KODE-4

Friday, February 16, 2007

FSUA, Katak di bawah Gelas

OLEH Nasrul Azwar

Tiga edisi harian Singgalang, tangga19, 26, 28 Februari 2006, menurunkan artikel yang ditulis Ade Efdira, Melda Riani, dan Chandra Antoni. Ketiganya “orang dalam” yang pernah menerima “serat ilmu” di kampus Fakultas Sastra Universitas Andalas (FSUA). Inti pemikiran yang dituangkan Ade Efdira adalah kekecewaan yang telah terakumulasi sejak pantatnya pertama kali terhenyak di bangku FSUA sampai menyadari bahwa sesungguhnya ia tidak mendapatkan apa-apa dari kampus itu selain deretan nilai yang akan diadu dengan lulusan fakultas sejenis di tempat lain. Tulisan Ade Efdira provokatif sekaligus menggugat. Melda Riani tak lebih penekanan kepada apa yang telah diucapkan Ade Efdira dengan bahasa yang persuasif. Sedangkan Chandra Antoni sebagian besar ditekankan pada penolakan terhadap apa yang ditulis Ade Efdira. Tapi, terlepas dari itu, apa yang disampaikan ketiga orang ini tetap berada dalam frame mempertanyakan posisi, fungsi, kontribusi, dan kemampuan akademis serta intelektualitas para penghuni kampus FSUA itu.

Bagi saya, apa yang ditulis ketiga orang itu bukan perkara main-main. Dan, tentu, diharapkan juga tulisan itu tidak dipandang dari sudut siapa yang menulis, tetapi mestinya dipahami dari sudut dan perspektif content yang disampaikan. Ini perlu saya sampaikan karena informasi yang saya peroleh, beberapa orang pengajar di FSUA seperti kebakaran jenggot membaca tulisan Ade Efdira, dan memvonis tulisan itu kekanak-kanakan. Mereka melayangkan short messages service (SMS) ke radaktur Singgalang, yang isinya menyayangkan mengapa tulisan seperti itu dimuat. Informasi itu saya terima sembari mengatakan malah mereka itu yang tampak kekanak-kanakan. Sempit, kerdil, dan naif.

Memasuki minggu kedua, artikel itu memang tidak tampak menuai respons berupa tulisan dari para pangajar di FSUA, selain berupa “gunjingan” di kantor jurusan masing-masing dan tentunya kafe di sekitar sana. Respons dengan caranya masing-masing datang dari mahasiswa-mahasiswa FSUA. Kita tak mengetahui apa alasan mereka membiarkan demikian saja tudingan yang diarahkan ke “dapur” mereka itu. Paling tidak, kita masih berharap adanya penjelasan yang elegan dan dewasa dari pihak terkait dari kampus FSUA, jika tidak mau dikatakan sebagai sekumpulan manusia bertitel yang paling cuek di muka bumi.

Menara Gading Limau Manih

Kahadiran Fakultas Sastra semenjak tahun 1982 dalam lingkungan Universitas Andalas—yang kini usianya telah memasuki seperempat abad—bukan berorientasi sepenuhnya untuk menghasilkan praktisi di area, taruhlah sastrawan, wartawan, teaterawan, hartawan, pesilat, pedendang, pemain randai, datuk-datuk, penerjemah, pelaku sejarah, penulis naskah kuno, dan kamerawan, misalnya. Jika pun kelak ada yang memasuki area itu, tak lebih tersebab kemauan diri sendiri dan sangat personalitif. FSUA punya visi dan misi keilmuan dan kajian yang memusatkan perhatiannya pada perkembangan ilmu yang relevan selanjutnya sebagai pertanggungjawaban keilmuan, hasil studi itu dipublikasikan ke tengah masyarakat dan jaringan-jaringan lainnya. Tujuan demikian yang sesungguhnya menjadi prioritas sebuah fakultas dalam lingkungan universitas.

