KODE-4

Friday, May 25, 2007

MAESTRO ARBY SAMAH: Pencetus Patung Abstrak

Kata abstrak muncul satu persatu. Tanda Tanya muncul perlahan. Mulai dari kecil dari belakang. Tanda Tanya berhenti di belakang huruf K, sebentar lalu terus membesar maju membelah layar.

Abstrak. Itu kata pertama yang muncul dalam kepala ketika nama perupa ini terucapkan. Seolah-olah, ketika kamus abstrak dibuka, mantan mahasiswa ISI Yogya ini berada diurutan pertama.


Semua pengamat seni dan media massa cetak dan elektronik yang menulis tentang dirinya mengakui hal tersebut. Ia lah puncak menara dari aliran yang sebenarnya tidak populer dikalangan perupa Indonesia.
Cita-citanya jadi perupa mungkin memang telah ‘disengaja’. Dalam artian, sejak kecil, sejak orang tuanya melihat ia mengepal-ngepal tanah liat, menjadi perupa sudah mengalir dalam darahnya sejak ia dilahirkan 1 April 1933. Apalagi ia dibesarkan dalam keluarga yang juga bergelut dalam dunia songket.
Songket tidak hanya mengajarinya menyulam, tapi juga mengenali siapa dirinya. Apa latar kehidupannya. Dan perlahan membentuk landasan yang kuat ketika memilih dunia rupa nantinya.
Untuk mengasah kemampuannya, kemudian orang tuanya mengirim ke Kayutanam. Di mana, sebuah sekolah, INS mengajarkan bagaimana mandiri sebagai seorang manusia. Lebih dari itu, INS hanyalah kolam kecil bagi bakatnya yang begitu besar.
Ini disadari oleh A.A. Navis dan Ramudin. Dengan rekomendasi keduanya, Pak Arby menjadi satu-satunya pelajar dari Sumatra yang dikirim ke ISI Yogya yang waktu itu bernama ASRI Yogyakarta.
Menjadi perupa tidak dijalaninya dengan mudah. Begitu selesai membuat lukisannya yang pertama, bukan pujian yang ia dapat, malah sebaliknya. “Padang Bengkok, tidak bisa melukis. Kembali saja ke Padang!” teriak seorang pelukis tenar, Hendra Gunawan, waktu itu.
Tapi, Minangkabau dan INS mengajarkannya bahwa puji-pujian hanya untuk Tuhan. Meski sempat tersentak, Arby Samah bangkit. Meski hanya tidur dari kotak yang dibuatnya sendiri dan kadang-kadang tidur di bawah tangga dan di luar apabila purnama datang, Arby Samah menekuni dunia rupa lebih giat.
Ia bahkan pernah jatuh sakit karena kehidupan tak teratur itu. Namun, dalam sebuah tulisan Ciman Marah, seorang muridnya, dengan dramatis menceritakan hanya dengan melukislah penyakit Pak Arby sembuh. Dan “Lukisan itu bagus,” kata pelukis Trubus.
Ketekunan itu membuahkan hasil yang tidak lama. Pada lustrum pertama ASRI, patung ‘Potret Diri’ Pak Arby menjadi cover katalogus. Saat itulah, untuk pertama kali, nama Arby Samah mulai dilirik orang.
Namun, jauh di lubuk hatinya, Arby bukanlah orang yang cepat puas. Patung berjenis realis dalam katalog itu memantik sesuatu dalam dirinya. Begitu juga ketika ia berhasil membuat patung tanpa model yang membuat orang terkagum-kagum padanya, malah membuatnya tambah gelisah.
Mungkin karena ia orang Islam, mungkin karena ia orang Minang. Dimana, eksitensi patung menjadi koloni paradoks. Wilayah abu-abu, yang mesti penuh hati-hati dalam menjamahnya.
Mungkin karena itu pula ia kemudian memilih abstrak sebagai alat ucapnya. Tanpa bentuk figuratif, tanpa model, hanya imajinasi tapi penuh kreatifitas tinggi.

