| |||||
Oleh Mahdi Muhammad "Mungkin ada yang masih bisa memainkan alat musik ini. Tetapi, mereka entah di mana sekarang. Anak-anak muda sekarang sudah jarang yang bisa memainkan kesenian ini. Ini yang menjadi kekhawatiran kami," ungkap Islamidar (66), pertengahan Mei 2007. (Selengkapnya...)
|
Ruang silaturahmi dan ekspresi seni, politik, kebudayaan, sosial, dan tradisi rakyat secara santun
KODE-4
Tuesday, June 26, 2007
Islamidar dan Seni "Sampelong"
Wednesday, June 13, 2007
Gus tf: Melintas dari Sudut Kota Kecil
TENTANG GUS TF SAKAI
Dari Kupu-kupu yang Bermimpi Jadi Swang Tse dan Tambo Gus tf Sakai
OLEH FADLILLAH
Tragik kemanusiaan ini menjadi problematik dalam novel Tambo (Sebuah Pertemuan) karya Gus tf
Cerita tentang Swang Tse ini ditulis oleh Aart van Zoest dalam bukunya Fiksi dan Nonfiksi dalam Kajian Semiotik, terjemahan Manoekmi Sardjoe, (1990:31). Tidak jauh berbeda persoalan ini juga diungkapkan oleh Hasif Amini dalam tulisannya di jurnal Kalam (4/1995:89,90) dengan judul Seni Baca di Perpustakaan Imajiner Jorge Luis Borges dan (Antara Lain) Sastra Fantasi. Dia mengatakan: "Dalam cerita ’Reruntuhan Melingkar’, seorang rahib pagan tua mendatangi suatu reruntuhan kuil di tengah hutan, demi ’memimpikan’ sesosok anak lelaki yang kelak akan dimasukkannya ke dalam realitas; namun di saat terakhir ketika si anak sudah jadi, mendapatkan wujud fisiknya, rahib itu mulai menyadari bahwa ia juga makhluk ilusi yang diimpikan oleh orang lain…." Borges melalui diskusi atas buku-buku kuno, di mana tak terjadi perpindahan ruang, melainkan perpindahan kognitif yang berlangsung dalam waktu. Borges secara khusus dan berulang, membahas persoalan waktu ini: "memperhadapkan waktu linear yang direkayasa dunia modern, dengan waktu sirkuler (melingkar) yang bersifat mitologis". Hal ini juga barangkali relevan dengan film Vanilla Sky yang disutradarai Cameron Crowe, film yang dirujuk dari film Spanyol berjudul Abre Los Ojos (1997). Fenomena Vanilla Sky adalah fenomena kupu-kupu Swang Tse, yakni tidak berbatasnya imajinasi dan realitas akibat penderitaan yang amat sangat, sebagaimana dimainkan oleh Tom Cruise dan Penelope Cruz.
Sutan Balun (Datuk Perpatih Nan Sabatang) dalam TSP itu mengatakan bagaimana ia bermimpi jadi Rido, Barangkali ini berhubungan dengan pola narasi kupu-kupu yang bermimpi jadi Swang Tse. Kemudian pada bab 14, Alangkah Banyak Diriku, diceritakan tentang Rido yang tetap tidak tahu beda realitas dengan mimpi. Sebelumnya ada pernyataan yang lebih berat dari persoalan itu adalah Rido (
Narasi seperti ini sulit dipahami, tetapi bila ia diletakkan sebagai fenomena metafora atau hakikat kehidupan, maka ia merupakan narasi yang menyembunyikan sesuatu. Dengan demikian akan muncul sesuatu itu, yakni pertanyaan yang sederhana, mengapa hal itu terjadi, dan mengapa begitu? Fenomena Rido tersebut tidak mungkin terjadi begitu saja, ada satu sebab (atau beberapa sebab, banyak sebab) yang mengakibat Rido menjadi suatu fenomena. Adapun perlunya dicari sebab, karena fenomena Rido hanya dianggap sebagai akibat. Tidak mungkin penyebabnya adalah suatu realitas yang menyenangkan dan bahagia, karena jika realitas penyebabnya sesuatu yang baik, menyenangkan, bahagia, maka tentu akan mengakibatkan terjadinya kebaikan dan bahagia, dapat dipahami, serta persoalan menjadi selesai, tidak lagi suatu hal yang problemtis. Fenomena Rido sebagai narasi bukanlah suatu bentuk kebahagiaan, tetapi suatu narasi problematis yang tragis, cerita sedih. Dengan demikian, pada akhirnya fenomena Rido tentu disebabkan oleh suatu penderitaan, sistem yang buruk, kesedihan yang tidak terleraikan, yang menekannya.
Pertama, ketika pertanyaan itu dirujuk kepada pemikiran tulisan Pariaman (Brouwer,1984:228), maka apa yang terjadi pada Rido adalah gejala split of personality, dan memang novel ini pada mulanya berjudul Sakit, tetapi menurut Sakai adanya negosiasi dengan redaksi harian Republika (ketika novel ini akan dimuat bersambung di harian itu, sebelum diterbitkan, ungkapan pengarang kepada penulis) dan penerbit Grasindo, maka novel ini akhirnya berjudul Tambo (Sebuah Pertemuan). Fenomena split of personality ini timbul, menurut Pariaman (Brouwer,1984:202) merupakan reaksi terhadap sistem ganda kehidupan yang terlalu berat untuk dihadapi. Pendapat ini barangkali sejalan dengan cerita tentang Sybil karya Schreiber (2001:489-490), yang juga mengungkapkan bahwa keterpecahan kepribadian karena sistem ganda yang terlalu berat untuk dihadapi. Tetapi fenomena yang dihadirkan di sini di samping akibat sistem ganda yang lebih berat adalah dimungkinkan oleh penindasan kekuasaan dan kehancuran jati diri.
