Kata
abstrak muncul satu persatu. Tanda Tanya muncul perlahan. Mulai dari kecil dari
belakang. Tanda Tanya berhenti di belakang huruf K, sebentar lalu terus
membesar maju membelah layar.
Abstrak.
Itu kata pertama yang muncul dalam kepala ketika nama perupa ini terucapkan.
Seolah-olah, ketika kamus abstrak dibuka, mantan mahasiswa ISI Yogya ini berada
diurutan pertama.
Semua
pengamat seni dan media massa cetak dan elektronik yang menulis tentang dirinya
mengakui hal tersebut. Ia lah puncak menara dari aliran yang sebenarnya tidak
populer dikalangan perupa Indonesia.
Cita-citanya
jadi perupa mungkin memang telah ‘disengaja’. Dalam artian, sejak kecil, sejak
orang tuanya melihat ia mengepal-ngepal tanah liat, menjadi perupa sudah
mengalir dalam darahnya sejak ia dilahirkan 1 April 1933. Apalagi ia dibesarkan
dalam keluarga yang juga bergelut dalam dunia songket.
Songket
tidak hanya mengajarinya menyulam, tapi juga mengenali siapa dirinya. Apa latar
kehidupannya. Dan perlahan membentuk landasan yang kuat ketika memilih dunia
rupa nantinya.
Untuk
mengasah kemampuannya, kemudian orang tuanya mengirim ke Kayutanam. Di mana,
sebuah sekolah, INS mengajarkan bagaimana mandiri sebagai seorang manusia.
Lebih dari itu, INS hanyalah kolam kecil bagi bakatnya yang begitu besar.
Ini
disadari oleh A.A. Navis dan Ramudin. Dengan rekomendasi keduanya, Pak Arby
menjadi satu-satunya pelajar dari Sumatra yang dikirim ke ISI Yogya yang waktu
itu bernama ASRI Yogyakarta.
Menjadi
perupa tidak dijalaninya dengan mudah. Begitu selesai membuat lukisannya yang
pertama, bukan pujian yang ia dapat, malah sebaliknya. “Padang Bengkok, tidak
bisa melukis. Kembali saja ke Padang!” teriak seorang pelukis tenar, Hendra
Gunawan, waktu itu.
Tapi,
Minangkabau dan INS mengajarkannya bahwa puji-pujian hanya untuk Tuhan. Meski
sempat tersentak, Arby Samah bangkit. Meski hanya tidur dari kotak yang
dibuatnya sendiri dan kadang-kadang tidur di bawah tangga dan di luar apabila
purnama datang, Arby Samah menekuni dunia rupa lebih giat.
Ia
bahkan pernah jatuh sakit karena kehidupan tak teratur itu. Namun, dalam sebuah
tulisan Ciman Marah, seorang muridnya, dengan dramatis menceritakan hanya
dengan melukislah penyakit Pak Arby sembuh. Dan “Lukisan itu bagus,” kata
pelukis Trubus.
Ketekunan
itu membuahkan hasil yang tidak lama. Pada lustrum pertama ASRI, patung ‘Potret
Diri’ Pak Arby menjadi cover katalogus. Saat itulah, untuk pertama kali, nama
Arby Samah mulai dilirik orang.
Namun,
jauh di lubuk hatinya, Arby bukanlah orang yang cepat puas. Patung berjenis
realis dalam katalog itu memantik sesuatu dalam dirinya. Begitu juga ketika ia
berhasil membuat patung tanpa model yang membuat orang terkagum-kagum padanya,
malah membuatnya tambah gelisah.
Mungkin
karena ia orang Islam, mungkin karena ia orang Minang. Dimana, eksitensi patung
menjadi koloni paradoks. Wilayah abu-abu, yang mesti penuh hati-hati dalam
menjamahnya.
Mungkin
karena itu pula ia kemudian memilih abstrak sebagai alat ucapnya. Tanpa bentuk
figuratif, tanpa model, hanya imajinasi tapi penuh kreatifitas tinggi.
Tidak
semua orang mendukung pilihannya, begitu hasilnya terlihat. Banyak yang
berkerut kening. Banyak yang berdecak tak suka bahkan Presiden Soekarno. “Saya
tak suka abstrak,” tegas Presiden Indonesia pertama itu.
Kecewalah
teman-teman yang mendukungnya, yang sudah berharap Arby akan kaya karena
Soekarno pasti akan memberi fasilitas ‘lebih’ pada seniman yang disukainya.
Sekali
lagi, Arby tidak patah hati. Saya mematung bukan untuk presiden, ucapnya suatu
kali. Mungkin karena kecewa, mungkin karena kesenimanannya.
