KODE-4

Showing posts with label MAESTRO SENI. Show all posts
Showing posts with label MAESTRO SENI. Show all posts

Sunday, January 6, 2008

Mak Sawir Sang "Raja Bagurau"

Mencari di mana keberadaan seniman tradisi Minang seperti Sawir Sutan Mudo (65) ternyata susah-susah gampang. Sederet informasi tentang keberadaan Sawir bagai menguap saat lokasi-lokasi yang ditunjukkan itu didatangi.

Friday, May 25, 2007

MAESTRO ARBY SAMAH: Pencetus Patung Abstrak

Kata abstrak muncul satu persatu. Tanda Tanya muncul perlahan. Mulai dari kecil dari belakang. Tanda Tanya berhenti di belakang huruf K, sebentar lalu terus membesar maju membelah layar.

Wednesday, April 11, 2007

Rusli Marzuki Saria




Maestro Sastra dari Sumatra Barat

My Imagination is a monastery and I am its monk. Imajinasiku adalah biara dan aku adalah biarawannya. Ungkapan dari John Keats yang dikutip sang tokoh ini dalam sebuah esainya amat tepat menjelaskan proses kreatifnya sebagai seorang penyair. Memang begitulah seorang Rusli Marzuki Saria. Ia seakan ditakdirkan untuk jadi seorang penyair yang menempatkan imajinasi sebagai ranah yang amat luas untuk melahirkan karya-karya puisinya.

Rusli Marzuki Saria yang akrab disapa Papa ini dikenal sebagai seorang sastrawan-budayawan yang karya-karyanya tak bisa dilepaskan dari khazanah kesusastraan Indonesia dalam 50 tahun terakhir. Puisi-puisinya dimuat dalam berbagai media yang ada di Indonesia sejak tahun 1950-an. Ia pun sering tampil dalam berbagai pentas pembacaan puisi di berbabagai kota di tanah air.

Pada 22 Juni 1981, atas undangan Dewan Kesenian Jakarta, Papa membacakan 65 pusinya di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Iven pembacaan dan diskusi puisi ini menjadi momentum penting dalam riwayat kepenyairan Papa sebagai seorang sastrawan nasional yang tinggal di daerah. Dalam ajang inilah para sastrawan dan kritikus sastra nasional mengakui keberadaan Rusli sebagai seorang penyair.

Bersastra Sepanjang Hayatnya

Rusli lahir pada tanggal 26 Januari 1936 di Nagari Kamang Mudik, kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam. Ayahnya bernama Marzuki—seorang kepala nagari yang juga punya usaha bendi dan pembuatan sadah. Ibunya bernama Sarianun. Marzuki mempunyai 23 orang istri, Sarianun—ibunya Rusli adalah istrinya yang ketujuh. Sebagai seorang anak, pada tahun 1942 Rusli memulai jenjang pendidikan formal dengan memasuki Sekolah Rakyat (Volkschool).

Pada tahun 1946, ibunya meninggal dunia. Oleh ayahnya, Rusli kemudian dibawa tinggal dii Labuah Silang Payakumbuh. Di kota ini Marzuki meneruskan usaha bendi dan pembuatan sadah. Di kota ini pula Rusli meneruskan sekolahnya yakni ke SD Muhammadiyah di Simpang Bunian. Setamat sekolah dasar Rusli melanjutkan studinya ke SMP Sore Payakumbuh Bahagian Bahasa.

Pada tahun 1953, Marzuki—ayahandanya Rusli meninggal dunia. Kenyataan ini membatalkan cita-cita Rusli untuk kuliah di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta. Berbekal ijazah SMP, Rusli bekerja di Kepolisian yakni di Kantor Koordinator 106 Mobrig (sekarang Brimob) di Bukittinggi. Ia bertugas mengurusi surat masuk dan keluar. Di samping bekerja pada kantor kepolisian di pagi hari, pada sore harinya, Rusli melanjutkan pendidikannya pada SMA Sore Sendiakala Bukittinggi dan ia berhasil meraih ijazah SMA-nya dengan jurusan Bahasa tiga tahun kemudian.

Semenjak sekolah rakyat, minat Rusli pada sastra sudah mulai terlihat. Sejak itu ia sudah membaca buku-buku sastra yang ada di perpustakaan sekolahnya. Cerita-cerita rakyat seperti Kepala Sitalang, Laras Simawang dan Bukit Tambun Tulang sudah mulai dinikmatinya. Ia juga sudah melahap karya-karya sastra seperti Siti Nurbaya karya Marah Rusli, Layar Terkembang-nya Sutan Takdir Alisjahbana dan Di Bawah Lindungan Ka’bah-nya Buya Hamka. Pada masa SMA makin beragamlah karya-karya yang dibaca Rusli. Mulai dari Chairil Anwar, Sjahrir, Asrul Sani, hingga karya-karya penulis asing seperti Rabinranath Tagore, John Steinbeick, Hemingway dan lainnya. Kelak, bacaan-bacaannya ini amat memengaruhi puisi-puisi Rusli.

Tak hanya menyukai bacaan sastra, Rusli juga banyak membaca karya-karya pemikiran dari berbagai aliran baik itu Islam, liberal atau bahkan Marxis. Bacaan-bacaannya itu menjadikan Rusli sebagai seorang mampu berpikir independen. Ia tak terjebak pada dogma pemikiran apa pun. Ia mengagumi beberapa hal dari liberalisme dan marxisme, akan tetapi ia tetap menjadikan Islam sebagai pijakan hidupnya. Namun ia tidak memahami Islam dalam pengertian sempit dan fanatis, tetapi ia menempatkan Islam sebagai ajaran yang mendorong orang pada optimisme, kreativitas, intelektualitas dan keindahan.

Dengan bacaan yang demikian beragam dan luas makin menarik minat Rusli untuk menulis puisi. Pada tahun 1955, untuk pertama kalinya puisi Rusli berjudul Nenekku Pergi Suluk dimuat di surat kabar Nyata yang terbit di Bukittinggi. Pada tahun yang sama, Rusli bersama AA Navis, Lo Fai Hap dan Nasrul Siddik dipercaya mengisi Ruangan Sastra di RRI Bukittinggi.

Pada tahun 1956 Rusli lolos tes untuk jadi anggota Mobrig. Dengan pangkat Sersan ia diangkat menjadi Agen Polisi Kepala di Kantor Koordinator 106 Mobrig Bukittinggi. Namun, diproklamirkannya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada Januari 1958, membuat karir Rusli di Kepolisian berakhir karena ia memilih bergabung dengan PRRI untuk berjuang dalam menghadapi tekanan Pemerintah Pusat.

Keterlibatannya dalam PRRI memaksa Rusli berjuang keluar masuk hutan. Peristiwa pergolakan ini menjadi periode sejarah penting dalam kehidupan Rusli. Di tengah perang berkecamuk; berbagai derita, kepiluan yang dialami rakyat Sumatra Barat, dirasakan Rusli dengan membatin. Sebagai seorang penyair, ia menuangkan suasana batinnya itu dalam sejumlah puisi yang kemudian dibukukan dengan judul Ada Ratap Ada Nyanyi.

Usai PRRI, meski ada peluang, Rusli tak lagi ingin jadi polisi. Sejak Juli 1961, Rusli menetap di Padang. Ia mangkal di Pasar Mudik dan Pasar Hilir sebagai pedagang jatah atau pedagang perantara.. Banyak jenis dagangan yang dijualnya, di antaranya adalah batik.

Pada 4 Mei 1963, di kampung halamannya, Rusli menikah dengan Hanizar Musa—gadis yang dikenalnya pada masa PRRI. Dari pernikahannya ini, Rusli dikaruniai empat orang anak: Fitri Erlin Denai, Vitalitas Vitrat Sejati, Satyagraha dan Diogenes. Pada tahun ini juga Rusli bekerja sebagai Kepala Tata Usaha di Koperasi Batik Tulis. Di samping bekerja di koperasi ini, bersama beberapa sastrawan seperti Leon Agusta, Dalius Umari, Mursal Esten, Chairul Harun dan Upitha Agustine, Rusli mengisi acara Ruang Sastra Daerah Persinggahan di RRI Padang.

