KODE-4

Friday, February 16, 2007

Sistem Pendidikan: Penjara Nasional

OLEH Nasrul Azwar
Sistem Pendidikan Nasional Indonesia bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia lndonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Sistem pendidikan juga harus menumbuhkan jiwa patriotik dan mempertebal rasa cinta tanah air, meningkatkan semangat kebangsaan dan kesetiakawanan sosial, dan sikap menghargai jasa para pahlawan serta berkeinginan untuk maju. Iklim belajar mengajar yang dapat menumbuhkan rasa percaya diri sendiri dan budaya belajar di kalangan masyarakat terus dikembangkan agar tumbuh sikap dan perilaku yang kreatif, inovatif, dan berorientasi ke masa depan.

Kalimat di atas memang cukup ideal dan tujuannya pun sangat agung. Namun demikian, dalam praktiknya dalam tataran empirik, boleh jadi kalimat itu hanya sebatas kalimat dan tak ada bedanya dengan tujuan yang utopis. Terlalu berat malah tugas yang disandangnya. Dan output yang dihasilkan dari sistem pendidikan dengan tujuan yang maha agung itu, tampak jauh panggang dari api. Buktinya, tentu dapat dilihat dari persaingan dalam tataran global. Output dari sistem pendidikan itu keok dalam percaturan pemikiran dan tenaga kerja di tingkat global.
Kini muncul pelbagai konsep dan sistem pendidikan di Indonesia: ada namanya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Manajemen Pendidikan, Sekolah Unggul, dan lain sebagainya, yang pada gilirannya jelas sangat-sangat membingungkan bagi pendidik, dan tentu saja yang kerap menjadi “kelinci percobaan” adalah murid. Dan semua sistem yang dan konsep yang dikeluarkan itu tetap saja punya orientasi pada proyek. Maka, muncul di kota-kota tertentu sebagai tempat “uji coba” KBK, Sekolah Unggul, dan lain sebagainya. Dan kota itu ditetapkan sebagai proyek percontohan, dan seterusnya dan seterusnya.
Karena siswa yang menjadi kelinci percobaan, keluhan dan kelisahan siswa kerap muncul, baik secara langsung maupun tak langsung. Pada sebuah home page depdiknas saeorang siswa di salah satu SMU N di Jogjakarta mengeluh dan merasa bosan dengan beban yang dipikulnya sebagai seorang siswa SMU.
Siswa itu menulis seperti ini: Saya adalah murid salah satu SMU Negeri di Yogyakarta yang ingin mengatakan, bahwa sistem pendidikan di Indonesia tidak lebih dari sebuah penjara bagi siswanya. Karena siswa harus mengikuti beberapa pelajaran yang kurang diinginkan, tetapi sistem adalah sistem yang sulit untuk diubah. Saya maklumi ini karena sudah berjalan cukup lama dan sulit sekali untuk diubah. Saya bukannya mau meniru sekolah di luar negeri, tetapi mengapa tidak dicoba dulu. Seperti saat ini di sekolah saya ada kelas akselerasi, SMU 2 tahun. Ini hanyalah sebuah percobaan, tetapi tetap berjalan.
Di sekolah saya saat ini sedang mencoba penyampaian materi pelajaran dengan menggunakan komputer, walaupun fasilitas disekolah kami kurang mencukupi, tetapi ada seorang guru yang ingin menerapkan sistem ini disekolah kami. Walaupun dulu ditentang oleh banyak guru dan bahkan oleh kepala sekolah sekalipun, tetapi tidak menyurutkan niatnya, dan sekarang sudah berjalan cukup lancar. Saya tidak ingin menyalahkan siapa yang salah, tetapi ini membuat siswa merasa jenuh dan bosan. Banyak siswa yang bolos sekolah karena malas, setiap hari isinya sama saja. Dan siswa sekarang banyak yang tidak menghormati gurunya, dan saya kira ini dari kesalahan sebuah sistem yang kacau. Sekolah = penjara = bosan.
Keluhan siswa tersebut bukan sebuah rekayasa, dan barangkali keluhannya itu merupakan representasi dari jutaan siswa di negeri ini.Hal demikian juga terjadi pada para pendidik. Banyak suara-suara yang mengeluhkan berat dan tak jelasnya arah sebuah sistem pendidikan yang dua tahun terakhir banyak konsep yang ditawarkan.
Ditambahkannya, soal pendidikan adalah soal sikap dan komitmen terhadap pencerdasan anak didik. Sehebat apapun sebuah sistem dan kurikulum, jika tidak didukung dengan sikap dan komitmen pendidik dan birokrat, jelas tak akan ada gunanya.
Memotong Peran Birokrat
Masalah sistem pendidikan serta dampak yang dihasilkan dari sistem itu terhadap anak didik memang menjadi problem bak lingkaran setan. Satu persoalan yang ada berkaitan dengan ke “jaringan” birokrasi lainnya, dan seterusnya demikian. Satu konsep pendidikan yang ditawarkan, misalnya, hal ini tentu akan menyentuh dan menguntungkan sekian banyak birokrat. Sistem kebijakan yang sentralistik dan terpusat dinilai banyak kalangan sebagai penyebab “membusuk” dan rumitnya problem pendidikan Indonesia. Maka, pemberian kewenangan yang besar ke daerah serta upaya desentralisasi pendidikan diharapkan sebagai solusi untuk memecahkan sebagian problem pendidikan yang demikian belukarnya. Namun, ternyata, otonomi dan kewenangan itu ditafsirkan melenceng dari sukma otonomi, dan justru memunculkan “raja-raja” kecil di tingkat lokal.