Tidak semua orang mendukung pilihannya, begitu hasilnya terlihat. Banyak yang berkerut kening. Banyak yang berdecak tak suka bahkan Presiden Soekarno. “Saya tak suka abstrak,” tegas Presiden Indonesia pertama itu.
Kecewalah teman-teman yang mendukungnya, yang sudah berharap Arby akan kaya karena Soekarno pasti akan memberi fasilitas ‘lebih’ pada seniman yang disukainya.
Sekali lagi, Arby tidak patah hati. Saya mematung bukan untuk presiden, ucapnya suatu kali. Mungkin karena kecewa, mungkin karena kesenimanannya.
Ia punya keyakinan, “Seorang seniman itu, harus mempunyai imajinasi dan daya visualisasi yang kuat. kemudian hal ini dipadukan dengan hati nurani dan piiran sehingga melahirkan karya yang sarat makna dalam berbagai dimensi.”
Jadi memang tak ada ruang untuk presiden dan lainnya.
Karya dan pameran tak henti-henti dilakukannya. 39 karya patung, 59 karya lukis, berpuluh pameran dalam dan luar negeri dilakoninya. Sampai kemudian ia dikukuhkan sebagai pelukis abstrak pertama di Indonesia.
Abstrak. Kata yang dilekatkan kritikus seni dan media massa padanya. Ia pun membenarkan. Namun, abstrak bisa jadi hanya jalan keluar karena tidak menemukan ‘apa’ yang dibuat Pak Arby.
Dengan keislaman dan Keminangannya, hal ini patut ditelisik kembali. Arby jelas tidak punya budaya seperti Henry Moore. Si Pembuka Jalan bagi aliran abstrak. Ia mungkin tidak berpikir untuk menjadi Henry Moore Indonesia.
Para pengamat dan media massa kesulitan untuk menemukan identitas patung Arby. Apabila dilihat dari latar belakang kehidupannya, Arby jauh dari abstrak. Atau ia mengenal ‘Abstrak dalam bentuknya yang lain.
Seperti yang dijelaskan Wisran Hadi, ‘abstrak’ Arby akan terjelaskan apabila menelusuri seni rupa Minangkabau. Ukiran itik pulang patang misalnya. Adakah itik dalam ukiran itu? Adakah petang?
Tidak ada. Yang ada hanya imajinasi dalam menangkap karya itu, kemudian diserahkan pada penikmat bagaimana apresiasinya. Bahkan garis kasar dan tidak enak dilihat dalam karya-karyanya tidak mengurangi isi kelembutan yang ingin disampaikannya.
Jadi, Arby bukan pematung abstrak? Mungkin juga tidak sepenuhnya benar. Sekali lagi, itu hanya jalan keluar untuk menjelaskan apa yang dibuat Arby. Bagi Arby sendiri ada yang lebih penting.
Sebuah pilihan lain, yang berada di luar lingkup kesenian, yang direngkuhnya, membuat sebagian orang bertanya-tanya, terkejut dan tak mengerti.
Pilihannya memasuki birokrasi pemerintah. Menjadi pegawai negeri. Sebuah pilihan yang lebih tidak populer –dibanding memilih mematung abstrak-- melihat potensi yang ada dalam dirinya. Kenapa? Ada apa?
Mungkin juga karena ada enam mulut yang mesti diberinya makan. Mungkin karena menggantungkan diri dari patung –apalagi yang abstrak- tidak bisa menghidupinya. Arby mesti memilih. Dan tanggungjawabnya pada manusia lain membuatnya memilih.
Mulailah ia bekerja menjadi pegawai pada museum AD di Yogyakarta pada tahun 1960. enam tahun kemudian ia pindah ke Direktorat Kebudayaan di Jakarta. Lima tahun mendekam di Jakarta, Arby ‘dipulangkan’ dan menjabat kepala Bidang Kesenian di depdikbud Sumatra Barat. 18 tahun dilakoninya. Ia kemudian menjabat kepala SMSR Padang sampai 1993. Sampai masa pensiunnya.
Maasa itu, Pak Arby masih mematung. Masih pameran. Namun, menjadi PNS, mau tak mau, membuat energi kesenimananya terbelah. Pameo “menjadi pegawai membuat seniman mati” hampir saja melekat pada dirinya.
Pak Arby mencoba kembali meraihnya setelah pensiun dari tugas kepegawian. Itu, “Hampir saja terlambat,” kata Wisran Hadi dalam sebuah tulisannya.
Namun bagi seorang seniman., kata terlambat tidak ada dalam dunia kesenimanan. Yang ada mungkin hanya ‘jeda’. Wilayah tempat mengumpulkan tenaga. Untuk meraih puncak kedua.
Mungkin juga ia lebih memantapkan apa yang diyakininya sebagai seorang Islam, seniman, ayah, kakek, sekaligus penghulu bagi kaumnya.
Jika tercapai, Arby Samah telah memahat dirinya menjadi seniman yang tak terlupakan. Yang tidak bisa dihapus sejarah. Narasi: S Metron M/DKSB

No comments:

Post a Comment