Kedua, dapat dirujuk sebab mengapa Swang Tse meyakini bahwa dunia nyata dirinya adalah kupu-kupu, dan dirinya hanyalah mimpi dari kupu-kupu, dikarenakan ia mengalami penderitaan dan kesedihan yang tidak terleraikan, yakni istri dan anaknya meninggal, ia tidak bisa menerima atau tidak kuat menerima realitas kesedihan itu, di samping selama ini hidupnya memang menderita dan puncaknya adalah kematian istrinya, sehingga ia pada satu kali bermimpi, dalam mimpinya itu ia menjadi kupu-kupu dan berkumpul dengan anak- anak dan istrinya, terbang sebagai kupu-kupu dalam taman bunga yang indah dan bahagia. Ketika ia terbangun, ia yakin bahwa realitas yang sesungguhnya dari dirinya adalah kupu-kupu, dirinya sebagai Swang Tse hanyalah mimpi buruk dari kupu-kupu. Sebuah narasi tragik dari tragedi kehidupan. Fenomena kupu-kupu Swang Tse disebabkan oleh tragik penderitaan, yang pada hakikatnya memungkinkan juga terjadi pada tragik kesedihan dari diri Rido.
Tragik yang terjadi pada Rido sebagai sebab, pertama oleh sistem ganda sosial budaya dan kedua oleh kesedihan dan penderitaan dan ketiga oleh penindasan kekuasaan dan kehancuran jati diri. Pada sebab pertama menurut Pariaman (Brouwer,1984:208) jarang menjadi penyebab utama, ia hanya menjadi landasan sebagai pencetusan. Namun pengaruh yang kuat memang ada pada sistem sosial yang membesarkan seseorang, sistem nilai yang dianut. Rido dibesarkan oleh sistem rumah gadang yang otoritasnya dikuasai oleh nenek tertua dan mamak laki-laki (saudara laki-laki dari ibu) tertua, ia dibesarkan oleh keluarga ibu, sistem membuat ia berjarak dengan ayahnya. Sistem budaya ini memungkinkan untuk tumbuhnya kompleks mother (kompleks ibu) sebagaimana dikatakan Pariaman (Brouwer,1984:215), dan ini terjadi pada Datuk Perpatih Nan Sabatang (
Namun pada akhirnya persoalan penyebab bukanlah sesuatu yang pasti, ia akan menunjukkan banyak sebab, dan banyak kemungkinan, dan lebih banyak hal baru yang dapat ditemukan dan dipahami. Sebagai novel ia memang akan membukakan pemikiran ke arah itu, mendorong orang untuk bertualang dalam dunia kemungkinan dan dunia mungkin.
Persoalan hakikat jati diri ini, atau eksistensi, persoalan apakah Rido yang bermimpi jadi Sutan Balun (Datuk Perpatih Nan Sabatang), atau apakah Sutan Balun (Datuk Perpatih Nan Sabatang) yang bermimpi jadi Rido. Akan tetapi ketika hal ini dibawakan kepada filosofi Buddha, maka ia merupakan kupu-kupu yang bermimpi menjadi Swang Tse, karena pada sisi lain Adityawarman dalam rujukan sejarah merupakan penganut Buddha Bhairawa, dan Minangkabau sebelum Islam adalah bangsa yang beragama Hindu Buddha. Filosofi Swang Tse juga akan berhubungan dengan hakikat reinkarnasi yang sudah hilang di Minangkabau. Persoalan itu tidak berhenti sampai di sini, hal itu hanya rujukan untuk realitas narasi hari ini, karena novel TSP adalah karya sastra dengan kekinian Indonesia, hadir dalam konsep selera estetika multikultural Indonesia. Dalam bahasa pemikiran hari ini, maka TSP berbicara tentang hakikat keterpecahan identitas kepribadian dan ketidakjelasan eksistensi diri manusia
Keterpecahan kepribadian atau eksistensi
SUMBER KOMPAS, Minggu, 04 Mei 2003
Fadlillah Mahasiswa pascasarjana Kajian Budaya Universitas Udayana,
Denpasar, staf pengajar
SEA Award 2000 untuk Wisran Hadi
"Ternyata untuk sebuah kerja kreatif dan berprestasi tak harus ke
Cerpen-cerpen Wisran dipublikasikan di media cetak dan telah dibukukan oleh penerbit
Yurnaldi, Kompas, Rabu, 2 Agustus 2000
Wisran Hadi: Dari Perupa ke Teater
OLEH IVAN ADILLA, Fakultas Sastra Unand
Wisran Hadi merupakan anak ketiga dari tiga belas bersaudara yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang taat pada agama. Ayahnya, Haji Darwas Idris (Hadi) adalah imam besar mesjid Muhammadiyah,
Wisran Hadi telah menerima berbagai penghargaan dan beasiswa atas prestasinya sebagai sastrawan dan teaterawan. Di antara penghargaan yang telah diraihnya adalah SEA Write Award , peghargaan sastra tertinggi untuk Asia Tengrara dari Raja Thailand, (2000), International Writing Program di The University of Iowa, Iowa City, Amerika Serikat (1977-1978), Observasi teater Modern di New York atas sponsor Asian Cultural Council (1978). Sponsor yang sama mengundangnya melakukan Studi Perbandingan Teater Modern Amerika dan Jepang (1986-1987), Penghargaan Penulisan Sastra dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Karirnya di bidang seni dimulai dari bidang seni rupa, saat ia melanjutkan studi di Akademi Senirupa
Pada periode selanjutnya Wisran Hadi memfokuskan kegiatan di bidang teater dan sastra. Pengenalan Wisran Hadi dengan teater bermula dari pergaulan dan perkenalannya dengan Putu Wijaya, Arifin C.Noer, Abdul Hadi WM, Chairul Umam dan Rendra yang merupakan para penggiat dan anggota kelompok teater mahasiswa di Yogyakarta. Bekal itu kemudian dikembangkannya saat membimbing siswa SSRI untuk menyiapkan sebuah pementasan dalam rangka kegiatan sekolah. Setelah itu ia bergabung dengan Bengkel Teater Padang (1972-1973), Study Teater Padang (1973-1974), dan Teater Padang (1974-1975). Pada 10 November 1975, Wisran Hadi dan beberapa sastrawan (Hamid Jabbar (alm.), Raudha Thaib, Haris Effendi Thahar, Darman Moenir, A. Alin De dan Herisman Is) mendirikan Bumi Teater, yang kegiatannya mencakup bidang sastra, senirupa, teater dan musik. Hingga saat ini Wisran Hadi merupakan pimpinan, sutradara dan penata artistik di grup tersebut. Bersama Bumi Tetaer, Wisran Hadi telah melakukan pertunjukan di berbagai kota di Indonesia dan beberapa negara tetangga, seperti Padang, Medan, Jakarta, Yogyakarta, dan Kuala Lumpur. Sepanjang 28 tahun bersama Bumi Teater, setidaknya Wisran Hadi telah menyutradarai 30 pertunjukan teater yang dipentaskan grup tersebut, sehingga Bumi Teater sering didentikkan dengan Wisran Hadi.