Menurut Zulfikri Anas, dari Pusat Kurikulum Balitbang Diknas, campur tangan birokrasi terhadap sistem pendidikan dan kebijakan pendidikan menjadi titik awal mala petaka hancurnya pendidikan di Indonesia. Otonomi yang diserahkan ke daerah (lokal) dinilai gagal dilaksanakan, karena daerah dianggap tidak siap untuk hal itu. Pusat setengah hati memberikan kewenangan pada untuk kebijakan di tingkat lokal, dan terlihat ada upaya untuk “menggantung” kewenangan itu.
“Untuk mencari jalan ke luarnya dalam memecahkan problem pendidikan, maka pemahaman terhadap otonomi mesti diredefinisi lagi. Bahwa otonomi bagi daerah adalah memberikan keleluasan untuk mengambil kebijakan teknis bagi daerah untuk menentukan arah pendidikannya. Dan kewenangan pusat (depdiknas) sebatas kebijakan di tingkat filosofi pendidikan. Untuk menentukan buku yang digunakan, sistem ajar, dan masalah pola pendidikan lainnya hendaknya daerah mengambil peran. Dalam hal ini tidak ada pola minta petunjuk ke pusat,” katanya.
Pemahaman demikian, lanjutnya, yang semestinya ditekankan di tingkat lokal. Peran birokrasi harus dipotong dan tidak ada campur tangan birokrat di dalamnya.
“Peran birokrat yang selama ini cukup kuat yang menjadi penyebab hancurnya sistem pendidikan kita. Maka, hingga ini ke atas, campur tangan birokrat harus diputus, dan sekolah masing-masing yang menentukan kebijakan pendidikannya,” jelasnya.
Untuk hal demikian memang dituntut komitmen dan kekuatan hati nurani. Karena, dengan memutuskan peran birokrasi, paling tidak itu akan menghilangkan sebagian proyek-proyek di tingkat birokrasi pusat dan kota/kabupaten. Dan ini jelas bukan pekerjaan yang sederhana dan ringan. Ada kemauan keras di dalamnya.
KBK: Konsep Pendidikan Surau
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dinilai sebagai salah satu konsep pendidikan yang akan menjawab tantangan dan memecahkan dari sekian banyak dan rumitnya persoalan pendidikan di Indonesia.
Bagi Zulfikri Anas, yang terlibat secara langsung dalam menggodok dan mengembangkan serta menyosialisasikan KBK ini mengatakan bahwa roh dan filosofi dari KBK itu justru berangakat dari sistem dan konsep pendidikan yang ada di surau dan pendidikan informal lainnya di Nusantara ini. Jika konsep itu memakai istilah asing, karena dalam sejarahnya sistem pendidikan tradisi kita itu telah lama diadopsi negara asing, dan kini bangsa kita mengadosinya kembali untuk pendidikan kita.
Masyarakat Indonesia – terutama di Minangkabau – telah lama menggunakan KBK ini. Terutama dalam pendidikan surau. Sementara banyak kalangan pakar pendidikan di Indonesia justru tidak menyadari hal ini. Pada intinya, KBK lebih menekannya pada nilai humanistik, dan memanusiakan manusia.
Maka, kata Zulfikri, antara pengetahuan (knowledge) dengan kompetensi (competency) adalah dua komponen kemampuan manusia yang menyatu secara kontinum. Namun, dalam implementasi kurikulum ada penekanan-penekanan sesuai dengan filosofi yang dianut dan ke arah mana pendidikan diorientasikan. Kurikulum yang berbasiskan pengetahuan menunjukkan bahwa orientasi pembelajaran adalah untuk tahu (to know). Pembelajaran dianggap tuntas apabila semua peserta didik telah diberi materi yang sama, proses belajar mengajar bersifat informatif dan siswa diposisikan sebagai wadah untuk diisi. Pola ini sangat rentan dengan “over control” karena ukuran ketuntasan pembelajaran dilihat dari ketuntasan materi (bahan ajar). Kegiatan belajar mengajar akan berhenti ketika bahan ajar telah habis, sebaliknya, guru seperti berpacu dengan waktu ketika ada sejumlah materi belum tersampaikan secara langsung melalui tatap muka.

“Karena sasarannya semua anak harus tahu semua informasi secara bersamaan, maka dalam pemberian informasi semua anak dianggap sama. Perbedaan di antara anak ditentukan oleh skor yang mereka peroleh setelah diberi serangkaian soal-soal pilihan ganda yang sangat subyektif. Subyektifnya pilihan ganda karena semua rangkaian proses penyusunan soal, mulai dari pemilihan topik, pemilihan kata dalam bahasa soal, penentuan alternatif pilihan jawaban, sepenuhnya otoritas guru/pembuat soal. Sementara ketika anak telah memberikan jawaban, tidak ada pertimbangan lain kecuali benar- salah. Menjawab benar berarti pintar dan menjawab salah berarti bodoh!”
Dalam konsep KBK, nuansa akdemik lebih diutamakan daripada nuansa birokrasi. Peraturan diberlakukan untuk memperlancar proses belajar mengajar. Jika terjadi benturan antara kepentingan akademik dengan kepentingan birokrasi, maka peraturan yang harus diubah.
Maka, sistem pendidikan harus merdeka dan membebaskan dari campur tangan birokrasi.***

No comments:

Post a Comment