OLEH NELTI ANGGRAINI
Penulis: Erniwati
Halaman: xvi + 175 halaman
Penerbit: Penerbit Ombak
Cetakan: Pertama, Januari 2007
Ruang silaturahmi dan ekspresi seni, politik, kebudayaan, sosial, dan tradisi rakyat secara santun
Kompas, Senin, 18 Juni 2007 |
Sebuah Budaya Tradisi Merantau
OLEH FADLILLAH MALIN SUTAN KAYO
Membaca kumpulan cerpen Perantau karya Gus tf Sakai (2007), mengingatkan kembali akan disertasi Mochtar Naim (1979) yang monumental. Jika orang ingin membaca tentang merantau, maka ada tiga buku yang agaknya wajib dibaca, yaitu pertama buku Mochtar Naim, kedua buku Tsuyoshi K (1989), dan yang ketiga adalah karya Gus tf Sakai.(Lengkapnya...)
|
Judul : Revitalisasi Songket Lama Minangkabau
Penulis : Bernhard Bart
Pengantar : Edy Utama
Penerbit : Studio Songket ErikaRianti Padang, 2006
Tebal : xi + 132 halaman
OLEH Nasrul Azwar
Salah satu kekayaan tradisi di Minangkabau adalah corak tenun songket. Beragam rupa corak songket berkembang dengan baik di tengah masyarakat tradisi Minangkabau. Beberapa nagari di Minangkabau memiliki kekayaan corak dan rupa songket dan merupakan karya seni yang sangat kaya kadar filosofi, ajaran, dan nilai-nilai kehidupan.
Beberapa peneliti pernah mencatat, sekitar 90 lebih ragam corak pada kain songket lama Minangkabau telah muncul di ranah Minang. Namun, saat ini, corak-corak tersebut sudah jarang ditemui. Kalau pun ada, hanya sebagian saja dan terbatas pada corak-corak sederhana. Itu pun sudah dimodifikasi sesuai dengan kehendak pasar dan massif. Bentuk dan coraknya tidak berkembang. Sementara, beberapa corak lainnya hampir hilang terkubur oleh zaman, bahkan tidak dikenal lagi oleh para penenun masa kini.
Corak songket Minangkabau yang telah langka (bahkan nyaris punah) itu, kini direvilatisasi oleh Bernhard Bart, 59 tahun, seorang arsitek berkebangsaan Swiss. Dia 10 tahun terakhir sangat intens meneliti corak-corak songket lama Minangkabau.
“Bagi saya, melihat sehelai kain songket tidaklah sekadar mengamati selembar kain yang ditenun dengan ribuan helai benang. Memandang sehelai kain songket, saya dapat melihat sebuah dinamika dalam proses kehidupan yang kompleks dan beragam.”
Kalimat itu ditulis Bernhard Bart, 59 tahun, dalam introduksi buku Revitalisasi Songket Lama Minangkabau yang diterbitkan Studio Songket ErikaRianti Padang. Bernhard Bart adalah seorang warga Swiss 10 tahun terakhir melakukan penelitian songket lama Minangkabau. Buku ini membentangkan secara luas dan detail perjalanan dan upaya Bart merevitalisasi motif-motif lama songket yang pernah berkembang di Minangkabau pada abad-19 hingga awal abad-20.
Songket sebuah nama dari bahasa Melayu untuk kain brocade yang ditenun di Indonesia dan Malaysia. Hingga Perang Dunia II kain itu dikenal dengan nama kain makau. Tenun songket adalah seni kerajinan yang cukup tua di Nusantara dan masih bertahan hingga sekarang. Di Sumatra Barat, ada beberapa sentra tenun yang tetap produktif menghasilkan kain songket Minangkabau. Bertahannya produksi tenun ini, karena masih ada konsumen yang membutuhkan. Selain itu, faktor yang membuat tenun songket masih eksis karena masyarakat Minangkabau hingga kini masih kuat mempertahankan adat dan budayanya: kain songket menjadi properti yang wajib dalam setiap pelaksanaan upacara adat.
Namun demikian, kain songket Minangkabau yang beredar di pasaran pada saat sekarang ini hadir dengan motif sederhana, dikerjakan dengan mudah dan cepat karena pasar menjadi target utama. Sebaliknya, jarang ditemui kain songket Minangkabau yang ditenun dan dikerjakan dengan menabur motif lama yang unik dan cerdas, yang setiap motif memiliki makna mendalam menyangkut filosofi hidup.
