KODE-4

Wednesday, August 29, 2007

September, Nasib 10 Bekas Anggota DPRD Sumbar Keluar

Setelah lebih dari dua tahun tidak jelas juntrungannya, permoho­nan kasasi 10 mantan anggota DPRD Sumatra Barat periode 1999-2004 bakal menemukan titik terang. September mendatang akan diputus. Sementara 33 anggota lainnya yang sudah divonis, namun belum dieksekusi. Eksekusi baru bisa dilaksanakan, jika kasasi yang 10 orang itu sudah diputuskan MA. Juru bicara Mahkamah Agung, Joko Sarwoko, SH, MH., kepada Singga­lang di Jakarta, Selasa (28/8), mamastikan pertengahan September itu sudah akan ada keputusan hakim kasasi soal nasib 10 mantan anggota dewan tersebut.

“Mudah-mudahan September ini klir . Sekarang dalam masa edaran kedua. Saya kira, setelah Rakernas MA selesai, masalah kasasi anggota DPRD Sumbar itu sudah tuntas,” ujar Joko yang ditanya di sela-sela pelantikan H. Suparno, SH, sebagai Kepala Pengadilan Tinggi (KPT) Padang, oleh Ketua Mahkaman Agung Prof. Bagir Manan, di Jakarta, Selasa (28/8) siang. Ia melanjutkan, dalam proses hukum, adanya keterlambatan mengam­bil suatu keputusan itu adalah hal biasa. Dalam edaran tingkat pertama, antara hakim yang menyidangkan kasus ini terjadi perbe­daan pendapat sehingga tidak melahirkan sebuah keputusan. Lalu ada edaran kedua yang kini tengah berjalan.

Mantan Ketua KPT Padang ini memperkirakan usai Rakernas Mahkamah Agung yang akan dilaksanakan di Makassar, permohonan kasasi 10 mantan anggota dewan yang dipidana melanggar PP-110 itu sudah bisa diputuskan dan diumumkan. “Saya kira, tidak akan sampai edaran ketiga. Mudah-mudahan cepa­tlah, supaya kepastiannya jelas,” ujarnya. Ketika ditanya kenapa keputusan majelis hakim kasasi sampai berlarut-larut? Padahal 33 terpidana yang sama sudah diputuskan permohonan kasasinya ditolak beberapa waktu lalu, Sarwoko enggan berkomentar. “Saya tidak tahu di mana ganjalannya. Saya tidak mau bicara soal substansi perkara. Yang jelas, September atau perten­gahan September masalah ini sudah tuntas,” katanya. Menyangkut permohonan kasasi sejumlah terpidana dari DPRD Kota Padang, Sarwoko mengaku belum tahu perkembangannya. “Tunggu sajalah,” kata dia sambil berlalu.

Sebuah sumber di MA, kemarin menyebutkan, kalau kasasi 10 mantan anggota DPRD Sumbar itu ditolak, maka mereka akan dieksekusi ke penjara bersama 33 lainnya. “Setahu saya, peninjauan kembali (PK) yang diajukan 33 anggota dewan tidak menghalangi eksekusi,” sebut sumber itu sembari menambahkan, rasa keadilan masyarakat tentu belum terpenuhi karena masih ada beberapa mantan anggota dewan lainnya yang sama-sama tersangkut kasus, namun belum tersentuh oleh hukum. Sejauh itu, sumber tersebut maupun Joko Sarwoko sendiri tidak bisa memprediksi apa hasil keputusan hakim kasasi itu nanti.

Pulang kampung

H. Suparno, SH yang kemarin dilantik menjadi KPT Padang bersama I. Gusti Ngurah Suparka, SH sebagai KPT Denpasar, Rivai Rasyad, SH sebagai KPT Mataram, Agustinus Loto Runggu, SH, sebagai KPT Manado dan Ketua Pengadilan Tinggi Agama sejumlah provinsi itu, kembali pulang kampung ke Ranah Minang. Putra Tanah Datar kelahiran yang jarang berulang tahun karena lahir tanggal 29 Februari 1944 ini, pernah menjadi hakim dan menjadi Ketua Pengadilan Negeri Padang tahun 1997. Setahun kemu­dian dipindahkan ke Semarang dengan jabatan yang sama dan bebera­pa lama pula di Makassar .

Sejak 2001, Suparno ditarik ke Mahkamah Agung dengan menempati tiga posisi direktur, masing-masing Direktur Hukum dan Peradilan, Plt. Direktur Tata Usaha Negara (TUN) dan Plt Direktur Pidana. Sepuluh bulan yang lalu, sebelum dipulangkan ke Padang sebagai KPT, Suparno yang sudah 38 tahun menjadi hakim ini menjadi Wakil Ketua PT Palembang. “Sekarang saya pulang kampung lagi. Saya akan berusaha bekerja sebaik mungkin, mengevaluasi peradilan dan melakukan pengawasan terhadap para hakim,” ujarnya. Dengan dilantiknya Suparno sebagai KPT Padang ini, berarti sudah dua alumni Fakultas Hukum Unand yang menduduku posisi penting dalam penegakkan hokum di Sumatra Barat. Beberapa waktu lalu, H. Winerdy Darwis, SH, MH, dipercaya menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatra Barat. dieksekusi jaksa. Padahal pasal 268 KUHAP menyatakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap walaupun terpidana melakukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) tidak menghalangi eksekusi.

Berkas Terakhir
Berkas yang belum divonis MA tersebut menyebabkan Kejaksaan belum mengeksekusi 33 mantan anggota DPRD Sumbar yang kasasinya telah ditolak tanggal 2 Agustus 2005 lalu. Berkas tersebut berkas H. Marfendi Cs., dengan jumlah keseluruhannya 10 orang. Namun kini mereka tinggal delapan orang lagi karena H. Muhammad Yunus Said dan Lief Warda meninggal dunia beberapa waktu lalu dan dua dia­ntaranya kembali duduk sebagai anggota DPRD Sumbar periode 2004-2009 yakni Hendra Irwan Rahim dan Marhadi Efendi.o 501/107

ANGGOTA YANG BELUM DIVONIS MA
1. H. Marfendi
2. Hilma Hamid
3. H. Sueb Karsono
4. Hendra Irwan Rahim # (Terpilih Kembali)
5. Djufri Hadi
6. Lief Warda (almarhum)
7. Alfian
8. Marhadi Efendi # (Terpilih Kembali
9. Syahril BB
10. H. Muhammad Yunus Said (almarhum)

Harian Singgalang, Rabu,29 Agustus 2007

Friday, August 24, 2007

Mengapa Saya Menurunkan Sajak-sajak Saeful Badar?

Oleh Rahim Asyik
TULISAN ini saya buat sebagai sebentuk pertanggungjawaban, barangkali pembelaan –bukan permintaan maaf-- terhadap hal-hal yang terjadi menyusul terbitnya salah satu sajak karya Saeful Badar.
Kurang lebih dua tahun lalu saya menerima warisan "Khazanah" dalam citra yang karut marut (kata karut marut mungkin berasal dari harut marut. Harut dan Marut adalah nama sepasang malaikat yang diturunkan Tuhan di sebuah sumur di Negeri Babil. Kedua malaikat ini mengajarkan sihir kepada manusia sehingga dengan sihir itu seseorang dapat menceraikan pasangannya (lihat Albaqarah: 102).

Sunday, August 19, 2007

Pementasan Nyai Ontosoroh


Luka Baru Nyai Ontosoroh

KILAS BALIK, Artis Happy Salma (kanan) memerankan tokoh Nyai Ontosoroh saat pementasan teater dengan lakon Nyai Ontosoroh, 12-14 Agustus 2007 di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.

Kekuatan teks lakon Nyai Ontosoroh terletak pada pergulatan sang tokoh menghadapi realitas hidup.Sebuah inspirasi bagi kaum perempuan saat ini.

Pementasan Teater Nyai Ontosoroh

Perlawanan Ontosoroh

OLEH Ilham Khoiri

"Kita telah melawan, Nak, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya!"

Sambil berucap, Nyai Ontosoroh berdiri tegak, kepala mendongak. Menantunya, Minke, masih tercenung dengan hati terluka. Keduanya mengenang kepergian Annelies, putri Ontorosoh yang sekaligus istri Minke, yang dipaksa pulang ke negeri Belanda.

Nyai itu berjuang mati-matian mempertahankan anak kandungnya. Tapi, Pengadilan Amsterdam memutuskan Annelies dikembalikan ke negeri asalnya. Ikatan darah pribumi dikalahkan oleh hukum kolonial yang memihak bangsa Eropa.

Friday, August 17, 2007

MANIFESTO BOEMIPOETRA


Beberapa tahun terakhir ini rakyat Indonesia banyak mengalami musibah besar yang merubah kehidupan mereka seperti terjadinya tsunami dan gempa bumi. Tapi tsunami dan gempa bumi adalah musibah yang memang tidak bisa dicegah terjadinya oleh kekuatan manusia karena merupakan bencana buatan alam. Bencana alam hanya bisa diterima dan menjadi tanggung jawab bersama korban dan bukan-korban untuk menanggulangi akibatnya.

Ini berbeda dengan bencana lain yang disebabkan oleh kelalaian manusia. Kelalaian manusia karena keserakahan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi sebesar-besarnya dan tidak adanya tanggung jawab atas akibat yang mungkin diakibatkan sebuah perbuatan merupakan penyebab utama terjadinya bencana seperti yang terjadi di Porong Sidoarjo, Jawa Timur. Sudah lebih satu tahun ribuan rakyat Porong Sidoarjo telah menjadi korban lumpur beracun yang disebabkan oleh perusahaan Lapindo. Puluhan kampung musnah selamanya dan ratusan hektar tanah berubah menjadi danau lumpur beracun yang tidak mungkin untuk dimanfaatkan lagi oleh manusia. Semua ini terjadi karena kelalaian perusahaan Lapindo yang pemiliknya adalah Keluarga Bakrie.