Pada tahun 1969, Rusli mengawali karirnya sebagai wartawan. Rusli bergabung dengan harian Haluan yang mana ia sendiri ikut sebagai pendirinya. Pada awalnya Rusli bekerja sebagai sekretaris redaksi. Namun kemudian ia juga menjadi redaktur berita yang sering juga turun meliput berbagai peristiwa. Kemudian Rusli mengasuh halaman sastra sebagai redaktur kebudayaan. Salah satu rubrik sastra yang ia buat adalah rubrik Monolog dalam Renungan. Karena faktor usia, Rusli pensiun dari Haluan pada tahun 1999. Tetapi sampai kini ia tetap punya rubrik di harian ini yakni rubrik Parewa Sato Sakaki.

Jurnalis yang Menyair

Tetap meneruskan karir sebagai wartawan, pada tahun 1987 Rusli terpilih menjadi anggota DPRD Padang untuk periode 1987-1992 dan ia duduk di Komisi Pembangunan. Dalam menjalankan aktivitasnya sebagai anggota DPRD, Rusli tetap kelihatan sebagai seorang penyair. Dalam beberapa sidang ia kerap membaca puisi. Di antara pusi yang dibacakannya adalah Rakyat karya Hartono Andangjaya. Di tengah kesibukannya sebagai wakil rakyat, Rusli tetap menulis puisi. Di antaranya, Sang Waktu Berbisik Aku Mengangguk, Wang 100 Ribu Rupiah Per Desa dan Mentawai Bisa Tenggelam.

Aktivitas Rusli sebagai sastrawan tak hanya sekadar menulis puisi dan menjadi wartawan. Pada tahun 1994 ia ikut bergabung di Dewan Kesenian Sumatra Barat (DKSB). Pada tahun tahun 1995 ia ditunjuk sebagai bendahara pada organisasi ini, posisi yang tetap dipercayakan padanya sampai tahun 2003. Sebagai wartawan, banyak tempat yang telah ia kunjungi, baik dalam negeri hingga ke manca negara. Pada tahun 1977 ia diminta meliput latihan perang antara Angkatan Laut Indonesia dan Austarlia di Great Barrier Reef (Coral Sea), Australia bagian timur. Pada Oktober 1984, ia juga diundang Kedubes Jerman untuk meliput Farnkfurt Books Fair. Di negara ini ia melihat hal yang sangat mengagumkan yakni dukungan penuh Pemerintahan Jerman untuk dunia pendidikan.

Sebagai sastrawan, banyak peristiwa kesusastraan yang telah diikuti Rusli. Ia sering diundang ke berbagai pertemuan sastrawan baik di tingkat nasional maupun Asia Tenggara. Kehebatannya pun sebagai sastrawan membuatnya meraih penghargaan dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Melalui karyanya Sembilu Darah lembaga ini memberinya Penghargaan Penulisan Karya Sastra Tahun 1997.

Sebagai seorang penyair, Rusli mempunyai tempat tersendiri dalam khazanah sastra di Indonesia. Puisi-pusinya amat kuat berpijak pada tradisi lokal yang berangkat dari tradisi Minangkabau. Seperti ditulis oleh Dasril Ahmad dalam skripsinya yang ditulis pada tahun 1986, puisi-puisi Rusli banyak dipengaruhi cerita-cerita kaba baik dari segi struktur, persamaan latar dan penokohan maupun unsur musikalitas atau iramanya. Makanya, nuansa lokal keminangan amat terasa dalam banyak puisi Rusli. Amat jarang penyair yang memilih lokalitas sebagai pijakan inspirasi puisi, namun Rusli berani melakukannya.

Puisi-puisi Rusli adalah puisi dengan lirik-lirik sederhana yang melukiskan kenyataan hidup yang dialami sehari hari. Di sisi lain puisi-puisi Rusli juga ada yang bernuansa hiporbolik dan dipenuhi kata-kata simbolik. Tema-temanya berangkat dari kenyataan sosial, politik, ekonomi, budaya yang dialami masyarakat di sekitarnya. Ia juga menulis puisi tentang pemberontakan, gugatan terhadap adat dan tradisi maupun krtitik sosial dan politik. Puisinya berjudul Putri Bunga Karang adalah gugatan terhadap tradisi. Puisi ini juga memperlihatkan pengaruh kaba yang amat kuat. Pusi-puisinya seperti Sajak-sajak Parewa, Sajak-sajak Bulan Pebruari, Beri Aku Tambo Jangan Sejarah, dan Berjalan ke Sungai Ngiang amat jelas memperlihatkan nuansa lokal dan pengaruh kaba. Keprihatinan dan kecemasannya terhadap Kota Padang juga ia ungkapkan lewat puisinya Padang Kotaku.

Sekarang, di usianya yang sudah 71 tahun, Papa Rusli masih kelihatan segar dan kuat. Badannya masih langsing dan sehat karena rajin berolah raga. Ia masih kelihatan keren dengan celana jeans dan kaus oblong, pakaian kesukaannya. Sehari-harinya masih aktif dalam berbagai kegiatan terutama menulis dan membaca. Berbagai karya terkini baik sastra, filsafat dan pemikiran keislaman tetap dilahapnya. Malam hari ia beraktivitas di masjid dekat rumahnya. Habis salat subuh ia pergi maraton hingga jam tujuh pagi.

Namun sebagai seorang penyair, mantan polisi, mantan pejuang, mantan politisi, wartawan dan budayawan, banyak pergulatan hidup baik duka maupun suka yang telah dilaluinya. Membaca sosok Rusli adalah membaca riwayat panjang perjalanan hidup seorang anak manusia dengan berbagai warna-warni yang pernah dilaluinya. Sebagaimana ditulisnya dalam Monolog dalam Renungan, membaca puisi adalah membaca sejarah. Begitu pula membaca puisi-puisi Rusli, berarti membaca sejarah hidupnya.

Sebagai seorang penyair, wartawan, pejuang dan politisi, Rusli adalah seorang idealis yang berani menyatakan kebenaran yang dirasakannya. Makanya untuk menggambarkan idealisme Rusli, amatlah tepat yang dikatakan Umar bin Khatab, “Ajarilah anakmu sastra, agar ia menjadi pemberani.” Narasi oleh Abel Tasman