Di bawah asuhan Wisran Hadi, Bumi Teater tumbuh sebagai kelompok yang diperhitungkan dan disegani di panggung teater
Di antara hal yang menonjol dari karya teater Wisran Hadi adalah pilihannya terhadap bentuk simbolik, permainan grouping dan konsistensinya mempertahankan etika keagamaan dalam setiap pementasan. Latar belakang pengetahuan dan pengalamannya sebagai perupa memberikan sumbangan besar dalam melakukan berbagai alternatif untuk teater simbolik yang dikembangkan Wisran Hadi. Pilihan itu sekaligus memungkinkan ia secara konsisten mempertahankan etika keagamaan dengan menghindari adegan-adegan yang dianggap tabu atau tidak sesuai dengan etika agama (Islam) dan mengubahnya ke dalam bentuk simbolik. Pilihannya terhadap permainan grouping merupakan pengembangan dari konsep randai yang dipandangnya sebagai bentuk teater demokratik. Namun pilihan itu juga dikritik oleh beberapa kalangan karena dianggap tidak mampu melahirkan aktor yang kuat.
Beberapa pementasan yang disutradarai Wisran Hadi mendapat komentar yang luas dari berbagai kalangan karena dianggap kontroversial. Pertunjukan Imam Bonjol (Padang, 1982 dan Jakarta, 1995) mendapat komentar dari budayawan, pengamat seni, sejarawan hingga pemerintah daerah yang disampaikan di berbagai media massa dan forum diskusi. Setidaknya terdapat 40 komentar terhadap pertunjukan tersebut, merupakan jumlah yang besar untuk sebuah sebuah pertunjukan teater. Pementasan lain yang juga dipandang menimbulkan kontroversi adalah Puti Bungsu (1978), Dara Jingga (1984), Senandung Semenanjung (1986), sedangkan pementasan Mandi Angin (1999) dipuji karena memberikan alternatif yang menarik dan menyegarkan dengan memanfaatkan komedi putar untuk pementasan teater. Selain aktif dengan teater modern, Wisran juga terlibat dengan teater tradisional randai. Ia pernah bergabung dengan grup randai Bintang Harapan , Cahaya Baru , dan Muda Sepakat sebagai penasehat dan penulis naskah.
Kecuali pada masa awal karirnya, hampir seluruh pementasan yang disutradarai Wisran Hadi bertolak dari naskah yang ditulisnya sendiri. Wisran Hadi merupakan penulis naskah yang menonjol dan tetap produktif. Hingga saat ini ia telah menulis sekitar 90 naskah drama, daalam bahasa Indonesia dan Minangkabau. Ia satu-satunya penulis yang memenangkan hadiah sayembara penulisan naskah drama Dewan Kesenian
Beberapa penghargaan yan diraihnya, Hadiah buku utaa dari Yayasan IKAPI dan Depatemen Pendidikan nasional untk novel Tamu (1997), Hadiah Buku sastra Terbaik untuk kategori Drama dalam Pertemuan Sastrawan nusantara untuk Jalan Lurus (1997), Pemenang Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara Indonesia untuk naskah Gading Cempaka (1996) dan drama anak-anak Mama Di Mana (1996). Selama sepuluh tahun berturut-turut, antara 1975-1985,, naskah dramanya memenangkan penghargaan Sayembara Penulisan naskah Sandiwara Indonesia yang dilaksanakan Dewan kesesnian Jakarta atas naskah Gaung, Ring, Perguruan, Cindua mato, malin Kundang, Pewaris, Anggun nan Tongga, Peneyberangkan, Senandung Semenanjung, dan Imam Bonjol.
Drama yang terlah diterbitkan menjadi buku: Empat Sandiwara Orang Melayu (Bandung: Angkasa, 2000), Mandi Angin (Padang, Dewan kesenian Sumatra Barat, 1999), Jalan Lurus (Bandung: Angkasa, 1997), Baeram, Kumpla 8 drama Pendek (Jakarta: Depatemen Pendidikan dan Kbudayaaan, 1982), Titian (Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan,1982), Pewaris (Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan,1981), Perantau Pulau Puti (Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan,1981), Anggun Nan Tongga (jakarta: Balai Pustaka, 1982), Puti Bungsu (Jakarta: Pustaka Jaya, 1978). Sejak 1971, hampir 50 naskah dramanya telah dipentaskan. Ia menyutradarai sekitar 20 perteunjukan yang dipentaskan bersama beberapa grup teater dan telah melakukan pertunjukan ke berbagai
Selain menulis drama, wisran juga menulis puisi, cerita pendek dan novel. Puisinya dikumpulkan dalam Simalakama (Ruang Pendidik INS, Kayu Tanam, 1975). Cerita pendeknya dipublikasi pada Harian Singgalang, Kompas, Media Indonesia, Republika, dan majalah sastra Horison (
Wisran Hadi juga dikenal sebagai pemikir kebudayaan dengan pikiran yang bernas dan kritik yang lugas. Sebagai pemikir budaya, ia sering diundang menyampaikan makalah tentang masalah kebudayaan dan seni di berbagai forum di
Wisran Hadi: Sumatera Barat Tak Pernah Kekurangan Penulis
Namanya terpilih sebagai salah satu seniman yang memenangkan penghargaan dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Penulis prosa berdarah Minang ini adalah salah satu seniman yang konsisten berkarya hingga hari tuanya.
Ketika menerima penghargaan tersebut pada Kongres Kebudayaan V beberapa waktu lalu, Wisran Hadi tak bisa menyembunyikan perasaannya yang berbunga-bunga. ”Saya bangga sekali. Terlepaslah bagaimana penghargaan itu dan siapa yang memberikannya,” tuturnya.
Penghargaan lain yang pernah diterimanya datang dari Kerajaan
Menjadi penulis mungkin telah menjadi suratan nasibnya. Dalam hal ini, ayahnya memberi pengaruh yang besar. ”Ayah saya, Darwas Idris, adalah seorang ulama dan konon pada masa itu dia seorang ahli hadits dari dua ahli hadits yang ada di
Waktu masuk Sekolah Guru Agama (SGA)– setaraf SMA, Wisran sudah diwajibkan membaca buku-buku yang bahkan belum sesuai dengan alam pikirannya. Bahkan, waktu di SMP kelas satu, dia sudah disuruh untuk membaca Injil, membaca Taurat, padahal ayahnya ulama. ”Saya tanya kenapa saya disuruh membaca itu, dijawab ayah saya, ‘supaya kamu tahu’,” kenang penulis kelahiran
Selain itu, dia diberi juga buku tentang aliran Muktazillah, aliran filosofis Islam. Banyak sekali dibacanya buku semacam itu, sehingga bagi Wisran, terasa sangat berpengaruh buat dirinya.
