Semua Pihak Mesti Duduak Barapak
OLEH Nasrul Azwar
Dalam penelusuran dokumentasi perihal hubungan Agam dengan Bukittinggi dalam wilayah pemerintahan ke dua daerah itu, yang mengesankan tidak kundusif ternyata telah berlangsung lama. Perseteruan yang paling mutakhir adalah soal diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) No 84 Tahun 1999 tentang tapal batas kedua daerah itu.
Pada tahun 1968, perseteruan dua daerah ini menyangkut perkara Pasar Sarikat Bukittinggi. Ketika itu solusi sengketa ini, disepakati masing-masing DPRD-GR membentuk Panitia Khusus. Namun kedua DPRD-GR itu tidak berhasil mencapai kata sepakat alias kandas. Maka, penyelesaian Pasar Sarikat diserahkan kepada masing-masing pemerintahan.
Konflik ini berawal dari dari tuntutan pemerintah Kabupaten Agam dengan mengeluarkan “resolusi”. Agam merasa berhak menerima hasil Pasar Sarikat Bukittinggi yang memang berada di daerah otonomi Nagari Kurai V Jorong. Tuntutan ini dinilai Pemerintah Kotamadya Bukittinggi bersifat sepihak, akhirnya memang tidak dapat dipenuhi.
Perselisihan ini tampaknya menjadi titik awal konflik Agam–Bukittinggi, hingga kini. Padahal dalam sejarah kulturalnya, kedua masyarakat ini badunsanak. Namun, dalam perspektif kekuasaan dan pemerintahan, bagi Bukittinggi dan Agam, badunsanak ini bukan berarti menjadi alasan yang tepat untuk membagi hasil dari aset yang dimiliki Kota Bukittinggi.
Lalu, kini muncul bibit baru yang memperuncing konflik kedua wilayah administrasi yang berbeda ini: PP Nomor 84 Tahun 1999 tentang perubahan batas wilayah Kota Bukittinggi dan Agam. Tampaknya, PP yang telah hampir berusia tujuh tahun ini adalah satu pintu yang akan membuka luka lama hubungan yang tidak enak kedua daerah itu. Dan tentu saja tidak diharapkan perselesihan serupa terjadi di tingkat masyarakat bawah.
Memang, kita tidak dapat pula menutup mata, permasalahan yang berkenaan dengan PP No 84/1999, sekarang soalnya bukan lagi pro-kontra belaka. Akan tetapi, telah menjadi komoditas politik dan kepentingan segelintir orang. Artinya, duduk perkara sesungguhnya dari PP tersebut seakan telah diabaikan. Dan substansi dari PP itu pun tidak lagi menjadi pikiran bersama. Seolah dengan terbitnya PP tersebut, semua pihak yang berkaitan dengan itu, kehilangan akal sehat dan pikiran jernih. Yang muncul kepermukaan adalah statement dari beragam kalangan yang cenderung bernada emosional, agitatif, provokatif, dan kontraproduktif. Dan ini membuat masyarakat semakin kian bingung.
Kita bersama pun tentu sepakat, bahwa musyawarah menuju kemufakatan adalah pilihan yang paling tepat untuk membuka dialog dan perbicangan ke arah penyelesaian sengketa PP No 84/1999 ini. Sikap mau bermusyawarah ke arah yang saling menguntungkan – tidak ada pihak yang merasa dirugikan – kiranya sangat perlu sekali diupayakan ke dua belah pihak: pro-kontra. Budaya musyawarah untuk menuju satu kemufakatan, tampaknya telah lama ditinggalkan, baik itu ditingkat elit kekuasaan maupun di tingkat masyarakat.
Konflik yang berkepanjangan dan tidak berkesudahan semenjak terbitnya PP No 84/1999 pada tanggal 7 Oktober 1999 hingga kini, yang memang belum memperlihatkan titik terangnya. Ini jelas sekali membuktikan bahwa budaya dan sikap musyawarah telah mulai ditinggalkan. Dan kita cenderung menempuh jalan sendiri-sendiri untuk menyelesaikan persoalan. Pada batas ini, pihak Agam mencoba mencari solusi dengan cara dan polanya sendiri. Demikian juga dengan Bukittinggi, berjalan sendiri pula dengan caranya. Dan juga sama halnya dengan Pemerintah Provinsi Sumatra Barat, DPRD kedua pihak, DPRD Sumatra Barat, tokoh-tokoh masyarakat kedua pihak, serta masyarakat pun ikut di dalamnya. Sehingga akhirnya, PP 84/1999 tidak akan pernah terselesaikan.
Melihat kondisi demikian, tentu kita merasa prihatin. Mengapa jalur musyawarah tidak pernah ditempuh lagi? Padahal, musyawarah dan duduk bersama dalam satu meja untuk menyelesaikan satu masalah, misalnya, telah berabad-abad diajarkan nenek moyang kita. Dan sikap rela bermusyawarah itu sangat kental terkandung dalam adat dan budaya Minangkabau. Indak ado kusuik nan indak salasai (Tidak ada kusut yang tidak dapat diselesaikan). Maksudnya, tentu saja, tidak ada persoalan yang tidak dapat diselesaikan, jika semua dilakukan dengan bermusyawarah.
Sekaitan dengan itu, tentu, mencari jalan ke luar dari perseteruan Agam – Bukittinggi yang berkenaan dengan PP No 84/1999 itu, kandungan filosofis dari ungkapan adat di atas, jelas sangat perlu kita maknai secara mendalam untuk mencari jalan penyelesaian sengketa PP tersebut. Dan dari perjalanan panjang perkara PP itu, baik pihak Agam, Bukittinggi, DPRD ke dua daerah, dan Pemerintah Provinsi Sumatra Barat, serta tokoh-tokoh masyarakat dari ke dua daerah, juga masyarakat, seperti telah melupakan makna dan nilai-nilai filosofis adat Minangkabau dan juga mamangan yang dikutip di atas. Sikap egaliter, menghargai pikiran dan pendapat orang lain, seakan dengan sengaja dipinggirkan.
Sikap demikian itu, jelas sangat merugikan bagi masa depan masyarakat dan juga bangsa ini. Karena, apa pun bentuk penyelesaian yang ditempuh tanpa musyawarah, jelas sangat berbahaya. Dan yang akan merasakan sekali akibatnya tentu saja masyarakat atau publik. Selain itu—jika kelak persoalan PP No 84/1999 diselesaikan tanpa jalan musyawarah—ia akan muncul sebagai jalan penyelesaian yang bersifat instant. Dan ini akibatnya akan lebih parah dan rumit. Maka, tidak ada jalan lain; penyelesaian pro-kontra PP No 84/1999 harus ditempuh dengan musyawarah, semua pihak diharapkan berbesar hati dan berlapang dada, duduak barapak membincangkan permasalahan ini secara jernih, arif, bijak, dan tetap mengacu pada kepentingan publik. Dan jelas ini menjadi tantangan yang sangat penting bagi kepala daerah yang akan dipilih langsung masyarakat ke dua wilayah itu nanti. ***
No comments:
Post a Comment