Tuesday, April 10, 2007

Yusaf Rahman


Maestro Seni Musik Kontemporer Minang
Yusaf Rahman, lahir tanggal 4 Juni 1933, di Muaro Labuah, Sumatra Barat. Kampung kecilnya bernama Kampung Lurah Pasar Muaro Labuah (sekarang dikenal dengan Pasar Muaro Labuah). Yusaf, anak sulung dari dua belas bersaudara. Ayahnya seorang mantri kesehatan (juru rawat kelas satu) dan juga pemain biola. Ibunya yang bernama Badariah juga mahir memainkan kecapi, walau di zaman itu jarang sekali perempuan bisa bermain alat musik.
Darah seni kedua orang tua itulah yang diwarisinya. Bakat yang kemudian berkembang dengan belajar secara otodidak. Yusaf mencoba menggunakan sendiri berbagai alat musik tanpa guru. Walau dulunya kuliah di Fakultas Pertanian, kemampuan, wawasan, dan pengetahuannya dalam bidang komposisi musik, tak diragukan lagi. Musiklah yang dicintainya.
The Short Second Life of Bree Tanner: An Eclipse Novella (Twilight Saga)Yusaf juga seorang yang kreatif dalam mengembangkan alat-alat musik dan membuat alat musik dari bahan-bahan sederhana. Dia selalu membawa kikir dan pisau untuk membuat alat musik tiup dari bambu dan paralon. Satu lompatan besar yang dibuat Yusaf dalam musik tradisi Minangkabau yaitu menciptakan tangga nada diatonis untuk talempong pada tahun 1968. Talempong yang selama ini dimainkan dengan nada pentatonis dikembangkannya menjadi tangga nada diatonis.
Dengan tangga nada diatonis talempong bisa mengiringi musik modern. Hingga kini, semua grup musik tradisional Minangkabau memainkan talempong dengan tangga nada diatonis. Beliau juga mengembangkan teknik pembuatan alat musik yang akurat nadanya serta mengembangkan cara memainkan musik modern agar menghasilkan suara alat musik tradisional.
Selain bermain musik, Yusaf juga menciptakan lagu-lagu Minang, Jepang, lagu nasional dan beberapa lagu perguruan tinggi di Sumatra Barat. Sejak tahun lima puluhan Yusaf telah berkarya. Di zaman perang PRRI pun beliau masih mencipta lagu, yaitu lagu “Hiasan Desa”. Waktu itu beliau terinspirasi oleh suara burung di Hutan Maek, Kabupaten Lima Puluh Kota.
Lagu-lagu lain yang diciptakannya antara lain; Indak Kabarulang, Kelok Sambilan, Lindok-lindok, Perak-perak, Takana Bundo (Rusuah Hati), Usah Diratok’I, Taserak Kasiah di Bukik Tinggi, Indahnya Alam Neg’ri Moyangku, Indonesia-Malaysia, Dendang Tahniah, Kota Bersaudara, Payung Terkembang, Seri Menanti, ASMI Padang, Himne Universitas Bung Hatta, YPTK Padang, Indonesia Persada Tercinta. Lagu Jepang yang beliau ciptakan antara lain; Kwo wa Owakare (Saatnya Berpisah), Mata Aimasyo (Sampai Berjumpa Lagi) dan Nihon wa Utsukusu (Jepang Yang Indah).
Lagu Payung Terkembang dan Indahnya Alam Negeri Moyangku merupakan lagu permintaan Datuk Samad Idris Menteri Belia dan Sukan Malaysia yang masih keturunan Pagaruyung. Rasa cinta Yusaf terhadap tanah air juga terlukiskan dalam lagu Hiasan Desa dan Rusuah Hati.
Musik jugalah yang mengantarkannya ke berbagai negara. Pada tahun 1963 sebagai pemusik beliau pergi ke Pakistan mengikuti Presidential Cultural Mission selama dua puluh hari. Beliau beberapa kali ke Malaysia sejak tahun 1968 sampai 1998 sebagai pemimpin misi Muhibah Kesenian Sumatra Barat, pemusik dan sebagai juru latih serta sebagai pensyarah musik. Pada tahun 1984 Yusaf pergi ke Prancis sebagai peserta Festival Kesenian Rakyat Seluruh Dunia, dan tahun 1986 kembali ke Prancis sebagai Pemimpin Kesenian Islam Sumbar dalam Festival Kesenian Islam Seluruh Dunia, serta pada tahun 1991 untuk ke dua kalinya pergi ke Prancis sebagai peserta Festival Kesenian Rakyat Seluruh Dunia. Beliau juga pernah ke Brunei Darussalam pada tahun 1989 sebagai pemimpin kesenian Sumatra Barat dan pada tahun 1987 ke Yunani, tepatnya di Lefkada sebagai peserta International Festival Folk Lore Lefkadas Island. Negara Eropa lainnya yang pernah ia kunjungi, Italia, yakni pada tahun 1986 sebagai pemimpin kesenian Islam Sumbar dalam Festival Musik Islam Seluruh Dunia dan tahun 1987 beliau kembali ke Italia sebagai peserta pertunjukkan kesenian.
Guru Musik yang Beda
Yusaf adalah guru bagi banyak seniman musik di Sumatra Barat. Beliau mendirikan jurusan seni, drama, tari dan musik IKIP Padang dan bekerja sebagai dosen di IKIP Padang. Yusaf adalah orang yang diminta Profesor Yakub Isman yang waktu itu rektor IKIP padang untuk menyusun kurikulum jurusan tersbut. Selain sebagai sebagai guru formal beliau juga guru informal bagi banyak seniman musik. Ia tidak pernah pelit membagi ilmu pada murid-muridnya.
Salah seorang murid Yusaf Rahman yang dikenal sebagai seniman musik dan pencipta lagu-lagu Minang bernama Asnam Rasyid. Asnam mengenal beliau sejak tahun 1968 ketika Yusaf pergi ke Malaysia sebagai pemimpin tim Muhibah Kesenian Sumatra Barat. Kebetulan Kakak dari Asnam ikut dalam tim yang dipimpin Pak Cap, panggilan Yusaf Rahman bagi murid-muridnya dan orang-orang yang mengenalnya. Namun Asnam baru belajar musik dengan Yusaf pada tahun di Bukittinggi. Yusaf mengajar tentang partitur dan ilmu musik. Dalam mengajar, murid-murid beliau dituntut mencari sendiri pengetahuan dan ketrampilan, selain yang beliau ajarkan. Banyak seniman yang “menjadi” di bawah bimbingan beliau. Yusaf dan Asnam pernah menggarap musik dari lagu “Dendang Tahnia”
Informal yang Bersahaja
Pak Cap dikenal sebagai orang yang kurang suka formalitas. Dalam mengajar Pak Cap tak minta pamrih dan tak kenal waktu. Prinsip mengajar yang sering beliau sampaikan “Kalau ingin tahu gula itu manis, coba dulu gula itu, baru tahu rasanya.” Metode mengajar yang langsung praktek.
Waktu pertama diminta sebagai pengajar di Malaysia (professor tamu) beliau mengajar musik tardisional. Suatu waktu, Dekan mengajak Pak Cap melihat peralatan marching band dan beliau memainkan semua alat musik modern yang ada di sana. Karena kemampuan beliau memainkan berbagai alat musik modern, beliau akhirnya dipercaya mengajar alat musik modern. Dari tahun 1993 sampai 1997 Yusaf Rahman menjadi dosen tamu di Universitas Utara Malaysia.
Beliau juga mengenal budaya dan tradisi berbagi suku dan bangsa. Bisa berbicara dalam beberapa bahasa asing dan bahasa-bahasa daerah seperti bahasa Aceh, Melayu, Mandailing dan Nias.
Pak Cap menikah dengan Sovyani pada tanggal 23 Agustus 1964. Istri tercinta juga seorang seniman tari. Selama perjalanan rumah tangga mereka, Yusaf sering membantu Sovyani menciptakan musik untuk tari garapannya. Pernikahannya dengan Sovyani dikaruniai lima orang putri dan satu orang putra.
Yusaf sangat mencintai keluarganya. Salah satu lagu yang diciptakannya, konon terinspirasi karena kecintaan beliau kepada sang istri. Beliau juga penuh kasih sayang terhadap anak-anaknya. Menurut seorang putri beliau, kalau anak-anaknya pulang sekolah dengan wajah cemberut karena gagal ujian matematika beliau mengajak mereka bermain musik, karena baginya musik bisa menenangkan dan menghibur hati yang gundah.
Pada tahun dua ribu-an beliau mulai diserang penyakit jantung. Ketika sering terjadi gempa di Padang, beliau meminta untuk tinggal di Bandung bersama anaknya. Beliau khawatir, seiring usia senja tubuhnya semakin lamban saat berlari menghindari bencana. Akhirnya beliau meninggal di Kota Bandung pada tanggal dan dilepaskan dengan duka yang mendalam banyak pihak. Namun beliau sudah berpesan sebelumnya agar jangan bersedih dengan kepergian beliau, seperti syair yang ditulisnya “Usah Dirato’i”.
Sebagai seorang yang berjiwa seni, beliau memiliki kepekaan terhadap kehidupan. Kehidupan dunia yang penuh dengan godaan tidak membuat Yusaf terhanyut. Keinginannya untuk lebih dekat dengan sang Khalik diberi jalan melalui pertemuannya dengan Professor Khadirun Yahya yang juga pimpinan tarekat Nahsyabandiyah. Akhirnya beliau mengembangkan kehidupan spiritual di tarekat Nahsyabandiyah sampai akhir hayatnya. Beliau pun berwasiat, bila meninggal minta dimakamkan di surau tarekat Nahsyabandiyah, tempat orang-orang berzikir seperti nyanyian yang mengantar beliau ke hadirat “Sang Maha Seniman”. (Sondri BS, dan TIM DKSB)