Sepanjang dua puluh empat tahun keberadaan FSUA, visi dan misi yang tampak sederhana itu, terasa sangat berat direalisasikan. Dan FSUA seperti kehilangan orientasi, arah, dan tanggungjawab kulturalnya sebagai masyarakat ilmiah. Para pangajar, yang sebagian besar adalah alumni fakultas itu sendiri, tidak lagi memperlihatkan vitalitas, semangat—yang saat jadi mahasiswa mampu berbuat sesuatu yang berarti dalam kondisi yang memprihatinkan sekalipun—seolah berada dalam “sistem” yang mereka pelihara sendiri untuk membelenggu dan memborgolnya. Akhirnya, yang menarik untuk didiskusikan saat berada di kampus adalah bagaimana memiliki mobil, rumah yang besar, dan proyek-proyek ini-itu. Tidak ada lagi sensitivitas keilmuan untuk merespons fenomena dan isu yang berkembang di tengah-tengah kian rimbunnya perkembangan karya sastra Indonesia mutakhir, tentang kontroversi Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsialisasi (RKK) yang memutuskan pertanggungjawaban negara terhadap korban kekerasan negara di saat meletusnya PRRI, pelurusan sejarah tentang Presiden Indonesia, RUU Pornografi dan Pornoaksi, Ranperda Tanah Ulayat, RUU Ketertiban Berbahasa Indonesia yang isinya pelarangan menggunakan bahasa asing (termasuk bahasa Inggris), tentang Pemerintah Kota Pariaman yang tidak mau menyelenggarakan iven budaya Oyak Tabuik baru-baru ini yang akhirnya dapat juga digelar dengan cara badoncek oleh masyarakat sekitar, atau bentuk evaluasi terhadap pelaksanaan Perda No 9/2000 tentang kembali ke nagari yang pelaksanaannya tampak menyingkirkan posisi tungku tigo sajarangan di nagari-nagari di Sumatra Barat, dan banyak lagi jika ditambahkan.

Hal di atas baru disebut menyangkut fungsi dan peran FSUA sebagai salah satu institusi ilmiah, belum lagi mengenai jaringan untuk membuka diri dalam komunikasi dan pergalaulan yang lebih luas. Untuk lingkungan Sumatra Barat saja, kita tidak pernah menyaksikan sebuah penandatangan kesepakatan kerja sama, misalnya, dengan Pemerintah Provinsi Sumatra Barat perihal tanah ulayat, dan lain-lainnya, dengan Pusat Pengkajian Islam Minangkabau (PPIM) tentang upaya penerbitan buku dan hasil penelitian, dengan Pusat Dokumentasi Informasi dan Kebudayaan Minangkabau (PDIKM) menyangkut pertukaran informasi dan studi, dengan Balai Bahasa Padang mengenai upaya untuk meyakinkan bagi pihak-pihak yang tidak tertib menggunakan bahasa Indonesia, dengan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisi, dengan media massa, dan lain sebagainya. Untuk luar Sumatra Barat misalnya, dengan British Council, dengan Yayasan Kelola, universitas-universitas, komitas-komunitas budaya, atau dengan lembaga-lembaga yang menyediakan dana hibah, dan lain sebagainya. Dan tidak perlu dipaparkan untuk wilayah internasional.

Selain itu, untuk internal FSUA sendiri, menyangkut pemanfaatan teknologi informasi jelas jauh tercecer dengan perguruan tinggi lainnya. Sebagian besar manusia di atas bumi ini menyadari pentingnya arti dan manfaat teknologi komputer dan aspek-aspek yang mengikuti perkembangannya. Namun, tampaknya tidak demikian dengan FSUA, dan juga Universitas Andalas sendiri. Jika pun Unand telah memiliki sebuah portal dengan server sendiri, tapi belum menunjukkan signifikansi kegunaan dari sebuah portal. Yang ditampilkan sebagai content situs hanya berkisar hal-hal seremonial yang dilakukan pihak petinggi Unand, release kegiatan mahasiswa dan staf pangajar, dan lainnya yang justru sangat tidak berguna bagi pihak-pihak yang ingin memperoleh data-data dan informasi yang lebih dalam tentang ilmu pengetahuan. Selain itu, content situs pun di update tidak berketentuan jadwalnya. Tidak konsisten. Belum lagi bentuk dan format situs yang statis dan membosankan.

Untuk FSUA sendiri, walau ada link sub-domain di portal Unand, justru tampak lebih parah lagi. Tidak ditemukan dalam content yang dapat memenuhi kebutuhan bagi para pengguna internet, misalnya, tentang penelitian sejarah orang-orang rantai di Sawahlunto, sejarah bangunan tua di Sumatra Barat, sejarah dan asal-usul nagari tertentu di Minangkabau, bahasa dan dialek di Minangkabau, sejarah silat, tentang AA Navis, Wisran Hadi, tentang seniman tradisi Islamidar, pernaskahan, sejarah teater modern dan tradisi di Sumatra Barat, karya-karya terjemahan, kritik sastra, pidato pasambahan Minangkabau, kaba-kaba, dan lain-lainnya. Padahal, hasil penelitian yang berkaitan dengan hal di atas, saya kira, FSUA memilikinya, atau paling tidak sebagian besar data-data awal telah dipunyai. Tapi, apa mau dikata, kegagapan akan teknologi dan enggan mau belajar, serta tidak rela membuka diri untuk memanfaatkan jaringan yang telah tersedia, maka seperti inilah FSUA adanya; seperti katak di bawah gelas.

Jika demikian adanya, maka kekecewaan, gugatan, dan sejenis itu terhadap FSUA, mendapat pembenaran dan pantas. ***

No comments:

Post a Comment