Dalam konteks inilah penganugerahan Bakrie Award setiap tahun kepada tokoh-tokoh yang dianggap berprestasi besar dalam kebudayaan Indonesia adalah sebuah penghargaan yang sangat melecehkan kemanusian. Karena sementara ribuan rakyat Porong Sidoarjo korban lumpur Lapindo makin sengsara kehidupan sehari-harinya, Bakrie malah menghambur-hamburka n uang hanya untuk mencari nama semata. Di samping Kasus Lapindo, Bakrie dengan lembaga Freedom Institute-nya juga telah menyengsarakan rakyat Indonesia dengan cara memasang iklan raksasa di media massa nasional yang mendukung kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) beberapa waktu lalu.

Kami mengecam keras politik pemberian penghargaan Bakrie Award karena bagi kami hanya sebuah usaha manipulatif untuk mempengaruhi pendapat-publik atas reputasi Bakrie dan Freedom Institute sehubungan dengan Kasus Lapindo dan iklan mendukung kenaikan harga BBM di media massa. Kami mengecam keras para "budayawan" penerima Bakrie Award yang tidak memiliki solidaritas nasional dengan ribuan korban lumpur Lapindo dan jutaan rakyat korban kenaikan harga BBM. Kami menuntut Keluarga Bakrie dan perusahaan Lapindo-nya untuk segera melaksanakan tanggung jawabnya memberikan semua ganti rugi seperti yang diminta para korban lumpur Lapindo secepatnya. Kami menuntut para penerima Bakrie Award untuk memberikan hadiah uang sebesar Rp 100 juta yang mereka terima sebagai bagian dari penghargaan Bakrie Award kepada para korban lumpur Lapindo di Porong Sidoarjo secepatnya. Karena merekalah yang paling berhak untuk menerima uang tersebut sebagai kompensasi atas musibah besar yang ditimpakan atas kehidupan normal mereka. Sebagai solidaritas nasional kami meminta kepada para budayawan Indonesia untuk menolak dipilih sebagai penerima Bakrie Award di tahun-tahun yang akan datang kalau Kasus Lapindo belum diselesaikan Keluarga Bakrie sebagaimana mestinya.
Tangerang, 17 Agustus 2007

Saut Situmorang
Ahmadun Yosi Herfanda
Wowok Hesti Prabowo
Koesprihyanto Namma
Mahdiduri
Gito Waluyo
Viddy A Daeri
Jumari HS

Monday, August 13, 2007

Sajak Malaikat yang Kontroversial


Beberapa waktu lalu, karya fiksi berupa puisi yang dimuat lembaran budaya "Khazanah" Pikiran Rakyat, Sabtu, 4 Agustus 2007 karya Saeful Badar berjudul "Malaikat" mendapat soroton dan kecaman keras dari DDII Jawa Barat. Pihak Redaksi Pikiran Rakyat dan penulisnya sendiri sudah meminta maaf secara terbuka.

Sebagai fakta "sejarah" dan mungkin suatu saat berguna, maka saya postingkan di blog saya. Dan ini tak ada maksud apa-apa. Cuma sebagai fakta semata.
Sajak itu dapat diklik di SINI

PIKIRAN RAKYAT, SABTU, 4 AGUSTUS 2007 Sajak- Sajak Saeful Badar

PANTAI CIMANUK, 1

Bersama laut aku ngelangut
Dihempas ombak dan kepak camar
Menyurutkan kabut.

2007

PANTAI CIMANUK, 2

Pecahan kabut mengurai kenanganku
Ke ufuk terjauh dari cintaku

Aku terlelap dalam jubah malam
Menuju kediaman yang asing dan menakutkan
Di sela-sela bayang hitam pohonan dan karang
Yang mengirim hantu-hantu dan mambang

Di langit bulan melolong sendirian
Bersama kelelawar liar dan burung-burung malam
Angin dan api berjilatan di dada hampa
Mendeburkan syahwat di geliat ombak
Dan ketiadaan diri. Lantas
Mengabadikan sepi pada pahatan-pahatan cinta
Yang mengkristal jauh di lubuk hati

2007

MALAIKAT

Mentang-mentang punya sayap
Malaikat begitu nyinyir dan cerewet
Ia berlagak sebagai makhluk baik
Tapi juga galak dan usil
Ia meniup-niupkan wahyu
Dan maut
Ke saban penjuru.

2007

PENYAIR

Menerjuni kabut
Cahaya berjatuhan
Dari langit syahwatku
Kata-kata pun berseliweran
Bagai bus dan angkot cari muatan
Sementara aku adalah sopir
Sekaligus penumpang yang keringatan
Seharian.

2007

SAEFUL BADAR, lahir di Tasikmalaya. Menulis puisi dalam bahasa Indonesia dan Sunda. Karya-karyanya dipublikasikan di berbagai media. Buku puisinya yang telah terbit Notasi-Notasi Kecil (FSB, 1997) dan Epigram untuk Soeharto (SST, 2001). Karya-karya lain terhimpun dalam beberapa antologi bersama, yang terbit di Tasikmalaya, Bandung, dan Yogyakarta. Antara lain Cermin Alam (Taman Budaya Jawa Barat, 1997), Gerbong (Antologi cerpen dan puisi Indonesia Modern, Yayasan Cempaka Kencana Yogyakarta, 1998), Heulang Nu Ngajak Bengbat (Kiblat Buku Utama), Poligami (SST, 2003), Orasi Kue Serabi (GKT, 2001). Hingga kini bersetia mengelola Sanggar Sastra Tasik (SST), di samping aktif pula di Komunitas Azan.***



Pernyataan DDII Jawa Barat

PADA lembaran budaya "Khazanah" Pikiran Rakyat 4 Agustus 2007, telah dimuat sajak karya Saeful Badar, berjudul "Malaikat". Setelah membaca sajak tersebut, menimbang serta menilai dari berbagai sudut dan aspek, serta demi mencegah terulangnya kasus serupa pada masa mendatang, maka dengan ini kami berpendapat.

  1. Sajak berjudul "Malaikat" karya Saeful Badar tersebut, jauh dari nilai estetika seni sastra, sekaligus tidak mengandung etika penghormatan terhadap agama, khususnya agama Islam. Oleh karena itu, sajak tersebut dapat dikategorikan menghina agama, khususnya Islam.

  1. Jika penulisan dan pemuatan sajak tersebut dilakukan tanpa ada maksud melecehkan Islam, hal itu mengindikasikan "kebodohan" penulis dan redaktur tentang konsep malaikat dalam agama-agama samawi, khususnya Islam.

  1. Jika penulisan dan pemuatan sajak tersebut dilakukan dengan sengaja untuk memancing amarah umat Islam dan menista ajaran Islam, tindakan tersebut serupa dengan apa yang dilakukan para penista Islam, seperti kasus Salman Rushdie dengan novel "Ayat-ayat Setan", koran Jylland-Posten Denmark dengan karikatur Nabi Muhammad saw., dan kasus-kasus lainnya yang dinilai melecehkan Islam dan kaum Muslimin.

  1. Menerima permohonan maaf pihak Pikiran Rakyat seperti dimuat di halaman I "PR" edisi Selasa, 6 Agustus 2007, juga mengapresiasi tindakan Redaksi "PR" yang segera menyatakan pencabutan sajak tersebut dan menganggapnya tidak pernah ada.

  1. Kami menganggap permohonan maaf saja tidak cukup, karena ini menyangkut akidah Islam, sehingga harus ada tindakan lebih jauh, seperti klarifikasi tentang sosok malaikat yang sebenarnya, sekaligus meng-counter opini yang dibangun penulis sajak lewat judul sajak "Malaikat" yang telanjur dipublikasikan.

  1. Menuntut Pikiran Rakyat melakukan tindakan setimpal, baik terhadap penulis sajak itu, maupun redaktur yang memuatkannya, berupa mem-black list Sdr. Saeful Badar atau mencekalnya dari daftar kontributor sajak "PR", sehingga ia minta maaf secara terbuka kepada umat Islam atas kekhilafannya.

  1. Dalam konsep ajaran Islam, Malaikat adalah satu dari sekian banyak makhluk ciptaan Allah SWT yang mendapat keistimewaan tersendiri. Mereka merupakan makhluk rohani bersifat gaib, tercipta dari cahaya (nur), selalu tunduk patuh, taat, dan tak pernah ingkar kepada Allah SWT. Malaikat menghabiskan waktu siang-malam untuk mengabdi kepada Allah SWT. Mereka tidak pernah berbuat dosa dan tidak pernah mengerjakan apa pun atas inisiatif sendiri, selain menjalankan titah kuasa perintah Allah SWT semata. Mereka diciptakan Allah SWT dengan tugas-tugas tertentu.

  1. Bagi umat Islam, percaya (iman) kepada Malaikat, adalah bagian dari rukun Iman yang enam, di samping iman kepada Allah, Rasul-rasul Allah, Kitab-kitab Allah, Qodlo-Qodar (takdir), dan hari akhir. Iman kepada Malaikat menjadi bagian terpenting dari tauhid (mengesakan Allah) dan membebaskan manusia dari syirik (menyekutukan Allah).

  1. Dengan demikian, bagi umat Islam, Malaikat bukan sosok yang bisa dipermainkan atau diolok-olok, baik oleh ucapan, kalimat, maupun tindakan, oleh seorang penyair, sekalipun atas nama kebebasan berekspresi.

  1. Mengharapkan Redaksi "PR", penyair, dan masyarakat pada umumnya, untuk berhati-hati dalam berkarya, menulis, ataupun tindakan lain yang dapat dinilai menista agama, dan menyinggung keyakinan umat Islam.

Mahasuci Allah yang telah menciptakan Malaikat dengan segala kesucian dan ketakwaannya, dari segala cercaan dan penyipatan batil manusia tak bertanggung jawab.

H.M. Daud Gunawan
Wakil Ketua Umum
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia- Jawa Barat


Dari Redaks Pikiran Rakyat

Terima kasih. Kami telah memohon maaf atas pemuatan sajak tersebut pada peneribtan "PR" 6 Agustus 2007 halaman 1 dan menyatakan bahwa sajak tersebut dicabut dan dianggap tidak pernah ada.

Permohonan Maaf dan Penyesalan Saeful Badar

MEMBACA permohonan maaf Pikiran Rakyat (Senin, 6 Agustus 2007) atas pemuatan puisi saya berjudul "Malaikat" yang dimuat lembar budaya "Khazanah", Sabtu, 4 Agustus 2007 yang mendapat reaksi keras dari kalangan aktivis dan ormas Islam, saya telah dibuat merenung dan kemudian menyadari bahwa saya telah melakukan suatu kekhilafan dengan membuat puisi seperti itu.

