KODE-4

Friday, February 16, 2007

Catatan Perjalanan ke Melaka:

Cara Melaka Menjual Seni-Budaya Indonesia
OLEH Nasrul Azwar
Pesta Gendang Nusantara (PGN) V di Melaka berjaya mencatatkan rekor dalam The Malaysia Book Of Records. Sebagian peserta PGN V berasal dari Indonesia. Kesenian Indonesia diperdagangkan?
Persembahan Perdana Satu Sempena PGN V yang dilangsungkan pada acara puncaknya 15 April 2002 di Bandar Bersejarah Ayer Keroh Melaka yang berhasil menghimpun 800 pemusik dan penari dari 30 kelompok seni di Nusantara, memang memperlihatkan kelihaian Majlis Perbandaran Melaka Bandaraya Bersejarah (MPMBB), di Indonesia sama dengan Pemerintah Kota, mengelola sebuah paket seni pertunjukan dalam perspektif kepelancongan/wisata.

Paling tidak, strategi dengan mengundang daerah-daerah yang bersentuhan langsung dengan budaya Melayu untuk datang menghadiri PGN V, MPMBB telah sukses membangun citra dirinya: Melaka adalah pusat perkembangan budaya dan kesenian Melayu.
Selain itu, tema PGN V dipilih dengan sangat hati-hati dan penuh perhitungan pelbagai aspek promosi wisata: Serentak, Seirama, Senada, dan Sebudaya. Tema inilah yang menjadi pengikat secara emosional komunitas Melayu di Nusantara yang jumlahnya memang tidak sedikit. Dan Melaka menjadi besar dan dibesarkan masyarakat pendukung rumpun Melayu, termasuk sebagian besar bangsa Indonesia ikut menghebatkan wisata dan PGN di Melaka.
PGN telah dimulai sejak 1995, dan pada 2002 ini tercatat paling banyak pesertanya: 30 kelompok musik dan penari dari Nusantara ikut serta di dalamnya. Sumatra Barat mengutus dua kelompok musik dan tari, yaitu dari Universitas Negeri Padang (UNP) dan Kelompok Randai Palito Nyalo dari Kota Padang. PGN V kali ini dihadiri 4 negara: Malaysia (tuan rumah), Thailand, Singapura, dan Indonesia. Negara Indonesia termasuk paling besar mengirimkan duta seninya, yakni lebih kurang 20 kelompok. Dari 20 kelompok musik dan tari itu semua berasal dari latar belakang budaya dan seni Melayu. Mulai dari Aceh, Riau, Sumatra Barat, Jambi, Kalimantan, hingga Sulawesi.
PGN V dilangsungkan selama sepekan, semenjak 10-17 April 2002. Klimaks dari prosesi sempena PGN V jatuh pada 15 April 2002 sebagai hari Perayaan Melaka Bandaraya Bersejarah yang ke 13.
Bandaraya (Kota) Melaka pertama kali diresmikan sebagai bandaraya bersejarah pada tanggal 15 April 1989. Maka, setiap tanggal itu, Melaka melangsungkan puncak pesta gendangnya, dan telah menjadikan PGN V sebagai kalender rutin tahunan paket wisata MPMBB. Tak salah, jika masyarakat Melaka menjuluki kotanya dengan “adigium” yang cukup promotif: Visit Historic Melaka Means Visit Malaysia (Mengunjungi Melaka Bersejarah Berarti Mengunjungi Malaysia). Kira-kira mereka ingin mengatakan, tak ada artinya ke Melaysia tanpa singgah ke Melaka.
Dalam Persembahan Perdana Satu Sempena PGN V, Ketua Menteri Datuk Seri Mohd Ali Mohd Rustam saat membuka resmi acara itu menyatakan rasa bahagia dan gembiranya. “Dengan musik dan tari, serta ikatan budaya rumpun Melayu, kita mampu menembus batas wilayah negara, dan kini kita berjumpa dalam kemesraan di Melaka Bandaraya Bersejarah,” katanya, sekaligus menyerahkan piagam pemecahan rekor [i]The Malaysia Book Of Records[i] kepada Yang Dipertua (Wali Kota di Indonesia) MPMBB, Md Sirat Abu.