Namun, prinsip agama sangat kuat di kalangan masyarakat Minang. Sebagaimana filosofi, adat bersendikan syarak dan syarak bersendikan kitab Allah. Kitab Alqur’an memang menjadi sandaran hidup buat masyarakat yang ada di
Novel Tertunda
Saat ini, Wisran sedang menulis tiga novel. Namun, penulisannya bagai jalan di tempat.
”Waktu seumur Anda, saya sering bekerja sampai pagi,” katanya. Saat ditanya tentang judul karya-karyanya yang belum dipublikasikan itu, dengan tersenyum, penulis drama yang belakangan banyak menulis novel dan cerpen ini kemudian mengatakan bahwa dia masih belum bersedia menyebutkan judul karyanya.
Wisran pernah menulis kumpulan naskah drama berjudul Empat Orang Melayu berisi empat naskah drama: ”Senandung Semenanjung”, ”Dara Jingga”, ”Gading Cempaka”, dan ”Cindua Mato” (yang membuatnya mendapat penghargaan South East Asia (SEA) Write Award 2000.
Novelnya yang pernah dibukukan antara lain berjudul Tamu, Iman, Empat Sandiwara Orang Melayu, dan Simpang. Cerpen-cerpennya kerap dipublikasikan di media cetak dan dibukukan penerbit
Tamatan Akademi Seni Rupa Indonesia (kini Institut Seni Indonesia) Yogyakarta, 12 naskah dramanya pernah memenangkan Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara Indonesia yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dari 1976 hingga 1998, ikut International Writing Program di Iowa University, Iowa, USA pada tahun 1977 dan pernah mengikuti observasi teater modern Amerika pada tahun 1978 dan teater Jepang pada tahun 1987. Dia juga pernah mendapat Hadiah Sastra 1991 dari Pusat Pengembangan Bahasa Depdikbud karena karya buku dramanya Jalan Lurus mendapat Hadiah Sastra 1991 dari Pusat Pengembangan Bahasa Depdikbud dan dijadikan buku drama terbaik pada Pertemuan Sastrawan Nusantara 1997.
Karyanya dikenal sangat kritis termasuk dalam menulis tentang permasalahan budaya dalam masyarakatnya. Misalnya saja ketika dia mengangkat secara kritis karya dramanya yang berjudul Cindua Mato yang menggambarkan tentang figur Bundo Kanduang sebagai figur agung masyarakat Minangkabau atau juga karyanya drama yang lain Tuanku Imam Bonjol dengan sisi kepahlawanan dan kelemahannya. ”Saya lebih suka mengangkat yang bersifat perenungan dan kontemplasi saya daripada sekadar karya bertema politik dan sosial yang hanya fenomena sesaat saja,” ujarnya.
Wacana dan Generasi Baru
Sumatera Barat pernah menjadi sumber penulis pada masa kejayaan Balai Pustaka. Ketika kini, jarang terdengar sastrawan dari Minang yang berkiprah di khazanah sastra nasional, muncul pendapat bahwa jumlahnya memang telah menurun.
Wisran Hadi tak sepakat dengan pendapat semacam itu. Ia mengatakan tidak relevan membandingkan dua masa yang berbeda itu. ”Kalau ditanya apa yang dikerjakan oleh orang-orang muda sekarang, banyak buku yang terbit sekarang, termasuk buku-buku sastra. Tapi kalau ada orang tua yang menuding tentang apa yang dilakukan oleh orang muda itu,
Dia juga menuding pers. Kenapa banyak orang pers yang tidak mau mengangkat para pengarang muda usia itu? Dalam pandangan Wisran, mungkin di kalangan orang-orang muda di bidang pers sendiri, ada semacam persaingan di bawah sadarnya dengan orang-orang muda lainnya. ”Apalagi si sastrawan itu orang muda yang nyentrik, yang akhirnya tidak disenangi oleh wartawan,” tegas lelaki yang menjadi dosen tamu di Universitas Andalas Padang itu.
Tapi dia tidak meragukan pola wacana yang ada saat ini, karena baginya semua generasi di dunia begitu saat ini, terutama di negara-negara berkembang. Dia bahkan tidak melihat adanya penurunan pada kualitas wacana generasi saat ini, hanya memang ada perubahan. ”Itu tugas pengamat atau jurnalis, untuk melihat mereka yang bermutu, lalu hilang dan tidak dipublikasikan selama ini,” tudingnya kepada SH.
Dia kemudian bercerita ada sastrawan pendahulu yang mengatakan bahwa penulis pada angkatan 2003 ini tidak sama dengan masa lalu. ”Wah kok sastrawan saat ini tidak seperti Hamka. Lain dong, Hamka ya Hamka,” ujarnya.
Penulis saat ini, dari Sumatera Barat saja contohnya, yang dilihatnya menonjol dari generasi belakangan mulai dari Gus TF Sakai, Darman Munir, Khairul Jasmi dan banyak lagi. Mereka, generasi pendahulu yang tidak baca, langsung menghakimi akhirnya melihat generasi sekarang mengalami krisis kualitas dan kuantitas.
Untuk memiliki kebijakan, saat ditanya kenapa dia tidak ikut ambil bagian saja di dalam struktural seni dan kebudayaan, Wisran malah mengatakan, ”Tidak diterima, tak cuma di lembaga seni, saya bahkan sudah berniat jadi gubernur, tapi orang tak ada yang pilih saya. Kerja di pemerintahan, saya
Yang penting, sarannya, di dalam sastra jangan ada pikiran politik. Regenerasi, baginya, adalah pikiran politik. Di dalam sastra, seni dan budaya, tak ada yang namanya regenerasi. Tak perlu ada yang memperhatikan generasi muda, karena dirinya sendiri tak ada yang perhatikan. ”Kalau media atau publik itu perlu perhatikan generasi muda,” tambahnya.