Songket Minangkabau yang pernah ditenun oleh para penenun masa lalu, dapat disebut sebagai karya seni yang berkualitas tinggi. Motifnya unik, rumit, dan kaya makna. Songket lama Minangkabau memang sudah langka dan sulit ditemukan di pasaran. Jika ingin menemukannya, tentu bukan di toko-toko sovenir yang menjual busana adat, melainkan di toko-toko antik, museum, atau pada beberapa keluarga yang masih menyimpan kain songket lama sebagai warisan. Salah satu sumber yang memungkinkan untuk melihat kembali kain songket lama Minangkabau, yakni di Negeri Belanda, baik kain yang dikoleksi oleh museum maupun koleksi perorangan. Itupun jika belum rusak akibat situasi Perang Dunia II. Karena kekuasaan kolonial Belanda mempunyai kemungkinan untuk mengoleksi kain yang benar-benar tua di Indonesia. Kain songket lama yang masih bisa ditemukan pada beberapa keluarga telah berusia sekitar 100-150 tahun.
Buku Reviltalisasi Songket Lama Minangkabau, selain ditulis Bernhard Bart sebagai penulis utama, juga diperkaya oleh beberapa penulis, yaitu Rifky Effendy (kurator seni rupa), Alda Wimar (budayawan), Suwati Kartiwa (peneliti songket), Jupriani (dosen seni rupa UNP), Nasrul Azwar (aktivis budaya), dan diberi pengantar oleh Edy Utama (pengamat budaya Minangkabau).
Kain songket lama—yang nyaris jadi barang langka—di dalamnya terbaca perjalanan peradaban dan kehidupan masyarakat Minangkabau. Melalui motifnya yang begitu beragam, tergambar makna dan pesan-pesan adat, moral, nilai-nilai kemanusiaan. Semua itu yang bersumber dari filosofi alam terkembang jadikan guru. Motif-motif tersebut terukir kuat, rapi, dan memperlihatkan tingkat kerumitan yang sulit dikerjakan oleh tukang tenun masa kini.
Pada awalnya, tahun 1996, Bernhard Bart terpesona memandang kain songket basa hitam dari Nagari Tanjung dan Koto Gadang yang dihiasi corak dan motif yang penuh dengan nilai kearifan adat Minangkabau. Kain basa hitam, saat itu hanya ditenun Hj Rohani, satu-satunya penenun perempuan yang bisa menenun dengan teknik yang benar, yaitu sisinya kain dibalik, yang bagus ke bawah. Galibnya corak lama songket Minangkabau ’tempo dahoeloe’ memang ditenun dengan teknik seperti ini.
Setelah mengenal lebih dekat kain songket basa hitam pun ingin menemui penenunnya, Hj Rohani, saat itu berusia 76 tahun. Dalam tradisi Minangkabau, kain songket basa hitam yang digunakan untuk tangkuluak (penutup kepala) oleh perempuan dan selendang oleh laki-laki (penghulu).
Latar pendidikan Bernhard Bart memang bukan berangkat untuk mendalami tenun songket, keahliannya di bidang arsitektur. Akan tetapi, karena kegemarannya berkeliling dunia dan berkunjung ke situs-situs sejarah dan sentra-sentra kerajinan rakyat di pelosok Nusantara ini—terutama kerajinan menenun—“memaksa” dirinya sejenak meninggalkan dunia arsitektur.
Bernhard menyadari, sepintas, tampaknya, hasil seni tenun dan arsitektur jauh berbeda, tetapi pada sisi cara bekerjanya hampir sama. Seorang arsitek, katanya, harus tahu tentang statik, teknik atau fungsi listrik, air, saluran, mutu bahan bangunan, aturan pemerintah, pengaruh warna kepada orang, mencari solusi yang harmonis di antara lingkungan, gedung, dan masyarakat yang tinggal/bekerja di dalam gedung itu.
“Saya hanya bisa berhasil dengan baik, kalau saya mendapat sebuah solusi yang optimal (tak pernah mungkin maksimal, selalu ada kompromi) bersama orang yang ingin membangun gedung. Hampir sama dengan seni tenun. Saya harus tahu fungsi alat tenun, seperti ATBM, alat tenun gedogang, sistem dobi, pelengkapan atau penambahan alat tenun (karok, sisir, turak, dan lain-lain), teknik tenun (ikat, songket, tapestry weaving dan lain-lain), mutu bahan (sutra ulat, katun, rami, polyester, benang makau, dan lain-lain),” paparnya.