Kesuksesan PGN V melibatkan 800 orang penabuh gendang dan penari dari Nusantara dan mampu memecahkan rekor di Malaysia, memang menambah satu lagi catatan sejarah untuk negeri ini. Dengan disaksikan hampir 50.000 pengunjung dan sekaligus telah memacetkan hampir 3 jam lalu-lintas di Ayer Keroh Melaka, di atas panggung yang cukup luas, malam itu, tepat saat ulang tahun Kota Melaka ke-13, gendang bertalu-talu, seruling sahut menyahut, dan diiringi dengan tari kolosal, berpestalah masyarakat Melaka sembari disiram dengam kembang api, yang konon untuk pesta kembang api ini saja menghabiskan biaya RM 70.000,- (dirupiahkan sekitar Rp 173.250.000,-).
Membesarkan Melaka
Keberhasilan Melaka merangkul etnis Melayu di Nusantara untuk ikut berpartisipasi menyukseskan PGN itu, tentu saja bukan serta merta sebagai anugrah yang datang dari langit. Paling tidak, kejayaan itu tersimpan kerja keras di dalamnya.
Banyak hal yang menarik dapat diserap dari pola kerja lembaga-lembaga yang terlibat di dalam PGN itu. Pola kerja ini bisa dijadikan pelajaran, minimal instansi yang berkaitan dengan wisata di negeri ini, yakni pelbagai sektor yang berkaitan dengan dunia pelancongan di Melaka punya visi yang jelas dan sama tentang kepariwisataan dan pelancongan.
Artinya, satu paket wisata, letakkanlah misalnya, Pesta Gendang Nusantara, mereka mengemasnya secara sistematis dalam sebuah paket pertunjukan seni dengan melibatkan secara langsung pihak-pihak yang diperhitungkan menjadi pusat keramain publik.
Maka, tidak heran jika menjelang acara puncak PGN itu, semua kelompok musik/tari yang ikut dalam PGN, dijadwalkan dengan rapi mempersembahkan pertunjukan musik dan tarinya di pusat-pusat keramaian, seperti plaza dan hotel. Sekitar 6 titik pusat keramaian publik di Melaka menjadi arena panggung pertunjukan kelompok musik dan tari, yang sebagian besar kelompok itu datang dari Indonesia. Dan hampir semua titik pusat keramaian itu dibanjiri pengunjung, baik yang datang dari luar Melaka sendiri maupun masyarakat kotanya, menyaksikan kebolehan seni Melayu.
Bukan itu saja, PGN hanya salah satu peket dari 4 program yang diselenggarakan bersamaan. PGN memang diproyeksikan sebagai puncak dari serangkaian program yang dibuat MPMBB. Di luar itu, juga dilaksanakan Konvensi Twin Cities (Kota Kembar). Hebatnya, Konvensi Kota Kembar ini melibatkan dan mengundang Wali Kota/Bupati, yang daerahnya mengirimkan kelompok musik/tari.
Untuk Kota Padang, Wali Kota diwakili oleh Ir. Indra Catri, Kepala Dinas Pariwisata dan Budaya Kota Padang, namun posisinya sebagainya peninjau. Pihak Melaka barangkali memperkirakan, dengan diundangnya Wali Kota/Bupati sebagai peninjau, paling tidak mereka akan membawa 4 - 5 stafnya. Dan ini akan menambah jumlah pengunjung dan sekaligus mereka ini diperhitungkan punya potensi besar untuk berbelanja di Melaka.
Dan ternyata, dari beberapa daerah lain, seperti Bangka-Belitung, bukan saja Wali Kota bersama stafnya yang datang ke Melaka, akan tetapi juga ikut dalam rombongan isteri Wali Kota dan kolega-koleganya. Pada umumnya, isteri Wali Kota ditempatkan sebagai pembina sanggar daerahnya. Kelompok inilah yang sangat besar “nafsu” belanjanya. Maka, mengalirlah rupiah yang telah diringgitkan ke pundi-pundi negeri Melaka.