Meski sebetulnya adalah hak dan kewenangan Redaksi "PR" untuk memuat atau tidak memuat setiap puisi yang dikirimkan, (dan sebetulnya saya telah mengirimkan beberapa puisi lain sebagai pilihan untuk dimuat), sebagai penulisnya, saya juga tidak hendak menyalahkan Redaksi. Karena ini adalah kekhilafan dan kesalahan besar yang telah saya lakukan sepanjang karier kepenyairan saya.

Untuk itu, dari lubuk hati yang paling dalam, saya memohon maaf yang sebesar-besarnya dan setulus-tulusnya atas kekhilafan ini. Apa yang telah saya tulis di puisi tersebut merupakan bentuk kedhaifan saya sebagai manusia dalam menginterpretasikan gagasan dan imajinasi tentang malaikat. Sama sekali, tak terbersit niatan untuk menghina apalagi melecehkan. Sebetulnya sebagai umat Islam, saya yakini pula bahwa malaikat itu sebagai makhluk Allah SWT yang sangat suci dan mulia. Saya tidak hendak berkilah lebih lanjut tentang hal ini, sebab kesalahan itu memang nyata telah saya lakukan. Oleh karenanya, saya merasa menyesal telah melakukan itu.

Adanya reaksi keras atas puisi tersebut, sangat-sangat saya pahami, dan hal itu saya terima sebagai satu teguran yang meski datangnya dari saudara-saudara saya para aktivis umat Islam, namun hakikatnya adalah dari Allah SWT. Insya Allah, kejadian ini akan senantiasa saya ingat sepanjang sisa hidup saya, dan akan saya ambil hikmahnya, agar kapan pun di kemudian hari, saya tidak melakukan kesalahan serupa. Seraya memohon ampunan kepada Allah SWT, sekali lagi saya memohon maaf yang sebesar-besarnya dan setulus-tulusnya dari saudara-saudara saya sesama umat Islam, baik yang berada di Bandung dan daerah-daerah lainnya di Jawa Barat maupun yang berada di mana pun di permukaan bumi ini. Atas perhatian dan maaf yang diberikan untuk kesalahan saya ini, saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Kepada Redaksi "PR" saya juga mohon maaf dan terima kasih atas dimuatnya surat ini.

Saeful Badar
Tasikmalaya 46122

Friday, August 10, 2007

Dua Tahun GAMMA:

Pertumbuhan Ekonomi Sumbar 6,14 Persen

Pertumbuhan ekonomi Sumbar mencapai 6,14 persen pada tahun 2006, sementara angka kemiskinan dapat ditekan 0,6 persen pada tahun terakhir. Sisi lain yang membesarkan hati, tahun ini masuk uang pemerintah ke Sumbar Rp12,5 triliun, naik dari tahun sebelumnya yang hanya Rp8 triliun. Peredaran uang yang bersumber dari APBD dan DIPA itu, hampir merata ke seluruh daerah, sesuatu yang dinilai bisa melecut pertumbuhan ekonomi daerah ini.

Gubernur Sumbar Gamawan Fauzi dan Wakil Gubernur Marlis Rahmat mengemukakan hal itu dalam silaturahminya dengan Singgalang , Kamis kemarin. Katanya pertumbuhan ekonomi dan menurunan angka kemiskinan itu, merupakan sesuatu yang bagus. “Penurunan kemiskinan itu data BPS,” kata Gamawan. Ia yakin, penurunan tadi ada kausalitasnya dengan banyaknya uang masuk ke Sumbar dan sebab-sebab lainnya. Pada 15 Agustus mendatang, pasangan Gamawan-Marlis (Gamma) genap dua tahun memimpin Sumbar. Banyak keberhasilan yang didapat, sementara pekerjaan lain terus menyusul.

Selama kepemimpinannya, ada PR-PR lama yang dituntaskannya pada tahun pertama kepemimpinan keduanya. Masing-masing agenda itu kata pasangan yang akrab disapa Gamma ini dilakukan hanya dalam rentang waktu tiga bulan. Agenda peninggalan gubernur sebelumnya itu menurut Gamawan dalam silahturahminya ke Harian Singgalang Kamis (9/8) yakni, persoalan PT Semen Padang dan beberapa soal lainnya. “ Ada empat tuntutan waktu itu. Tiga di antaranya telah selesai, saham pemerintah tetap dominan, Cemex hengkang dari PT Semen Padang dan hak-hak istimewanya dihilangkan. Satu lagi yang tinggal dalam masalah PT SP ini adalah spin off yang kini diproses, karena sekarang sedang restrukturisasi,” paparnya. Bukan bermaksud membanggakan diri, perjuangan 10 tahun itu berha­sil hanya dalam waktu tiga bulan. Begitu juga dengan perubahan status Bank Nagari, perjuangan embarkasi haji dan pembangunan Masjid Nurul Iman. “Masing-masingnya dalam rentang tiga bulan,” tegasnya lagi.

Di masa dua tahun kepemimpinan Gamma juga dibuat sejumlah jalan. Pembangunan jalan baru, memang sudah lama tidak ada, kecuali pelebaran semata. Proyek infrastruktur jalan nasional juga berha­sil digaet ke Sumbar. Sebut saja, jalan Sicincin-Malalak dengan panjang 41 Km. “Tahun ini kita juga akan memulai pembangunan jalan dari bandara menuju akses Jalan Airport ke Sicincin sepan­jang 16 km,” bebernya yang kemarin diikuti pula Kabag Humas Setdaprov Sumbar, Fachril Murad dan Kabag Pemberitaan, Zulnadi. Masih tahun ini, rencananya juga akan dibuka akses jalan dari Solok tembus ke Pesisir Selatan. “Jalan-jalan baru banyak kita buka, bukan lagi hanya sekedar menambal sulam,” paparnya.

Kemiskinan

Sementara dari sisi pengentasan kemiskinan, menurut BPS telah tercapai penurunan angka kemiskinan sebesar 0,6 persen dari 12,7 persen. Sampai 2009 atau diakhir masa jabatannya, Gama menarget­kan angka itu turun sampai 10 persen dari total penduduk Sumatra Barat. “Angka kemiskinan naik, turun atau tetap, selalu BPS yang merilis, bukan kita, data BPS terpercaya,” kata dia. Gamawan mengakui sedikit kecewa dengan kritik yang disampaikan terhadap keberhasilannya dalam menurunkan angka kemiskinan. Indikator kritikan itu pun tidak mendasar, sehingga terkesan sebagai asumsi yang tak logis. Padahal, selama ini berbagai upaya pengentasan kemiskinan itu terus dilakukan pasangan yang dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Sumbar, 15 Agustus 2005 lalu. “Apa yang tidak kita lakukan dalam mengentaskan kemiskinan. Mulai dari memberikan kredit kepada masyarakat sampai menyalurkan berbagai bantuan berupa bibit kakao, long tail dan lainnya,” paparnya sedikit kecewa.


Pengembangan kakao di Sumbar yang telah ditetapkan sebagai sentra kakao wilayah barat di Indonesia itu dinilainya sangat efektif menurunkan angka kemiskinan. Karena, untuk menanam kakao tidak butuh hamparan lahan yang luas. Cukup ditanam di sela-sela tana­man lainnya atau di pekarangan rumah. “Kalau sawit kita tidak mungkin lagi, karena lahan kita memang tidak ada lagi untuk itu,” ulasnya. Lagipula dalam pandangannya belum ada satu teori apapun juga yang mampu menghilangkan kemiskinan secara absolut dan serta-merta. Di tiap negara teori yang diterapkan selalu disesuaikan dengan kondisi daerah mereka masing-masing. Yang diterapkan juga jauh berbeda antara satu dengan lainnya. “Kalau ada teori itu, kita pasti akan pakai,” ujarnya sambil tertawa kecil.

Untuk pendidikan, berbagai upaya pun terus dilakukan. Mulai dari memberikan stimulan kepada anak-anak berprestasi, 110 anak-anak kurang mampu yang diterima di lima Perguruan Tinggi favorit sampai memberikan beasiswa bagi dosen yang akan mengambil gelar master. Juga ada dana untuk membiayai dua ribu guru. Agar uang yang beredar semakin banyak di Sumbar, gubernur terus berupaya mendapatkan dana dari pusat. Bahkan tawaran dari Direk­tur Utama Bulog, Mustafa Abu Bakar yang menyebutkan Sumbar bisa menjadi pelopor bebas Raskin menurutnya harus benar-benar diper­timbangkan kembali. Karena, di satu sisi amat menguntungkan ma­syarakat miskin, karena tak harus memikirkan membeli beras dengan harga tinggi. Konsekuensi lainnya, Sumbar menjadi malu dengan tingginya jumlah raskin yang masuk. “Tapi mana yang lebih pent­ing,” pungkasnya.

Gamawan bersilatuarhmi ke Singgalang , karena ia sudah dua tahun menjadi gubernur. Kemitraan dengan pers, katanya, selalu membuat ia menemukan bahan untuk diperbuat setiap pagi. “Pers selalu mengingatkan saya,” kata dia, yang diamini oleh Marlis. Pasangan ini, tak terdengar macam-macam. Kompak dalam menjalankan roda pemerintahan. Gamawan dan Marlis, merupakan gubernur pertama Sumbar dipilih langsung oleh rakyat, karena itu, ia menjadi bagian dari sejarah demokrasi di Ranah Minang. o 104

Singgalang, Jumat,10 Agustus 2007


Dua Tahun Gamawan Fauzi-Marlis Rahman, Paling Susah Merubah Mindset Pegawai

Tak berapa lama lagi, tepatnya 15 Agustus, Gamawan Fauzi-Marlis Rahman genap 2 tahun memimpin Sumatera Barat. Kendati masih belum optimal dalam pelaksanaan tugas dan merealisasikan program pembangunan, namun sejumlah program telah berhasil diselesaikan. Ketika “curhat” di Carano Room Padang Ekspres, kemarin, Gamawan mengaku hal paling berat yang dihadapinya adalah mengubah mindset para stafnya.