Sastrawan dan Selebriti
Wisran kemudian mengkritik tema seksualitas yang diangkat oleh para pengarang muda saat ini. ”Apa bedanya dengan pornografi. Oh, dia anggap dia berani mengungkapkan tentang hal itu. Masak persoalan tentang lelaki dan perempuan diungkapkan, sedangkan dari nabi Adam juga demikian, persoalannya
Karena sama persoalannya, dia heran bila hal itu masih diungkapkan. Dengan pembedaan itu, bagi Wisran, bentuk pornografi merangsang sesaat, tapi karya seni merangsang pemikiran-pemikiran kita.
Tentang karya orang-orang yang diangkat pada generasi saat ini, Wisran berkomentar lain. Menurutnya, ini adalah salah satu kerja orang
Memang hal itu untuk koran terkesan bagus. Wisran pun mengaku senang melihatnya. Tapi, dengan tanpa wacana, berita tentang mereka di koran, pukul dua belas malam pun sudah hilang dan diganti oleh berita keesokan harinya.
”Nah, bandingkan dengan para pemikir kita yang muda-muda tadi, mungkin pemikirannya salah, mungkin pikiran mereka belum sempurna,
Tentang banyak generasi pengarang yang sudah mapan segenerasinya, memanfaatkan fenomena keselebritian seorang sastrawan baru ini, diakui juga oleh Wisran. Mungkin si pelaku mendapatkan manfaat dari pengesahan pada selebriti semacam itu. SUMBER (SH/sihar ramses simatupang)
Kisah Tuanku Imam Bonjol Disinetronkan
Kebiasaan Tuanku Imam Bonjol yang selalu menanyakan anaknya saat pulang dari medan perang paderi merupakan kisah menarik, sehingga Sastrawan Nasional Wisran Hadi mengangkat hal ini dalam sebuah sinetron TV.
"Di balik heroisme Imam Bonjol melawan Belanda, ternyata dari kedalaman hatinya memancarkan cahaya nilai-nilai kemanusiaan yang penuh makna kesucian. Hal ini patut diwarisi para generasi muda selanjutnya," ujar Wisran Hadi pada acara dialog tentang sinetron IMAM BONJOL di TVRI
Sinetron ini, menurut Wisran, akan ditayangkan di TVRI pusat bulan depan. Sesuatu hal yang menarik dari sinetron yang dibuat empat episode ini adalah cahaya nilai-nilai kemanusiaan yang memancar dari seorang ulama besar asal Minangkabau itu.
Sinetron IMAM BONJOL ini bukan menonjolkan adegan `berdarah-darah` namun yang dipertontonkan dari sisi lain seputar perbenturan pemikiran-pemikiran antara kaum agama dan adat di Bonjol, Pasaman dulunya," kata Wisran.
Dalam dialog bertema "Menimbang Empat Lakon Perang Paderi" karya Wisran Hadi yang digelar TVRI dan dimoderatori Kepala Stasiun TVRI Padang Purnama Suardi itu, juga tampil Sejarahwan Nasional Anhar Gonggong, sutradara senior (film) Khairul Umam dan sutradara Televisi Alwi Pamuncak.
Menurut Wisran, agar penampilan sinetron ini dapat ditonton dengan baik, dirinya terpaksa belajar secara intensif tentang Islam dan adat Minangkabau supaya mudah menemukan persoalan-persoalan guna melahirkan dialog-dialog drama dalam rangka memperkaya wawasan.
Wisran tertarik mengangkat kisah Tuanku Imam Bonjol ini, karena selama ini masih belum tergali secara lebih dalam hakekat kepribadian terdalam dari Tuanku Imam Bonjol yang ternyata sangat humanis, selain berkarakter heroisme dan spitualisme.
Karakter humanisme ini, kata Wisran yang juga dosen pada Universitas Kebangsaan Malaysia itu, jelas sekali terlukiskan dalam sejarah, setelah pulang berperang, Tuanku Imam Bonjol selalu menanyakan anak-anaknya.
"Hal ini justru sangat menyentuh perasaan saya karena Tuanku Imam Bonjol memiliki sifat kemanusian yang tingi terhadap keluarganya (anaknya), selain selalu berkuda dengan membawa pedang di
Ia menambahkan, kebiasaan pemerintah dulunya, jika seorang pejuang ditangkap penjajah Belanda maka mereka bisa dinobatkan sebagai pahlawan nasional sementara yang lainnya belum tentu.
Anhar Gonggong mengatakan, dalam tayangan sinetron "Mempertimbangkan Empat Lakon Perang Paderi" itu, Wisran terkesan mencari identitas dirinya baik sebagai orang Islam maupun sebagai orang Minang.
"Kunci utama sejarah perang paderi bukan persoalan melawan Belanda, tetapi temuan yang paling penting adalah pergumulan di dalam lingkungan internal antara kaum agama dan adat hingga mudah diadu domba oleh Belanda," katanya.
Sementara itu, yang menarik dalam sinetron itu adalah interprestasi dari sejarah itu yang dilakukan oleh Wisran Hadi, dimana penyebab perpecahan bukan hanya Belanda tetapi muncul juga dari internal kaum agama dan adat itu.
"Kali ini Wisran memang menampilkan sinetron sejarah yang berbeda paling tidak dapat memperluas wawasan terutama dalam upaya menggali makna sejarah itu sendiri," katanya.
Empat Sinopsis Sinetron "Mempertimbangkan Empat Lakon Perang Paderi" yang ditulis Wisran Hadi memuat empat sinopsis, yang mengisahkan tentang Perguruan Tuanku Koto Tuo, Perburuan Tuanku Nan Renceh, Pengakuan Tuanku Imam Bonjol dan Penyebrangan Sultan Abdul Jalil.
Dikisahkan bahwa, Tuanku Nan Renceh adalah tokoh penting dalam sejarah Perang Paderi yang terkenal dengan sosok yang teguh dan keras dalam menjalankan agama dan menjadi pemimpin Harimau Nan Salapan himpunan dari delapan perguruan yang terkenal.
Karena tidak berhasil ditangkap Belanda, lalu Belanda memberikan informasi yang keliru terhadap tokoh besar itu seperti bahwa Tuanku Nan Renceh telah membunuh saudara ibunya karena tidak mau dilarang makan sirih.
