KODE-4

Friday, February 16, 2007

Kontroversi PP No 84/1999

Api dalam Sekam

OLEH Nasrul Azwar

Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 84 Tahun 1999 tentang Perubahan Batas Wilayah Kota Bukittinggi dan Kabupaten Agam dipengujung pemerintah Presiden BJ Habibie, hingga kini memang masih memunculkan kontroversi pro-kontra. Mengedepannya pro-kontra tampaknya lebih banyak terjadi di dalam lingkungan tokoh-tokoh masyarakat Kabupaten Agam. Semenjak diterbitkannya PP No 84/1999 pada tanggal 7 Oktober 1999 hingga kini sikap menolak terhadap PP muncul sangat dasyat kepermukaan. Seolah-olah inilah suara masyarakat Kabupaten Agam yang sesungguhnya. Sedangkan, sebagian tokoh masyarakat yang setuju perubahan batas wilayah tersebut, juga mengklaim sebagai suara masyarakat.

Sikap ambivalensi dan menduanya sebagian tokoh-tokoh masyarakat tersebut dapat dilihat dari suara-suara yang muncul di Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam dan juga Kecamatan IV Koto. Baru-baru ini muncul selebaran di Kecamatan Tilatang Kamang berbentuk jajak pendapat menyangkut PP No 84/1999 ini, yang akhirnya memicu reaksi keras dari tokoh-tokoh masyarakat di kecamatan itu. Dan secara dramatis pula, mereka “menyandara” Bupati Agam, Aristo Munandar, untuk menentukan sikap tegasnya. Akan tetapi, seperti yang telah diduga – jika ada desakan yang demikian keras dari masyarakat—pejabat akan menjawab ‘akan diusut dan tidak mengetahui kejadian itu’. Jawaban demikian mesti dimaklumi.

Lain halnya dengan Nagari Sianok VI Suku Kecamatan IV Koto, yang juga salah satu nagari masuk dalam peta perubahan batas wilayah. Di tengah nagari yang kini banyak ditinggalkan masyarakatnya, muncul suara-suara yang tidak satu irama. Sebagian tokoh masyarakatnya—yang diwakili Kerapatan Adat Nagari (KAN) Sianok VI Suku—setuju dengan masuknya Nagari Sianok VI Suku ke dalam wilayah Kota Bukittinggi dengan bersyarat: tidak ada intervensi bentuk apa pun dalam pengaturan hukum adatnya. Sebagian lagi menolak tanpa ada syarat apa pun. Artinya, masih terjadi suara ambivalensi.

Jika dalam sebuah seminar yang dilaksanakan di sebuah hotel di Bukittinggi pada 14 November 1999, sosiolog Mochtar Naim menyebutkan bahwa gambaran perluasan kota itu adalah gambaran Indonesia dan dunia ketiga lainnya di mana pun di dunia ini, di mana struktur ekonomi dan sosialnya timpang dan dualistik. Kelompok kecil pemilik modal yang menguasai bagian besar dari kekayaan nasional, bekerja sama dengan para penguasa, sementara jumlah terbesar dari rakyat hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan. Mochtar secara eksplisit menolak perubahan batas wilayah yang dikeluarkan eksekutif itu, sebab ujungnya akan menyengsarakan rakyat saja. “Jika KAN dan pemuka-pemuka masyarakat sepakat bulat untuk menolak masuk kota maka tidak siapa pun yang bisa memaksakannya,” ucap Muchtar dalam makalahnya.

Maka, selanjutnya dalam seminar itu, KAN bersama para pemuka masyarakat Anak Nagari se-Agamtuo menghasilkan butir-butir kesepakatan antara lain: menolak diberlakukannya PP No 84 tahun 1999. Kelompok yang menamakan dirinya Badan Koordinasi Penampung dan Penyalur Aspirasi Masyarakat Anak Nagari Agamtuo menjadi wujud komunitas sebagai fasilitas yang tegas-tegas menolak PP No 84/1999 itu. Suara-suara penolakan dari kelompok ini terus menghiasi opini yang dilansir media massa.

Namun demikian, suasana justru sangat berbeda dengan apa yang terjadi di tengah masyarakat kota Bukittinggi sendiri, baik dari kalangan eksekutif (pemerintah kota Bukittinggi), legislatif (DPRD Kota Bukittinggi), atau tokoh-tokoh dan pemuka masyarakatnya. Respon terhadap perubahan batas wilayah itu terlihat dingin dan terkesan amat apatis. Ada apa dibalik itu?

