KODE-4

Wednesday, July 25, 2007

Catatan Kritis Pekan Budaya Sumatra Barat 2007:

Dari Program yang Gagal sampai Mainan Anak-anak

Oleh Nasrul Azwar, Presiden Aliansi Komunitas Seni Indonesia (AKSI) Padang

Pekan Budaya Sumatra Barat 2007 resmi ditutup oleh Gubernur Sumatra Barat, Gamawan Fauzi, pada 14 Juli 2007 di Teater Utama Taman Budaya Sumatra Barat. Di tempat ini juga, Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, pada 8 Juli 2007 membuka secara alek yang sama.

Galibnya sebuah alek—katakanlah Pekan Budaya—yang disponsori langsung dan tunggal oleh APBD Sumatra Barat yang dikelola dan dilaksanakan oleh Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya Sumatra Barat, maka laporan yang disampaikan berkisar kesuksesan besar alek tersebut. Seperti yang sudah-sudah, indikator keberhasilannya adalah jumlah pengunjung yang datang ke Pekan Budaya itu.

Dalam laporan Ketua Umum Pekan Budaya di depan Gubernur Sumatra Barat, dikatakan, sebanyak 65.000 orang datang ke Taman Budaya Sumatra Barat semenjak tanggal 8-14 Juli 2007. “Jumlah ini cukup menggembirakan,” kata James Hellyward dalam pidatonya.

Selain jumlah pengunjung, yang kita sendiri tak tahu bagaimana mengukur dan mendapatkan hasil yang demikian itu, juga disebutkan bermacam acara seni dan budaya yang diikuti kota dan kabupaten se-Sumatra Barat, berjalan dengan baik dan sukses, termasuk los lambuang itu.

“Los lambuang yang kita sediakan mendapat sambutan yang antusias dari pengunjung dan masyarakat. Hampir 24 jam los lambuang itu selalu dipenuhi pengunjungan,” tuturnya Kepala Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya Sumatra Barat itu penuh semangat. Lalu, ia melanjutkan, tahun depan Pekan Budaya ini terus kita lanjutkan. “Jadwalnya minggu kedua bulan Juli.”

Memang, demikianlah sebuah laporan. Apalagi laporan itu mesti didengar atasan, dan juga publik, tentu isinya berkisar pada keberhasilan dan lancarnya sebuah acara dilaksanakan. Tak ada laporan yang berisikan sejauh mana target dari acara itu terpenuhi. Misalnya, untuk program “Lomba Bakaba”, “Lomba Mewarnai Gambar”, “Lomba Melukis”, “Tari Piring”, “Festival Legenda”, “Seni Tradisi Spesifik”, dan lain sebagainya, berapa jumlah masing-masing item acara itu diikuti oleh peserta dari kota dan kapupaten yang ada di Sumatra Barat? Berapa persentase capaian keberhasilan dari target yang dibuat?

Bagi publik (seniman, budayawan, pemerhati budaya, lembaga terkait, DPRD, dan juga bagi panitia sendiri), capaian dan target keberhasilan itu penting artinya. Sebab, dari hasil itu, semua pihak bisa mengevaluasi, semua orang bisa berpikir berdasarkan data dan fakta, dan selanjutnya terbaca titik-titik kelemahan dan kekurangan. Dan semua kita tentu akan sangat sepakat untuk menutupinya dengan persiapan dan konsep yang lebih jelas.

Dari “pencatatan” yang saya lakukan semenjak, persiapan Pekan Budaya ini pada bulan Januari 2007 hingga usai acara ini pada 14 Juli 2007, saya menyimpulkan, pola kerja sangat terkesan birokratif, tertutup, dan jumlah panitia yang sangat gemuk.

Pola kerja seperti itu memang bukan saja terjadi pada Pekan Budaya saat sekarang ini. Semenjak tahun 2004—Pekan Budaya pertama sejak reformasi—aroma serupa sudah kental melekat. Selain itu pula, bahwa ini diasosiasikan sebagai proyek bagi para birokrat terkait dan juga pejabat-pejabat yang punya kuasa, jelas memperburuk kondisi dan kerja, serta hasil yang mau dicapai dari Pekan Budaya itu sendiri.

Baiklah, sementara berbicara mengenai pola kerja itu kita tinggalkan. Kini kita coba membaca dengan saksama kinerja dan sejauh mana capaian dari sekian banyak program yang dibuat panitia Pekan Budaya Sumatra Barat 2007 dengan kondisi yang sebenarnya di lapangan.

Jika mengacu pada sistem dan pola kerja yang berbasis pada partisapasi publik, maka ukurannya adalah kuantitatif. Jumlah keterlibatan publik, keikutsertaan, dan keterlibatannya dalam sebuah program. Pekan Budaya ini menggunakan pola itu. Maka, 19 kota dan kabupaten yang ada di Sumatra Barat sebagai partisipan atau target yang mau dicapai. Keberhasilan program terukur dari jumlah yang mau berpartisipasi.

Maka, dari semua item, iven, dan mata acara yang sudah disiapkan pada Pekan Budaya ini, bagaimana tingkat teterlibatan dan partisipasi kota dan kabupaten yang ada di daerah ini yang jumlah 19 itu? Tercapaikah target yang diinginkan?