Pencatatan sejarah yang keliru itu telah menyebabkan seorang pemuda berusaha menyelami kehidupan Tuanku Nan Renceh, tetapi pada akhirnya ia terseret dan tersesat dalam sejarah hingga harus menanggung resiko dalam kesesatannya.
Sinopsis Pengakuan Tuanku Imam Bonjol, dimana perjuangannya yang panjang penuh heroisme, berakhir dengan penghianatan Belanda yang berhasil menangkapnya. Ia merupakan cerminan kegigihan seorang pemim pin, ulama dalam menegakkan dan mempertahankan ajaran Islam sekaligus melawan penjajah.
Sementara itu "Penyebrangan Sultan Abdul Jalil" lebih mengisahkan benturan antara Sultan Abdul Jalli yang terpaksa berhadapan dengan adik kandungnya sendiri karena diadu domba Belanda.
Walau Bonjol telah jatuh ke tangan Belanda hingga melumpuhkan pertahanan Paderi di Lintau, namun Sultan Abdul Jalil tetap bertahan pada sebuah Masjid besar yang dibina bersama jamaahnya. (*/dar)
Wisran Hadi
Wisran Hadi (lahir Padang, Sumatra Barat 27 Juli 1945) adalah salah satu seniman/budayawan yang memenangkan penghargaan dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia dan beberapa penghargaan dari luar negeri, seperti dari Thailand. Penulis prosa berdarah Minang ini adalah salah satu seniman yang konsisten berkarya hingga hari tuanya.
Wisran pernah menulis kumpulan naskah drama berjudul Empat Orang Melayu berisi empat naskah drama: ”Senandung Semenanjung”, ”Dara Jingga”, ”Gading Cempaka”, dan ”Cindua Mato” (yang membuatnya mendapat penghargaan South East Asia (SEA) Write Award 2000.
Novelnya yang pernah dibukukan antara lain berjudul Tamu, Imam, Empat Sandiwara Orang Melayu, dan Simpang. Cerpen-cerpennya kerap dipublikasikan di media cetak dan dibukukan penerbit Malaysia berjudul Daun-daun Mahoni Gugur Lagi.
Tamatan Akademi Seni Rupa Indonesia (kini Institut Seni Indonesia) Yogyakarta, 12 naskah dramanya pernah memenangkan Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara Indonesia yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dari 1976 hingga 1998, ikut International Writing Program di Iowa University, Iowa, ASJepang pada tahun 1987. Dia juga pernah mendapat Hadiah Sastra 1991 dari Pusat Pengembangan Bahasa Depdikbud karena karya buku dramanya Jalan Lurus mendapat Hadiah Sastra 1991 dari Pusat Pengembangan Bahasa Depdikbud dan dijadikan buku drama terbaik pada Pertemuan Sastrawan Nusantara 1997. pada tahun 1977 dan pernah mengikuti observasi teater modern Amerika pada tahun 1978 dan teater
Monday, June 11, 2007
Sajak Memberiku Makna Hidup
Bila diriku siuman dari pemberontakan
Tidak terkatakan sesal sebab kemalangan
Kudukung di punggung lainnya berceceran
Semua takdir kita yang punya
Sebuah film dokumenter tentang dirinya diputar pada malam terakhir (24/03) Pentas Seni VI di Teater Tertutup
Sebagai seorang pekarya, Papa mengaku, disiplin kreatifnya sering dibangkitkan oleh ungkapan dari John Keats: My Imagination is a monastery and I am its monk (Imajinasiku adalah biara dan aku adalah biarawannya). Jadi seorang penyiar, barangkali bukan tujuan hidupnya. Tetapi syair yang terus ia tulis telah memberinya makna hidup itu.
Dalam narasi yang disusun Abel Tasman untuk film dokumenter tentang Papa, diuraikan, bahwa puisi-puisi Papa dimuat dalam berbagai media yang ada di
Keberanian yang dicontohkan Papa, terlihat jelas sejak ia sering tampil dalam berbagai pentas pembacaan puisi di berbabagai
Dalam ajang inilah para sastrawan dan kritikus sastra nasional mengakui keberadaan Papa sebagai seorang penyair.Papa lahir di Nagari Kamang Mudik, kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam, pada tanggal 26 Januari 1936. Ayahnya bernama Marzuki—seorang kepala nagari yang juga punya usaha bendi dan pembuatan sadah. Ibunya bernama Sarianun. Marzuki mempunyai 23 orang istri, Sarianun—ibunya Papa adalah istrinya yang ketujuh. Sebagai seorang anak, pada tahun 1942 Papa memulai jenjang pendidikan formal dengan memasuki Sekolah Rakyat (Volkschool).
Pada tahun 1946, ibunya meninggal dunia. Oleh ayahnya, Papa kemudian dibawa tinggal di Labuah Silang Payakumbuh. Di
Pada tahun 1953, Marzuki—ayahandanya Papa meninggal dunia. Kenyataan ini membatalkan cita-cita Papa untuk kuliah di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI)
Semenjak Sekolah Rakyat, minat Papa pada sastra sudah mulai terlihat. Sejak itu ia sudah membaca buku-buku sastra yang ada di perpustakaan sekolahnya. Cerita-cerita rakyat seperti Kepala Sitalang, Laras Simawang dan Bukit Tambun Tulang sudah mulai dinikmatinya. Ia juga sudah melahap karya-karya sastra seperti Siti Nurbaya karya Marah Rusli, Layar Terkembang Sutan Takdir Alisjahbana dan Di Bawah Lindungan Ka’bah Buya Hamka. Pada masa SMA makin beragamlah karya-karya yang dibaca Rusli.
Mulai dari Chairil Anwar, Sjahrir, Asrul Sani, hingga karya-karya penulis asing seperti Rabinranath Tagore, John Steinbeick, Hemingway dan lainnya. Kelak, bacaan-bacaannya ini amat memengaruhi puisi-puisi Papa. Tak hanya menyukai bacaan sastra, Papa juga banyak membaca karya-karya pemikiran dari berbagai aliran baik itu Islam, liberal atau bahkan Marxis.
Bacaan-bacaannya itu menjadikan Papa sebagai seorang mampu berpikir independen. Ia tak terjebak pada dogma pemikiran apa pun. Ia mengagumi beberapa hal dari liberalisme dan marxisme, akan tetapi ia tetap menjadikan Islam sebagai pijakan hidupnya. Namun ia tidak memahami Islam dalam pengertian sempit dan fanatis, tetapi ia menempatkan Islam sebagai ajaran yang mendorong orang pada optimisme, kreativitas, intelektualitas dan keindahan.