Sikap dingin dan apatis itu pada sisi tertentu memang dapat dimaklumi. Sebab, pada posisi ini pemerintahan Kota Bukittinggi lebih diuntungkan ketimbang Agam. Akan tetapi, beberapa kalangan yang dekat dengan birokrat Kota Bukittinggi menilai, sikap demikian itu sebagai representasi ketertutupan pemerintahan Kota Bukittinggi terhadap wacana dan perubahan yang berkembang.

Dibalik Penolakan

Polemik tentang perubahan batas wilayah Kota Bukittinggi dan Kabupaten Agam dan sekaligus diiringi dengan pro-kontranya kini tampaknya bukan semata soal telah diberlakukannya secara resmi UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan dan terbitnya PP No 84 Tahun 1999 itu sendiri. Akan tetapi, dari sekian banyak informasi dan wacana yang berkembang menyangkut PP tersebut, secara strategis saya ingin mengatakan bahwa penolakan PP penuh dan diwarnai dengan intrik politis dan kepentingan tertentu. Tepatnya, penolakan sebagian tokoh-tokoh masyarakat itu hanya sebagai tujuan antara, yang pada akhirnya nanti berujung kepada sebuah rencana besar untuk mendirikan secara primodialistik sebuah wilayah yang disebut Luhak Agam. Luhak Agam inilah yang dijadikan semacam acuan untuk menyatukan kembali apa yang disebut dengan ‘Bukittinggi Koto ‘Rang Agam’.

Rencana ini makin kian menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Sebab, pemikiran yang kini terus bergulir seiring dengan desentralisasi adalah budaya lokal (local culture). Maka, akan sangat relevan sekali, untuk mewujudkan sebuah wilayah dengan ikatan budaya, wacana budaya lokal memang menjadi konsep yang paling tepat untuk diterapkan dan diapungkan.

Dari itu pula, untuk mengembalikan konsep yang pernah ada di tengah kehidupan sosial masyakat: ‘Bukittinggi Koto ‘Rang Agam’, penolakan terhadap perubahan batas wilayah menjadi sangat penting. Sebab, seandainya PP itu diterapkan, tidak bisa tidak, rencana besar untuk menyatukan konsep dan rencana besar itu akan menemukan kesulitan, memakan waktu yang panjang sekaligus melelahkan.

Pada dasarnya, arah, rancangan pemikiran dan wacana yang demikian itu sangat menarik sekali, jika acuannya pada basis kekuatan dan pemberdayaan kehidupan sosial masyarakat. ‘Bukittinggi Koto ‘Rang Agam’ menjadi satu referensi budaya dan sosial yang cukup dasyat sinerginya jika benar-benar terealisasikan dalam tatanan yang benar dan terarah. ‘Bukittinggi Koto ‘Rang Agam’ diwujudkan sebagai basis partisapasi masyarakat secara menyeluruh. Akan tetapi, celakanya, perkembangan dari polemik tentang penolakan PP tersebut, hingga kini, saya kira, tetap masih bersifat eksklusif, elitis, dan hanya segelintir orang tertentu saja yang bersuara dan berperan di dalamnya. Lalu pertanyaannya, ada apa dibalik semua ini?

Bagaimana dengan suara dari masyarakat akar rumput, baik yang berada di Kota Bukittinggi maupun yang berada di wilayah Kabupaten Agam? Hingga kini memang tidak pernah terdengar secara tegas, apa sesungguhnya keinginan kedua wilayah masyarakat itu?

Bagi saya untuk menemukan titik persoalan pro-kontra PP No 84/1999 itu mesti mengacu pada partisipasi dan aspirasi masyarakat secara total. Dan selama berkembangnya pro-kontra PP itu, eksistensi dan keberadaan masyarakat secara luas tidak pernah digubris, baik itu pemerintahan, tokoh masyarakat, dan DPRD dari kedua wilayah yang berseteru, maupun institusi yang berkait dengan masalah ini. Saya masih yakin benar, hampir 99% masyarakat kedua wilayah itu belum mengetahui apa itu PP No 84/1999 tentang perubahan batas wilayah mereka. Padahal, ini menjadi sesuatu yang sangat ironis sekali jika suara masyarakat tidak didengarkan untuk sebuah kebijakan yang kelak akan sangat menentukan nasib sosial mereka.

Maka, hingga ini ke atas, suara masyarakat di kedua wilayah itu tidak bisa tidak mesti disertakan secara signifikan. Dan inilah penyebabnya PP No 84/1999 itu tidak pernah terselesaikan secara baik. ***

No comments:

Post a Comment