Monday, April 9, 2007

SAWIR SUTAN MUDO Seni Tradisi Dendang Minang

Nama : Sawir Sutan Mudo
Tempat dan Tanggal Lahir: Nagari Koto Kaciak, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatra Barat pada tahun 1942
Pekerjaan: Berdagang dan Berdendang
Pendidikan: Sekolah Rakyat
Anak: 8 orang
Karya dan Pergalaman Kesenian
          • Pada Juli 1999 tampil di tujuh kota di Jerman bersama Kelompok Musik Talago Buni
          • Mengisi Acara Bergurau di RRI Bukittinggi setiap hari Senin.
          • Pada 1968-1970 lagu Talago Biru dan Suntiang Patah Batikam direkam di piringan hitam dan diedarkan ke tengah masyarakat
          • Sejak tahun 1972 sampai dengan tahun 2000 sudah lebih 100 rekamannya di pita kaset yang beredar luas dan dikoleksi masyarakat Minang di kampung dan perantauan, juga dikoleksi sejumlah peneliti. Antara lain, Danau Mamukek (1985), Hujan Baribuik (1985), Danau Mamukek (1985), Banda Gantuang (1985), Sarasah Aia Badarun, Katangih Sudah Mimpi, Talempong Anam Koto, Ratok Kaki Limo
          • Pernah empat kali juara pertama festival saluang dengan dendang, dan juga pernah jadi dosen tamu di Akademi Seni Karawitan Indonesia (sekarang Sekolah Tinggi Seni Indonesia) Padangpanjang.
Prihatin dengan Isi Dendang
Sebagai seorang seniman tradisi di ranah ini, ia menyimpan keprihatinan mendalam akan kondisi kekinian kebudayaan, adat, dan tradisi Minang. Ia menilai, Minang dalam pengertian luas mengalami kemerosotan luar biasa. Kekhawatirannya itu terungkap lewat sampiran penuh peringatan; “Jaan sampai rusak kapa dek nangkhododoh, binaso kayu dek tukang, rusak adat dek pangulu, jalan dialiah dek urang lalu. (Jangan sampai rusak kapal disebabkan oleh nakhoda, hancur kayu karena tukang, rusak adat karena penghulu, jalan digeser orang lewat).
Sebagai seorang pendendang, dia pun resah dengan lagu-lagu dendang yang ada saat ini. Dendang saat ini telah dirusak oleh lirik-lirik yang berbau pornografi yang semata-mata hanya mengedepankan hiburan semata, namun terperangkap dalam selera rendahan. Lagu-lagu dengan judul Kutang Barendo, Rok Baremot dan sejenisnya adalah ekspresi dari makin merosotnya daya cipta seniman Minang saat ini.
Itulah keresahan dari Sawir Sutan Mudo—seorang pendendang, seniman tradisi sejati yang hingga saat ini tetap mencipta dan melantunkan dendang. Sawir—bungsu dari empat bersaudara ini lahir di Nagari Koto Kaciak, Tanjung Raya. Kabupaten Agam pada tahun 1942. Kedua orangtua Sawir adalah petani. Ibunya bernama Siti Saleah dan ayahnya Muhammad Isa. Sawir telah ditinggal kedua orangtuanya sejak ia masih kanak-kanak. Ibunya meninggal dunia tak lama setelah ia lahir. Sedangkan ayahnya berpulang ke rahmatullah saat Sawir berusia enam tahun.
Karena ditinggal kedua orangtua sejak masih kanak-kanak, Sawir harus belajar hidup mandiri. Ia tak sempat meniti jenjang pendidikan formal yang tinggi. Ia hanya bersekolah sampai kelas empat Sekolah Rakyat. Putus dari sekolah, Sawir pergi merantau mengikuti saudara-saudaranya. Padang, Palembang, Lubuk Linggau adalah kota-kota tempat Sawir merantau. Sejak umur 13 tahun Sawir sudah berdagang berbagai macam barang dagangan. Pada tahun 1968 barulah Sawir kembali ke kampung halaman. Pada tahun itu pula ia menikah untuk pertama kalinya. Dari pernikahannya yang pertama ini Sawir memunyai seorang putri bernama Sumiati. Pada tahun 1972 Sawir menikah lagi. Dengan istrinya yang kedua Sawir memunyai tujuh orang anak. Sekarang bersama keluarganya ini, Sawir menetap di Bukittinggi.
Bakat Sawir sebagai pendendang sudah terasah sejak masih kanak-kanak. Ia bergabung dengan grup randai yang ada di kampungnya sebagai penyanyi randai. Sejak itu pula Sawir belajar pada seorang seniman alam bernama Angku Katik; ”Baguru mangko pandai (berguru makanya pandai),” ungkap Sawir tentang proses belajar yang ia lalui.
Berguru pada Alam
Kemampuannya sebagai seniman makin terasah setelah di perantauan. Pada masa itu para perantau Minang di mana pun berada selalu membangun kelompok-kelompok kesenian sebagai wadah bagi anak-anak rantau untuk memupuk bakat seni yang dimiliki. Namun sekarang, kebiasaan ini sudah hampir hilang, orang Minang pun terdesak dan dipaksa menikmati kesenian populer yang membanjir saat ini. Seni tradisi Minang makin lama makin terpinggir, bahkan di pelosok-pelosok nagari pun, kesenian tradisi Minang hampir musnah sama sekali.
Dalam tradisi Minang ada seni yang disebut bagurau. Bagurau dilakukan dengan saluang jo dendang tidak hanya pada acara pernikahan, tetapi juga pada acara sunatan, “Alek Nagari” (acara menghimpun dana untuk pembangunan di kampung), Lebaran, batagak panghulu (pengukuhan gelar adat/kaum) serta pada acara bagurau lamak (dengan kalangan pendengar terbatas, 10-15 orang). Sawir kerap diundang dalam acara-acara demikian
Sejak di perantauan Sawir sudah dikenal sebagai pendendang. Dan ketika kembali ke kampung halaman, kemampunnya berdendang tetap diteruskan. Tak hanya menyanyikan lagu-lagu dendang, Sawir juga mencipta puluhan lagu dendang yang sampai sekarang masih sering dibawakan banyak pendendang. Suntiang Patah Batikam (tahun 1970), Talago Biru (1968), Danau Mamukek (1985), Hujan Baribuik (1985), Danau Mamukek (1985), Banda Gantuang (1985), Sarasah Aia Badarun, Katangih Sudah Mimpi, dan Talempong Anam Koto adalah di antara lagu-lagu dendang ciptaan Sawir. Malereang Tabiang salah satu versi lagunya juga merupakan ciptaannya.
Sekarang, Sawir tetap berdendang bila diundang. Baik ke acara baralek, batagak pangulu, dan tampil di acara-acara yang diundang orang rantau. Sawir juga sering diundang tampil ke berbagai pertunjukan kesenian, baik di Sumatra Barat, ke berbagai daerah di Sumatra, maupun ke Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya. Tak hanya itu, bersama grup Talago Buni, pada bulan Juli 1999 Sawir pernah tampil di tujuh kota di Jerman. Di samping diundang untuk bernyanyi dan berdendang, Sawir juga diminta sebagai pembicara pada beberapa seminar tentang kesenian dan budaya tradisi.
Waktu tampil di beberapa pertunjukan dan festival internasional itulah, Sawir merasa bahwa karya seni bisa menjadi alat untuk menjalin komunikasi antarbangsa meski tak mengerti bahasanya. Melalui karya seni kita bisa mengenal karakter dan nilai-nilai yang dimiliki oleh beragam bangsa. Dan ternyata, kekayaan seni tradisi yang dimiliki Minangkabau bisa mendapat tempat penting dalam khazanah seni dunia.
Untuk itulah, bagi seorang Sawir, kekayaan seni tradisi Minang harus dipelihara, digali terus menerus dan diwariskan pada generasi berikutnya. Seni tradisi Minang memiliki keluhuran nilai-nilai yang sangat kuat berpijak pada akar kebudayaan Minang yang senantiasa mengedepankan kebaikan, budi pekerti dan kandungan estetika yang amat tinggi. Seni tradisi merupakan media untuk pendidikan adat istiadat, budaya dan agama. Lewat seni tradisi, ketinggian mutu nilai-nilat keminangkabuan tetap terpelihara dan terwariskan.
Sawir tak menolak mentah-mentah kesenian Minang kontemporer yang mencoba berkompromi dengan arus budaya populer. Namun Sawir berharap, jangan terlalu jauh menyimpang. Etika dan prinsip-prinsip adat dan budaya Minang mestinya tetap dijaga. Kalau tidak orang Minang sendiri yang menjaganya, kesenian tradisi Minang akan musnah ditelan zaman yang makin lama makin dikendalikan uang.
Kesenian Minang dalam hal ini dendang, menurut Sawir punya bahasa tersendiri untuk menyampaikan pesan. Dendang tak hanya berisikan kepiluan dan problem batin yang dialami seseorang, masyarakat maupun etnik Minang, tapi dendang juga punya idiom dan bahasa tersendiri yang mengisahkan romantika asmara dan gejolak perasaan yang dialami anak muda. Bahasa dendang amat indah, halus dan penuh dengan irama. Jauh dari kata-kata vulgar, kasar dan nuansa pornografi yang menunjukkan kerendahan. Dendang juga punya ruang untuk mengekspresikan kegembiraan yang biasa disebut bagurau. Dalam bagurau, ekspresi keriangan, kelucuan dan kejenakaan disajikan, namun tetap dengan bahasa yang santun, indah dan berpijak pada estetika yang kuat.
Bagi Sawir, dendang tak ditentukan oleh kemerduan suara sang pendendang, tapi lebih ditentukan oleh pemahaman yang kuat seorang pendendang tentang adat, budaya, agama dan persoalan yang terjadi di tengah masyarakat yang kemudian disampaikan melalui lirik dan irama dendang dengan penuh perasaan dan imajinasi yang amat tinggi. Dendang juga merupakan tangisan seorang pendendang. Dalam konteks ini, seorang pendendang adalah seorang cerdik cendikia atau intelektual yang mencoba mengingatkan masyarakat dan lingkungannya.
Untuk itulah, bagi Sawir seni tradisi harus tetap digali, dikembangkan, dipelahara dan diwariskan pada generasi berikutnya. Adalah omong kosong, slogan baliak ka nagari, adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah terus digaungkan, tapi budaya dan seni tradisi diabaikan. Lembaga dan penanggung jawab kesenian harus membantu, mendorong dan memfasilitasi perkembangan kesenian tradisi. Dengan demikian, badan-badan pemerintah yang bertanggung jawab dalam bidang kesenian dan kebudayaan mesti diisi orang-orang yang memunyai kompetensi yang memadai di bidang ini. Hampir tak bisa diharapkapkan, seni dan budaya tradisi akan berjaya jika tetap dipimpin orang-orang yang salah tempat dan tak memiliki tanggung jawab.
Itulah seorang Sawir Sutan Mudo, seorang maestro dendang yang sampai sekarang tetap berdendang. Di samping berdendang, kesehariannya ia jalani dengan berdagang pakaian seken dari pekan ke pekan di sekitar danau Maninjau. Di setiap Senin malam ia juga mengisi acara dendang di RRI Bukittinggi. Namun berdagang kaki lima pada masa sekarang katanya tak lagi terlalu menguntungkan. Ekonomi masyarakat semakin sulit. Makanya, lewat lagu ciptaannya yang baru, Ratok Kaki Limo, keresahannya itu ia sampaikan.
Bagi Sawir, seni tradisi harus tetap dijaga dan diwarisi. Seni tradisi adalah penopang adat. Jika seni tradisi tetap terpelihara, akan terjaga pula adat dan budaya. Jika seni tradisi rusak, rusak pula adat. Jika adat rusak, hilang pusako dan hancurlah budaya.
Dendang dan Posisi Pedendang
Nada dasar yang dominan dalam saluang dengan dendang adalah ratok, nada-nada yang meratap. Bila pendendang bercerita soal nasib manusia, maka nasib manusia itu disimbolkan pada sesuatu dengan cerdas lewat pantun-pantun. Umumnya pendendang mewakili masyarakat marjinal.
Jadi, dalam kesenian saluang dengan dendang, yang sangat berperan sekali adalah pendendang. Dari hitungan jari sebelah tangan pendendang lelaki yang kini masih eksis, hanya ada seorang pendendang yang punya yang kuat dan terkenal di Sumatra Barat dan luar Sumatra Barat, bahkan di mancanegara, yakni Sawir Sutan Mudo.
Sawir Sutan Mudo mengaku tidak dengan serta merta menjadi terkenal. Penuh lika-liku dan perjuangan. Bermula dari anak randai (pemain teater tradisional Minangkabau) di Kotokaciak, Kabupaten Agam, pada usia 13 tahun. Saat itu, tugas yang diembannya adalah sebagai pendendang.
Tahun 1951, karena tuntutan hidup, ia merantau ke Palembang, Sumatra Selatan. Di rantau, di samping menggalas buah-buahan di kaki lima ia tetap mengembangkan kesenian tradisi. “Saya menyintai kesenian tradisi randai dan saluang jo dendang, karena pantun-pantun atau syair-syair dalam kesenian itu sangat menarik dan mengandung unsur pendidikan. Selain itu saya tertantang untuk membuat pantun-pantun yang bisa membuat penikmat kesenian tradisi itu puas dan terkesan,” kata Sawir.
Sebagai pendendang, Sawir belajar dari pengalaman, belajar dari alam: alam takambang jadi guru. Seorang pendendang, menurut dia, harus kaya bahan, kalau tidak tak akan diterima masyarakat. Dari pantun-pantun itu, ada yang berisi nasihat, perasaan hidup, dan asmara muda-mudi. Saking tersentuhnya perasaan para penikmat seni tradisi itu, sering orang menangis spontan karenanya. Itu salah satu kelebihan Sawir. Ia secara spontan mampu mengembangkan improvisasi dalam pantun. Pada sampiran dari pantun, ia selalu bisa mengolah dari lingkungan tempat ia bermain (orang, tempat),” kata Yusrizal KW, pengamat seni dan Ketua Yayasan Citra Budaya Indonesia, menilai.
Makanya jangan heran, saking cerdasnya pantun-pantun yang dibuat Sawir ini, baris-baris pantunnya sering diambil untuk inspirasi dan judul-judul lagu-lagu pop Minang dewasa ini. Bahkan ratusan pantun yang ia ciptakan kini sudah menjadi dendang-dendang tradisi, seperti antara lain “Suntiang Patah Batikam”, “Banda Guntuang”, “Hujan Baribuik”, “Danau Mamukek”, dan “Talempong Anam Koto”. (Abel Tasman, dan Tim DKSB)