Dengan bacaan yang demikian beragam dan luas makin menarik minat Papa untuk menulis puisi. Pada tahun 1955, untuk pertama kalinya puisi Rusli berjudul Nenekku Pergi Suluk dimuat di
Pada tahun 1956 Papa lolos tes untuk jadi anggota Mobrig. Dengan pangkat Sersan ia diangkat menjadi Agen Polisi Kepala di Kantor Koordinator 106 Mobrig Bukittinggi. Namun, diproklamirkannya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada Januari 1958, membuat karir Papa di Kepolisian berakhir karena ia memilih bergabung dengan PRRI untuk berjuang dalam menghadapi tekanan Pemerintah Pusat.
Keterlibatannya dalam PRRI memaksa Papa berjuang keluar masuk hutan. Peristiwa pergolakan ini menjadi periode sejarah penting dalam kehidupan Papa. Di tengah perang berkecamuk; berbagai derita, kepiluan yang dialami rakyat Sumatra Barat, dirasakan Papa dengan membatin. Sebagai seorang penyair, ia menuangkan suasana batinnya itu dalam sejumlah puisi yang kemudian dibukukan dengan judul Ada Ratap Ada Nyanyi.
Usai PRRI, meski ada peluang, Papa tak lagi ingin jadi polisi. Sejak Juli 1961, Papa menetap di
Pada 4 Mei 1963, di kampung halamannya, Papa menikah dengan Hanizar Musa—gadis yang dikenalnya pada masa PRRI. Dari pernikahannya ini, Papa dikaruniai empat orang anak: Fitri Erlin Denai, Vitalitas Vitrat Sejati, Satyagraha dan Diogenes. Pada tahun ini juga Rusli bekerja sebagai Kepala Tata Usaha di Koperasi Batik Tulis. Di samping bekerja di koperasi ini, bersama beberapa sastrawan seperti Leon Agusta, Dalius Umari, Mursal Esten, Chairul Harun dan Upitha Agustine, Rusli mengisi acara Ruang Sastra Daerah Persinggahan di RRI Padang.
Pada tahun 1969, Papa mengawali karirnya sebagai wartawan. Papa bergabung dengan harian Haluan yang mana ia sendiri ikut sebagai pendirinya. Pada awalnya Papa bekerja sebagai sekretaris redaksi. Namun kemudian ia juga menjadi redaktur berita yang sering juga turun meliput berbagai peristiwa. Kemudian Papa mengasuh halaman sastra sebagai redaktur kebudayaan. Salah satu rubrik sastra yang ia buat adalah rubrik Monolog dalam Renungan. Karena faktor usia, Papa pensiun dari Haluan pada tahun 1999.
Tetapi sampai kini ia tetap punya rubrik di harian ini yakni rubrik Parewa Sato Sakaki. Tetap meneruskan karir sebagai wartawan, pada tahun 1987 Papa terpilih menjadi anggota DPRD Padang untuk periode 1987-1992 dan ia duduk di Komisi Pembangunan. Dalam menjalankan aktivitasnya sebagai anggota DPRD, Rusli tetap kelihatan sebagai seorang penyair. Dalam beberapa sidang ia kerap membaca puisi. Di antara pusi yang dibacakannya adalah Rakyat karya Hartono Andangjaya. Di tengah kesibukannya sebagai wakil rakyat, Papa tetap menulis puisi. Di antaranya, Sang Waktu Berbisik Aku Mengangguk, Wang 100 Ribu Rupiah Per Desa dan Mentawai Bisa Tenggelam.
Aktivitas Papa sebagai sastrawan tak hanya sekadar menulis puisi dan menjadi wartawan. Pada tahun 1994 ia ikut bergabung di DKSB. Pada tahun tahun 1995 ia ditunjuk sebagai bendahara pada organisasi ini, posisi yang tetap dipercayakan padanya sampai tahun 2003. Sebagai wartawan, banyak tempat yang telah ia kunjungi, baik dalam negeri hingga ke manca negara. Pada tahun 1977 ia diminta meliput latihan perang antara Angkatan Laut
Sebagai sastrawan, banyak peristiwa kesusastraan yang telah diikuti Papa. Ia sering diundang ke berbagai pertemuan sastrawan baik di tingkat nasional maupun Asia Tenggara. Kehebatannya pun sebagai sastrawan membuatnya meraih penghargaan dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Melalui karyanya Sembilu Darah, lembaga ini memberinya Penghargaan Penulisan Karya Sastra Tahun 1997.
Sebagai seorang penyair, Papa mempunyai tempat tersendiri dalam khazanah sastra di
Puisi-puisi Papa adalah puisi dengan lirik-lirik sederhana yang melukiskan kenyataan hidup yang dialami sehari hari. Di sisi lain puisi-puisi Papa juga ada yang bernuansa hiporbolik dan dipenuhi kata-kata simbolik. Tema-temanya berangkat dari kenyataan sosial, politik, ekonomi, budaya yang dialami masyarakat di sekitarnya. Ia juga menulis puisi tentang pemberontakan, gugatan terhadap adat dan tradisi maupun kritik sosial dan politik. (zelfeni wimra)
Puisinya berjudul Putri Bunga Karang adalah gugatan terhadap tradisi. Puisi ini juga memperlihatkan pengaruh kaba yang amat kuat.
Puisi-puisinya seperti Sajak-sajak Parewa, Sajak-sajak Bulan Pebruari, Beri Aku Tambo Jangan Sejarah, dan Berjalan ke Sungai Ngiang amat jelas memperlihatkan nuansa lokal dan pengaruh kaba. Keprihatinan dan kecemasannya terhadap Kota Padang juga ia ungkapkan lewat puisinya Padang Kotaku.Sekarang, di usianya yang sudah 71 tahun, Papa masih kelihatan segar dan kuat. Badannya masih langsing dan sehat karena rajin berolah raga. Ia masih kelihatan keren dengan celana jeans dan kaus oblong, pakaian kesukaannya.
Sehari-harinya masih aktif dalam berbagai kegiatan terutama menulis dan membaca. Berbagai karya terkini baik sastra, filsafat dan pemikiran keislaman tetap dilahapnya. Malam hari ia beraktivitas di masjid dekat rumahnya. Habis salat subuh ia pergi maraton hingga jam tujuh pagi.Namun sebagai seorang penyair, mantan polisi, mantan pejuang, mantan politisi, wartawan dan budayawan, banyak pergulatan hidup baik duka maupun suka yang telah dilaluinya.