Didampingi Wagub Marlis Rahman dan Kabiro Humas Fachril Murad, Gamawan bertutur panjang lebar tentang kepemimpinannya di depan awak Redaksi Padang Ekspres, Padang TV, dan Pos Metro Padang.. “Mungkin masih banyak yang belum puas (dengan kebijakannya), namun itu semata-mata untuk menciptakan suasana Sumbar yang tenang tanpa ada konflik. Karena, ini akan menjadi kekuatan untuk Sumbar di masa depan,” kata Gamawan.“Tapi, bukan pula terlalu hati-hati. Jika memang saya harus menanggalkan jabatan gubernur maka saya akan pertaruhkan,” ulasnya.Diskusi yang dimoderatori Pemimpin Redaksi Padang Ekspres Oktaveri juga dihadiri Divisi Regional Head Riau Pos Group Divre Padang, Sutan Zaili Asril, Wakil Pemimpin Umum Wiztian Yoetri, dan jajaran redaksi lainnya.

Dalam dua tahun kepemimpinan GAMMA, sejumlah Pekerjaan Rumah (PR), sudah mulai diselesaikan satu per satu. Gamawan memaparkan sejumlah PR yang telah diselesaikannya. Mulai dari perubahan status Bank Nagari dari Perusahaan Daerah menjadi Perseroan Terbatas (PT), embarkasi haji, masalah dominasi Cemex di PT Semen Padang. Saat ini Cemex tidak lagi punya hal istimewa di PT SP, dan pemegang saham dominan tetap pemerintah. Selain itu juga, renovasi pembangunan Masjid Nurul Iman selesai dibangun setelah sempat terbengkalai. Sementara itu, perjuangan terhadap pengakuan perjuangan PDRI sebagai Hari Nasional, akhirnya terealisasi. “Semua itu pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan dengan waktu yang singkat. Sebenarnya masih banyak persoalan-persoalan yang perlu diselesaikan.

Mulai dari masalah pengangguran yang selalu bertambah dengan bertambahnya jumlah sarjana setiap tahun,” kata Gamawan dalam diskusi yang berlangsung hamper tiga jam tersebut. Banyak hal seharusnya dibenahi. Namun, Sumbar kata Gamawan secara bertahap melakukan pembenahan itu. Untuk peningkatan kualitas pendidikan, telah ada komitmen untuk menyekolahkan 1200 guru, memberikan beasiswa kepada 110 anak miskin, serta menyekolahkan 123 orang untuk mendapatkan gelar doktor. Persoalan lain, yang juga dihadapi hampir 52 persen penduduk Sumbar bergerak di sektor pertanian, di mana kepemilikan lahannya hanya 0,3 hingga 0,4 hektar saja. Ini hanya memberikan kontribusi PDRB hanya 27 persen.

Gubernur Sumbar Gamawan Fauzi dan Wagub Marlis Rahman kemarin, blak-blakan soal kinerja 2 tahun kepemimpinan mereka.

“Makanya perlu dilakukan pergeseran dari pertanian ke sektor jasa. Sektor yang memungkinkan ya, sektor pariwisata,” ulasnya. Empat hal, menurut Gamawan yang perlu direncanakan untuk jangka panjang. Yakni Sumbar dengan masa depannya pariwisata, pengembangan kualitas pendidikan, pengembangan kualitas kesehatan dan peningkatan ekonomi kerakyatan. Untuk ekonomi kerakyatan ini, telah dilakukan berbagai upaya kebijakan mulai dari penanaman kakao, revitalisasi karet hingga persoalan penggunaan kayu. Saat ini kata Gubernur, sedang dilakukan pembangunan jalan Sicincin-Malalak dengan panjang 41 km kemudian juga pembangunan jalan Simpang Duku-Sicincin.

Di tengah, berbagai persoalan tersebut, kata Gamawan yang mengenakan safari abu-abu tersebut dukungan dari bupati/walikota sebagai pemegang dan pemangku kekuasaan tertinggi di kabupaten/kota sangat diharapkan untuk bisa menciptakan Sumbar sebagai daerah tujuan pendidikan, pariwisata dan terciptanya iklim politik, ekonomi yang kondusif.Meski menjadi orang nomor satu di Sumbar, namun Gubernur mengakui tidak memiliki kewenangan penuh untuk mengambil kebijakan hingga kabupaten/kota. Ini merupakan dampak dari lahirnya UU No 32/2004 tentang pemerintah daerah, dimana kewenangan lebih banyak terletak di kabupaten/kota.“Meski sebagai gubernur, namun saya dan wagub hanya bisa menghimbau, meminta, dan koordinasi dengan bupati/walikota.Pengambil keputusan tetap saja bupati atau walikota,” ungkap Gamawan.

Padahal, kebijakan kabupaten/kota bukanlah akan berdampak pada Sumbar juga. Sehingga, itu tidak bisa saling dilepaskan. Makanya, kata Gubernur perlu dukungan dari bupati/walikota. Karena operasional terletak di kabupaten/kota. “Saat ini kita sedang menyusun Human Development Indeks (HDI). HDI ini akan menjadi pedoman bagi bupati/walikota nanti dalam penyelenggaraan pembangunan di daerahnya. Dalam ada HDI tersebut ada tiga yang menjadi kriteria, yaitu pendidikan, kesehatan, ekonomi. Dengan adanya HDI, bupati/walikota diharapkan bisa melihat prioritas pekerjaan yang dilakukannya. Harusnya kabupaten/kota mengacu pembangunan pada aspek HDI ini.

Bukan memikirkan pembangunan kantor,” kata Gamawan.Di lain pihak Wagub Marlis Rahman mengungkapkan setiap dua bulan sekali pemerintah provinsi selalu memanggil bupati/walikota untuk datang ke kantor gubernur untuk melakukan evaluasi. Selain itu juga diadakan rapat koordinasi dengan 19 kabupate/kota. Hal ini dilakukan tidak lain untuk upaya pencipataan iklim pemerintahan yang kondusif dengan kabupaten/kota. (***)

Padang Ekspres, Jum'at, 10-Agustus-2007

Thursday, August 9, 2007

Tafsir Menunggu-Ditunggu

Pementasan Ditunggu Dogot


''Kita harus tepat waktu, tidak boleh terlambat, apalagi terlalu cepat datang,'' ungkap seorang pria sambil mengendarai ontel. Kayuhan kakinya semakin kencang menyusuri lorong-lorong yang ada di depannya. Tak perlu peta. Layaknya sebuah kehidupan, ia lebih banyak menggunakan naluri kemana harus belok ke kiri atau kanan, lurus, dan berhenti. Karena, tujuan perjalanannya pun memang tidak jelas.
Putaran ban sepeda tiba-tiba terhenti. Si pria menatap wanita yang diboncengnya dengan terbengong. 'Kita harus tepat waktu, tidak boleh terlambat, apalagi terlalu cepat datang, kita ditunggu Dogot,'' katanya lagi. Dengan gerakan cepat, wanita itu berinisiatif mengambil alih kemudi. ''Kalau begitu kita harus bergegas, kita ditunggu Dogot, jangan sampai terlambat,'' ungkap wanita itu mengayuh sepeda dengan sangat cepat.

Pemusnahan Peradaban

Oleh Nasrul Azwar

Minggu pertama bulan ini, dunia perbukuaan Indonesia, terutama buku pelajaran untuk SLTP dan SLTA, sedikit gerah. Kejaksaan di berbagai kota melakukan razia dan penyitaan buku-buku yang dinilai lembaga ini “menyesatkan”.

Di Kota Padang, (Singgalang, 4/8), Kejaksaan Negeri, Poltabes, Satpol PP, dan Dinas Pendidikan Kota Padang berhasil menyita 25 buku sejarah hasil sweeping ke pelbagai toko buku di kota ini.

Di Kota Depok, Jawa Barat, aparat terkait telah memusnahkan 1.247 buku sejarah kurikulum 2004 dengan cara dibakar (Koran Tempo, 21/7).

Cerita pemusnahan buku-buku di negeri ini bukan barang baru lagi. Buku-buku yang dinilai bermasalah oleh penguasa, apakah terkait dengan fakta, pemikiran, atau pun ideologi, seperti sudah menjadi tradisi setiap rezim yang berkuasa. Kayaknya, setiap rezim, termasuk rezim penjajah, berkehendak membuat sejarahnya sendiri.

Razia dan sweeping yang digelar aparat baru-baru ini berangkat Surat Keputusan (SK) Kejaksaan Agung No 19/A/JA/03/2007 tanggal 5 Maret 2007, sebagian buku yang dilarang itu merupakan buku pelajaran kelas I SMP. Alasan pelarangan adalah tidak memuat pemberontakan Madiun dan 1965 dalam buku-buku itu serta tidak mencantumkan kata “PKI” dalam penulisan G 30 S.

Dalam sejarah larang-melarang buku ini, buku yang berbau “PKI” atau “komunis” yang paling banyak dilarang, terutama dalam masa Orde Baru. Namun, semenjak Orde Baru tambin pada 21 Mei 1998, kebijakan pelaranga mulai agak mencair. Masyarakat, sekadar menyebut contoh, sudah bebas menikmati karya-karya Pramoedya Ananta Toer di toko-toko buku, yang dulu akan menjadi perkara besar jika kita memilikinya. Selain itu pula, publik Indonesia dengan mudahnya dapat mengakses dan sekaligus “berselancar” di mesin mencari google.com, yahoo.com dengan hanya mengetik “partai komunis indonesia”, “g 30 s/pki” atau “karl marx” dan lain sebagainya. Teknologi sangat memudahkan kita itu.

Kini, siswa setingkat SLTP dan SLTA sudah mahir berselancar di dunia maya itu. Dan jangan pula heran, masing-masing mereka sudah punya blog, semacam catatan harian yang berbasis web, tentu bukan hal lagi yang aneh dalam dunianya. Yang aneh mungkin bagi orang-orang tua yang tidak memahami apa itu internet.

Maka, dari itu pula, terasa mengada-ada dan terkesan ironis jika beberapa judul buku pelajaran mereka dilarang oleh Kejaksaan Agung hanya semata karena dianggap mengaburkan fakta sejarah bangsa ini.

Mengapa saya katakan seperti itu?

Pertama, pelarangan dengan alasan demikian itu malah akan menumpulkan daya kritis siswa dan mengesankan lebih mentolerir tontonan sinetron dan gosip di televisi kita yang justru sangat memengaruhi mental dan cara berpikir anak didik itu.