Saya kira, inilah persoalannya. Beberapa contoh dapat kita buktikan untuk menjawabya. Misal, program yang disebut dengan “Lomba Bakaba”. Peserta mata acara ini cuma 3 orang, dan “Festival Legenda” malah diikuti 1 orang, puisi 12 orang (minus Kota Padang), tari piring 5 utusan, melukis 9 orang, dan juga kota dan kabupaten yang mengisi “los lambuang” yang terlihat dalam papan nama cuma Dharmasraya, selebihnya tak kita jumpai makanan yang khas yang jadi unggulan dari kota dan kaputen yang ada di Sumatra Barat. Yang hadir dalam los lambuang itu adalah pedagang biasa berjualan di kaki lima.

Dari sebagian data-data itu tergambar sudah sejauh mana capaian itu. Untuk “bakaba” dan “legenda”, misalnya, jelas sangat jauh dari harapan dan malah angka itu sangat ironis. Hampir semua kota dan kabupaten, sampai tingkat nagari-nagari di Minangkabau ini memiliki tradisi bakaba dan juga punya legenda masing-masing. Jika dalam Pekan Budaya yang dikesankan sangat hebat dan penuh warna-warni ini hanya diikuti tak sampai hitungan sebelah jari itu, jelas ada yang salah di tubuh pelaksanaan Pekan Budaya itu. Dan demikian juga dengan mata acara lainnya.

Persiapan yang dilakukan semenjak Januari 2007, tentu sangat mengesankan menjadi kerja yang setengah sia-sia jika diukur dari hasil yang dicapai pada hari pelaksanaannya, yang sebagian mata acara itu tingkat keberhasilannya tak mencapai 50%, dan memang ada juga beberapa mata acara yang cukup sukses dilaksanakan. Tapi, secara umum, Pekan Budaya tak memberi capaian yang memuaskan dariu sudut pastisipasi kota dan kabupaten.

Menilik hal ini, tentu ada sesuatu salah. Paling tidak ada permasalahan di dalamnya. Pertama, tak jelasnya konsep program yang dirancang. Kedua, sudahlah konsep tak jelas, sosialisasi pun tak dilakukan secara maksimal di tingkat partisipan. Ketiga, banyak panitia yang tak tahu apa yang mesti dikerjakan karena tidak adanya pola kerja yang jelas. Dan keempat, tidak ada kewajiban bagi pemerintah kota dan kabupaten yang ada di Sumatra Barat untuk ikut secara aktif dengan mengalokasikan dananya secara maksimal dalam Pekan Budaya yang diprakarsai Pemerintah Provinsi Sumatra Barat. Namun, terkait dengan ini, sesungguhya masalahnya bisa diatasi jika panitia secara serius mau berdialog dan mengkomunikasikannya dengan pemko dan pemkab. Tapi inilah yang tak dilakukan.

Pekan Raya Provinsi Sumatra Barat

Merunut pada hakikat pada kata “pekan” yang melekat pada Pekan Budaya Sumatra Barat, serta keterkaitannya dengan “menghimpun” pedagang di dalam Taman Budaya Sumatra Barat, memang tepat adanya. Memang benar demikian arti dari sebuah “pekan” jika kita mau membuka Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), yaitu pasar malam dengan bermacam-macam pertunjukan.

Itu pula sebabnya muncul yang namanya Pekan Raya Jakarta, Pekan Raya Padang (Padang Fair), dan Pedati untuk Kota Bukittinggi, sekadar menyebut contoh. Karena memang dalam program yang memakai “pekan” itu—tapi kini banyak diganti dengan fair—diformulasikan sebagai ajang untuk berjualan, promosi pruduk, dan sekaligus “melegimasikan” keberadaan pedagang kaki lima yang biasanya kerap kucing-kucingan dengan petugas Satpol PP. Kini, atas nama bayaran sewa tempat, tenda, listrik, dan lain sebagainya, mereka tak cemas lagi diusir petugas. Mereka berdagang.

Biasanya setiap acara yang begini selalu ramai. Selain berjualan dan berpromosi, di arena itu juga disiapkan beragam hiburan, lomba, dan pertunjukan seni yang menarik bagi masyarakat. Inilah hakikat dari sebuah “pekan”. Karena konsep “pekan” itu adalah keramaian, maka, tuntutan pertunjukan dan lomba adalah yang mampu mengumpulkan banyak orang. Atau paling tidak harus terkesan ramai.

Maka, Pekan Budaya Sumatra Barat tak jauh berbeda dengan pekan-pekan yang digelar berbagai kota di Indonesia, dan sudah jelas tidak akan berbeda jauh dengan Padang Fair yang akan digelar pada 8-16 Agustus 2007. Malah, saya memprediksi jauh lebih bagus dari Pekan Budaya Sumatra Barat, baik persiapan maupun materinya. Selain itu pula, mereka tidak mau memberi embel-embel “budaya” di dalam judul besar acaranya. Dan sepanjang yang saya ketahui, ukuran keberhasilan setiap program Parsenibud Provinsi Sumatra Barat adalah angka dan jumlah orang yang datang ke suatu ivennya.

Tentu, jika hakikat Pekan Budaya Sumatra Barat sama dengan “pekan-pekan” yang pernah digelar di berbagai kota di Nusantara ini, sebaiknya dibuang saja kata “budaya” dan diganti dengan “raya”, maka selanjutnya disebut “Pekan Raya Sumatra Barat”. Dan panitia atau pihak terkait bisa melepaskan diri jika ada yang menuding “berladang di punggung budaya”. ***

Multikulturalisme Teater Indonesia: Menghormati Keberagaman

(Catatan PAT 2003, STSI Padangpanjang)
Oleh Sahrul N
Benny Yohannes dalam makalahnya mengatakan bahwa “multikulturalisme dalam teater seyogyanya dipahami dalam prinsip hadir yang selalu tidak ada (absent present). Bahwa budaya itu tidak pernah memiliki transendensi atau Pengada-Besar, atau asal-usul arkaiknya. Sebab pelacakan terhadap asal-usul seperti itu selalu membikin kita yatim dan semakin yatim. Namun rentangan keyatiman itu adalah sumber-sumber epistemik yang tak pernah menyediakan batas, kefinalan atau kesudahan”.