Ia
punya keyakinan, “Seorang seniman itu, harus mempunyai imajinasi dan daya
visualisasi yang kuat. kemudian hal ini dipadukan dengan hati nurani dan piiran
sehingga melahirkan karya yang sarat makna dalam berbagai dimensi.”
Jadi
memang tak ada ruang untuk presiden dan lainnya.
Karya
dan pameran tak henti-henti dilakukannya. 39 karya patung, 59 karya lukis,
berpuluh pameran dalam dan luar negeri dilakoninya. Sampai kemudian ia
dikukuhkan sebagai pelukis abstrak pertama di Indonesia.
Abstrak.
Kata yang dilekatkan kritikus seni dan media massa padanya. Ia pun membenarkan.
Namun, abstrak bisa jadi hanya jalan keluar karena tidak menemukan ‘apa’ yang
dibuat Pak Arby.
Dengan
keislaman dan Keminangannya, hal ini patut ditelisik kembali. Arby jelas tidak
punya budaya seperti Henry Moore. Si Pembuka Jalan bagi aliran abstrak. Ia
mungkin tidak berpikir untuk menjadi Henry Moore Indonesia.
Para
pengamat dan media massa kesulitan untuk menemukan identitas patung Arby.
Apabila dilihat dari latar belakang kehidupannya, Arby jauh dari abstrak. Atau
ia mengenal ‘Abstrak dalam bentuknya yang lain.
Seperti
yang dijelaskan Wisran Hadi, ‘abstrak’ Arby akan terjelaskan apabila menelusuri
seni rupa Minangkabau. Ukiran itik pulang patang misalnya. Adakah itik dalam
ukiran itu? Adakah petang?
Tidak
ada. Yang ada hanya imajinasi dalam menangkap karya itu, kemudian diserahkan
pada penikmat bagaimana apresiasinya. Bahkan garis kasar dan tidak enak dilihat
dalam karya-karyanya tidak mengurangi isi kelembutan yang ingin disampaikannya.
Jadi,
Arby bukan pematung abstrak? Mungkin juga tidak sepenuhnya benar. Sekali lagi,
itu hanya jalan keluar untuk menjelaskan apa yang dibuat Arby. Bagi Arby
sendiri ada yang lebih penting.
Sebuah
pilihan lain, yang berada di luar lingkup kesenian, yang direngkuhnya, membuat
sebagian orang bertanya-tanya, terkejut dan tak mengerti.
Pilihannya
memasuki birokrasi pemerintah. Menjadi pegawai negeri. Sebuah pilihan yang
lebih tidak populer –dibanding memilih mematung abstrak-- melihat potensi yang
ada dalam dirinya. Kenapa? Ada apa?
Mungkin
juga karena ada enam mulut yang mesti diberinya makan. Mungkin karena
menggantungkan diri dari patung –apalagi yang abstrak- tidak bisa
menghidupinya. Arby mesti memilih. Dan tanggungjawabnya pada manusia lain
membuatnya memilih.
Mulailah
ia bekerja menjadi pegawai pada museum AD di Yogyakarta pada tahun 1960. enam
tahun kemudian ia pindah ke Direktorat Kebudayaan di Jakarta. Lima tahun
mendekam di Jakarta, Arby ‘dipulangkan’ dan menjabat kepala Bidang Kesenian di
depdikbud Sumatra Barat. 18 tahun dilakoninya. Ia kemudian menjabat kepala SMSR
Padang sampai 1993. Sampai masa pensiunnya.
Maasa
itu, Pak Arby masih mematung. Masih pameran. Namun, menjadi PNS, mau tak mau,
membuat energi kesenimananya terbelah. Pameo “menjadi pegawai membuat seniman
mati” hampir saja melekat pada dirinya.
Pak
Arby mencoba kembali meraihnya setelah pensiun dari tugas kepegawian. Itu,
“Hampir saja terlambat,” kata Wisran Hadi dalam sebuah tulisannya.
Namun
bagi seorang seniman., kata terlambat tidak ada dalam dunia kesenimanan. Yang
ada mungkin hanya ‘jeda’. Wilayah tempat mengumpulkan tenaga. Untuk meraih
puncak kedua.
Mungkin
juga ia lebih memantapkan apa yang diyakininya sebagai seorang Islam, seniman,
ayah, kakek, sekaligus penghulu bagi kaumnya.
Jika
tercapai, Arby Samah telah memahat dirinya menjadi seniman yang tak terlupakan.
Yang tidak bisa dihapus sejarah. Narasi: S Metron M/DKSB
No comments:
Post a Comment