KODE-4

Monday, February 19, 2007

Menyilang Data, Merajut Sejarah

OLEH Nasrul Azwar

Judul: TITIK SILANG JALAN KEKUASAAN TAHUN 1966
Mitos dan Dilema: Mahasiswa dalam Proses Perubahan Politik 1965-1970
Pengarang: Rum Aly
Cetakan Pertama, Juli 2006
Tebal : liii + 350 halaman
Penerbit KATA HASTA PUSTAKA


Dalam pembacaan saya terhadap tulisan sejarah perjalanan bangsa Indonesia—terutama yang mengupas peristiwa politik dalam rentang tahun 1945-1966— Soekarno menjadi pusat cerita yang selalu dipersalahkan sebagai sumber utama dari rangkaian roller coaster krisis politik pada bangsa Indonesia, khususnya karena konsepsi demokrasi terpimpinnya.

Pusat cerita itu berkisar antara kekuatan revolusioner dan nekolim. Ketika ada orang atau sekelompok masyarakat dipersepsikan oleh penguasa dalam kategori antirevolusi, maka itu berarti anteknekolim yang harus dienyahkan. Beberapa pendapat mengatakan bahwa Soekarno saat itu sedang terobsesi oleh romantika revolusi.

Namun demikian, disadari atau tidak, sejarah sebuah bangsa di manapun di dunia ini—termasuk bangsa Indonesia yang plural dan majemuk—tak selalu berlangsung lancar mengikuti garis lurus yang diinginkan. Mochtar Pabottingi, peneliti LIPI, mengatakan, “Proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dibacakan pada 17 Agustus 1945 barulah menuju “pintu gerbang kemerdekaan”, belum merupakan kemerdekaan itu sendiri. Sejarah mencatat bahwa baru tujuh belas tahun kemudian kemerdekaan (independence) benar-benar dimiliki bangsa, setelah terusirnya penjajah dari seluruh bumi Indonesia. Dan bahkan, kebebasan (freedom)—yang merupakan unsur utama dari kemerdekaan suatu bangsa— baru mulai dirasakan bangsa Indonesia setelah 53 tahun, saat dimulainya era reformasi Mei 1998. Begitu kemerdekaan–baik dalam makna independence maupun freedom–dimiliki oleh bangsa Indonesia, para pemimpin kitapun dihadapkan oleh problem “rumah tangga negara” yang tidak ringan sebagai negara yang baru berdaulat.”

Maka, dalam era Demokrasi Terpimpin, puncak keseluruhan proses politik telah menyeret bangsa Indonesia ini ke dalam konflik-konflik ideologis yang “panas” dan berkepanjangan, ekonomi terbengkalai dan rakyat terhimpit berbagai kesukaran. Keadaan diperparah lagi dengan meletusnya pemberontakan G-30S-PKI, yang banyak menelan korban anak bangsa. Soekarno pun akhirnya jatuh dengan meninggalkan luka sejarah yang menyakitkan.

Orde Baru muncul di atas reruntuhan peninggalan Orde Lama. Sejarah juga mencatat bahwa Orde Baru pun kemudian terperangkap ke dalam bandul ekstrim lain, yakni dari ekstrem “idiology oriented” ke ekstrem “development oriented”, yang pada kenyataannya justru mempunyai kesamaan atau pengulangan dari praktik-praktik kekuasaan dari rezim sebelumnya. Apa yang kemudian diketengahkan sebagai “pembangunan manusia seutuhnya”, “stabilitas nasional”, “prinsip kekeluargaan”, dan sebagainya pada kenyataannya telah berubah menjadi “doktrin politik” yang tertutup.

Rum Aly dalam buku ini bicara tentang hal demikian. Ia bagian dari perjalanan kemelut politik yang berlangsung saat peralihan kekuasaan Orde Lama ke Orde Baru. Saat itu, ia aktif di pers kampus Mingguan Mahasiswa Indionesia, dan perjalanan jurnalistiknya mempertegas dirinya untuk terlibat dan mengikuti proses perubahan politik. Sebagai jurnalis, Rum Aly secara intensif berkomunikasi dengan sejumlah pelaku sejarah, kalangan akar rumput, aktivis semenjak yang moderat, hingga yang paling radikal, dari yang paling kiri hingga yang paling kanan.

Buku ini terdiri 6 (enam) bagian, ditambah dengan Bab Referefnsi Tema, Esei Bergambar, Indeks, Daftar Narasumber. Bagian Satu buku ini bicara tentang tradisi tumpah darah, Bagian Kedua tentang Di Bawah Selimut “Bendera Revolusi”, Ketiga tentang Konspirasi dan Pertumpahan Darah, Keempat tentang Mahasiswa dan Para Jenderal, Kelima tentang 1966, dalam Dilema dan Mitos, dan Keenam tentang Catatan dan Analisis Akhir.

Buku setebal hampir 400 halaman ini dan mengunakan huruf yang cukup kecil, memang sangat melelahkan mata saat membacanya. Namun, buku ini cukup kaya dengan data, fakta, dan hasil wawancara dengan pelaku sejarah. ***

No comments:

Post a Comment