OLEH Nasrul Azwar
UU No. 22/1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 25/1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah tampaknya dipahami secara serta merta dan telanjang oleh lembaga eksekutif dan legislatif (DPRD) di tingkat daerah. Sehingga penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)selalu memunculkan kontroversi, terlebih dalam peyusunan anggaran untuk DPRD.
Tentu saja, arah penyusunan APBD pada intinya merupakan salah satu indikator, alat, piranti, untuk meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat – dan ini sangat sesuai dengan UU No. 22/1999. Penyusunan APBD harus memperlihatkan visi, realistis, nyata, transparansi, akuntabilitas anggaran, disiplin anggaran, keadilan anggaran, efesiensi dan efektivitas mata anggaran yang disusun, serta adanya pertanggung jawaban yang tegas dari pihak pemakai dana dari anggaran yang disusun.
Ukuran dan ‘persyaratan’ di atas, memang masih berada dalam tataran idealistik, wacana, dan abstrak. Pada kenyataannya, saat eksekutif dan legislatif menyusun anggaran — baik itu saat masih berada dalam tataran rencana, maupun pengesahan — ukuran dan persyaratan di atas tak pernah dikonkretisasikan. Jarang disosialisasikan. Tak ada keterlibatan publik dalam penyusunan anggaran.
Maka, saat sebuah APBD telah disahkan dan diperdakan, maka kontroversi dan kritikan tajam bermunculan kepermukaan. Paling tidak, yang paling banyak mendapat sorotan adalah menyangkut pos mata anggaran DPRD dan anggaran pembangunan. Dan APBD – baik tingkat provinsi, kabupaten dan kota – dua mata anggaran ini selalu dipertanyakan. Anggaran DPRD yang membengkak, sementara anggaran pembagunan menciut.
Untuk Kabupeten Agam – selain daerah-daerah lainnya di Sumatra Barat – dapat dijadikan salah satu kasus: bagaimana tidak adanya keadilan di dalam penyusunan anggarannya; bagaimana tidak adanya visi dan arah yang jelas dari APBD tahun 2002; dan lain sebagainya.
Dari data-data yang diperoleh, anggaran biaya pembagunan hanya berkisar Rp 61 milyar, sedangkan anggaran rutin Rp 164,5 milyar. Sementara pendapatan daerah ini diperkirakan Rp 225, 8 milyar. Pendapatan yang berasal dari pendapatan asli daerah (PAD) sekitar Rp 4,5 milyar. Satu hal yang sangat menarik adalah alokasi dana yang diberikan kepada kecamatan-kecamatan di Kabupaten Agam. Tercatat ada 15 kecamatan di Agam. Masing-masing kecamatan memperoleh dana Rp 50.360.000. Lalu, berapa setiap desa/nagari di dalam sebuah kecamatan mendapatkan dana? Barangkali tak lebih Rp 5 juta/perdesa/nagari.
Jelas, jumlah Rp 5 juta itu sangat tidak masuk akal, dan konyol saat semua pihak sepakat untuk kembali ke nagari. Apa yang mesti dilakukan dengan dana sekecil itu untuk sebuah nagari, misalnya nagari Sianok VI Suku? Atau nagari yang demikian luas lainnya? Jika ada DAU yang diarahkan ke situ, tentu saja hal itu soal lain lagi. Tapi, yang jelas, visi pemerintah Agam dan DPRD Agam dalam penyusunan anggaran itu tidak memperlihatkan kepedulian kepada publik.
Sementara itu, jika dilihat mata anggaran yang dialokasikan untuk DPRD Agam dan Sekretariatnya sebesar Rp 3.450.268.600 sangat jauh sekali perbandingannya dengan mata anggaran untuk kecamatan-kecamatan di Agam. Dana untuk legislatif itu nyaris menyedot semua PAD Agam yang hanya berjumlah Rp 4,5 milyar itu.
Kini, tentu saja, sebutkanlah, misalnya, APBD Agam telah disahkan oleh DPRD Agam, maka langkah selanjutnya tampaknya publik sangat tepat sekali mengkritisi APBD Agam itu. Paling tidak, beberapa mata anggaran perlu direvisi. Langkah awal tentu saja yang mesti dipertanyakan adalah mekanisme penyusunan anggaran tersebut. Apakah telah dilalui dengan prosedur dan hukum yang berlaku? Bagaimana dengan keterlibatan publik? Dan – ini yang sangat penting – apakah penyusunan anggaran DPRD Agam ditempuh dengan pembahasan, atau semata-mata disusun untuk membengkakkan uang ini, uang itu, dan dana lainnya?
Sebab, dalam peraturan dan mekanisme penyusunan APBD apapun jenis mata anggaran yang dicantumkan harus dibahas sesuai dengan mekanismenya, dan ini melibatkan instansi terkait. Pengalaman selama ini terlihat, mata anggaran legislatif kerap disusun tanpa mekanisme yang jelas. Ini terbukti dalam penyusunan RAPBD Provinsi Sumatra Barat. Sehingga banyak pihak yang menuntut untuk direvisi kembali. Dan kasus serupa tidak tertutup akan/dan terjadi juga pada penyusunan APBD Agam. Kita mesti mengkritisinya.***
No comments:
Post a Comment