Konsumsi Elit Politik
OLEH Nasrul Azwar
Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 84 Tahun 1999 tentang Perubahan Batas Wilayah Kota Bukittinggi dan Kabupaten Agam dipengujung pemerintah Presiden BJ Habibie, hingga kini memang masih memunculkan kontroversi pro-kontra. Mengedepannya pro-kontra tampaknya lebih banyak terjadi di dalam lingkungan tokoh-tokoh masyarakat Kabupaten Agam. Semenjak diterbitkannya PP No 84/1999 pada tanggal 7 Oktober 1999 hingga kini sikap menolak terhadap PP muncul sangat dasyat kepermukaan. Seolah-olah inilah suara masyarakat Kabupaten Agam yang sesungguhnya. Sedangkan, sebagian yang setuju perubahan batas wilayah tersebut, juga mengklaim suara masyarakat.
Sikap ambivalensi dan menduanya sebagian tokoh-tokoh masyarakat tersebut dapat dilihat dari suara-suara yang muncul di Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam dan juga Kecamatan IV Koto. Untuk Nagari Sianok Kecamatan IV Koto, misalnya, salah nagari masuk dalam peta perubahan batas wilayah, muncul suara-suara yang tidak satu irama. Sebagian tokoh masyarakatnya—yang diwakili Kerapatan Adat Nagari (KAN) Sianok VI Suku—setuju dengan masuknya Nagari Sianok VI Suku ke dalam wilayah Kota Bukittinggi dengan bersyarat: tidak ada intervensi bentuk apa pun dalam pengaturan hukum adatnya. Sebagian lagi menolak tanpa ada syarat apa pun.
Jika dalam sebuah seminar yang dilaksanakan di sebuah hotel di Bukittinggi pada 14 November 1999, Mochtar Naim menyebutkan bahwa gambaran perluasan kota itu adalah gambaran Indonesia dan dunia ketiga lainnya di mana pun di dunia ini, di mana struktur ekonomi dan sosialnya timpang dan dualistik. Kelompok kecil pemilik modal yang menguasai bagian besar dari kekayaan nasional, bekerja sama dengan para penguasa, sementara jumlah terbesar dari rakyat hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan. Mochtar secara eksplisit menolak perubahan batas wilayah yang dikeluarkan eksekutif itu. “Jika kerapatan KAN dan pemuka-pemuka masyarakat sepakat bulat untuk menolak masuk kota maka tidak siapa pun yang bisa memaksakannya.”
Maka, dalam seminar itu, KAN bersama para pemuka masyarakat Anak Nagari se-Agamtuo menghasilkan butir-butir kesepakatan antara lain: menolak diberlakukannya PP No 84 tahun 1999. Kelompok yang menamakan dirinya Badan Koordinasi Penampung dan Penyalur Aspirasi Masyarakat Anak Nagari Agamtuo menjadi wujud komunitas sebagai fasilitas yang tegas-tegas menolak PP No 84/1999 itu. Suara-suara penolakan dari kelompok ini terus menghiasi opini yang dilansir media massa.
Namun demikian, suasana justru sangat berbeda dengan apa yang terjadi di tengah masyarakat Bukittinggi sendiri. Baik dari kalangan eksekutif, legislatif, atau tokoh-tokoh masyarakatnya. Respon terhadap perubahan batas wilayah itu terlihat dingin dan terkesan amat apatis.
Sikap dingin dan apatis itu pada sisi tertentu memang dapat dimaklumi. Sebab, pada posisi ini pemerintahan Kota Bukittinggi lebih diuntungkan ketimbang Agam. Akan tetapi, beberapa kalangan yang dekat dengan birokrat Kota Bukittinggi menilai, sikap demikian itu sebagai representasi ketertutupan pemerintahan Kota Bukittinggi terhadap wacana dan perubahan yang berkembang.
Suara Mesyarakat
Polemik tentang perubahan batas wilayah Kota Bukittinggi dan Kabupaten Agam dan sekaligus diiringi dengan pro-kontranya kini tampaknya bukan semata soal telah diberlakukannya secara resmi UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No 84 Tahun 1999 itu sendiri. Akan tetapi, dari sekian banyak informasi yang berkembang menyangkut PP tersebut, secara strategis saya ingin mengatakan bahwa penolakan PP itu hanya sebagai tujuan antara, yang pada akhirnya nanti berujung kepada sebuah rencana besar untuk mendirikan secara primodialistik sebuah wilayah yang disebut Luhak Agam. Luhak Agam inilah yang dijadikan semacam acuan untuk menyatukan kembali apa yang disebut dengan ‘Bukittinggi Koto ‘Rang Agam’.