Meramu Mimpi Teater Indonesia Atawa Selamat Pagi

Oleh Sahrul N
Kebudayaan pada suatu waktu akan berubah. Setidaknya ada dua hal yang menjadi penyebab terjadinya perubahan kebudayaan. Pertama adalah terjadinya perubahan lingkungan yang dapat menuntut perubahan kebudayaan yang bersifat adaptif. Kedua terjadinya kontak dengan bangsa lain yang mungkin menyebabkan diterimanya kebudayaan asing sehingga terjadilah perubahan dalam nilai-nilai dan tata kelakukan yang ada. Kemampuan berubah merupakan sifat yang penting dalam kebudayaan manusia
(Haviland, 1988:251).

Teater Indonesia, Refleksi Identitas Kebhinekaan

(Catatan Menjelang Pekan Apresiasi Teater 2003 STSI Padangpanjang)
Oleh Sahrul N
Wacana multikulturalisme telah merambah seluruh aspek kehidupan manusia, mulai dari persoalan politik, sosial, rasa kebangsaan, kebudayaan, sampai pada persoalan kesenian yang salah satunya adalah teater. Multikulturalisme ada yang memahaminya sebagai penekanan terhadap ras yang mengacu pada keanekaragaman yang menunjukan keharmonisan, namun mengabaikan masalah bahasa dan budaya. Akibatnya justru akan menimbulkan konflik seperti Indonesia saat ini. Untuk itu konsep multikulturalisme harus dimaknai sebagai sesuatu yang tidak diartikan semata-mata sebagai pluralisme antara ras, melainkan juga seperti reaksi yang meliputi budaya, bahasa yang ditinjau secara lebih rinci terutama yang berkaitan dengan munculnya kekuatan dominasi antara satu bahasa dengan bahasa lainnya. Arahnya adalah keseimbangan antara kepentingan etnik tertentu dengan etnik yang lain yang saling berinteraksi.

Catatan Pementasan "Tangga" Hitam-Putih Indonesia


Menggugat Demokrasi Minangkabau
Oleh Sahrul N

“dengarlah, kusampaikan padamu sebaris kisah di sebuah gunung merapi yang dulu sebesar telur itik, lama setelahnya, dari dua lelaki seibu berbeda ayah lahirlah sistem bernama laras dua lelaki yang berbeda pikiran, orang menyebutnya koto piliang dan bodi caniago berjenjang naik, bertangga turun dan duduk sehamparan, tegak sepematang bagai lukisan perdamaian”
Dialog demokrasi tak bernama inilah yang diusung dalam pementasan teater yang berjudul “Tangga” sutradara Yusril dari Komunitas Seni Hitam Putih Padangpanjang Sumatra Barat. Pementasan yang berdurasi sekitar satu jam ini ditampilkan di STSI Padangpanjang tanggal 21 Juli 2007 dan di Taman Budaya Sumatra Barat pada tanggal 27 Juli 2007. Karya seni teater ini terinspirasi dari dua karya sebelumnya yaitu puisi “Tangga” karya Iyut Fitra dan naskah drama “Jenjang” karya Prel T.

Pernyataan Sikap Sastrawan Ode Kampung

Serang, Banten, 20-22 Juli 2007:

Kondisi Sastra Indonesia saat ini memperlihatkan gejala berlangsungnya dominasi sebuah komunitas dan azas yang dianutnya terhadap komunitas-komunitas sastra lainnya. Dominasi itu bahkan tampil dalam bentuknya yang paling arogan, yaitu merasa berhak merumuskan dan memetakan perkembangan sastra menurut standar estetika dan ideologi yang dianutnya. Kondisi ini jelas meresahkan komunitas-komunitas sastra yang ada di Indonesia karena kontraproduktif dan destruktif bagi perkembangan sastra Indonesia yang sehat, setara, dan bermartabat. Dalam menyikapi kondisi ini, kami sastrawan dan penggiat komunitas-komunitas sastra memaklumatkan.

Pernyataan Sikap sebagai berikut:

  1. Menolak arogansi dan dominasi sebuah komunitas atas komunitas lainnya
  2. Menolak eksploitasi seksual sebagai standar estetika
  3. Menolak bantuan asing yang memperalat keindonesiaan kebudayaan kita.

Bagi kami sastra adalah ekspresi seni yang merefleksikan keindonesiaan kebudayaan kita di mana moralitas merupakan salah satu pilar utamanya. Terkait dengan itu sudah tentu sastrawan memiliki tanggung jawab sosial terhadap masyarakat (pembaca). Oleh karena itu kami menentang sikap ketidakpedulian pemerintah terhadap musibah-musibah yang disebabkan baik oleh perusahaan, individu, maupun kebijakan pemerintah yang menyengsarakan rakyat, misalnya tragedi lumpur gas Lapindo di Sidoarjo. Kami juga mengecam keras sastrawan yang nyata-nyata tidak mempedulikan musibah-musibah tersebut, bahkan berafiliasi dengan pengusaha yang mengakibatkan musibah tersebut.

