Menertawakan Minangkabau dari Dalam
OLEH Nasrul Azwar
Saya kutip Wiratmo Soekito (1984). Ia menulis, “Setiap karya yang besar merupakan suatu pementasan politik, seperti karya Beumarchais Le Mariage de Figaro (1784) yang meramalkan pecahnya Revolusi Prancis (1789) atau karya Chekhov “Vishnyvy Sad” (1904) yang meramalkan pecahnya Revolusi Rusia (1917), atau karya Shaw Heartbreak Hoese (1919) yang meramalkan pecahnya Perang Dunia Kedua (1939).”
Saya tidak ingin membayangkan bahwa naskah Pangeran Anggang karya Chairul Harun sedang menggugat dominasi kekuasaan darek terhadap wilayah rantau. Juga, saya tidak sedang meramalkan—seperti kutipan di atas—akan terjadi revolusi besar untuk merubah sistem matrilineal yang berlaku di Minangkabau menjadi sistem patrilineal atau parental plus, yang pernah diwacanakan Syafroeddin Bahar beberapa tahun lalu. Memang, sejak naskah itu lahir, pada akhirnya, tetap sebagai sebuah naskah drama. Tak lebih. Tak ada revolusi.
Chairul Harun lahir di Kayutanam tahun 1940, dan meninggal 19 Februari 1998 di Padang. Naskah drama Pangeran Anggang ditulisnya di tahun 80-an. Selain itu, ada juga naskah drama Hari-hari Terakhir Datuk Katamanggungan yang dilahirkannya sebelum Pangeran Anggang.
Pada 28 Juli 2006, di Teater Tertutup Taman Budaya Provinsi Sumatra Barat, Old Track Teater Padang, mengusung naskah itu ke atas panggung yang disutradarai Rizal Tanjung. Seperti garapan sebelumnya, yaitu Perjuangan Suku Naga karya WS Rendra yang pernah dipanggungkan pada 10-11 Juni 2004 di pentas yang sama, pola penggarapan, dan konsep penyutradaraan dan panggung, tidak bergeser. Beberapa simbol dan elemen yang ada di atas pentas, malah secara sadar dihadirkan kembali di atas panggung pertunjukan. Pada Perjuangan Suku Naga, beberapa adegan yang menggunakan bayangan dari pantulan cahaya lampu, juga muncul hal serupa pada pementasan Pangeran Anggang. Pada batas ini, yang ingin dikatakan bahwa pola garapan panggung Rizal Tanjung, tampaknya, belum beranjak lebih jauh ke wilayah eksplorasi panggung dan tubuh tokohnya. Sepintas, ia masih percaya dan mengandalkan pada “kekuatan” lampu dan bayangan yang dihasilkannya.
Membuka banyak alternatif untuk eksplorasi, baik dalam ranah panggung, properti, lampu, musik, naskah, tubuh tokoh, maupun visualisasi dengan memanfaatkan media lain, dalam dunia teater, jelas menjadi sebuah keniscayaan. Galibnya seni pertunjukan teater, kekuatan yang diembannya tidak menutup pilihan-pilihan. Ia membuka lebih luas simbol dan juga konflik. Naskah Pengeran Anggang sarat dengan konflik kekuasaan, simbol-simbol politik dan juga dominasi kekuasaan perempuan. Pusat cerita—gugatan terhadap sistem matrilineal yang berlaku di Minangkabau—tokoh Pangeran Anggang yang masih meyakini kekuatan roh dewa kayangan, dan kemunafikan penasihat rohaninya, Katimuno, (Raja memanggilnya dengan Bapak) yang dimainkan oleh Ery Mefri, dan keyakinan Datuk Parpatiah pada Nan Bana (Tuhan) sekaligus ketidaksepahaman dengan kabijakan Raja dan Pendeta, merupakan konflik keyakinan reliji, politik, dan kekuasaan.
