KODE-4

Showing posts with label CATATAN SENI HALIM HD. Show all posts
Showing posts with label CATATAN SENI HALIM HD. Show all posts

Wednesday, April 18, 2007

Sardono, Umur, dan Kepenarian

OLEH Halim HD
“Saya sudah tua, tidak akan lagi menari”, itulah sepotong kalimat yang diucapkan oleh salah satu maestro dunia tari kita, Sardono W. Kusumo, pada sesi diskusi pada acara Indonesia Dance Festival (IDF) 2006, Jakarta, setelah salah satu pertunjukan di teater kecil Taman Ismail Marzuki (TIM). Saya tidak mendengarnya secara langsung. Kata-kata dari sosok yang kita segani itu saya dengar dari cerita seorang rekan yang selama beberapa hari mengikuti hajatan dunia tari yang setiap tahun senantiasa mengundang perhatian publik peminat seni pertunjukan. 

Pakarena, Jean, dan Selop

OLEH Halim HD
Usaha untuk mematut-matutkan diri bukanlah suatu yang yang buruk. Seseorang yang merasa ingin dianggap dan menjadi tinggi tubuhnya, bisa saja dia melakukan suatu operasi atau menjalankan terapi, agar tubuh dlihat semampai dan cantik berdasarkan suatu konsep tentang keindahan tubuh. Namun, sering kita juga menyaksikan betapa banyak orang yang kerap memaksakan diri, seperti halnya seseorang yang menyaksikan suatu mode pakaian yang nampak indah dalam suatu lembaran iklan atau siaran teve, dan lalu dia ingin membeli dan memilikinya. Sementara itu, dia tidak menyadari benar bahwa keindahan pakaian yang dilihatnya sudah disesuaikan dengan kondisi tubuh peraga dan juga jamannya.

Tradisi yang Kehilangan Fungsi


OLEH Halim HD
Apa yang bisa kita harapkan dari posisi kehidupan tradisi yang nampaknya kini kian rapuh, betapapun begitu banyak usaha, terutama dalam bentuk pernyataan dari rasa keprihatinan dan uji coba dalam berbagai kegiatan, dan yang paling banyak lagi adalah pidato? Pertanyaan ini kita hadapkan kepada diri kita sendiri sehubungan dengan kian derasnya laju globalisasi dalam wujudnya produksi massal dari sistem industri global kapitalisme yang secara kasat mata nampak menelikung kita dalam berbagai bentuk konsumtivisme yang sudah demikian berurat akar di dalam kehidupan masyarakat kita? 

Kuratorial Tari: Waktu, Data, dan Kejujuran


OLEH Halim HD


Di dalam peristiwa kebudayaan yang kita sebut festival yang telah menjadi tema kehidupan masyarakat seniman yang sepanjang tahun selalu dinanti-nantikan oleh pelaku, kritisi, pengamat dan publik senantiasa berhadapan dengan problema: adakah acara itu sebagai suatu peristiwa milik masyarakat bersama, ataukah hal itu sebagai acara yang digarap oleh event organizer yang kini kian menjamur dimana-mana, yang ingin mengumpulkan kalangan seniman dan mengajak kepada pelaku kesenian untuk menyajikan karya-karya yang dianggap layak untuk ditonton. Pada peristiwa seperti itu, kita sering bertanya-tanya, bagaimana mungkin misalnya sebuah acara dengan sejumlah embel-embel yang telah disebarkan kepada masyarakat, namun selalu kita juga mengalami kekecewaan didalam menyaksikan isian acara itu.

Tuesday, April 17, 2007

Ironi Sebuah Padepokan

OLEH Halim HD
Itulah yang terjadi, yang sesungguhnya sudah begitu banyak saran dan usulan untuk bagaimana menangkap gejala yang demikian deras membentuk menjadi kenyataan, yang kini sangat pahit dirasakan. Hal itu terjadi pada Padepokan Lemah Putih (PLP) yang dikelola dan dimiliki oleh sosok tokoh movement dalam dunia seni pertunjukan, Suprapto Suryodarmo, yang pernah selama rentang waktu tahun 1980-90-an demikian fenomenal sebagai figur yang ikut mengisi bukan hanya dalam bentuk acara, tapi juga khasanah dan pengenalan kepada sisi lain dari kehidupan seni pertunjukan moderen-kontemporer yang berangkat dari berbagai gabungan akar tradisi: Jawa, Buddhisme, Tai Chi, Pencak dari berbagai wilayah nusantara dan tradisi yang diajarkan pada lembaga pendidikan.