Demikianlah Pernyataan Sikap ini kami buat sebagai pendirian kami terhadap kondisi sastra Indonesia saat ini, sekaligus solidaritas terhadap korban-korban musibah kejahatan kapitalisme di seluruh Indonesia.

Kami yang menyuarakan dan mendukung pernyataan ini:

01. Wowok Hesti Prabowo (Tangerang)
02. Saut Situmorang (Yogyakarta)
03. Kusprihyanto Namma (Ngawi)
04. Wan Anwar (Serang)
05. Hasan Bisri BFC (Bekasi)
06. Ahmadun Y. Herfanda (Jakarta)
07. Helvy Tiana Rosa (Jakarta)
08. Viddy AD Daeri (Lamongan)
09. Yanusa Nugroho (Ciputat)
10. Raudal Tanjung Banua (Yogya)
11. Gola Gong (Serang)
12. Maman S. Mahayana (Jakarta)
13. Diah Hadaning (Bogor)
14. Jumari Hs (Kudus)
15. Chavcay Saefullah (Lebak)
16. Toto St. Radik (Serang)
17. Ruby Ach. Baedhawy (Serang)
18. Firman Venayaksa (Serang)
19. Slamet Raharjo Rais (Jakarta)
20. Arie MP.Tamba (Jakarta)
21. Ahmad Nurullah (Jakarta)
22. Bonnie Triyana (Jakarta)
23. Dwi Fitria (Jakarta)
24. Doddi Ahmad Fauzi (Jakarta)
25. Mat Don (Bandung)
26. Ahmad Supena (Pandeglang)
27. Mahdi Duri (Tangerang)
28. Bonari Nabonenar (Malang)
29. Asma Nadia (Depok)
30. Nur Wahida Idris (Yogyakarta)
31. Y. Thendra BP (Yogyakarta)
32. Damhuri Muhammad
33. Katrin Bandell (Yogya)
34. Din Sadja (Banda Aceh)
35. Fahmi Faqih (Surabaya)
36. Idris Pasaribu (Medan)
37. Indriyan Koto (Medan)
38. Muda Wijaya (Bali)
39. Pranita Dewi (Bali)
40. Sindu Putra (Lombok)
41. Suharyoto Sastrosuwignyo (Riau)
42. Asep Semboja (Depok)
43. M. Arman AZ (Lampung)
44. Bilven Ultimus (Bandung)
45. Pramita Gayatri (Serang)
46. Ayuni Hasna (Bandung)
47. Sri Alhidayati (Bandung)
48. Suci Zwastydikaningtyas (Bandung)
49. Riksariote M. Padl (bandung)
50. Solmah (Bekasi)
51. Herti (Bekasi)
52. Hayyu (Bekasi)
53. Endah Hamasah (Thullabi)
54. Nabila (DKI)
55. Manik Susanti
56. Nurfahmi Taufik el-Sha'b
57. Benny Rhamdani (Bandung)
58. Selvy (Bandung)
59. Azura Dayana (Palembang)
60. Dani Ardiansyah (Bogor)
61. Uryati zulkifli (DKI)
62. Ervan ( DKI)
63. Andi Tenri Dala (DKI)
64. Azimah Rahayu (DKI)
65. Habiburrahman el-Shirazy
66. Elili al-Maliky
67. Wahyu Heriyadi
68. Lusiana Monohevita
69. Asma Sembiring (Bogor)
70. Yeli Sarvina (Bogor)
71. Dwi Ferriyati (Bekasi)
72. Hayyu Alynda (Bekasi)
73. herti Windya (Bekasi)
74. Nadiah Abidin (Bekasi)
75. Ima Akip (Bekasi)
76. Lina M (Ciputat)
77. Murni (Ciputat)
78. Giyanto Subagio (Jakarta)
79. Santo (Cilegon)
80. Meiliana (DKI)
81. Ambhita Dhyaningrum (Solo)
82. Lia Oktavia (DKI)
83. Endah (Bandung)
84. Ahmad Lamuna (DKI)
85. Billy Antoro (DKI)
86. Wildan Nugraha (DKI)
87. M. Rhadyal Wilson (Bukitingi)
88. Asril Novian Alifi (Surabaya)
89. Jairi Irawan ( Surabaya)90. 91. Langlang
Randhawa (Serang)
92. Muhzen Den (Serang)
93. Renhard Renn (Serang)
94. Fikar W. Eda (Aceh)
95. Acep Iwan Saidi (Bandung)
96. Usman Didi Hamdani (Brebes)
97. Diah S. (Tegal)
98. Cunong Suraja (Bogor)
99. Muhamad Husen (Jambi)
100. Leonowen (Jakarta)
101. Rahmat Ali (Jakarta)
102. Makanudin RS (Bekasi)
103. Ali Ibnu Anwar ( Jawa Timur)
104. Syarif Hidayatullah (Depok)
105. Moh Hamzah Arsa (Madura)
106. Mita Indrawati (Padang)
107. Suci Zwastydikaningtyas (Bandung)
108. Sri al-Hidayati (Bandung)
109. Nabilah (DKI)
110. Siti Sarah (DKI)
111. Rina Yulian (DKI)
112. Lilyani Taurisia WM (DKI)
113. Rina Prihatin (DKI)
114. Dwi Hariyanto (Serang)
115. Rachmat Nugraha (Jakarta)
116. Ressa Novita (Jakarta)
117. Sokat (DKI)
118. Koko Nata Kusuma (DKI)
119. Ali Muakhir (bandung)
120. M. Ifan Hidayatullah (Bandung)
121. Denny Prabowo (Depok)
122. Ratono Fadillah (Depok)
123. Sulistami Prihandini (Depok)
124. Nurhadiansyah (Depok)
125. Trimanto (Depok)
126. Birulaut (DKI)
127. Rahmadiyanti (DKI)
128. Riki Cahya (Jabar)
129. Aswi (Bandung)
130. Lian Kagura (Bandung)
131. Duddy Fachruddin (Bandung)
132. Alang Nemo (Bandung)
133. Epri Tsaqib Adew Habtsa (Bandung)
134. Tena Avragnai (Bandung)
135. Gatot Aryo (Bogor)
136. Andika (Jambi)
137. Widzar al-Ghiffary (Bandung)
138. Azizi Irawan Dwi Poetra (Serang)