Selain yang bersifat teknis tadi, tambahnya, kita harus memahami dengan baik sisi filosofi Minangkabau yang sangat berkait dengan adatnya. Kain songket ditenun sesuai dengan aturan fungsi dan tujuan penggunaannya (deta, selendang, sarung, ikek pinggang, dan lain-lain). Juga, ada corak yang spesifik atau unik dalam kain songket, misalnya, corak kepala kain ("tumpal-dobel", pucuak-rabuang timba baliak) hanya untuk selembar sarung, tak pernah untuk selendang. Semua ini harus diteliti/diperiksa sebelum menggambar kain songket Minangkabau dengan corak lama, yang nanti ditenun dengan tehnik yang dipakai penenun-penenun Minangkabau ratusan tahun sebelum masa kini. Semua memiliki kandungan filosofi.
Kini, Bernhard Bart telah menikmati hasil jerih payahnya. Paling tidak, untuk saat kini, lebih 1000 corak songket Minang telah dikembangkannya, dari yang paling sederhana (hanya 2 baris yang berbeda) sampai corak yang sangat rumit dengan 110 baris dan lebar sampai 260 “gigi” sisir tenun. Katanya, yang sebesar 260 “gigi” hanya ditemukan di dalam kain songket Koto Gadang yang sangat khas.
“Saya telah mencoba mendesain sendiri alat tenun yang bisa dipergunakan oleh penenun di Sumatra Barat, dan membuatnya dengan bantuan seorang tukang kayu yang cukup ahli. Beberapa alat tenun telah saya buat dan alat itu pun kini telah menghasilkan beberapa lembar replika kain songket lama. Sekarang, saya sudah punya mesin tenun sesuai dengan desain saya, dan juga mesin untuk menggintir benang dari sutra tunggal yang cukup kuat untuk losen dan pakan,” ujar Bernhard Bart.
Pada awal penelitiannya, Bernhard Bart sudah mempunyai rencana untuk menghidupkan kembali corak lama songket Minangkabau. Jika tidak dilakukan semenjak sekarang, kekhawatiran punahnya tradisi menenun motif lama Minang akan terbukti. Dia melihat, kain tenun songket yang beredar di Sumatra Barat saat ini, motif-motifnya terasa membosankan karena sudah masuk dalam industri yang massif. Tidak ada perkembangan corak lagi. Komposisi kain tetap (statis), selalu sama: pinggir kiri-kanan lebar, di antaranya banyak pengulangan baris bercorak kecil. Tentu tidak jadi masalah jika dipakai untuk sarung atau selendang, karena pinggirnya harus sama lebar. Yang divariasikan dan selalu dikembangkan pada kain songket di pasaran saat ini adalah kain dengan warna yang kerap menggunakan warna tren pada masa kini. Hampir tidak terlihat warna yang menjadi tradisi Minangkabau, misalnya merah terang, merah hati, biru tua (indigo), kuning, coklat, dan lain sebagainya. Banyak hal harus diteliti lebih dulu untuk menenun kain songket seperti yang ditenun 100 tahun yang lalu.
Kehadiran buku Revitalisasi Songket Lama Minangkabau, paling tidak telah mengisi khasanah referensi tentang songket Minangkabau yang selama ini diisi Fables Cloths of Minangkabau (1991) karya John Summerfield, terbitan Santa Barbara of Art. Selain ditulis dalam bahasa Indonesia, buku Revitalisasi Songket Lama Minangkabau juga akan diterbitkan dalam bahasa Inggris. ***
Judul: Mesin Ketik Tua
Penerbit: Pusat Pengkajian Islam Minangkabau (PPIM) Sumatra Barat
Mei Tahun 2005
Pengantar: Khairul Jasmi
Halaman: xx + 271 Halaman
OLEH Nasrul Azwar
“Demikianlah ceritanya tentang mesin ketik tua yang sangat berjasa kepada saya sejak tahun 1970-an. Bagi saya gemerincing bunyi mesin ketik tua tersebut telah ikut memberikan inspirasi untuk menulis artikel by line di perbagai surat kabar di daerah ini. Setelah saya berpikir beberapa menit, terlintaslah dalam kepala saya jasa mesin ketik tua yang amat setia menemani saya selama berpuluh-puluh tahun. Secara spontan, terlompatlah dari mulut saya bahwa judul buku yang ada di tangan para pembaca ini namakan saja dengan Mesin Ketik Tua.”