Hak-Hak Budaya dan Ruang Publik

OLEH Halim HD
Kalangan seniman moderen yang biasanya hidup di wilayah perkotaan dan dengan kesadaran kepada informasi yang tinggi dan selalu identik dengan mitos tentang proses perubahan kebudayaan dan kondisi kehidupan dalam berbagai seginya, melandasi dirinya kepada cara pandang bahwa kebebasan individu merupakan suatu pertaruhan yang utama, yang perlu dan senantiasa mesti diperjuangkan. Hak dan bahkan kewajiban seperti itu merupakan pandangan dan sikap politik yang dibawa oleh dirinya sejak ratusan tahun yang lampau, ketika masa yang dianggap sebagai suatu jaman pencerahan di mana manusia sebagai makhluk pencipta dan memilki tanggungjawab bukan hanya kepada karyanya saja, tapi juga kepada lingkungannya. 

Catatan Terbuka untuk Staf Taman Budaya Surakarta

OLEH Halim HD
Pada catatan saya yang terdahulu yang saya beri tajuk “Suksesi Murti dan Visi Taman Budaya Surakarta” yang saya tulis dari Makassar pada tanggal 12 Maret 2007, saya lebih banyak menekankan kupasan saya kepada posisi dan fungsi kepemimpinan yang pernah diletakan oleh juragane TBS sepanjang hampir 27 tahun (selama rentang waktu kekuasaan 5 presiden, 10 menteri, 10 dirjen, dari jaman Suharto, Habibie, Gusdur, Megawati sampai SBY). 

Negara, Senirupa, Kenyinyiran, dan Kambing Hitam

OLEH Halim HD
Setiap warga pembayar pajak berhak mempertanyakan dan bahkan menggugat posisi-fungsi negara: sejauh manakah pengelola negara sudah benar-benar menerapkan undang-undang yang telah disepakati, misalnya adakah negara beserta perangkatnya memberikan anggaran yang cukup bagi kehidupan kesenian, dan sejauh manakah anggaran itu memadai bagi missi kesenian yang bisa mencitrakan sebuah bangsa melalui berbagai peristiwa, apakah itu biennale (dan festival). Hal itulah yang dipertanyakan oleh para seniman-perupa dalam diskusi di Yogyakarta seperti yang ditulis oleh Kuss Indarto “Lenyapnya Negara di Seni Rupa” (Kompas Minggu 1 April 2007). Diskusi itu menggugat posisi-fungsi negara yang tidak pernah mendukung missi senirupa moderen keberbagai peristiwa antrar bangsa.

Membayangkan Yogyakarta

OLEH Halim HD
Adakah impian seorang warga tentang suatu kota yang dianggap bisa dinikmati dengan enak sebagai suatu wishful thinking, impian disiang hari bolong, pelarian dari kenyataan kehidupan sehari-hari, frozen into nosltalgia, membeku pada masa lalu? Warga sebagai pembayar pajak sesungguhnya bukan hanya berhakbertanya, tapi juga berkewajiban untuk menggugat. Untuk itulah jika saya kini berusaha membayangkan Yogyakarta yang rindang, dan asap kendaraan bermotor kian susut, dan dada terasa enak, lega, dan mata tak perih kena debu dan asap motor-mobil, dan berjalan bisa dengan santai, serta tak takut diserempet motor-mobil, dan trotoar, side walk leluasa, dan warung-warung tak sekepenake dewek membuang bekas banyu isah-isah ditempat orang lalulalang. Jika impian dan sekaligus usaha menggugat kondisi Yogyakarta kini saya lakukan, karena saya pernah menikmati Yogyakarta seperti yang saya impikan.

Festival Kesenian Yogya dan Ruang Publik


OLEH Halim HD


Sebulan-dua yang lalu saya mendapatkan kiriman email dari seorang rekan di Yogyakarta yang mengundang saya untuk terlibat dalam seminar tentang FKY (Festival Kesenian Yogyakarta). Karena saya berada di Makassar, maka saya kirimkan beberapa catatan sebagai kontribusi saya yangs elama ini melibatkan diri dalam berbagai festival di Jawa maupun luar-Jawa. Dalam kaitan dengan hal itu, ada baiknya, yang sesungguhnya untuk kesekian kalinya saya menulis tentang hal ini, membicarakan kembali, merenungi apa sesungguhnya sebuah festival, dan bagaimana sebuah kota yang dilanda oleh derasnya ekonomisasi ruang, mampu membuat festival yang bukan hanya untuk seniman saja, tapi yang terpenting adalah bagaimana melibatkan berbagai lapisan masyarakat.

Suksesi Murti dan Visi Taman Budaya Surakarta

OLEH Halim HD
Bukan bermaksud diri menepuk dada lantaran pernah dan masih tinggal di Solo, jika saya menyatakan, bahwa ada sesuatu yang sangat menarik dari posisi dan fungsi TBS (Taman Budaya Surakarta). Yang menarik itu, bukan lantaran TBS memiliki sejumlah sarana yang boleh dikatakan memadai, jauh lebih memadai dibandingkan diantara berpuluh Taman Budaya (TB) yang ada di seantero nusantara yang pernah saya kunjungi. 