Kedua, larangan itu mempertegas bahwa bangsa ini sangat tidak menghargai karya-karya intelektual anak bangsanya sendiri. Jika pun ada yang dinilai “keliru”, tentu sangat elegan jika “diluruskan” lagi dengan karya intelektual berupa buku pula. Bukan dengan cara dibakar.

Ketiga, ketakutan anak didik akan salah memaknai sejarah bangsanya juga bukan alasan yang cerdas. Siswa sekarang sudah punya alternatif mencari sumber pengetahuan lainnya. Mereka punya sumber-sumber, seperti disinggung di atas, selain buku teks sekolahnya. Kita tak bisa melarang mereka menjelajahi dunia maya yang penuh informasi dan pengetahuan itu. Dari situ mereka akan bisa secara kritis membandingkan dan menilai: mana fakta yang dikaburkan mana yang jelas.

Keempat, menyita dan selanjutnya membakar buku-buku itu jelas kerja yang merugikan: Kita bisa bayangkan, berapa dana dihabiskan untuk melahirkan sebuah buku, dan berapa pula dana yang hanyut sia-sia untuk melakukan rasia dan sweeping itu?

Buku, kata Nurani Soyomukti, seorang penulis buku, adalah sarana untuk melakukan pencerahan melalui aktivitas literasi. Dunia literasi adalah dunia di mana semakin banyak orang yang mengenal baca-tulis, dan lebih jauh lagi menggunakan kemampuan tersebut untuk memahami persoalan (dan untuk memajukan) bangsanya. Ketika kebebasan literer dipasung, musnahlah harapan untuk melihat bangsa yang cerdas, melek sejarah, dan menciptakan masyarakat pembelajar yang merupakan syarat bagi kemajuan suatu peradaban manusia. Negara yang besar adalah negara yang menghargai sejarahnya. Negara yang besar adalah yang masyarakatnya menyukai kebiasaan membaca dan menulis. Kebiasaan budaya baca dan tulis ini disebut sebagai budaya literer.

Untuk Minangkabau, budaya baca dan turunan dari itu, tidak perlu diulang-ulang kehebatannya. Baratus-ratus tokoh dengan latar kemampuan yang berbeda telah memberikan pemikiran, gagasan, dan darahnya untuk perjalanan bangsa Indonesia. Dan semuanya itu tak lepas karena mereka membaca, menulis buku, dan punya sikap yang jelas terhadap pengetahuan, bermacam aliran, dan ideologi.

Lalu, sekarang, kita melakukan hal yang sebenarnya memasung sebuah peradaban manusia, atau mungkin yang kita lakukan adalah peradaban itu sendiri.***

Monday, August 6, 2007

Membaca Sejarah dari Tafsir “Pa.no.ra.ma”



Pameran Lukisan di Bukittinggi

OLEH Nasrul Azwar

Seratus lima puluh yang lalu, sejarah seni lukis modern di Sumatra Barat (Nusantara) diawali di kota yang diapit dua gunung ini: Singgalang dan Merapi, dan lembah Ngarai Sianok, dengan ditandai berdirinya Kweek School pada 1 April 1856. Seni lukis modern, yang awal-awal kehadirannya lebih kerap disebut menggambar/melukis, kecenderungan corak naturalistik mendominasi karya-karya lukis yang hadir saat itu, utamanya di Sumatra Tengah.

Pelukis Wakidi (1890-1979) adalah sosok yang tidak bisa dilepaskan dari kenderungan corak seni lukis naturalis di negeri ini. Wakidi alumni Kweek Shcool pada tahun 1908. Wakidi, dalam sejarah kesenilukisan merupakan juga salah seorang tokoh-tokoh seni lukis naturalis, setelah Raden Saleh dipertengahan abad ke-19, Abdullah Suryosubroto (1878-1914), dan Mas Pimgadi (1865-1936). Selanjutnya mereka ini disebut dengan Mooi Indie (Indonesia jelita). Pelukis lebih mengedepankan panorama secara kontekstual (Ady Rosa, 2006).

Kini, sejarah seni lukis seolah mau menorehkan lagi “garisnya” di Kota Bukittinggi. Sejarah ingin berulang. Selama 10 hari, 21 Juli–3 Agustus 2007, 48 pelukis dari Bukittinggi, Padang, Jogjakarta, dan Pekanbaru, membentangkan karya mereka di sebuah gedung peninggalan Belanda di Kota Bukittingggi.

Pemeran mengusung tema “Pa.no.ra.ma” yang diprakarsai Sighi Art Gallery Bukittinggi sekaligus juga peresmian galeri ini, tidak serta merta menghadirkan panaroma dalam arti verbal. Lukisan panaroma hadir dengan interpretasi dan representasi sebagai identitas-subjektivitas pelukis.

Kurator pameran, Mikke Susanto dan Erianto Anas, menuliskan, pameran diasumsikan sebagai sebuah gambaran kecil mengenai satu irisan modal geografis yang ada di Tanah Air. Dari situ, diharapkan ditemukan satu dari sekian rangkaian cerita, kisah dan sejarah perkembangan seni lukis pemandangan yang terjadi di Indonesia, meskipun bukan dalam pengertian yang melulu konvensional apalagi tradisional, melainkan dalam pengertian yang terbuka dan berkembang, baik teknik maupun konsep penggarapan.

Maka, dari itu pula, penulisan kata “pa.no.ra.ma dengan menggunakan tanda baca titik (.), dimaknai sebagai simbol adanya keterpisahan, perbedaan, dan keragaman dari berbagai daerah (serta suku dan budaya) yang terbentang di seantero Tanah Air.

Tema-tema pameran lukisan yang terkait dengan panorama dan keindahan alam, memang bukan hal baru dalam dunia seni rupa Sumatra Barat. Pada tahun 2006, di kota yang sama pernah digelar pameran dengan tema “Ngarai Sianok Differenza in Dentro uno Passa”. Pameren ini digelar untuk memperingati 150 tahun seni rupa Sumatra Barat. Ngarai, lembah, dan pemandangan alam lainnya mendominasi karya-karya yang tampil.

***

Di gedung tua peninggalan Belanda itu, yang dan juga digunakan sebagai kantor Sighi Art Gallery, lukisan-lukisan dipajang dalam deretan yang kadang “lari” dari arti kata panorama. Panaroma bukan lagi menjadi sebuah identitas yang kasat mata tentang alam. Tapi, panorama telah diberi makna baru tentang identitas kultural yang subjektif: “teks” baru yang melewati reduksionisme dan juga mungkin komodifikasi.

Maka, lihatlah panaroma di mata Darvies Rasyidin, pelukis asal Sumatra Barat yang kini bermukim di Jogjakarta, yang berjudul “Negeri Indah Nan Sepi”, Hendra Sardi berjudul “Dalam Jangkauan Masa Depan” dan Iswandi dengan judul “Terjerat”, untuk sekadar menyebut beberapa karya yang tampil, adalah representasi dari akumulasi penciptaan makna yang melintasi teks-teks lain yang bukan sekadar hanya memaknai apa arti “panorama”.

Tak banyak, memang lukisan-lukisan yang hadir sebagai representasi panaroma dalam arti harfiah. Maka, apa yang menjadi konsep kuratorial pameran ini, tampaknya mencapai apa yang dituju. Paling tidak, tafsir tentang “panorama” telah membuka sebagian identitas kuktural Minangkabau, yang memang tak mungkin lepas dari alamnya: Alam terkembang jadi guru.

Masyarakat Kota Bukittinggi, sepanjang sepuluh hari pemeran itu, telah disuguhkan dengan beragam bentuk “panorama” dalam pemaknaan baru perupa Indonesia. Paling tidak, menikmati karya-karya perupa Amrianis, Herisman Tojes, Roni Sarwni, Iswandi, Hendra Sardi, Stevan Buana, Tomi Wondra, Yon Indra, Yunizar, Yetmon Emier, Zulkarnaini, dan lain sebagainya, seperti membaca sejarah saat dimulainya gerakan seni rupa di Kota Bukittinggi 150 tahun silam.***

Dari Pemeranan ke Konsepsi Teater: Sebuah Inheren


Catatan Pementasan “Tangga” Komunitas Seni Hitam-Putih Padangpanjang

OLEH NASRUL AZWAR

Pada Pentas Seni II Tahun 2002 yang diselenggarakan Dewan Kesenian Sumatra Barat, Teater Eksperimental KPDTI Fakultas Sastra Unand hadir dengan pertunjukan berjudul “Jenjang”, karya dan sutradara Prel T.

Saat itu, Prel T mengatakan, “Jenjang” digarap dengan konsep eksperimen yang difokuskan adalah teknik estetis pertunjukan. Seluruh pengadegan didominasi oleh konsep fungsional. Pembentukan set di samping bersifat statis, juga dinamis. Maka dengan sendirinya set dibentuk melalui pembentukan adegan. Sentral performance adalah ruang (bukan bidang). Seluruhnya memanfaatkan sejumlah jenjang (dalam berbagai ukuran) sebagai properti utama.

Pertunjukan Teater Eksperimental KPDTI itu telah lewat 5 tahun lalu. Saat itu, saya mencatat, pertunjukan “Jenjang” berhasil dalam konsep eksperimental, tapi gagap dalam penyampaian isi dan pemeranan. Sehingga yang terlihat di atas panggung adalah seperti seorang khatib menyampaikan kutbahnya. Idealnya sebuah pertunjukan teater, tentu, keduanya—konsep garapan dan pemeranan—sebuah yang inheren dan terintegrasi. Keduanya mesti sama-sama diperjuangkan.

Pekan terakhir Juli lalu, 21 Juli dan 27 Juli 2007 di Kota Padang Panjang dan Padang, publik teater disuguhkan dengan pertunjukan teater yang juga eksperimentatif dalam garapannya, yakni pertunjukan teater berjudul “Tangga” yang dipentaskan oleh Komunitas Seni Hitam-Putih Padangpanjang, sutradara Yusril.