Thursday, March 1, 2007

Islamidar

Maestro Musik Tradisi Minang

Nama: Islamidar

Tempat dan Tanggal Lahir: Nagari Talang Maua, Kecamatan Mungka, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatra Barat, 16 Juli 1941
Pekerjaan: Penjaga sekolah dasar yang difungsikan sebagai kesenian
Pendidikan: Sekolah Rakyat



Karya dan Pengalaman Seni

: Di Indonesia misalnya, di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) beberapa kali, di Taman Ismail Marzuki (TIM) beberapa kali, dan di Surabaya.

Di luar negeri, misalnya di Malaysia 9 (sembilan) kali, di Eropa 5 kali: Belanda, Yunani, Jerman, dan Spanyol. Di Asia selain Malaysia, pernah tampil Brunei, Singapura, dan Jepang.

Suaranya merintih lirih namun merdu kala melantunkan syair/ lagu dendang sampelong yang diiringi saluang bansi yang mengalun. Dialah Islamidar yang akrab disapa Tuen oleh penduduk kampung sekitar. Tuen lahir pada 16 Juli 1941 di Nagari Talang Maua, Kecamatan Mungka, Kabupaten Lima Puluh Kota. Di nagari itu pula ia tinggal hingga hari ini. Tuen adalah pewaris dan penjaga seni sampelong, salah satu seni tradisi Minang yang masih eksis sampai saat ini. Sejarah hidup Tuen identik dengan perkembangan sampelong itu sendiri.