Selain itu, juga dilaksanakan parade busana Nusantara. Acara ini digelar di hotel berbintang Equatorial. Maka, di sini pun pengunjung dan tamu hotel disuguhkan dengan pernik dan hiasan busana Melayu. Dan orang-orang pun terkagum dengan busana tradisi yang disuguhkan dari Indoensia. Orang bertepuh riuh dan berdecak saat busana tradisi dari Banjarmasin melintas dan melangkah gemulai di atas panggung. Sementara, Yang Dipertuan (Wali Kota di Indonesia) MPMBB, Md Sirat Abu dan Ketua Menteri Datuk Seri Mohd Ali Mohd Rustam, tersenyum-senyum bangga di kursi empuknya.
Satu lagi, paket program Pertemuan Seniman Serumpun (PSS), yang dilangsungkan 10-17 April 2002. Pertemuan ini secara langsung memang tidak ada berkaitan dengan PGN. Penyelenggaraannya di bawah Institut Seni Malaysia Melaka (ISMMA). Namun sesungguhnya sebuah strategi terselubung untuk memperkuat citra Melaka di mata seniman Nusantara. Pihak ISMMA mengundang seniman dengan kategori, penyair, perupa, dan wartawan.
Dari Sumatra Barat, Dewan Kesenian Sumatra Barat (DKSB) mengutus tiga orang penyair: Asril Koto, Iyut Fitra, dan Agus Hernawan, serta Nasrul Azwar (Sekretaris DKSB). Dari PSS ini dihasilkan “Resolusi” yang berisi, antara lain dengan terbentuknya Pertemuan Penyair Serumpun, Pertemuan Perupa Serumpun, dan Forum Wartawan Serumpun. Dari 3 wadah itu, ISMMA sebagai penyelaras dan sekretariat.
Namun, karena semenjak awal dilangsungkan PSS di kampus ISMMA, tampak beberapa keganjilan yang mengundang tanda tanya.
Keganjilan itu adalah tidak satu pun hadir dalam PSS itu seniman yang berasal dari Melaka atau Malaysia, apa lagi dari negara lainnya (termasuk wartawan). Walau dalam pembukaan PSS, dihadiri Presiden Wartawan Malaysia (PWI-nya Indonesia-red), dari Dewan Bahasa, dan juga Gapena, namun tidak memberi jawaban dari pertanyaan itu. Maka, dengan kondisi dan visi program yang tidak jelas tujuannya, DKSB tidak ikut menandatangani “Resolusi” yang dihasilkan dari pertemuan itu. Dan “Resolusi” itu ditandatangani wakil dari Universitas Negeri Padang.
Mencermati visi dan arah tujuan program yang dirancang pihak Melaka, serta melihat dari rangkaian program PGN V itu, beberapa pihak/kelompok seni yang terlibat pada acara itu, memang merasakan adanya usaha yang sistematis dari penyelenggara mengeksploitasi seni yang dibawa kelompok-kelompok dari Indonesia, walau sebagian belum menyadari hal demikian.
Yang belum menyadari bahwa adanya pengeksploitasiaan seni mereka, tampaknya telah terlena dengan fasilitas penginapan yang disediakan penyelenggara. Sebab, untuk fasilitas penginapan peserta, memang tergolong sangat-sangat mewah jika dibandingkan untuk Indonesia. Barangkali, tak ada kelompok musik/tari yang melakukan pagelaran di Indonesia, diinapkan di apartemen yang setara dengan hotel berbintang, dan itu dilengkapi dengan kolam renang, mobil jemputan yang ber-AC, makanan dengan menu yang terpilih, serta dibawa pula melawat keliling Melaka dan Kuala Lumpur. Selain itu, memang peserta PGN V diberi honorarium sebesar RM 20,- /hari (Rp 49.500,-/hari) oleh pihak penyelenggra. Akan tetapi jumlah itu tak ada artinya jika dibanding biaya total kontigen dari seluruh Indonesia yang dihabiskan untuk pergi ke Melaka.
Bagi yang telah menyadari bahwa telah terjadi “perdagangan seni” Indonesia di Melaka, tentu saja jumlahnya tidak banyak. Akan tetapi, ada beberapa pimpinan kelompok musik dan tari yang menyadari hal itu.