Rencana ini makin kian menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Sebab, pemikiran yang kini terus bergulir seiring dengan desentralisasi adalah budaya lokal (local culture). Maka, untuk mewujudkan sebuah wilayah dengan ikatan budaya, wacana budaya lokal memang menjadi konsep yang paling tepat untuk diterapkan.
Dari itu pula, untuk mengembalikan konsep yang pernah ada di tengah kehidupan sosial masyakat: ‘Bukittinggi Koto ‘Rang Agam’, penolakan terhadap perubahan batas wilayah menjadi sangat penting. Sebab, seandainya PP itu diterapkan, tidak bisa tidak, rencana besar untuk menyatukan konsep dan rencana besar itu akan menemukan kesulitan, memakan waktu yang pamjang sekaligus melelahkan.
Ahehnya, perkembangan dari polemik tentang penolakan PP tersebut, hingga kini, saya kira, tetap masih bersifat eksklusif, elitis, dan hanya segelintir orang tertentu saja yang bersuara. Ada apa dibalik semua ini? Tentu hal ini menjadi pertanyaan.
Bagaimana dengan suara dari masyarakat akar rumput, baik yang berada di Kota Bukittinggi maupun yang berada di wilayah Kabupaten Agam? Hingga kini memang tidak pernah terdengar secara tegas, apa sesungguhnya keinginan kedua wilayah masyarakat itu?
Bagi saya untuk menemukan titik persoalan pro-kontra PP No 84/1999 itu mesti mengacu pada aspirasi masyarakat. Dan selama berkembangnya pro-kontra PP itu, eksistensi dan keberadaan masyarakat secara luas tidak pernah digubris, baik itu kalangan pemerintahan, tokoh masyarakat, dan DPRD dari kedua wilayah yang berseteru. Saya masih yakin benar, hampir 90% masyarakat kedua wilayah itu belum mengetahui PP No 84/1999 tentang perubahan batas wilayah mereka. Padahal, ini menjadi sesuatu yang sangat ironis sekali jika suara masyarakat tidak didengarkan untuk sebuah kebijakan yang kelak akan sangat menentukan nasib sosial mereka.
Maka, hingga ini ke atas, suara masyarakat di kedua wilayah itu tidak bisa tidak mesti disertakan secara signifikan. Dan inilah penyebabnya PP No 84/1999 itu tidak pernah terselesaikan secara baik. ***
Persoalan PP 84 sebenarnya telah lam mmencuat kepermukaan, yang penting disin ialah "kenapa tak bisa kelar.Pandangan dari historik sejarah orang Agam Bahwa Nafsu pantang kalangkahan Hawa pantang karandahan, prinsip-prinsip dasar yang terdapat dalam akar budayanya yang telah hilang yaitu Adat nan mamakai sarak nan mangato telah habis.Begitu juga dengan jiwa dan prinsip demokrasinya yang sangat tinggi, telah habis oleh antek-antek penjilat yang mengambil keuntungan sesaat untuk membesarkan nama sebagai "khalif tu'raf" padahal isinya kosong, maka terjadilah kekeruhan yang tak berujung seperti hari ini.Disatu sisi pemerintahan agam beserta wakil masyarakatnya menghasut masyarakat untuk tidak masuk kedalam wilayah bukittinggi, disisi lain sikap Pemkot Bukittinggi dan DPRDnya mendua hati untuk menerima agam timur seutuhnya. maka terjadilah persiteruan yang tak berujung.Padahl apabila kita simak dengan mata terbuka, bahwa Bikttinggi dan Agam timur tidak bisa dipisahkan secar apapun. hal ini ditunjukkan oleh pantun lama, " Bukittingggi koto rang Agam, mandaki jajang ampek puluh.Kenapa harus 40? karena yang mebangun bukittinggi ialah 40 nagari yang berada diseanteronya, termasuk pembangunan jam gadang dimasa dahulu dipungut iuran kepada rang agam tuo.
ReplyDeleteDisi lain pula hari ini aktipitas masayarakat Agama timur berada 100 % dibukittingi, sehingga pembayaran pajak retribusi, uang sekolah anak-anak, serta pusat perbelanjan , semuanya terpusat kebukittinggi, namun bagi Bukittingi tidak bisa berbuat banyak terhadap agam timur, karena batas wilayah dan pemerintahan.Jadi bagaimana masyarakat bisa ngerti sementara dedekongkotnya goblok?