Tuen memang berasal dari keluarga yang berdarah seni. Ibunya adalah pelantun dendang sampelong yang juga pandai memainkan gendang. Sedang sang ayah adalah seorang qari yang mahir membaca ayat-ayat suci Al-Quran dengan irama yang enak di telinga. Kakeknya adalah seorang pemain gambus. Begitu pula etek dan mamaknya.

Irama sampelong adalah irama yang dimainkan dengan saluang sejenis bansi. Dulunya, sampelong adalah sejenis irama musik yang dinyanyikan pada saat menggampo gambir. Saat itu sampelong tak pakai dendang. Kalaupun ada dendang berirama sampelong, tapi musik pengiringnya adalah talempong. Baru sejak tahun 1965, sampelong pakai dendang. Syair/lagu dendang sampelong lebih banyak berkisah tentang kepahitan hidup, keperihan nasib, kegagalan cinta, kemiskinan dan segala kenestapaan lainnya. Lirik-lirik sampelong adalah elegi: nasi dimakan serasa sekam, air diminum serasa duri.

Sampelong, sebagaimana dituturkan Tuen sudah ada di Minangkabau sebelum kedatangan Islam ke ranah ini. Nada sampelong adalah nada-nada lagu Budha. Ini dibuktikan dengan kesamaannya dengan nada yang ada di Thailand—sebuah bangsa yang kebudayaan dan seninya berakar pada agama Budha dan juga di Palembang—daerah yang pernah menjadi tempat berkembangnya agama Budha.

Sampelong berbeda dengan basirompak, baik alat yang yang digunakan maupun lagu yang dimainkan. Basirompak dimainkan dengan saluang biasa dengan syair lagu-lagu dendang yang berupa mantra-mantra jahat yang dulunya merupakan alat penyampai guna-guna. Namun sekarang, kata Tuen, basirompak juga bisa dialihkan ke seni yang bernilai baik dan enak didengar.

Sejak kecil, Tuen sudah akrab dengan musik tradisi Minang. Pada usia enam tahun ia sudah diajarkan oleh neneknya memainkan talempong. Hingga dewasa, Tuen tak hanya trampil memainkan talempong (talempong pacik) dan berdendang sampelong, tapi ia juga mampu memainkan akordeon dan pianika. Di samping itu, ia juga bisa memainkan seni musik dikia (seni musik Islam). Tak ketinggalan, Tuen juga bisa berdendang basijobang—sejenis dendang yang diiringi musik yang bersumber dari hentakan kotak korek api yang berkisah tentang Anggun Nan Tongga dan Putri Gondoriah. Menurut Tuen, sebutan Basijobang berasal dari gelar Anggun Nan Tungga yaitu Magek Jabang (jadilah Basijobang).

Tuen, sang maestro seni musik tradisi ini berumah tangga pada tahun 1969. Hingga sekarang ia mempunyai lima orang anak—yang salah seorang dari putranya juga meneruskan bakat seni yang diwariskannya. Sebagai seorang seniman, sejak tahun 1970-an Tuen sudah sering tampil di acara-acara resepsi pernikahan atau baralek. Ia mulai tampil ke publik yang lebih luas pertama kali pada acara Pekan Budaya Minang di Payakumbuh. Sejak itu, berbagai pentas seni budaya sering ia ikuti. Sejak beberapa tahun belakangan, di setiap Selasa malam dan Sabtu malam, ia tampil di Bukittinggi.

Kesungguhan dan kepiawaian dalam berkesenian mendapatkan perhatian dari pemerintah. Ia diminta mengajar di sekolah dasar di kampungnya. Namun karena hanya berijazah Sekolah Rakyat (sekolah dasar), Tuen resminya hanya diangkat sebagai pegawai penjaga sekolah, namun fungsinya adalah sebagai seorang guru. Di SD Negeri 02 Talang Maua, Tuen mengajar kesenian sampai saat ini. Namun ternyata, karena kemampuannya—Tuen jadinya tak hanya mengajarkan kesenian, tapi juga mengajar matematika dan pendidikan agama. Untuk materi pendidikan agama, Tuen menciptakan lagu-lagu yang berisikan kisah-kisah kehidupan para rasul dan nabi. Ia juga menciptakan lagu tentang Rukun Islam dan Rukun Iman. Lagu-lagu yang berisikan pendidikan agama untuk sekolah dasar ini sudah ada yang diproduksi dalam bentuk kaset rekaman.

Hari-hari Tuen dIjalani dengan penuh kesibukan. Bangun setiap subuh. Usai salat ia membuka kedai dan kemudian bersiap untuk berangkat mengajar ke sekolah pada jam tujuh pagi. Setelah pulang dari sekolah sekitar jam 13.30, Tuen menghabiskan waktunya duduk di kedai miliknya sampai jam 10.00 malam. Di samping melayani pembeli, Tuen mengisi waktu dengan memeriksa tugas-tugas sekolah murid-muridnya. Di saat-saat itu pula Tuen menciptakan lagu sambil terus mendendangkannya. Pada setiap Jumat malam, Tuen berlatih dengan kelompoknya untuk persiapan tampil di Bukittinggi besok harinya. Selesai salat Ashar setiap Selasa dan Sabtu, Tuen bersiap untuk berangkat ke Bukittinggi. Sering ia hanya berjalan kaki sejauh delapan kilometer sampai ke Mungka, dari sini baru ia naik bus menuju Bukittinggi

Di samping mampu berdendang dan memainkan alat musik, Tuen juga mempunyai kemampuan sebagai seorang akademisi. Ia bisa menciptakan lagu disertai not balok. Penglihatannya yang sudah terganggu sejak usia muda tak menghalanginya untuk mencipta. Layaknya seorang seniman sejati yang juga punya talenta sebagai akademisi, Tuen memiliki pengalaman, pemahaman dan pengetahuan yang kaya tentang seni tradisi. Ia layak menjadi narasumber yang tak pernah kering untuk digali.

Sebagai seorang seniman yang bertalenta akademisi, Tuen juga menyampaikan kritik yang cukup tajam terhadap perguruan tinggi seni. Ia menilai, seni musik tradisi hampir tak berkembang di perguruan tinggi seni, lebih sering hanya memainkan lagu itu ke itu saja. Ia mencontohkan permainan talempong, hanya berputar pada Cak Din-din dan Tigo Duo. Ia juga menyayangkan, anak-anak muda kini yang enggan untuk meneruskan seni tradisi yang berakar dari negeri ini sendiri.

Begitulah seorang Tuen, hidupnya terus mengalir, ia berkarya tak pernah henti. Sejarah menakdirkannya sebagai seorang seniman sejati, pewaris, penjaga dan pelestari seni tradisi.


Transkripsi hasil wawancara dengan Bapak Islamidar
Pada 4 Mei 2002 di Padang Jopang,
Kabupaten Limo Puluh Kota , Sumatra Barat

Bermusik seperti Mencintai Manusia

Wawancara dengan Islamidar dilakukan oleh Yusriwal, salah seorang staf pangajar Fakultas Sastra Universitas Andalas (kini Yusriwal telah berpulang kerahmatullah pada 16 Januari 2005 akibat kecelakaan). Berikut wawancara itu.

Bagaimana Bapak belajar sampelong?

Tidak sengaja diturunkan. Cuma, karena sudah umum semua orang tua-tua pandai memankan alat musik sampelong, dengan sendirinya kita bisa saja. Asal ada bakat, bisa pandai. Waktu kecil, saya dininabobokan, dibuai oleh ibu dengan lagu seperti itu (lagu-lagu berirama sampelong—red):

lolok lah sayang (tidur lah sayang)

lolok lah lolok (tidur lah tidur)

(Islamidar menyayikannya)

Saya dibesarkan dengan dendangan seperti itu. Hal itu betul-betul meresap dalam jiwa, sehingga tidak perlu dipelajari secara khusus.