*) Kepada kawan-kawan sastrawan lain yang senada dan hendak ikut mendukung pernyataan ini, diharapkan melayangkan secarik pernyataan yang menyatakan dukungan melalui email: odekampung2@yahoo.com

Tuesday, July 24, 2007

PERTUNJUKAN TEATER HITAM-PUTIH INDONESIA

Pertunjukan Teater "DITUNGGU DOGOT"

Karya: Sapardi Djoko Damono

Sutradara: Kurniasih Zaitun (TINTUN)

Bandung : 25 Juli 2007
  • CCF Bandung (depan Bandung Electronic Center, jl. Purnawarman No. 32, pukul 19.30
Jakarta : 27 - 28 Juli 2007
  • 27 Juli, pukul 20.00 di Sanggar Baru, Taman Ismail Marzuki, Cikini Jakarta Pusat. Terbuka untuk umum.
  • 28 Juli, pukul 19.30 di Taman Kambojo, Kampus UIN Ciputat, Jakarta

Konsep Garapan

Ditunggu Dogot adalah sebuah cerpen Sapardi Djoko Damono. "Teks" cerpen ini kemudian ditafsirkan dan diwujudkan dalam bentuk pertunjukan teater. Cerpen ini mengisahkan perjalanan dua orang tokoh, laki-laki dan perempuan yang sedang ditunggu Dogot. Selama perjalanan Ditunggu Dogot mereka mengalami berbagai persoalan, konflik dan perdebatan mereka tentang Dogot, sedangkan Dogot itu sendiri tidak jelas identitas dan asala usulnya.

Dapat dilihat disini bahwa Sapardi sangat terinspirasi oleh Menunggu Godot karya Samuel Beckett. Sapardi mencoba melihat bagaimana persoalan "menunggu" tidak akan lengkap jika tidak ada "ditunggu", dan Sapardi percaya bahwa hidup ini berpasang-pasangan. Hal ini terlihat pada dialog-dialog yang muncul dalam cerpen tersebut, termasuk cara Sapardi dalam melukiskan persoalan dan konflik yang membangun inti cerpen tersebut.

Konsep panggung yang ditawarkan adalah stage on stage (panggung di atas panggung) yang menghadirkan panggung bergerak (berputar) untuk mnenawarkan konsep un-blocking (perpindahan aktor lebih ditentukan oleh pergerakan panggung). Sedangkan posisi penonton diarahkan ke dalam bentuk prosenium dan tapal kuda/arena, dengan tujuan lebih memudahkan penonton untuk mengapresiasi pentas itu sendiri. Untuk memperkuat karakter pertunjukan dan artistik panggung, pementasan ini juga menggunakan multimedia yang dilahirkan melalui layar yang menjadi latar belakang panggung.

Konsep pertunjukan Ditunggu Dogot, berangkat dari ide dasar randai, dengan menjadikan unsur galombang dan pelaku galombang sebagai penentu, yakni penentu pergantian waktu, tempat dan adegan. Fungsi pelaku galombang dalam pertunjukan ini sangat ditentukan oleh perputaran panggung; pada saat perputaran dilakukan, pelaku galombang menjadi aktor pertunjukan, dan ketika tidak terjadi lagi perputaran, sang pelaku galombang memfungsikan diri sebagai bagian dari penonton.

Sinopsis

Perjalanan dua orang tokoh, laki-laki dan perempuan yang sedang ditunggu Dogot. Selama perjalanan Ditunggu Dogot mereka mengalami berbagai persoalan, konflik dan perdebatan mereka tentang Dogot, sedangkan Dogot itu sendiri tidak jelas identitas dan asala usulnya.

Semua yang ada dimuka bumi ini diciptakan berpasang-pasangan. Jauh dekat, tinggi rendah, langit bumi, laki-laki perempuan, menunggu ditunggu. Perjalanan hidup manusia yang tak pernah bisa ditebak "apa", tapi dapat dirasakan, dijalani dan dinikmati.

Profil Kelompok

Komunitas seni HITAM-PUTIH di Sumatra Barat awalnya adalah kelompok teater yang tumbuh di lingkungan pelajar SMU. Didirikan pada tahun 1992 dengan nama Teater Plus sebagai salah satu kegiatan ekstra kurikuler di SMU Plus INS Kayu tanam Sumatera Barat. Kemudian di tahun 1998, atas beberapa pertimbangan, kelompok ini berubah nama menjadi komunitas seni HITAM-PUTIH dan hingga saat ini tetap eksis sebagai salah satu kantong seni di Sumatera Barat. Berbagai aktivitas seni pertunjukan khususnya teater telah dipentaskan, baik di tingkat regional Sumatera hingga merambah beberapa tempat di Jakarta. Sejak awal kehadirannya, komunitas ini cukup memberikan warna baru pada perkembangan seni pertunjukan di Sumatera Barat. Hal ini tampak dari beberapa pentas keliling di wilayah Sumatera dan Jakarta yang digelar pada kurun waktu 1998-2000, di samping juga melakukan beberapa kali workshop teater di Sumatera Barat.