Dari informasi yang diperoleh, “Tangga” bersumber dari dua karya dari penulis yang berbeda, yaitu puisi “Tangga” karya penyair Iyut Fitra dan naskah drama “Jenjang” karya Prel T. Inti dari cerita seputar sistem kekuasaan di Minangkabau yang bersumber dari ideologi Datuk Katumanggungan (Koto Piliang) yang lebih cenderung feodalistik dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang (Bodi Caniago) yang mengarah demokratis dan egaliter. Kedua ideologi itu tidak dimaknai dikotomis oleh masyarakat Minangkabau, tapi lebih pada tataran sinergitas.

Pementasan “Tangga” mengesankan kehendak untuk menyampaikan hal demikian. Maka, muncullah kalimat-kalimat yang keluar dari mulut tokoh-tokoh di atas pentas, seperti bajanjang naik batanggo turun (berjenjang naik bertangga turun), duduak sahamparan, tagak sapamatang (duduk sehamparan dan berdiri sepematang), indak kayu janjang dikapiang (tiada kayu jenjang dikeping) lah jatuah diimpik janjang (sudah jatuh tertimpa tangga), dan lain sebagainya yang merupakan idiom-idiom sosial yang sangat akrab dengan masyarakat Minangkabau.

Malam itu “Tangga” dibangun menjadi situs atau lokasi dalam sebuah ruang yang dikonstruksi secara sosial dengan simbolisasi yang relevansinya kadang lepas. Tokoh-tokoh yang niridentitas diberi beban yang cukup rumit dan rijit untuk memanifestasikan makna-makna simbolik dalam sebuah ruang yang sarat dengan kehendak, keinginan, dan juga ambisi, yang akhirnya semua tak terkendali dan tak fokus. Pementasan “Tangga”, malam itu, 27 Juli 2007 di Taman Budaya Sumatra Barat, seperti kehilangan konsentrasinya dan melupakan basis yang sebenarnya telah jadi kekuatan Komunitas Hitam-Putih selama ini, yakni eksploratif dan semiotif visual. Dan saya membandingkan ini dengan pertunjukan sebelumnya, yaitu “Menunggu” dan “Pintu”, sekadar menyebut contoh saja.

Praktik-praktik pemaknaan atau aktivitas penciptaan makna yang selama ini demikian kaya hadir dalam setiap garapan Komunitas Seni Hitam-Putih, seolah tak saya jumpai lagi di “Tangga”. “Tangga” seperti sebuah antiklimaks perjalanan teater kelompok ini. Dalam catatan saya, dan ini bisa diperdebatkan kembali, bahwa Komunitas Seni Hitam-Putih terasa kurang pas bermain dalam tema-tema yang terkait dengan tradisi kultur Minangkabau, dan mereka sepertinya mesti belajar lebih banyak terkait dengan Minangkabau.

Namun demikian, selama ini, sesungguhnya, kelompok ini telah menemukan bentuknya dalam ranah eksploratif dengan tema kontemporer yang universal, dan isu-isu posmodern. Dan gaya ini sesungguhnya telah terbangun sejak berdirinya kelompok ini tahun 1996.

Sepanjang hampir satu jam pertunjukan “Tangga” dengan penjejalan tubuh-tubuh aktor, yang katanya fungsional sebagai properti pentas dan fungsionalisasi propereti tangga (yang jumlah sama banyak dengan aktor, yaitu 8 (delapan), tentu memberi warna lain dalam perkembangan teater di Sumatra Barat. Paling tidak, konsepsi garapan dan bentuk pemanggungan, bagi saya memang berbeda dengan kelompok-kelompok teater lainnya. Kekuatan estetik dengan konsepsi yang membuka kemungkinan-kemungkinan tafsir di atas pentas, adalah kelebihan “Tangga”, tapi—seperti disebut sebelumnya—gagap dalam pemeranan.

Delapan buah tangga yang diusung masing-masing pemain, seperti videp klip yang menghadirkan penggalan-penggalan peristiwa: tangga kadang dikonstruksi sebagai alat untuk meraih kekuasaan, bangunan penjara kekuasaan, alat penindas bagi penguasa, menara kekuasaan, pembatas kekuasaan, jembatan untuk berkuasa, beban kekuasaan, keranda mayat akibat kekuasaan, dan sebagainya.

Dengan mengenakan busana merah, depalan orang dan delapan jenjang, yang sukar diidentifikasi emosionalnya karena mamang ke delapan orang yang ada di pentas itu niridentitas: Mereka tak punya titik simpul dalam tataran sosial. Maka, hal itu tak mungkin dilakukan. Mengurai identitas delapan tokoh-tokoh itu sama saja dengan mereduksi dalam struktur sosial yang stabil. Mereka bukan berada dalam regularitas sosial dengan memakai pola-pola sosial yang mapan. Mereka adalah representasi sosial yang cenderung resistensif terhadap tatanan yang sosial.

Maka, semua dialog yang muncul di atas pentas, seperti sebuah bunyi-bunyian. Bunyi-bunyian yang dimanifestasikan dalam beragam gerak dan konstruksi simbol-simbol. Simbol yang dibangun pun kadang bertolak belakang dengan ucapan tokoh. Kata-kata hanya merupakan teriakan di tengah galaunya sistem sosial dan kekuasaan.

Sehingga, content yang susungguhnya tak perlu lagi secara verbal disampaikan aktor, menjadi kehilangan maknanya. Ucapan-ucapan yang dikeluarkan dari mulut aktor, menjadi artifisial. Kadang, dialog atau kalimat yang melompat itu, kontradiktif dengan bangunan “peristiwa” teater yang sedang berlangsung di atas pentas. Dalam tradisi Minangkabau, pepatah bajanjang naik batanggo tidak dimaknai secara verbal dan artifisial dengan melakukan gerak turun naik tangga, tetapi lebih kepada mekanisme dan regulasi dalam mengambil keputusan yang bijaksana. Di “Tangga” aktor melakukan gerak turun naik tangga dengan sangat verbalistik.

Gerak, yang tampaknya banyak dikolaborasikan dengan koreografi, terlihat tak mampu mempertegas maknawi teks yang sastrawai itu. Tokoh-tokoh, karena demikian banyak beban “Tangga” yang ingin disampaikan, tampak lelah. Penggunaan bahasa dalam rentang satu jam itu, mengesankan seperti bukan berasal dari hubungan antarkata yang kompleks, dan bukan berangkat dari karakteristik tokoh-tokoh yang hakiki. Makna kata dan kalimat dialog tokoh-tokoh tidak menemukan relasional dan kontekstualnya. Ada yang lepas antara simbol yang dikontruksi dengan ucapan tokoh.

Maka, beberapa aspek yang sangat perlu didiskusikan lebih lanjut adalah persoalan aktor dan pemahaman naskah itu sendiri. Proses teater bukan semata menuju pada bentuk pertunjukan, tapi, teater juga terkait dengan sejauh mana pemahaman aktor dan juga elemen lain (musik, pencahayaan, dan juga penasihat spiritual Komunitas Seni Hitam-Putih) terhadap tema-tema yang digarap.

Pada “Tangga” saya menjumpai bagaimana aktor kurang demikian akrab dengan apa yang disebut dengan simbol-simbol dan kalimat-kalimat penuh filosofi yang dijadikan basis garapan Komunitas Seni Hitam Putih. Dan kasus serupa juga terjadi saat Teater Eksperimental KPDTI Fakultas Sastra Unand mementaskan “Jenjang”, kendati untuk menghadirkan simbolisasi, memang lebih kaya Yusril.

Tapi, sisi yang menarik adalah pemanfaatan dan eksplorasi panggung yang dilakukan Yusril cukup inovatif: Pentas bisa saja hadir di dinding panggung dan samping panggung. Apa yang dikatakan dengan “meruang” tampak menemukan realitasnya. Gaya demikian tentu dimaknai sebagai suatu praktik pemaknaan yang melibatkan objek-objek (tangga dan ruang pentas) dalam kaitannya untuk membangun semiotika visual sebagai tanda kultural.

Selain itu pula, satu hal yang juga menarik, saya melihat pertunjukan ini sukses dari sisi penonton, lebih kurang 200-an penonton memenuhi Teater Utama Taman Budaya Sumatra Barat, malam itu. Tapi, saya juga bertanya-tanya, apakah penonton nyaman menikmati pertunjukan itu? Semoga saja. ***

Saturday, August 4, 2007

Ditunggu Dogot: Menunggu, Merenung, Pasrah...


Samuel Beckett menggambarkan manusia hanya bisa pasrah.Namun,Komunitas Seni Hitam Putih memaknai berbeda dalam pementasan Ditunggu Dogot. Sepasang manusia –lelaki (Rudyaso) dan perempuan (Elisza)— asyik meluncur dengan sepeda kayuh.

Mula-mula keduanya santai menelusuri jalan berkelok-kelok yang hening.Mereka menuju suatu tempat, hendak menjumpai orang yang menunggu mereka. Identitas orang yang hendak mereka temui belum diketahui. Pun tempat, di mana mereka ditunggui juga tidak jelas.Hanya ada satu keyakinan bahwa mereka sedang ditunggu.

'Ditunggu Dogot': Interprets duality of waiting...

Waiting for Godot was authored by Irish poet, dramatist and novelist Samuel Beckett in English, and in French as En Attendant Godot. Beckett started writing the drama in Paris on Oct. 9, 1948, and finished it on Jan. 29, 1949.

It is a play with diverse interpretations, ranging from an indeterminate piece to a comedy, from a tragedy to a drama imbued with religious spirit.

Friday, August 3, 2007

Malin Kundang dan Perantaun Budaya [1]

Oleh Edy Utama

Dalam beberapa dekade terakhir, kebudayaan kita telah melakukan perantauan yang jauh ke negeri asing, dan sekali-kali pulang kampung dengan wajah malu-malu. Tetapi ada juga yang merantau Cina karena tidak pernah kembali lagi ke kampung halamannya. Ia menjadi si Anak Hilang yang terlupakan. Kebudayaan kita bagaikan legenda Malin Kundang. Malin Kundang pergi merantau dan kemudian pulang kampung setelah Kaya dan punya seorang isteri cantik dari negeri yang jauh. Ia membawa berbagai atribut dan simbol-simbol baru, yang relatif belum begitu dikenal di negeri ibunya sendiri.perjumpaan terjadi, antara keduanya tidak lagi begitu saling mengenal dan tidak lagi merasa memiliki masa lalu yang sama. Bahkan keduanya merasa asing dan berjarak. Diantara keduanya terdapat tirai pemisah yang sulit dipertemukan.