Selain lagu-lagu, Bapak juga membawakan kaba dengan alat musik sampelong, bagaimana cara belajarnya?

Hanya dengan mendengar saja. Dengarkan tukang kaba bercerita, kita cobakan. Artrinya, tidak disengaja berguru atau belajar.

Kalau ada anak muda yang ingin belajar, bagaimana prosesnya sampai mahir memainkan sampelong?

Begitu juga. Dicoba saja. Jika urang tua, mereka diminta mendengarkan dam memberi kritikan. Seprti itu, tidak diajar khusus. Dicoba, ditanyakan ke orang tua: “sudah bagus atau belum.”

Dulu, sampelong berkaitan dengan unsur magis. Kalau ada yang ingin melihat, bisa Bapak tampilkan?

Tidak bisa. Sebab, untuk meaminkannya harus dalam sebuah tim: seorang tukang sampelong, tukang dendang, tukang gasiang (gasing), dan seorang yang memerankan sesuai dengan efek yang diinginkan. Jika pemeran merobek baju, yang dituju akan merobek baju pula. Begitu seterusnya.

Seperti apa syair-syair yang digunakan untuk sampelong magis?

Karena tak pernah lagi dimainkan, sudah banyak yang lupa. Pokoknya syair tersebut ditujukan ke seseorang:

kok lolok tolong jagoan (kalau tertidur tolong bangunkan)

kok jago suruah ka iko (kalau bangun suruh ke sini)

suruah…(suruh…)

Ada irama khusus Pak?

Iyo, umbuik mudo.

Selama Bapak main sampelong, pernahkan Bapak menggunakan unsur magis tersebut?

Tidak, sebab haram hukumnya. Hal itu pula yang menyebabkan kesenian ini dilarang oleh para ulama. Kini, karena usur magis itu sudah dihilangkan, tidak dilarang lagi.

Bapak tidak belajar secara khusus?

Tidak, tapi diwariskan secara alamiah. Mereka yang mau belajar akan pandai, yang tidak mau tidak akan pandai.

Proses pembuatan sampelong melalui cara-cara dan tahapan-tahapan tertentu. Talang yang digunakan harus yang tumbuh di tempat sakral dan lain sebagainya. Kalau sekadar belajar, apakah harus mengikuti cara dan tahapan tertentu tersebut?

Tidak. Sampelong ada dua macam: khusus untuk guna-guna dan sebagai alat tiup biasa. Kalau untuk yang kedua, tidak dperlukan tata cara tahapan tertentu tersebut. Bisa saja dgunakan bambu untuk mengambil kelapa atau bambu yang telah digunakan sebagai jemuran kain. Dulu, kalau ada orang meninggal, meratapi orang meninggal pun digunakan irama sampelong:

ondeh nak ei bajalan sonjo kau nak ei (onde berjalan di senja hari anak ei)

umah godang sia nan kamaunyi nak ei (rumah gadang siapa yang akan menghuninya)

Para istri yang ditinggal suami pun, kalau bernyayi akan menggunakan irama itu. Namun, orang sekarang tidak tahu lagi dengan irama tersebut

Di Tolang, apakah ada perempuan yang mahir memainkan sampelong?

Dulu ada, sekarang tidak. Untuk main biasa, bukan untuk guna-guna.

Dalam penampilan, bisakah sampelong digabung dengan alat musik lain?

Hanya bisa dengan gendang dan biasanya pada lagu-lau yang berirama gembira. Bisa juga dalam menyampaikan hikayat atau kaba. Gendang yang dipakai adalah rebana. Irama lagu-lagu sampelong dapat diketogorikan:

Sedih:

· Kubang Balambak

· Mudiak Manguih

· Lobuah Lengkok

· Maalau Kobau

· Batu Putiah

· Mudiak Likih

Gembira:

· Ontak Tabuang

· Kayu Dalok

Khusus:

· Umbuik Mudo – untuk simbabau dan sjundai

· Puti Talayang – untuk membawakan kaba

Irama Umbuik Mudo:

· tuan tun kotik dongkak

· Tun kotik nan panjang ongok

· Langkah nan batingkah-tingkah

· Balari nan batingkah duo

· Obuak nan panjang di balakang

· Obuak tagerai di kuduak o ….

· Dimano lobuah nan golong

· Tuan lah balari di situ

· Dima pasea nan rami tuan lah tibo di situ

· Hancua luluah di batang agam

Irama Puti Talayang:

Ado kapado suatu hari, Puti Talayang, inyo bakato bakeh kakaknyo, nan banamo si Ganjo Erah, “ Oi kakak si Ganjo Erah kak ei…., poi lah kito poi mandi, etan ka sumua tigo rono.”

Mandonga kato nan baitu, jadi manyauik e Ganjo erah, “ Adiak e Puti Talayang……”

Untuk kaba, iramanya itu saja. Orang akan terfokus pada cerita bukan pada irama. Tidak pakai alat musik pun iramanya tetap seperti itu.

Bagamana tanggapan masyarakat?

Kini, kesenian ini tidak begitu diminati. Sudah menjadi barang langka. Tidak ada minat dari masyarakat untuk mengembangkan atau belajar. Dapat dikatakan minat mereka sudah mati.

Apakah kesenian ini pernah diajarkan di sekolah?

Bagiaman mana mau mengajarkannya kepada anak SD? Kurikulum untuk itu tidak ada. Waktu yang disediakan untuk kesenian hanya dua jam untuk empat mata pelajaran: seni suara, rupa, tari, dan keterampilan. Mengajar anak-anak kesenian tradisional tidak sulit. Tangga nada sampelong la do re mi. Daerah di Nusantara yang mempunyai kemiripan dengan sampelong adalah: Dayak, Toraja, Tengger, Kubu, dan Semang (Malaysia). Nada ini dipengaurhi oleh agama Budha. Setelah Islam masuk, ia tetap tinggal di daerah pedalaman. Di Muangthai saya menumukan juga irama yang sama. Secara tidak sengaja saya pernah mendengar di radio sana, sebuah lagu yang diiringi dengan irama seperti ini.

Adakah perbedaan tangga nada sampelong dengan laras pelog dan selendro?

Nada sampelong mirip dengan selendro, cuma ada dua nada yang turun seperempat (1/4). Tangga nadanya sol la do re mi, la dan mi turun seperempat. Selendro jarak antara la dan do rapat, sampelong jarang karena la turu dan mi turun. Pelog: do mi fa sol si du, jauh sekali bedanya dengan sampelong. Irama Pasaman diatonik, dibandingkan diatonik, sampelong tidak memiliki nada si dan fa.

Sejak kapan Anda menyukai musik?

Kalau suka dengan musik, mungkin sejak dari lahir. Mengapa? Masih kuat dalam ingatan saya, mungkin masih berumur setahun, Pobo (kakaknya) saja mungkin tidak ingat, ketika Etek saya kawin dengan Mak Kutea, saya tidur menelentang, bantal di sisi kiri, kain di sisi kanan, sebuah gramofon didupkan:

tong kak-tong kak tum, tong kak- ton kak tum (menirukan bunyi rebana dipukul)

talipuak layua nan dondam, lai anak rang Tolang (menyanyi).

Penyanyinya Kinah dan Naimah. Saya sudah ingat walau umur saya masih satu tahun. Mulai main musik tradisional umur 5 (lima) atau 6 (enam) tahun. Pada waktu itu tangan saya dituntun oleh almarhum Andek (nenek).

Siapa yang mengajar Anda pertama sekali?

Mandiang Andek, ibu dari ibu.

Kalau dari orang tua?

Kami sekeluarga boleh dikatakan keluarga pemusik: Pak Etek tukang dikia, Ibu pemain gambus, Etek tukang gambus, kakek pemain talempong, nenek pemain talompok, bapak pemain biola. Akibatnya, musik bagi kami bukanlah sesuatu yang asing.

Apa alat musik yang bisa Anda mainkan?

Alat tradisonal yang saya kuasai adalah talempong, Gendang. Alat tiup krang dikuasai, namun kalau gendang, jenis apa pun, bisa saya mainkan. Seni tradisional saya bisa memainkan akordion, harmonium, dan pianika.

