OLEH Nasrul Azwar
Bisnis media massa memang menjanjikan untuk mengeruk keuntungan besar. Apalagi contentnya “menyosialisasikan” ke dalam ruang publik bentuk-bentuk tubuh yang seksi dengan pencitraan tubuh yang bagus tanpa lemak, sintal, padat, serta kekar. Tentu saja disajikan dengan sedikit kain pembungkus. Malah bisa juga bugil, tentu disuguhkan dalam berbagai pose. Citra bentuk tubuh yang seksi (tubuh perempuan dan lelaki) adalah polarisasi untuk menghadirkan mainstream bagi publik bahwa tubuh yang “aduhai” itu telah memenuhi standar pengelola media massa itu.
Di ruang-ruang publik—baik di mailing list, medai elektronik, cetak, dan di mal— cerita tak lepas dari menunggu “lahirnya” sebuah majalah yang diimajinasikan mampu memenuhi aspirasi libido siapa saja. Majalah ini menamakan dirinya majalah dewasa yang memang telah lama terbit dan beredar di Amerika Serikat, Play Boy. Pada bulan Maret majalah Play Boy edisi Indonesia akan diluncurkan. Dua bulan dari sekarang, pro-kontra telah meruyak-piyak bak perang seperti akan dimulai. Play Boy versi Indonesia, yang masih jabang itu, menuai promosi maha dasyat. Ia jadi “benda” yang telah berhasil memenuhi kaidah pencitraan dan meraih brand image dagang. Satu sisi, strategi bisnis dan promosi Play Boy telah berjalan tanpa beriklan dengan biaya yang besar. Negeri ini memang dibesarkan dengan cara dagang kapitalis yang busuk. Bangsa ini enggan belajar dari diri dan lingkungannya. Bangsa ini telah berada dalam perangkat mesin kapitalisme, dan mereka sendiri yang menggerakkan agar mesin itu bekerja.
Sebelumnya, semenjak kran kebebasan terbuka lebar 6 tahun lalu, saat begitu maraknya penerbitan tabloid dan malajah yang content-nya tak jauh-jauh dari menjajakan tubuh telanjang manusia, tak ada reaksi sekeras akan terbitnya Play Boy versi Indonesia ini. Semua orang mengenal tabloid Exotica, Lelaki, Lipstik, Popular, ME, dan sejenis ini yang kini tetap beredar dan memang laris manis terjual. Untuk yang telah beredar demikin luas itu, yang tidak ada batasan jual belinya, boleh siapa saja, tidak ada reaksi dari siapa-siapa, malah oplahnya makin menanjak dari hari ke hari. Barangkali, awal terbitnya media ini dilakukan diam-diam. Beda dengan Play Boy, pengelolanya berani berteriak lantang: Kami akan terbit pada Maret.
***
Lalu, baru-baru ini 3 anggota DPRD Sumatra Barat dari Komisi A; Yul Akhyari Sastra, Djanas Raden, dan Johardi Das (Singgalang, Rabu, 18/1/2006) berkomentar tentang wilayah yang tak jauh beda dengan akan beredarnya Play Boy itu yakni tentang prostitusi di Sumatra Barat yang mereka nilai perlu diakomodasi dalam APBD tahun 2006. Tentu, jika menyangkut APBD jelas ujungnya anggaran. Ketiga wakil rakyat ini sepakat memulaukan pelacur yang berkeliaran saban malam—mungkin karena naas—terjaring razia Sat Pol PP. Selama ini, kata mereka, pelacur yang tertangkap itu cuma “direhabilitasi” di Panti Andam Dewi Sukarami, dan itu tidak memberi efek jera. Maka sebaiknya mereka dipulaukan saja agar tidak mengganggu psikologis lingkungan sekitar. Maksud mereka, wanita tuna susila (WTS) itu diisolasikan di sebuah pulau (entah pulau mana yang digunakan, tak jelas), tanpa mengikutkan “pemakai”nya. Artinya, laki-laki yang memanfaatkan jasa WTS tiap malam itu tak perlu diisolasikan pula.
Memang tidak adil! Yang selalu dipersalahkan wanitanya, bukan lelakinya. Bukankah “transaksi” itu dapat berjalan jika ada pihak lelaki yang maago “barang” padusi itu? Mungkin, karena anggota DPRD Sumatra Barat itu kebetulan laki-laki, maka perlu kiranya mereka membela kaumnya. Salahkan saja padusi malam itu!
Saya sendiri tak heran dengan ucapan mereka itu. Gagasan itu bukan “barang baru” lagi. Lima belas tahun lalu, ide serupa sudah menjadi wacana publik di ranah Minang. Namun, perjalanan gagasan itu mentah dan hilang demikian saja. Banyak pihak yang menolaknya. Lalu hilang demikian saja.
Kini, pangana itu diapungkan lagi oleh wakil rakyat yang duduk di DPRD Sumatra Barat, malah, dari pengakuan mereka, akan dikembangkan dalam pembahasan APBD 2006. Jika dulu wacana ini tidak sampai ke tingkat legislatif, kini barang itu sudah berada di tangan wakil rakyat. Entah bentuk apa realisasinya, kita belum tahu, tapi kita tunggu sajalah selanjutnya.
Tapi, ada baiknya juga, karena wacana itu telah di tangan wakil kita, maka saya usul agar pulau yang akan ditempati WTS itu ditata dan dibangun dengan fasilitas yang representasif dan profesional. Maksud saya, pulau itu dikhususkan buat lokalisasi bukan semata diperuntukkan isolasi bagi WTS yang ditangkap Sat Pol PP. Penempatan lokalisasi WTS di salah satu pulau yang ada di wilayah hukum Sumatra Provinsi Barat lebih banyak mendatangkan manfaat ketimbang berkeliaran di sudut-sudut kota dan pojok jalan. Kontrol bisa dijalankan dengan sistematis, akurat, dan jelas. ***
No comments:
Post a Comment