Kutipan di atas bukan punya saya. Kalimat itu milik H. Kamardi Rais Dt P Simulie. Susunan kata-kata itu saya kutip dari pengantar penulis dalam buku itu. Mengapa saya kutip? Karena saya nilai keberadaan sebuah mesin ketik ternyata masih sangat penting di dalam jagad dijilitalisasi pada saat sekarang ini. Katakanlah, pada saat kini, dunia tulis menulis tidak bisa melepaskan dirinya dari kompeterisasi itu. Tapi, sebuah mesin ketik yang dulunya boleh disebut sebagai pelajaran wajib bagi siswa SMEA, nyatanya, buah pikiran yang dihasilkan dari sebuah mesin ketik, dan hasilnya tampak dalam wujud buku, ia mampu mencairkan perbedaaan perangkat yang digunakan. Tak ada lagi batas sebuah tulisan dihasilkan dengan apa.
Pada batas demikian, proses kadang tidak menjadi penting. Yang dilihat adalah hasil. Maka, apa yang dihasilkan dalam sebuah petualangan kreativitas menulis tidak demikian saja dapat dilepaskan dari sebuah ketekunan, ketelitian, dan kerja keras. Untuk itu, soal apa yang digunakan untuk menulis, tentu bukan masalah yang signifikansi. Dari fakta yang ada di Sumatra Barat—sekadar informasi—memang masih banyak dijumpai penulis-penulis yang berusia di atas 60 tahun mengunakan mesin ketik untuk menuangkan pikirannya. Namun, tak dapat dipungkiri, tulisan yang dihasilkan tidak kalah bernasnya dengan penulis yang memakai komputer, termasuk jika diadu dengan produktivitasnya.
Dalam buku ini, 42 buah artikel dihadirkan dengan 3 bagian: Tuangan Limbago, Kesan dan Pesan, serta Serba-serbi. Bagian “Tuangan Limbago” membicarakan tentang adat dan budaya Minangkabau. Kapasitas dan kompetensi penulisnya sebagai ketua umum LKAAM Sumatra Barat, terlihat dari tulisan dan buah pikiran yang dimuat di dalam buku ini. Cukup informatif, historistik, dan kaya dengan data-data. Dalam bagian “Kesan dan Pesan” serta “Serba-serbi”, penulisnya berbicara menyangkut sensitivitasnya terhadap persoalan sosial, politik, ekonomi, sejarah, budaya, dan juga tentang “kepergian” satu per satu tokoh-tokoh pers di Sumatra Barat, antara lain, almarhum Annas Lubuk dan Kasoema. Ada kepekaan dari seorang yang selama ini bergelut dengan peristiwa, fakta, dan data-data.
Buku ini sesungguhnya sebagai representasi dari ketekunan mencatat apa saja peristiwa yang dianggap penting dari seorang jurnalis. Selain itu, buku ini sebenarnya juga ingin mengatakan bahwa profesi jurnalis bukan semata sebagai pelapor informasi (reporter) pada masyarakat, tapi lebih jauh dari itu, jurnalis adalah seorang pencatat setiap data dan fakta yang berkembang dan menuliskannya kembali dalam wujud tulisan dengan perspektif lain. Intinya, seorang jurnalis mesti mampu menuangkan pangana-nya dalam bentuk tulisan yang dalam dan komprehensif. Buku ini layak dibaca oleh para jurnalis, budayawan, penelitis sosial dan sejarah, juga mahasiswa. ***
Judul: HAK MEMBERITAKAN: Peran Pers dalam Pembangunan Ekonomi
Diterjemahkan dari THE RIGHT TO TELL: The Role of Mass Media in Economic Development
Penerjemah: M. Hamid
Editor:Bambang Bujono, Dian R. Basuki
Editor Bahasa: H. Sapto Nugroho, Hasto Pratikto
Desain Kulit Muka: Edi RM
Tata Letak: Agus Darmawan S., Aji Yuliarto, Sony Bambang T, Tri Watno W
Indeks: Sri Mulungsih, Ade Subrata
Cetakan Pertama: April 2006
Penerbit: Pusat Data dan Analisa Tempo
ISBN: 979-9065-16-X
Tebal: xiii + 401 halaman
Apa yang bisa diberikan oleh pers bebas kepada masyarakat membuat masyarakat lebih mampu membuat keputusan berdasarkan informasi yang baik, membeberkan korupsi, menekan pemerintah ketika pemerintah itu tidak berlaku semestinya. Jika institusi dapat menjamin akuntabilitas dan transparansi, pemerintah akan lebih mungkin membuat keputusan yang mementingkan rakyatnya. Pemerintah lebih bisa mengutamakan pelayanan yang lebih baik, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Kalimat di atas milik Presiden Bank Dunia, Paul Wolfowitz, disampaikan di National Press Club, Desember tahun 2005. Makna kalimat itu tentu saja sangat mudah dipahami bagi siapa saja. Namun demikian, dalam tingkat operasionalnya—taruhlah dalam penyajian liputan jurnalistik—terkesan jauh panggang dari api, terutama pers lokal.