Selain membidangi seni Teater, komunitas seni HITAM-PUTIH, juga mengembangkan bidang kesenian lainnya dengan menjadi penyelenggara beberapa pentas Tari, Workshop Sastra, dan Pagelaran Musik Etnik. Sedangkan dalam bidang perfilman, komunitas ini menyelenggarakan kegiatan diskusi, pemutaran dan produksi film, di samping melakukan eksplorasi, riset dan eksperimen untuk mencari bentuk-bentuk alternatif seni pertunjukan khususnya seni teater dengan memberikan kesempatan kepada penonton untuk memberikan penilaian lewat diskusi pasca pentas.

Profil Sutradara

Kurniasih Zaitun lebih akrab dengan panggilan TINTUN kelahiran, Padang 20 April 1980. Salah satu dari sekian banyak perempuan yang aktif dalam kesenian Teater. Telah meluluskan pendidikan S-1 nya di STSI Padangpanjang Jurusan Teater dengan Minat Utama Penyutradaraan.

PENGALAMAN KESENIAN

TEATER

Menjadi Sutradara:

* Pertunjukan "Ditunggu Dogot" Karya Sapardi Djoko Damono di Padangpanjang, Pasar Seni Pekan Baru-Riau dan Taman Budaya Prop. Sumatra Barat-Padang (2005-2006)
* Pertunjukan "Kura-Kura Bekicot"Karya Ionesco di Padangpanjang (2004)
* Puisi Pertunjukan dengan tema "Seks, Teks dan Konteks"di Univ Padjajaran Bandung (2004)
* Pertunjukan "Cleopatra" karya Shakespeare di Padangpanjang (2003)
* Pertunjukan "Cermin" karya Nano Riantiarno di Festival Pesisir- Taman Budaya Padang (2002)
* Pertunjukan "Pintu Tertutup" karya Jean P Sartre di Padangpanjang (2002)
* Pertunjukan "Topeng" karya Yusril di Univ Bung Hatta Padang, Taman Budaya Bengkulu, GOR Payakumbuh Sum-Bar (2000-2001)
* Pertunjukan "Komplikasi" karya Yusril di Pertemuan Teater Eksperimental Internasional Fak Sastra Univ Andalas Padang (2000)
* Pertunjukan "Malam Terakhir" karya Yukio Mishima di Padangpanjang (2000)
* Pe0rtunjukan "The Song Of The Death" karya Kurniasih Zaitun di Padangpanjang (2000)
* Dramatisasi Puisi "Menjelang Hari Pemilu" karya Gunawan Muhammad di Padangpanjang (2000)
* Pertunjukan "Orang-Orang Kasar" karya Anton P.Chekov di Padang Panjang (1999)

Menjadi Aktor:

* Pembaca Cerpen "Surat untuk Guru(ku)" di Univ Andalas Padang" (2006)
* Pertunjukan "Pintu"karya/ Sutradara Yusril di Taman Budaya Padang (2002)
* Pertunjukan "Menunggu" karya/Sutradara Yusril di TAMAN Budaya Padang, Event Pertemuan Sastrawan Nusantara Tiga Negara Tetangga di INS Kayu Tanam Sumatra Barat, Taman Budaya Jambi, Balai Dang Merdu Riau, Pertemuan Teater Indonesia di Taman Budaya Pekan Baru Riau, STSI Padangpanjang, Teater Utan Kayu Jakarta dan Teater Luwes IKJ Jakarta (1997-2000)
* Pertunjukan "Menanti Kasih di Ujung Tanduk" karya/ Sutradara Yusril di Fak Sastra Univ.Andalas Padang, SMKI Padang, STSI Padangpanjang (199)
* Dramatisasi "Sembilu Darah" karya/Sutradara Yusril di Fak Sastra Univ Bung Hatta Padang (1997)

Menjadi Penulis:

* Naskah Perempuan di Ruang Kerja
* "tak ada yang sempurna di dunia, hanya DIA yang memiliki kesempurnaan itu. Maka nikmati apa yang telah dianugrahkan, apapun……."(2005)
* Naskah The Song Of The Death"
* "aku hanya mampu melihat, mendengar, dan menyaksikan…. .(2000)
* Artikel "Jual Obat sebagai Teater alternativ" di Harian Mimbar Minang Padang (2000)
* Artikel "Grotowsky dan Konsep Teater Melarat" di Booletin Teater Jur Teater STSI Padangpanjang (2000)
* Puisi di Majalah Horison Jakarta (1996)

Non Teater:

* Aktor Utama Film Indipendent "Sedikit Sekali Waktu Untuk Cinta" Sutradara Yusril Produksi Studio Hitam-Putih (2003)
* Narator Film-film Dokumenter Produksi Studio Hitam Putih (2001- sekarang)
* Pembaca Puisi, pada Event lokal dan nasional (1997- sekarang)

Salam budaya,

Evi Widya Putri
Promotions and Media Relations
Komunitas Seni Hitam Putih
Sekretariat Jakarta
Jl. H. Samali no. 11 Pejaten Barat - Pasar Minggu
Jakarta Selatan

Sunday, July 15, 2007

Pekan Budaya Sumatra Barat 2007

Berladang di Punggung Budaya

OLEH Nasrul Azwar

Gendang Pekan Budaya Sumatra Barat 2007 telah ditabuh. Penabuhnya Wakil Presiden Jusuf Kalla, walau tampak kacau balau dan penuh kepanikan di wajah panitia pelaksana, tapi, sejak Minggu, 8 Juli 2007 alek yang disebut sebagai revitalisasi budaya tradisi Minangkabau ini, resmi dibuka. Bersamaan dengan itu pula, dicanangkan Hari Permainan Anak Nusantara.