Dalam cerita itu, Pangeran Anggang (dimainkan Dadang Leona) sebagai raja di Minangkabau tetapi tidak memiliki kekuasaan. Sistem kultural dan kekuasaan yang berlaku di ranah Minang tidak mengakomodasi kekuasaan raja yang absolut. Cerita Pengeran Anggang diawali dengan suatu kondisi Minangkabau yang damai dan rakyatnya makmur. Namun, kedamaian itu terusik saat skuad armada datang ke ranah Minang dengan menyertakan pasukan tempur yang kuat yang dipimpin Anggang. Menghadapi musuh, rakyat Minangkabau jelas tak mampu, maka pilihan negosiasi dengan musuh menjadi solusi yang tepat. Maka, Anggang diangkat menjadi raja di Minangkabau yang hanya memiliki kekuasaan di daerah rantau atau pesisir.
Semua keinginan Anggang dipenuhi, mempunyai istana tempat bersemayam dan seorang isteri. Datuk Perpatih (diperankan Herry Ghoib) pun menyediakan adiknya sendiri Puti Jamilan (dilakonkan Eri Komachi) sebagai permaisuri Anggang. Pendapat Datuk Perpatih, jika punya anak, maka, menurut sistem adat Minangkabau anak itu adalah kemenakan Datuk Perpatih dan berhak mewarisi gelar pusaka. Sementara, Anggang menganggap anaknya dari perkawinannya dengan Puti Jamilan itu akan menjadi putra mahkota yang berhak mewarisi tahta kerajaan.
Tokoh yang Tidak “Menjadi”
Problem dalam naskah Pangeran Anggang adalah representasi dialektika Minangkabau—antitesis-sistesis-tesis—dengan segenap konflik kultural dan keyakinan agama. Masuknya paham—taruhlah ideologi dan agama yang berbeda dengan anutan masyarakat Minangkabau—yang dibawa rombongan Anggang, paling tidak memperlihatkan sikap kultural Minangkabau yang sangat terbuka. Konflik dan perang terbuka, yang seyogyanya terjadi saat pasukan Anggang menginjakkan kakinya di Minangkabau, dapat dihindari dengan kemampuan dan strategi yang sangat cerdas. Negosiasi Datuk Parpatih dengan Anggang adalah gambaran kelihaian diplomasi masyarakat Minangkabau saat itu.
Namun demikian, di atas penggung—di tangan Rizal Tanjung— naskah itu, seperti memiskinkan kutup konflik antartokoh, dan sangat terasa adanya pembatasan munculnya kemungkinan-kemungkinan penciptaan makna baru di atas panggung. Tokoh-tokoh yang hadir di atas pentas tidak mampu keluar dari kehariannya. Yang hadir tokoh-tokoh seperti kita jumpai setiap hari. Peristiwa dramatik yang menjadi keniscayaan dalam pertunjukan teater tidak tercapai. Naskah yang menuntut kekuatan karakter tokoh seolah menjadi sesuatu yang sangat sulit bagi pelakon.
Untuk hal ini, saya mempercayai apa yang pernah ditulis Eugenio Barba dan kawankawan, pada tahun 1985 dalam buku Anatomie de L’Acteur, adanya kemungkinan-kemungkinan dramaturgi disemua tingkatan dan elemen pementasan yang berbeda dirangkai satu demi satu, seperti halnya jalinan plot. Aktor mendapat efek simultan secepat ia memutuskan skema gerakan. Aktor merancang lakunya menjadi suatu sintesa yang berbeda jauh dari sikap hidup kesaharian.
Dalam pertunjukan Pangeran Anggang, semua tokoh-tokoh, yaitu Pangeran Anggang, Datuk Perpatih, Puti Jamilan, Katimuno, Tan Tejo Gurano, dan Puti Kusumbo, menata setiap adegannya tanpa efek simultan satu sama lainnya. Tokoh berada dalam teks yang sesungguhnya masih berada dalam tingkatan “teks” yang dihapal. Tokoh-tokoh belum masuk pada observasi dan riset mendalam yang berkaitan dengan psikologis tokoh, antropologis tema naskah, dan juga historis. Dan hal seperti ini, bukan semata dialami pemain Old Track Teater Padang, juga terjadi pada kelompok-kelompok teater yang lainnya.
Namun demikain, teater tetap sebagai manifestasi dari gejolak sosial dan politik. Dan sutradara tetap akan memilih posisi yang paling mungkin untuk menertawakan apa saja, termasuk kulturnya. Sementara naskah akan rendah hati mengatakan: teater ada karena aku ada. ***
No comments:
Post a Comment