Bagaimana tanggapan Anda terhadap musik Minangkabau sekarang?

Musik Minangkabau saat ini: pencipta melahirkan musik yang bagus, namun selera penikmat bukan ingin musik bagus, tetapi ingin goyangnya bagus. Akibatnya lagu sedih dimainkan dengn musik gembira. Jika lagu Zalmon yang dinyanyikan, kita yang mendengar tidak merasakan kepedihan yang ada dalam lagu tersebut. Jadi sasaran yang diinginkan pencipta tidak tercapai. Itu yang menyebab lagu-lagu tersebut tidak bertahan. Lain halnya dengan lagu Minangkabau dulu. Lagu tari payuang misalnya, tidak pernah berubah.Makin diolah makin bagus.

Anda bisa membaca not balok, sedangkan penusik tradisi tidak ada yang bisa…

Anda jangan marah kepada saya. ASKI (sekarang STSI) tidak bisa mengolah not balok. Sekolah apa itu (nada bicaranya tinggi). Mestinya semuanya dengan not: talempong dengan not, beduk saja bisa dibuat not baloknya. Tamatan ASKI dikasih not balok, tidak bisa baca. Akademi apa namanya yang seperti itu. Tamatan akademi musik tapi tidak bisa membaca not balok.

Dengan siapa Anda pertama belajar not balok?

Pertama sekali dengan Syahril, di Koto Kociek, anak mamak saya. Setelah mulai bisa, saya melanjutkannya sendiri. Kemudian berlanjut ketika saya bertemu dengan Nizam, Pak Cap (Yusaf Rachman-red), dan beberapa orang lain.

Mengapa Anda merasa perlu belajar not balok?

Agar mudah menerima dan memberikan musik. Apa saja yang didengar saya bisa menyimpan dalam bentuk not balok, walaupun yang didengar itu hanya suara gendang misalnya. Kalau tidak bisa not balok tidak bisa menuliskan bagaima bunyi gendang, misanya: tum tak tumtak-tak tum, tak tum tak-tak tum. Bagaimana menuliskan bunyi seperti itu kalau tidak pakai not balok. Kalau dengan not angka tidak akan bisa.

Selama ini kita diperbodoh oleh si Panjang Hidung, Belanda. Mereka yang mengajar kita not angka sehingga buta dengan not balok. Di luar negeri tak satu pun orang yang memakai not angka. Orang Amerika memakai not balok ditambah kode untuk motif. Dengan demikian not balok amerika sangat fleksibel. Jika dipakai untuk vokal pakai kode vokal, untuk gendang pakai kode gendang, dst.

Dengan not balok kita cepat dapat memainkan suatu alat dan cepat menentukan tinggi rendahnya sebuah nada.

Mengenai pendidikan musik di sekolah, apakah kurikulum musik kita yang salah?

Tidak. Dalam kurikulum 75, not angka hampir tidak diajarkan lagi. Namun, dalam pelaksanaannya not angka masih diajarkan. Selain itu, penerbit buku. Mereka tidak paham dengan musik tapi menulis buku musik, yang ditulis bukan not balok tapi not angka.

Guru pun mencampurkan pengajaran not angka dengan not balok. Maksud kurikulum adalah bahwa angka hanya dipakai menandai nomor jari, bukan untuk dibaca.

Bisakah orang yang sama sekali tidak mengenal not angka bisa belajar not balok?

Bisa, bahkan orang yang buta dengan angka pun bisa. Kalau sudah kenal motif kemana saja bisa: untuk vokal beri kode vokal, untuk gendang beri dum dan tak. Persoalan lain adalah, ada nilai yang tidak sama antara not balok dengan not angka. Kalau diberikan keduanya kan anak didik jadi bingung. Nilai titik pada not angka sama dengan nilai not itu sedangkan pada not balok titik nilainya setengah.

Menurut anda adakah kaitan antara musik dengan menyikapi hidup?

Banyak. Main dalam suatu kelompok misalnya, kita harus menjaga kebersamaan, bagaimana kita terangkat secara bersama. Ini akan mengurangi kalau tidak sama sekali menghilangkan sikap egois. Begitulah kita dalam bernasyarakat.

Kemudian disiplin. Kita harus taat aturan. Ketinggalan sedikit saja, nada akan menjadi sumbang. Ktukan harus pas, tidak boleh lebih atau kurang.

Dalam disiplin ini, berapa ketukan kesalahan yang bisa ditolerir?

Tidak dapat ditolerir seperseribu ketukan pun.

Anda bisa akordion, pianika, keduanya bukan alat musik Minangkabau? Mengapa Anda mau memainkannya? Adakah pengaruh musik tersebut ke musik tradisi Minangkabau?

Ada. Akordion sudah lama di pakai dalam musik-musik tradisi Minangkabau. Gamad dan gambus memakai akordeon. Akordeon bukan lagi alat musik modern tapi semi modern atau atau semi tradisi di Minangkabau. Akordeon banyak membawa musik-musik bernafaskan Islam. Lagu-lagu kasidah dan gambus tidak bisa dibawakan dengan Saluang.

Kalau belajar piano Anda mau?

Tidak. Untuk apa saya belajar piano? Alat ini tidak bisa digunakan untuk musik tradisi. Lagi, karena tangan saya sudah bisa dengan tradisi, tidak lentur lagi untuk bisa memainkan piano. Susunan talempong saya agak aneh, nada tinggi terletak di tengah, sedangkan piano, nada rendah di kiri dan nada tinggi di kanan. Susunan nada talempong saya: do mi sol si du la fa re sedangkan nada piano do re mi fa sol la si du.

Susunan nada talompong seperti itu memungkinkan saya dapat memainkan melodi dengan cepat. Grup lain sekarang sudah banyak yang menggunakan susunan talompong seperti itu.

Siapa saja yang pernah belajar dengan Anda?

Kalau di kampung, ya anak-anak di kampung saya, guru-guru di Padang. Orang asing juga ada, ada orang Amerika sekarang kawin dengan orang Yogyakarta dan tinggal di sana dan David dari Australia.

Di mana saja Anda pernah tampil?

Di Indonesia misalnya, di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) beberapa kali, di Taman Ismail Marzuki (TIM) beberapa kali, dan di Surabaya. Di luar negeri, misalnya di Malaysia 9 (sembilan) kali, di Eropa 5 kali: Belanda, Yunani, Jerman, dan Spanyol. Di Asia selain Malaysia, pernah tampil Brunei, Singapura, dan Jepang.

Anda mengatakan bahwa sampelong adalah peninggalan Budha. Ada indikasi lain, selain di musik yang dapat dikatakan sebagai peninggalan Budha?

Ada. Banyak sekali. Contohnya: tidak sah berdoa kalau tidak membakar kemenyan; kalau orang meninggal harus diperaingati 3 hari, 7 hari, 21 hari, sampai 100 hari; percaya kepada tempat-tempat sakti; takut terhadap pohon-pohon besar; adanya nama negeri seperti Biaro; mantra-mantra yang digunakan.

Berkaitan dengan mantra ini, saya masih ingat antra yang sering dibaca nenek saya:

handu sonsang, Quran sonsang, barih isilam, manuriuh katarayo
datang ongkau dari aua bose, pulang ongkau ka aua bosea
datang onkau dari baringin sati pulang ongkau ka baringin sati
kalau ongkau indak poi, kau konai sumpah dek Bataro Guru

Siapa itu Bataro Guru?

Hal lain dapat pula dilihat pada orang yang sedang piturunan (kesurupan). Biasanya mereka menggigau seperti bernyanyi:

urang gunuang

urang gunuang

urang gunuang

urang gunuang

nan diam di Piobang

nan basarang di katapian godang

kami lah tibo pulo

(dilagukan)

Nadanya kan si la do re mi, itu Budha. Padahal, orang yang kena pituruan ini sehari-seharinya tidak bisa sama sekali menyanyi. Kalau di suruh ulang, dia tidak bisa mengulangnya lagi. (Abel Tasman dan Almarhum Yusriwal)