Surat kabar lokal menyebut, Pekan Budaya Sumatera Barat 2007 merupakan Pekan Budaya yang ke-X (sepuluh). Dari cerita tokoh-tokoh yang pernah terlibat langsung dengan Pekan Budaya di Sumatra Barat, mengatakan iven ini dimulai sejak tahun 1982. Namun, jangan berharap banyak jika ingin menelusuri bukti-bukti tertulis berupa buku acara atau dokumen lainnya, kliping-kliping media cetak atau media audio visual yang berkaitan dengan perjalanan Pekan Budaya itu. Kita tidak akan menemukannya, malah di institusi atau badan yang relevan dengan kearsipan sekalipun. Hal itu jauh api dari rokok. Bahwa etnis Minang sangat kental dengan tradisi lisan (niraksara) mendapatkan pembenarannya di sini. Kita hanya bercerita saja, tidak mau menuliskannya.

Jika Anda berniat mendokumentasikan, menyusun, dan selanjutnya, misalnya, menuliskannya menjadi sebuah buku atau berupa skiripsi, Anda mungkin layak menerima penghargaan dari Gunernur Sumatra Barat (itupun jika dia punya apresiasi yang sungguh-sungguh terhadap karya Anda). Sebab, Andalah yang orang pertama di ranah Minang ini yang mampu menulis tentang itu: Sebuah iven budaya yang cukup penting di negeri ini, yang melibatkan banyak pihak dan sudah menelan dana yang besar, terwujud berupa karya tulis.

Sejenak kita lupakan itu dulu. Kembali ke Pekan Budaya yang kini sedang bakatuntang di Taman Budaya Sumatra Barat sampai tanggal 14 Juli 2007. Ini Pekan Budaya ketiga sejak reformasi tahun 1999 yang digelar di tempat seniman dan budayawan Sumatra Barat berkumpul itu. Dulu, Pekan Budaya digelar di kota dan kabupaten di Sumatra Barat: Kabupaten 50 Kota/Kota Payaklumbuh, Kota Bukittinggi dan Agam, dan Kabupaten Tanahdatar, pernah merasakan suka duka sebagai sipangka dalam alek Pekan Budaya itu. Kini, pola seperti arisan itu tak ada lagi. Peran sepenuhnya diambil Pemerintah Provinsi Sumatra Barat. Maka, beruntunglah Pemerintah Kota Padang sebagai ibukota provinsi, karena setiap tahun Pekan Budaya dilaksanakan di “rumah”nya tanpa perlu mengalokasikan anggaran dalam APBD-nya.

Sementara itu, 6 kota dan 12 kabupaten yang berada di luar Kota Padang sangat mengesankan sekali sebagai pelengkap penderita dan sekaligus peramai alek belaka, malah secara pemerintahan mereka telah dilecehkan Pemerintah Provinsi Sumatra Barat. Mengapa tidak, di depan undang-undang otonomi daerah sesungguhnya posisi pemerintahan kota dan kabupaten sejajar. Tak ada yang istimewa. Pertanyaannya, apa alasan bagi Pemerintah Provinsi Sumatra Barat untuk memilih Kota Padang tempat digelarnya Pekan Budaya Sumatra Barat secara berturut-turut sejak tahun 2004? Alasan karena ibukota provinsi, saya kira bukan alasan yang realistis pada saat sekarang. Karena fasilitas di pertunjukan seni Kota Padang lebih lengkap, itu pun tak masuk akal. Untuk itu, sudah saatnya wali kota dan bupati yang di Provinsi Sumatra Barat mempertanyakan hal itu kepada gubernur.

Sebab, salamo hiduang ditampuah anggok, iven Pekan Budaya tak akan pernah menghadirkan tontonan seni yang membutuhkan gedung dengan akustik yang bagus, lampu yang lengkap, dan alat musik yang jernih dan kuat. Pekan Budaya Sumatra Barat sejak dulunya memang sudah diorientasikan sebagai sebuah pakan, atau pasa. Maka, yang hadir setiap iven ini digelar adalah hamparan lapak-lapak dagangan para penggelas dengan seribu cara menarik perhatian tamu yang datang.

Lalu, jangan pula kita heran saat datang ke arena ini, mendengar secara bersamaan suara saluang dan pedendang, suara anak randai yang sedang membawakan tokoh Anggun nan Tongga, suara ginset, suara biduan orgen tunggal, dan teriakan pedagang pakaian anak-anak dengan kalimat terkenal di kaki lima “tigo saribu, tigo saribu!”

