah ke atas langit. Dan jangan pula mempertanyakan, ukuran dan indikator apa yang digunakan untuk menyebut Festival Minangkabau 2004 ini sukses dan berhasil. Karena memang tak ada ukurannya. Memang tak ada standarnya.
Pada awal rapat di Dinas Parsenibud, telah muncul kepermukaan bahwa iven ini akan dilaksanakan sebuah Event Organizer (EO), kata Asrien Nurdin, pimpinan rapat saat itu, yang sudah berpengalaman dalam penyelenggaraan iven serupa. Dengan dibungkus beragam alasan, saat itu Kepala Dinas Parsenibud Provinsi Sumatra Barat telah merekomendasikan dan memberi referensi bahwa Festival Minangkabau tidak bisa tidak, harus dilaksanakan oleh EO itu. Alasan yang disampaikan saat itu adalah keterbatasan dana penyelenggaraan yang dialokasikan dalam APBD 2004 hanya Rp 650 juta, dan EO dinilai dapat mencari tambahan dari pihak sponsorship dan donatur lainnya.
Jelas, rencana iven ini diselenggarakan oleh organizer mendapat tantangan serta penolakan keras dari pelbagai pihak terkait, baik DKSB maupun Taman Budaya Sumatra Barat, dan juga budayawan dan seniman yang hadir saat itu maupun yang mendengar informasi ini. Rapat selanjutnya pun jadi tidak berkeruncingan. Keterlibatan EO itu secara langsung terhadap penyelenggaraan Festival Minangkabau, dinilai pelbagai pihak sebagai pelecehan terhadap keberadaan lembaga atau institusi kesenian dan kebudayaan, termasuk seniman dan budayawan di Sumatra Barat. Tepatnya, seniman dan pelaku seni sebagai buruh di “rumahnya” sendiri. Memang, pada akhirnya EO sebagai penyelenggara Festival Minangkabau 2004 dibatalkan.
Pola ini memang tidak serta-merta diterima sebagai apa adanya, karena di dalam rencana penyelenggaraan Festival Minangkabau itu sendiri, juga ditunggangi dengan kepentingan politik menjelang pemilihan Gubernur Sumatra Barat di tahun 2005. Artinya, ada “proyek” kepentingan posisi jabatan di dalamnya. Festival Minangkabau hanya salah satu “jembatan” untuk menuju kursi SB-1 bagi para pejabat yang kini berada pada kursi yang memiliki potensi besar untuk mengantarkankanya ke SB-1 itu. Festival ini hanya diasumsikan sebagai “pembujuk” publik Sumatra Barat: bahwa pemerintah sangat peduli dengan seni dan kebudayaan. Benarkah itu intinya? Saya kira bukan. ***
No comments:
Post a Comment