Syukurlah kemudian, Sang Ibu yang setia menunggu kampung Malin Kundang, dalam kenangan masa lalunya masih dapat mengenal sedikit tanda dalam diri anaknya. Sang ibu sangat yakin, lelaki yang didampingi perempuan cantik dengan segala atribut tersebut, adalah anak kandungnya. Anak yang dilahirkan dari rahim warisan budaya nenek-moyangnya. Sang ibu menyapa anaknya dengan perasaan balau dan cemas, karena khawatir Sang Anak tidak lagi mengenal dirinya. Sang ibu berharap Malin Kundang tidak melupakan. Namun Malin Kundang tidak lagi begitu mengenali masa lalunya, meskipun di dalam dirinya kadang-kadang muncul lintasan-lintasan kenangan tentang kampung, tentang ibunya, tentang masa kecilnya, tentang saudara-saudaranya, tetapi semuanya berwujud dalam kesamaran ingatannya. Ia tidak begitu yakin tentang masa lalunya tersebut, karena bagi Malin Kundang yang telah merantau tidak lagi memerlukan masa lalu tersebut. Ia telah menjadi masa kini, di tengah zaman yang dapat menyediakan kebutuhan duniawinya. Itu pulalah sebabnya, ketika perjumpaan budaya terjadi antara ia dan ibunya, antara rantau dan kampung, antara masa lalu dan masa kini, ia tidak lagi merasa ada hubungan emosional di antara keduanya. Malin Kundang tidak lagi mampu mengenal dan mengarifi perjumpaan tersebut sebagai peristiwa kultural yang memiliki tali sejarah yang berkesinambungan. Tali sejarah itu telah terputus atau diputuskan oleh pengalaman kekinian, yang begitu bergemuruh, memukau, instan, exotis, telanjang, memabukan, dunia yang selalu bergoyang dan segala bentuk kesenangan sesaat yang selalu dimimpikan. Malin Kundang telah mengalami keterputusan sejarah dengan lingkungan budayanya sendiri, yang sebelumnya telah mengasuh dan membesarkan.

Seperti yang kita ketahui, mitos Malin Kundang beerakhir dengan sebuah tragedi. Sebuah chaos. Tetapi, mungkin juga merupakan sebuah pembebasan budaya dari penjelajahan duniawi yang dilakukan Malin Kundang. Ia telah menjadi sebuah simbol yang asing bagi masa lalu dari kebudayaannya sendiri. Sebuah simbol yang tidak lagi mengenal bumi yang melahirkannya. Karena itu, ia kemudian dikutuki sang ibu sebagai anak yang durhaka, dan kemudian menjadi batu. Malin Kundang kemudian menjadi simbol pembangkangan budaya dan penafian masa lalu. Bahkan ia dikutuki secara bersama-sama.

Tetapi salahkah Malin Kundang? salahkan ibu yang telah melahirkannya Salahkah masa lalunya? Salahkah masa kininya? Salahkah tempat ia dibesarkan? Salahkan masyarakat yang telah mengasuhnya? Entahlah. Apakah Malin Kundang yang pergi disebabkan ketidaknyamanan lingkungan budaya yang mengasuhnya dapat disalahkan sebagai anak yang durhaka? Bukankah perantauannya didorong oleh kenyataan, bahwa lingkungan budaya dan masyarakat tempat ia tumbuh tidak lagi dirasakan sebagai sesuatu yang dapat menentramkan kegelisahan kulkural yang dirasakannya? Jadi ada alasan-alasan tersembunyi di dalam kebudayaan ibunya, yang tidak lagi begitu disadari dan dipertanyakan sebagai sumber-sumber kegelisahan kultural dari Malin Kundang. Dalam konteks ini, Malin Kundang dapat dilihat sebagai sosok yang ingin mencari sorga baru yang lebih sesuai dengan gejolak bathinnya sendiri, namun tidak terpahami oleh sejarah budayanya dapat dianggap sebagai sebuah pembangkangan? Atau hanya sekedar pilihan, karena tekanan, kepungan dan godaan budaya di sekitarnya yang tak terelakan?

Namun ibunya yang merupakan masa lalu Malin Kundang, mungkin juga tak dapat disalahkan. Ia telah menunggu dan menjaga rumah budaya yang ditinggalkan Malin Kundang. Sang Ibu selalu menanti dan berharap, Malin Kundang suatu saat akan kembali lagi dan dapat mengenal masa lalunya. Sang ibu masih ingin menuturkan kembali dongeng-dongeng dari negari antah baratah, yang menjadi permainan tidur Malin Kundang pada kecilnya. Sang ibu sngat berharap Malin Kundang kepangkuannya di dalam rumah warisan budaya, yang sudah mulai ditinggalkan oleh banyak orang kampungnya.

Sebuah legenda, sebuah peristiwa budaya, baik yang datang dari masa lalu maupun yang akan datang dari masa kini, sangat terbuka untuk ditafsirkan dari berbagai perspektif. Tak ada yang dapat ditafsirkan secara tunggal. Tafsiran ini bergerak dan berkembang sesuai dengan konteks zamannya dan pengalaman manusia yang ada di dalamnya. Sebuah kebudayaan apapun bentuknya, selalu membutuhkan tafsiran yang baru yang bersifat dinamis, sehingga mampu menangkap tanda-tanda zaman yang berubah. Mampu membaca dan sekaligus memberikan tafsiran tentang masa lalu, tentang apa yang telah terjadi serta kecendrungan-kecedrungan masa depan yang mengepung dar segala penjuru.

Begitu juga dengan Malin Kundang. Malin Kundang sebagai manifestasi kultural mungkindapat ditafsirkan dari berbagai sudut pandang yang berbeda pula. Selama ini ia lebih banyak dipandang sebagai anak dan kemudian menjadi batu karena mendurhaka kepada ibunya. Pandangan tentang Malin Kundang sebagai anak durhaka sepertinya telah menjadi bagian dari paradigma kebudayaan kita. Namun bagi sastrawan A.A. Navis, justru sebaliknya. Bagi A.A. Navis yang mendurhaka itu justru adalah. A.A. Navis telah memberikan suatu tafsiran baru tentang Malin Kundang.

Dalam konteks inilah saya kira menarik untuk menyimak kembali apa yang telah ditulus sastrawan A.A. Navis. Dalam salah satu cerita pendeknya, Malin Kundang Ibunya Durhaka A.A. Navis dengan tajam telah mengaktualkan berbagai persoalan yang lebih kontektual dari lingkungan budaya tersebut. Melalui cerita pendek ini, A.A.Navis mengemukan berbagai persoalan mendasar dalam kehidupan kebudayaan kita, baik yang bersumber dari masa lalu maupun masa kini, ppersoalan gap antar generasi, kesetiaan budaya dan sekaligus penghianatan yang ada di dalamnya, telah digambarkan melalui interpretasi baru legenda Malin Kundang. Dengan argumentasi yang berbeda, A.A Navis memberikan alasan-alasan baru kenapa Malin Kundang sebagai anak zaman melakukan pembangkangan dan pendurhakaan terhadap ibunya. Dalam cerita pendek tersebut, A.A. Navis tampaknya ingin menegaskan kembali, bahwa pendurhakaan Malin Kudndang terhadap ibunya, bukanlah tersebab oleh Malin Kundang itu sendiri, tetapi lebih didorong oleh prilaku budaya masyarakat yang telah ditinggalkan Malin Kundang. Malin Kundang bagi A.A. Navis telah menjadi simbol pembangkangan budaya yang bersifat konstruktif.

Seperti diceritakan dalam cerpen tersebut, ketika Malin Kundang pulang kampung dengan membawa isteri yang cantik, dan tentu saja dengan kekayaannya yang diperoleh di perantauan, Malin Kundang marah besar karena melihat kampungnya sendiri telah berubah. Telah menjadi wilayah yang gersang, kering kerontang karena digerogoti untuk berbagai kepentingan. Kekayaan alamnya, budayanya, dan segala hal yang indah-indah yang masih terpelihara ketika Malin Kundang akan pergi ke perantauan, telah lenyap di telan bumi. Malin Kundang menemukan kerusakan yang luar biasa dari tanah kelahirannya. Ia tidak lagi menemukan keakraban masa lalunya. Itulah yang menyebabakan Malin Kundang menganggap ibunya tak mampu menjaga dan memeliharanya.

Amukan Malin Kundang tidak membuat ibunya marah, karena memang telah merasa bersalah menjaga amanah. Ibunya bahkan berhiba-hiba pada Malin Kundang. Itu pulalah dalam versi cerita pendek ini Sang Ibu tidak mengutuk Malin Kundang sebagai anak durhaka. Namun Malin Kundang yang kemudian mengutuki dirinya sendiri, sehingga menjadi batu. Malin Kundang tidak mau memjadi anak yang durhaka, tetapi ia juga merasa bersalah membiarkan negerinya dihancurkan ketika ia sedang melakukan perantauan. Malin Kundang marah kepada sendiri dan mengutukinya. Malin Kundang telah memilih keberanian kultural untuk melakukan sebuah otokritik yang radikal terhadap dirinya sendiri. Sebuah keberanian yang sangat jarang terjadi.

Dari sinilah tragedi baru Malin Kundang mulai menjadi persoalan kebudayaan kita. Tragedi yang melahirkan berbagai kecemasan budaya karena setelah itu, semakin banyak yang meninggalkan kamoungnya dan melakukan perantauan yang jauh ke dunia lain, yang penuh dengan ketidakjelasan dan ketidakkepastian. Bamyak orang berangkat meniggalkan tradisinya dan merayakan tanpa mempersoalkanmasa lalu dan masa depan. Perayaan inilah yang sekarang kita sebut dengan perayaan budaya massa. Semuanya tumpah ke daratan kehidupan budaya yang begitu hiruk pikuk dan memabukan. Tapi tak banyak yang berani memilih menjadi Malin Kundang seperti dalam cerita pendek A.A. Navis.