Inilah yang namanya Pekan Budaya Sumatra Barat. Iven “budaya dan seni” yang mengatasnamakan seni dan budaya (Minangkabau) Sumatra Barat. Seni dan budaya tradisi yang tumbuh dan berkembang di nagari-nagari yang dibesarkan oleh anak-anak nagari, yang dalam pikiran para pejabat Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya Provinsi, belum dikenal masyarakat luas, telah dijadikan alasan pembenaran untuk dengan mudahnya menghamburkan uang sebasar Rp 1,2 milyar. Uang sebanyak itu, dalam logika paling sederhana, sepeser pun tak akan pernah dirasakan para seniman tradisi yang tampil mewakili kota dan kabupatennya. Malah, semua kebutuhan transportasi, akomodasi, honor, dan lain sebagainya ditanggung pemerintah masing-masing. Panitia Pekan Budaya tak bertanggung jawab menyangkut biaya dan dana. Dan, malah untuk memperagakan keunggulan dareah di stand-stand yang disediakan, mereka mesti bayar listrik ke panitia. Konon, untuk stand di dalam komplek Taman Budaya sebesar Rp 300.000/selama acara, dan di luar mereka bayar Rp 400.000/selama acara. Lalu buat apa uang yang dialokasikan dari APBD Sumatra Barat sebesar Rp 1,2 milyar itu, jika para peserta dari kota atau kabupaten tetap membayar?

Pekan Budaya tahun 2007 tak jauh beda dengan yang sudah-sudah. Materi acarapun berkisar di situ-situ juga: ada lomba ada festival. Saluang jo dendang dilombakan, randai juga. Ada lomba lagu pop Minang, memakai baju kurung, mewarnai dan baca puisi. Pesertanya sudah dapat diduga: rata-rata 10 orang/kelompok. Untuk mewarnai hanya diikuti 9 orang.

Dari jumlah peserta itu, pelaksanaan dan pola kerja Pekan Budaya jelas sangat memprihatinkan. Selain itu pula, iven yang dianggap penting ini tidak pula menyediakan buku acara atau buku panduan yang bisa dijadikan pedoman bagi para pengunjung. Kalau ada alasan sudah ditulis dalam undangan, tentu tidak semua mendapat undangan. Inilah satu-satunya di atas muka bumi, sebuah acara yang dibuka resmi oleh orang nomo 2 di Indonesia tidak mengeluarkan atau mencetak buku. “Alah kanai ota se masyarakaik ko tamasuak rang sumando awak tu,” kata teman saya.

Inilah sebuah peristiwa budaya yang dirancang jauh-jauh hari tanpa tujuan yang jelas. Tak jelas capaian apa yang dikehendaki. Jika dicium acara ini kental dengan aroma proyek. Satu lagi bertambah deretan-deretan “iven budaya” dengan mengatasnamakan seni dan budaya tradisi Minangkabau, dan ternyata mereka berladang di punggung seni dan budaya itu. ***

Saturday, July 7, 2007

Konser Musik Kua Etnika


"Raised From The Roots, Breakthrough Borders"

Graha bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki Kamis dan Jumat, 12 & 13 Juli 2007, pukul 20.00 WIB Sebelum menampilkan karya terbaru mereka di Festival Nusantara,Brisbane, Australia, Agustus mendatang, pemusik Djaduk Ferianto bersama grupnya, Kua Etnika, akan menampilkan karya-karyanya di depan publik Jakarta. Setelah dipentaskan untuk menandai kegiatan Yayasan Bagong Kussudiardja, di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, Yogyakarta, akhir Mei lalu, Konser Musikbertajuk “Raised From The Roots, Breakthrough Borders” ini akan dipangungkan di Graha Bhakti Budaya TIM, Kamis dan Jumat, 12 & 13 Juli, pukul 20.00 WIB mendatang....

Dalam
konser yang menggunakan aneka macam instrumen etnik ini, Djaduk menyajikan 11 repertoar dengan dukungan vokalis Trie Utami. Seperti biasanya, dalam bermusik Djaduk berangkat dari semangat mengolah seni tradisi dan modern. Karya komposisinya merupakan pertemuan perjalanan musikalitas yang berusaha menautkan kutub-kutub aliran, gaya, dan genre. Kua Etnika mengolah dan mengambil inspirasi dari berbagai khasanah tradisi, sembari terus mempertemukannya dengan berbagai bentuk cara ungkap kontemporer. Menurut Djaduk, yang mendasari kerja kreatif mereka adalah keterbukaan musik etnik di Indonesia terhadap berbagai kemungkinan baru, baik instrumen, melodi, maupun iramanya. Termasuk di dalamnya upaya mendialogkan khasanah musik etnik dengan khasanah musik Barat, maupun mendialogkan antar musik etnik itu sendiri yang berasal dari khasanah musik Nusantara.

Dari berbagai rajutan dialog musikal itu diharapkan mampu melahirkan apa yang disebut “harmoni keindonesiaan”, tanpa melenyapkan karakter masing-masing musik etnik. Melalui seluruh reportoar garapan terbaru mereka, Kua Etnika, Djaduk Ferianto dan Trie Utami akan membagi perjalanan mereka. Perjalanan yang mendasari dirinya dari gamelan Jawa, Sunda, Bali, dan khasanah musik tradisi, untuk menemukan daya ungkapnya dalam musikalitas hari ini.

Suatu perjalanan yang,
menilik judulnya, berangkat dari suatu akar untuk mencapai dan kemudian menembus batas-batas, penuh percobaan teknik dan gaya dari berbagai sumber inspirasi. Namun, alih-alih menjadi rumit, mereka bersetia untuk lugas, sederhana, dan pada saat yang sama, menghadirkannya dalam suasana yang akrab dan hangat, hampir seperti tanpa pretensi.Selama dua jam penuh, penonton akan mereka ajak untuk bersama-sama menempuh perjalanan musikalitas mereka,menempuh pertemuan-pertemuan antar bunyi dan budaya. Tiket bisa diperoleh di 021-3154087 atau Pak Isa 081317028139. ***