Sepintas saja, misalnya, sejauh mana masyarakat di Sumatra Barat saat mengambil keputusan dalam ranah layanan publik mengacu pada informasi yang disajikan pers cetak yang terbit di Sumatra Barat? Atau bagaimana posisi pers dalam menyajikan kasus-kasus korupsi di tubuh pemerintah dan juga kesemrawutan birokrasi pemerintah daerah? Jika kita menjawab sepintas juga, kita akan mengatakan pers lokal di Sumatra Barat belum mampu berada dalam tatanan sebagai penyaji informasi yang dapat menjadi referensi publik, sebagai acuan untuk mengambil keputusan. Juga, pers lokal Sumatra Barat masih barada dalam tahap dan memilih posisi sebagai “pelapor” saja, belum masuh ke dalam wilayah apa yang disebut dengan penyajian duduk perkara sebuah persoalan.
Buku ini ditulis 28 orang yang memiliki latar belakang jurnalistik dan pakar media massa dari berbagai negara di dunia. Sayangnya, bangsa Indonesia tidak tercatat di dalamnya, kecuali kata pengantar dari Bambang Harymurti, Pemimpin Redaksi Majalah Tempo. Penekanan buku ini lebih kepada pembuktian ilmiah korelasi yang ketat antara kemerdekaan pers, pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, serta kesejahteraan sosial. Juga, barangkali, inilah buku pers pertama yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia yang cukup komprehensif mengaitkan hubungan timbal balik pembangunan ekonomi dan liberalisasi pers.
Buku yang cukup tebal ini dibagi dalam bagian: Bagian I mengupas tentang media dan pasar. Bagian II tentang landasan ekonomi dan hukum media, dan Bagian III menyangkut orang media tentang media.
Pengalaman menunjukkan bahwa independensi media bisa rapuh dan mudah terkompromikan. Sudah terlalu sering pemerintah membelenggu media. Kadang kontrol oleh berbagai kepentingan pribadi yang kuat telah membatasi kebebasan penyampaian informasi. Tingkat melek huruf, investasi manusia, dan teknologi yang rendah bisa juga membatasi peran positif yang bisa dimainkan media. Dan kita telah menyaksikan dampak manipulasi dan pelaporan yang tidak bertanggung jawab. Jelas bahwa untuk mendukung pembangunan, media perlu lingkungan yang baik, dalam arti kebebasan, kemampuan, serta checks and balances.
Buku ini juga memuat bab khusus mengenai peran media dalam pembangunan. Ini merupakan sumbangan penting kepada pemahaman kita mengenai pengaruh media terhadap hasil pembangunan dalam berbagai situasi yang berbeda-beda, dan juga menyajikan bukti-bukti mengenai lingkungan kebijakan semacam apa yang dibutuhkan agar media dapat mendukung pasar ekonomi dan politik dan membawakan suara mereka yang tercabut hak-haknya.
Untuk itu, buku ini merangkum berbagai pandangan para akademisi serta perspektif dari mereka yang berada di garis depan, yaitu para jurnalis itu sendiri. Buku ini menarik untuk dibaca para pembuat kebijakan, lembaga swadaya masyarakat, jurnalis, peneliti, dan penuntut ilmu pada umumnya. ***
OLEH Nasrul Azwar
Judul: TITIK SILANG JALAN KEKUASAAN TAHUN 1966
Mitos dan Dilema: Mahasiswa dalam Proses Perubahan Politik 1965-1970
Pengarang: Rum Aly
Cetakan Pertama, Juli 2006
Tebal : liii + 350 halaman
Penerbit KATA HASTA PUSTAKA
Dalam pembacaan saya terhadap tulisan sejarah perjalanan bangsa Indonesia—terutama yang mengupas peristiwa politik dalam rentang tahun 1945-1966— Soekarno menjadi pusat cerita yang selalu dipersalahkan sebagai sumber utama dari rangkaian roller coaster krisis politik pada bangsa Indonesia, khususnya karena konsepsi demokrasi terpimpinnya.