Sriwedari: Hak Sejarah dan Ruang Publik

OLEH Halim HD
Dari suatu kota yang memiliki situs sejarah dan telah menjadi landmark kota yang telah berumur ratusan tahun, yang oleh warganya dianggap sebagai suatu wilayah dimana mereka mengikatkan memori sosialnya kedalam lingkungan tradisi yang menjadi salah satu cikalbakal perkembangan kehidupan tradisi kota, disitu pula warga memandang suatu wilayah sebagai milik bersama. Sebuah ruang yang dianggap sebagai milik bersama betapapun kini dalam kondisi yang merana, hampir-hampir mendekati amburadul karena tiadanya strategi kebudayaan pengelola kota di dalam pengembangan tata kota, tetap saja warga menganggap bahwa ruang itu menjadi bagian dari sejarah kehidupan sosial mereka. Marilah kita tengok Taman Sriwedari, suatu nama yang sangat indah yang diangkat dari mitos kehidupan wayang yang selama seribuan tahun telah berakar didalam benak dan tata laku warga kota, hampir-hampir kondisinya tidak lagi bisa dianggap sebagai sebuah “taman”. 

Seni Rupa di Makassar: Labirin Masalah

OLEH Halim HD
Banyak kalangan perupa di Makassar dan daerah sekitarnya di wilayah Sulawesi Selatan (Sulsel), termasuk juga diantaranya kalangan perupa dan pengamat dari luar wilayah itu bertanya: kenapa kehidupan senirupa di Makassar dan Sulsel tidak pernah dibicarakan, dan kenapa gaung kehidupan senirupanya tak pernah kalau tidak ingin dikatakan disinggung oleh kalangan media dan pengamat? Pertanyaan itu, selalu saya dengar dari kalangan perupa Makassar sendiri maupun mereka yang berminat. Dan selama kurang lebih sekitar 10-an tahun saya bolak-balik antara Solo dan ke wilayah kebudayaan yang memiliki tiga pendukung sub-etnis (Makassar, Bugis, Toraja; dahulu empat, ditambah Mandar. 

Monday, April 16, 2007

Perjalanan Eduardo Galeano

Oleh Halim HD
“To be alive: a small victory. To be alive, that is: to be capable of joy, dispite
the good-byes and the crimes, so that exile will be a testimony to another,
possible country ……. Joy take more courage than grief. In the end,
we are accustomed to grief”.

Riwayat Singkat
Galeano dilahirkan di Montevideo, Uruguay, pada tanggal 3 September 1940, dari keluarga Katholik kelas menengah, dikenal sebagai jurnalis dan penulis yang sangat produktif dengan 36 judul buku dalam bentuk novel, kumpulan esai serta reportase dan esai-kolaboratif bersama beberapa fotografer. Beberapa bukunya telah diterjemahkan kedalam beberapa bahasa. Sebagai penulis Galeano lebih daripada penulis yang bergaya ortodoks (orthodox genre) yang menggabungkan dokumentasi, fiksi, jurnalisme, analisis politik, dan sejarah. “I’m a writer obsessed with remembering, with remembering the past America, intimate land condemned to amnesia”.

Balekambang: Ruang Publik Tradisi

OLEH Halim HD
Beberapa waktu yang lalu seorang teman mengirimkan email kepada saya, sebagai bagian memanfaatkan tehnologi jagat maya itu menjadi media diskusi. Dalam kiriman kabar kepada saya itu, dia menyinggung tentang usaha beberapa seniman yang konon ingin membuat “gerakan kebudayaan” melalui rancangan tata ruang publik Balekambang sebagai titik tolak “gerakannya”. Didalam proposal itu, secara rinci dijelaskan apa tujuan dan sasarannya, dan yang terakhir inilah yang terpenting: UUD, ujung-ujungnya duit, yang sekian miliar, yang membuat wawalkot Solo kaget: kenapa pula seniman yang ingin membuat “gerakan” yang belum kelihatan jelas kemana arah dan tujuannya walaupun, seperti siapa saja bisa menyusun, tertulis di dalam proposal.

Degradasi Posisi Keluarga Pengemban Tradisi

OLEH Halim HD
Asumsi bahwa perkembangan dan pertumbuhan ekonomi menciptakan suatu kehidupan kesenian tradisi yang kian kuat, dan mempunyai konsekuensi logis bahwa dengan hal itu maka posisi dan fungsi keluarga pengemban tradisi semakin baik posisi sosial ekonominya, nampaknya kini perlu disanggah, dan bahkan sangat perlu digugat. Rejim Orba yang meletakan dasar-dasar pembangunan dengan tekanan kepada aspek ekonomi selama 30-an tahun nampaknya hanya menciptakan segelintir orang kaya baru (OKB), dan itupun nampaknya tanpa memiliki selera yang bagus terhadap kehidupan kesenian khususnya tradisi. Marilah kita tengok wilayah kebudayaan Sulawesi Selatan, khususnya di kota Makassar.