Tafsiran A.A. Navis tentang legenda Malin Kundang melalui cerita pendeknya ini, saya kira sesuatu yang sangat tepat untuk menggam,barkan situasi kultural kita dewasa ini. Situasi kultural yang compang-camping, tanpa akar budaya, penuh dengan paradok, serta tercabik-cabik akibat tarik menarik antara keinginan untuk melanjutkan tradisi yang diwarisi dengan budaya massa yang digerakkan oleh kekuatan industri-kapitalisme dengan segala kekuatan teknologinya. Malin Kundang yang ingin digambarkan A.A. Navis, adalah Malin Kundang yang tanpa sabar telah melakukan penyebrangan kultural dari wilayan tradisi kepada budaya massa dengan sebuah pertanggungjawaban kultural.

Beberapa dasawarsa terakhir dalam kehidupan kebudayaan kita, memang telah terjadi migrasi budaya besar-besaran. Telah terjadi perantauan yang jauh denganmeninggalkan kampung halamannya sendiri. Banyak pendukung kebudayaan tradisi dari berbagai etnik di Indonesia, yang berimigrasi ke kota-kota sebagai rantau yang menjadi basis pertumbuhan dari budaya massa tersebut. Sekarangpun kampung-kampung telah dirambah pula oleh budaya massa tersebut. Banyak perantau yang pulang, dan menularkannya, baik secara langsung maupun melalui teknologi yang makin canggih. Sayangnya tak banyak yang mau menjadi Malin Kundang seperti yang digambarkan A.A. Navis, yang memiliki keberanian untuk mengutuki dirinya sendiri, sebagai sebuah pertanggungjawaban kultural. Kita lebih senang menyalahkan orang lain, sehingga terhindar dari perasaan berdosa.***

Thursday, August 2, 2007

Pembakaran Buku dan Politik Iliterasi

OLEH Nurani Soyomukti


Belakangan ini panggung budaya kita diwarnai dengan adanya razia buku-buku sejarah yang dianggap “menyesatkan”. Beberapa waktu lalu, Kejaksaan Negeri Kota Depok memusnahkan 1.247 buku sejarah kurikulum 2004. Bahkan secara simbolis pemusnahan buku dengan cara dibakar tersebut dilakukan oleh Kepala Kejaksaan Negeri Depok Bambang Bachtiar, Walikota Depok Nurmahmudi Ismail, dan Kepala Dinas Pendidikan Depok Asep Roswanda (Koran Tempo, 21/7.2007).

Berawal pada tanggal 9 Maret 2007, saat Jaksa Agung Muda bidang Intelijen, Muchktar Arifin dalam konferensi pers mengumumkan bahwa Kejaksaan Agung dengan SK 19/A/JA/03/2007 tertanggal 5 Maret 2007 telah melarang 13 judul buku pelajaran sejarah tingkat SMP dan SMA yang diterbitkan oleh 10 penerbit. Sebagian buku yang dilarang itu merupakan buku pelajaran kelas I SMP. Alasan pelarangan adalah tidak memuat pemberontakan Madiun dan 1965 dalam buku-buku itu serta tidak mencantumkan kata PKI dalam penulisan G30S.

Tindakan merazia dan men-sweeping buku yang dianggap melanggar hukum tersebut terjadi secara meluas di berbagai daerah. Yang perlu dicatat, kejadian semacam ini bukan pertama kalinya dalam sejarah bangsa kita. Pelarangan, pembakaran, dan represi terhadap aktivitas menerbitkan buku atau terbitan lain selalu terulang-ulang. Apalagi, pada saat masyarakat kita saat ini tengah dihegemoni oleh budaya tonton (terutama didominasi acara sinetron, telenovela, dan gosip), keberadaan buku sebagai bacaan yang mencerahkan masyarakat begitu tentan untuk terancam. Pongahnya jaksa agung mengeluarkan larangan tersebut salah satunya juga karena ketidakpedulian masyarakat terhadap dunia buku dan budaya baca-tulis, karena budaya tonton bagai penjara yang memasung naluri kritis dan kesadaran demokrasi.

Kemunduran Budaya Literer

Buku adalah sarana untuk melakukan pencerahan melalui aktivitas literasi. Dunia literasi adalah dunia di mana semakin banyak orang yang mengenal baca-tulis, dan lebih jauh lagi menggunakan kemampuan tersebut untuk memahami persoalan (dan untuk memajukan) bangsanya. Ketika kebebasan literer dipasung, musnahlah harapan untuk melihat bangsa yang cerdas, melek sejarah, dan menciptakan masyarakat pembelajar yang merupakan syarat bagi kemajuan suatu peradaban manusia. Negara yang besar adalah Negara yang menghargai sejarahnya. Negara yang besar adalah yang masyarakatnya menyukai kebiasaan membaca dan menulis. Kebiasaan budaya baca dan tulis ini disebut sebagai budaya literer.

Ketidakproduktifan masyarakat Indonesia memang berkaitan dengan sejarahnya. Sebelum modernisasi masuk, budaya baca-tulis tidak terbangun karena rakyat hanya menerima dan memberi informasi dan pengetahuan berdasarkan dongeng-dongeng yang tersebar, yang melekat pada pemahaman yang membodohi rakyat dan menguntungkan kaealang raja-raja (bangsawan). Melalui dongeng rakyat harus menerima pemahaman bahwa raja adalah gusti (wakil Tuhan/Dewa), yang harus dituruti perintahnya. Ini menunjukkan bahwa budaya oral (lisan) di mana budaya baca-tulis tidak hidup, sebuah masyarakat bukan hanya tidak dapat maju, tetapi juga diwarnai hubungan penindasan dan penipuan.

Asumsi tentang masyarakat literer dan modernisasi dapat kita pahami dari studi ilmu-ilmu sosial seperti dalam studi Daniel Learner yang mempelajari tradisi, transisi, dan modernisasi di enam Negara Timur Tengah. Dalam bukunya The Passing of Traditional Society: Modernizing The Middle East, Learner menerapkan asumsi ketat bahwa perbedaan antara masyarakat tradisional, masyarakat transisional, dan masyarakat modern ditandai oleh akses kepada tulisan atau aksara (baik buku maupun koran) dan kepada media komunikasi massa lainnya seperti radio.

Masyarakat modern Indonesia yang dicangkokkan oleh penjajah Belanda melalui kolonialisme juga dengan sendirinya melahirkan masyarakat literer modern. Untuk mempercepat eksploitasi kapitalisme, maka harus ada infrastruktur politik dan budaya yang mendukungnya. Kapitalisme, berbeda dengan feodalisme kerajaan, membutuhkan masyarakat yang mengenal tulisan dalam tujuannya untuk menciptakan tenaga kerja yang modern seperti administrasi rasional yang membutuhkan dokumentasi dan publikasi, pekerja-pekerjanya yang membutuhkan kerja-kerja menulis (mulai juru ketik hingga akhirnya juga muncul penerbitan-penerbit an koran dan buku-buku).

Tak diragukan, kemunduran budaya literer barangkali terjadi ketika Orde Baru bercokol sebagai rejim yang takut pada kata-kata dan suara-suara dari rakyatnya. Setiap suara kritis dibungkam dan dikambing hitamkan. Membawa buku ditangkap, menulis ditangkap, dan menerbitkan koran dan majalah juga tidak aman.

Yang menjadi persoalan kemudian, apakah sejak ketuntuhan Orde Baru budaya literer kita meningkat? Modernisasi pasca-Soeharto membawa lompatan kualitas modernisasi di bawah payung sistem ekonomi kapitalisme yang bercorak neoliberal. Basis kebudayaan dihiasi dengan liberalisme, kebebasan untuk mengontestasikan ekspresi budaya yang salah satunya munculnya banyak penerbit media cetak baru, salah satunya juga penerbitan buku. Tetapi meragukan apakah menjamurnya penerbitan tersebut dapat berpengaruh pada cara masyarakat kita bersikap memandang realitas. Jika banyak orang yang menulis buku, banyak terbitan, bahkan banyak artis-artis yang menulis buku, ternyata dengan serta merta budaya literer juga mempengaruhi cara berpikir masyarakat—sebagaimana jaman pergerakan kekuatan baca-tulis sangat berguna dalam meningkatkan kesadaran rakyat.

Budaya baca-tulispun masih belum dapat mengalahkan saingannya dalam ranah budaya, yaitu budaya menonton (TV) yang juga sekaligus meningkatkan budaya oral seperti semaraknya acara infoteinmen (gosip). Kebiasaan gosip peranh jaya pada masa kegelapan jaman kerajaan di mana rakyat hanya menerima kabar dan perkembangan social dari getok-tular mulut dan dongeng. Budaya oral ini lebih banyak tidak objektifnya dan banyak manipulasinya. Selain itu budaya menonton tidak memicu produktifitas dan kreatifitas (imajinasi) otak. Berbeda dengan budaya baca-tulis yang membentuk kualitas pribadi, selain memasok dan mentransfer pengetahuan dan ideologi.

Masyarakat yang didominasi budaya tonton pastilah hanya memperbanyak generasi yang berpikir dan bertindak secara—apa yang disebut Herbert Marcuse sebagai—“satu dimensi” (one-dimensional man). Mereka hanya bisa meniru dan lahirlah masyarakat permisif dan konsumtif—tidak produktif dan kreatif. Pada hal, untuk membangun bangsa ini kita butuh manusia yang berkarakter yang punya gairah untuk memahami persoalan dan memiliki kemauan dan kemampuan untuk mencipta.

Mau tak mau, masyarakat literer harus dirumuskan pembangunannya. Bagaimana strateg-taktik untuk menciptakan masyarakat literer tentu saja membutuhkan perhatian dari berbagai pihak. Pemerintah harus mendukungnya, lembaga-lembaga pendidikan, penelitian, dan penerbitan memiliki peran yang strategis. Selain itu juga komunitas-komunitas baca tulis yang kini semakin banyak bermunculan juga menandai adanya harapan bahwa masyarakat literer masih dapat diharapkan untuk mendukung pembangunan bangsa yang terseok-seok karena makna aksaranya sendiri.***

Nurani Soyomukti, Penulis Buku “REVOLUSI BOLIVARIAN: HUGO CHAVEZ DAN POLITIK RADIKAL”; berkhidmat di JARINGAN KEBUDAYAAN RAKYAT (JAKER); pendiri Yayasan Komunitas Teman Katakata (KOTEKA) Jakarta