Pusat cerita itu berkisar antara kekuatan revolusioner dan nekolim. Ketika ada orang atau sekelompok masyarakat dipersepsikan oleh penguasa dalam kategori antirevolusi, maka itu berarti anteknekolim yang harus dienyahkan. Beberapa pendapat mengatakan bahwa Soekarno saat itu sedang terobsesi oleh romantika revolusi.
Namun demikian, disadari atau tidak, sejarah sebuah bangsa di manapun di dunia ini—termasuk bangsa Indonesia yang plural dan majemuk—tak selalu berlangsung lancar mengikuti garis lurus yang diinginkan. Mochtar Pabottingi, peneliti LIPI, mengatakan, “Proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dibacakan pada 17 Agustus 1945 barulah menuju “pintu gerbang kemerdekaan”, belum merupakan kemerdekaan itu sendiri. Sejarah mencatat bahwa baru tujuh belas tahun kemudian kemerdekaan (independence) benar-benar dimiliki bangsa, setelah terusirnya penjajah dari seluruh bumi Indonesia. Dan bahkan, kebebasan (freedom)—yang merupakan unsur utama dari kemerdekaan suatu bangsa— baru mulai dirasakan bangsa Indonesia setelah 53 tahun, saat dimulainya era reformasi Mei 1998. Begitu kemerdekaan–baik dalam makna independence maupun freedom–dimiliki oleh bangsa Indonesia, para pemimpin kitapun dihadapkan oleh problem “rumah tangga negara” yang tidak ringan sebagai negara yang baru berdaulat.”
Maka, dalam era Demokrasi Terpimpin, puncak keseluruhan proses politik telah menyeret bangsa Indonesia ini ke dalam konflik-konflik ideologis yang “panas” dan berkepanjangan, ekonomi terbengkalai dan rakyat terhimpit berbagai kesukaran. Keadaan diperparah lagi dengan meletusnya pemberontakan G-30S-PKI, yang banyak menelan korban anak bangsa. Soekarno pun akhirnya jatuh dengan meninggalkan luka sejarah yang menyakitkan.
Orde Baru muncul di atas reruntuhan peninggalan Orde Lama. Sejarah juga mencatat bahwa Orde Baru pun kemudian terperangkap ke dalam bandul ekstrim lain, yakni dari ekstrem “idiology oriented” ke ekstrem “development oriented”, yang pada kenyataannya justru mempunyai kesamaan atau pengulangan dari praktik-praktik kekuasaan dari rezim sebelumnya. Apa yang kemudian diketengahkan sebagai “pembangunan manusia seutuhnya”, “stabilitas nasional”, “prinsip kekeluargaan”, dan sebagainya pada kenyataannya telah berubah menjadi “doktrin politik” yang tertutup.
Rum Aly dalam buku ini bicara tentang hal demikian. Ia bagian dari perjalanan kemelut politik yang berlangsung saat peralihan kekuasaan Orde Lama ke Orde Baru. Saat itu, ia aktif di pers kampus Mingguan Mahasiswa Indionesia, dan perjalanan jurnalistiknya mempertegas dirinya untuk terlibat dan mengikuti proses perubahan politik. Sebagai jurnalis, Rum Aly secara intensif berkomunikasi dengan sejumlah pelaku sejarah, kalangan akar rumput, aktivis semenjak yang moderat, hingga yang paling radikal, dari yang paling kiri hingga yang paling kanan.
Buku ini terdiri 6 (enam) bagian, ditambah dengan Bab Referefnsi Tema, Esei Bergambar, Indeks, Daftar Narasumber. Bagian Satu buku ini bicara tentang tradisi tumpah darah, Bagian Kedua tentang Di Bawah Selimut “Bendera Revolusi”, Ketiga tentang Konspirasi dan Pertumpahan Darah, Keempat tentang Mahasiswa dan Para Jenderal, Kelima tentang 1966, dalam Dilema dan Mitos, dan Keenam tentang Catatan dan Analisis Akhir.
Buku setebal hampir 400 halaman ini dan mengunakan huruf yang cukup kecil, memang sangat melelahkan mata saat membacanya. Namun, buku ini cukup kaya dengan data, fakta, dan hasil wawancara dengan pelaku sejarah. ***