Syaifullah, misalnya. Dia Pimpinan Kelompok Musik dan Tari dari Makassar. “Untuk tahun yang akan datang, kita harus melakukan tawar-menawar dengan pihak Melaka sebagai pengundang. Paling tidak mereka (Melaka) harus menanggung biaya produksi,” ujarnya.
Sekaitan dengan itu, AA Manggeng, Sekretaris Dewan Kesenian Aceh, dan juga Ketua Rombongan dari Aceh, mengeluhkan hal sama. “Saya sudah tiga kali ikut Pesta Gendang Nusantara ini, dan ini tampaknya dirancang dengan sistematis oleh pihak Melaka untuk membesarkan Melaka sendiri. Tahun depan kita mesti menunjukkan harga diri kita,” tegasnya.
Hal senada juga terlontar dari Musra Darizal, tuo randai Kelompok Palito Nyalo Kota Padang. Ia justru menyebutkan, tak banyak yang dapat dipetik dari Pesta Gendang Nusantara ini, dan yang menghebatkan acara ini datang dari Indonesia. “Tak ada pengalaman kesenian yang dapat diraih dari Pesta Gendang Nusantara ini. Kesenian kita diperdagangkan. Tahun depan jika penghargaan Melaka masih seperti sekarang ini, barangkali jika Palito Nyalo diundang, besar kemungkinan kita tidak bisa memenuhinya,” ucapnya.
Melaka, Dimana Segalanya Bermula
Dari perjalanan itu, beragam hal yang menarik yang dapat dijadikan bahan renungan bersama bagi masyarakat Indonesia.
Adalah yang sangat menarik dari rangkaian program yang dilaksanakan selama sepekan itu adalah bagaimana terlihat usaha keras pihak Melaka membangun citra Melaka dan juga Malaysia lewat proses politik kebudayaan. Wacana “Melayu Serumpun” dijadikan semacam basis dan sentimentil bagi mereka untuk mereduksi bahwa Melaka adalah pusat dari perkembangan peradaban Melayu di Nusantara. Dengan kata lain, tak lengkap bicara Melayu jika tidak melibatkan Melaka.
Untuk membangun citra ini, memang banyak hal dan langkah yang telah dilakukan Melaka. Minimal, selain PGN, Melaka juga setiap tahunnya menyelenggarakan konvensi/seminar bertaraf Internasional dengan isu “Dunia Melayu, Dunia Islam”, yang biasanya dilaksanakan bulan Oktober setiap tahun. Konvensi ini mengundang peserta dari negara-negara di Nusantara, negara-negara yang berpeduduk Melayu, dan juga negara-negara Islam. Konvensi “Dunia Melayu, Dunia Islam” sebagai program tahunan merupakan anjuran Kerajaan Negeri Melaka.
Gagasan yang dikembangkan adalah negeri Melaka, di mana segalanya bermula. Tentu saja Melaka sebagai sekretariat pusatnya.
Selain itu, Melaka terus mengembangkan pelbagai pusat pendidikan dan kajian budaya Melayu. Beragam institut didirikan dengan fokus kajian dan pengembangan budaya Melayu. Antara lain, Institut Seni Malaysia Melaka (ISMMA), dan Institut Kajian Sejarah dan Patriotisme Malaysia (IKSEP), juga atas anjuran Dato? Seri Dr Mahathir Mohamad, Perdana Menteri Malaysia, didirikan Perhimpuan Patriotisme Alaf Baru dan dianjurkan didirikan di setiap daerah-daerah di Malaysia.
Malaysia memang telah mempersiapkan dirinya membangun citra dan imej tentang Melayu. Dan Indonesia, yang juga merupakan bahagian penting dari sejarah peradaban Melayu, kini hanya sebagai objek dari pergaulan beradaban Melayu.
Dan kita sendiri sulit menyadari dan sangat-sangat merasa bahagia jika kelompok seni yang kita miliki diundang ke luar negeri untuk tampil, yang nyata-nyata seni yang kita bangun susah-payah itu demikian larisnya mendatangkan duit bagi negeri orang lain. Kita sendiri, tetap terus miskin dan mengeluh sepanjang hari.***

No comments:

Post a Comment