Membaca sosok Papa adalah membaca riwayat panjang perjalanan hidup seorang anak manusia dengan berbagai warna-warni yang pernah dilaluinya. Sebagaimana ditulisnya dalam Monolog dalam Renungan, membaca puisi adalah membaca sejarah. Begitu pula membaca puisi-puisi Papa, berarti membaca sejarah hidupnya.Semangat inilah yang tertuang dalam sajaknya yang berjudul Sebuah Kehadiran: kamar dan rak buku terlantar/dinding selalu menagih kerja/tak menidurkan tubuh resah terlantar/hujan sama jatuh di samar senja.
ZELFENI WIMRA, SUMBER
Rusli Marzuki Saria
Monday, May 21, 2007
ANAS NAFIS
Referensi Minang yang Berjalan
Dalam usia 74 tahun ia masih tampak cekatan dan cerdas. Jika ditanya sesuatu, dengan sigap ia menjawab panjang lebar sembari meraih buku di rak buku sederhana di ruang tamunya yang berisi ratusan referensi yang kebanyakan dalam bahasa Belanda atau tulisan Arab-Melayu.
Pagi itu dia menghabiskan dua gelas kopi hangat dan merokok tak putus-putusnya. Ia adalah Anas Nafis, budayawan Minang yang disegani.
Anas Nafis membuka pembicaraan soal asal nama
Anas Nafis juga menyebut suatu kekeliruan besar bila ada anggapan bahwa nama
Menurut Anas Nafis, yang menemukan kata Indonesia adalah JR Logan seperti tertulis dalam Journal the Indian Archipelago and Eastern Asia (Jilid IV tahun 1850 halaman 254, dengan judul The Ethnologi of the Indian Archipelago.
Mengilhami
Sejumlah ide bisa mengalir begitu saja dari ceritanya. Sastrawan AA Navis (1924-2003) saat menulis cerpen Robohnya Surau Kami (1956) dan sejumlah cerpen lainnya mengaku mendapat idenya dari Anas Nafis.
Saat Eros Djarot hendak mencari referensi tentang pahlawan Aceh Cut Nyak Dien, seorang karyawan Perpustakaan Nasional Jakarta membawa Eros kepada Anas Nafis. Anas Nafis dengan senang membantu, tetapi dia tak tahu bahan yang dibutuhkan itu untuk membuat film Cut Nyak Dien.
Ketika Wali Kota Padang Fauzi Bahar datang ke rumahnya mencari referensi tentang Bagindo Aziz Chan yang diusulkan menjadi pahlawan nasional, Anas memberi bahan sangat lengkap dan ikut menuliskannya di
Pusat dokumentasi
Di Sumatera Barat (Sumbar), Anas Nafis tidak asing lagi bagi banyak kalangan. Setiap hari ada saja yang datang ke rumahnya di Jalan Aur Duri I No 3A
"Prinsip saya, untuk kemajuan dan kemaslahatan orang banyak, apa yang saya punya silakan manfaatkan. Apa yang bisa saya bantu, saya bantu. Pinjam buku silakan, tidak bayar," ujarnya.
Sayangnya, ada juga peneliti, akademisi, dan seniman yang pinjam referensinya dan tidak mengembalikan. Anas ingat siapa saja yang belum mengembalikan bukunya. "Sudah 60 judul buku saya hilang, tidak kembali dari tangan peminjam," ungkap Anas.
Di rumah kontrakannya, Anas menyimpan 520 judul buku terbitan sebelum Perang Dunia II, ratusan bahkan ribuan kliping koran/majalah, serta 800 gambar dan foto tempo dulu yang ia repro lalu disimpan di komputer bekasnya, yang akhir-akhir ini sering berulah karena memorinya hampir penuh. Dia belum pernah kesampaian membeli komputer baru karena sebagai pensiunan kemampuan finansialnya terbatas.
Usaha Anas Nafis, yang pernah mengecap pendidikan di Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (1952-1955), mengumpulkan referensi, terutama tentang Minangkabau, dengan tujuan agar masyarakat Sumbar dan Indonesia tak perlu jauh-jauh mencarinya sampai ke Belanda atau Eropa.
Tahun 1987 ia menggagas berdirinya Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau (PDIKM) di Padang Panjang. Niat itu mendapat sokongan dari mantan Kepala Bulog Bustanil Arifin. Lalu, dibangunlah rumah bagonjong untuk dijadikan PDIKM yang sejak itu menjadi salah satu tujuan wisata utama Sumbar.
Kondisi PDIKM saat ini memprihatinkan akibat minimnya perhatian Pemerintah Kota Padang Panjang dan Pemerintah Provinsi Sumbar. Sebagai Direktur PDIKM Padang Panjang sejak tahun 2003, Anas yang mantan guru ilmu alam ini tak bisa berbuat apa-apa kecuali terus menghimpun literatur guna membuka cakrawala masyarakat dalam banyak hal tentang Minangkabau.
Menulis
Di luar itu, Anas Nafis terus menulis artikel tentang hal-hal yang berhubungan dengan Minangkabau di
Tahun 2004, 10 naskah cerita rakyat Minangkabau yang ia sadur diterbitkan Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau. Sebelumnya, ia menulis buku Peribahasa Minangkabau (1997) yang sudah cetak ulang berkali-kali. Sejumlah skenario yang ditulisnya sudah difilmkan di TVRI, seperti Dang Tuanku (1975) dan Perang Kamang (1980), serta mengolah cerita dan sinopsis film Palasik untuk RCTI (1997).
Kesungguhan Anas Nafis menghimpun literatur dan lalu mengolahnya, menurut Sekretaris Dewan Kesenian Sumatera Barat Nasrul Azwar, patut dipujikan.
"Tetapi, kami juga prihatin. Sudah ia bekerja tanpa pamrih, kepedulian Pemerintah Kota Padang dan Pemerintah Provinsi Sumbar kepada Anas Nafisnya masih kurang. Ia sangat layak diberikan penghargaan dan tanda jasa," ujarnya. Anas Nafis meninggal dunia 18 April 2007 yang sebelumnya dirawat di Rumah Sakit M Djamil Padang.*
SUMBER, YURNALDI, KOMPAS, KAMIS, 6 APRIL 2006