Merawat Seni TradisI Minang dengan Tulus
OLEH Abel Tasman/DKSB
Namanya Manti Menuik. Laki-laki. Usianya sudah 81 tahun. Malam itu, 19 Maret 2005, di Teater Tertutup Taman Budaya Sumatra Barat, dalam pertunjukan maestro seni tradisi Minangkabau yang digelar oleh Dewan Kesenian Sumatra Barat (DKSB) dalam Pentas Seni IV 2005, dia tampak masih tegar memainkan silek jalik, tari Adok, dan Tan Bentan, salah satu seni tradisi Minangkabau yang masih ada sampai sekarang. Lelaki itu salah seorang pewarisnya. Kepiawaian Manti Menuik memainkan silek jalik, tari Adok, dan Tan Bentan, bagian seni tradisi Minangkabau menjadikan dia sosok yang ditunggu-tunggu penonton. Manti Menuik malam itu hadir sebagai salah seorang maestro seni Minangkabau dari tiga orang maestro yang diundang khusus DKSB, yaitu Islamidar dan Upiak Palatiang.
Di atas pentas, karena usianya yang sudah tua, gerakannya tampak agak lamban. Namun, kaki dan tangannya masih bergerak mantap. Sorot matanya tajam mengawasi gerak-gerik lawan. Tubuhnya merespons sangat baik. Malam itu, Manti Menuik telah memperlihatkan “magis”, filosofis, dan makna dari seorang pesilat atau pandeka (guru besar) silek tuo (silat tua) dalam tradisi Minangkabau, serta seorang maestro seni tradisi Minangkabau.
Mendengar bunyi adok (sejenis gendang) yang elok, apalagi suara penyanyi (pendendang) yang rancak, dia akan menari dengan totalitas dirinya: “Raso ka patah lantai (Rasa mau patah lantai),” katanya. Begitulah spirit tari Adok atau Tan Bentan yang dirasakan Manti Menuik—sang maestro penari tradisi paling gaek yang ada di ranah Minang saat ini. Tari Tan Bentan, Tari Piriang, silat Jalik telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hayatnya. Bila menari, Manti Menuik seperti ekstase—larut dalam irama dan liukan gerak tubuh yang seolah tak ingin berhenti.
Nama Populer
Manti Menuik adalah panggilan populer. Ia diberi nama oleh orangtuanya Jamin, yang setelah dewasa ditambah dengan gelar Manti Rajo Sutan. Manti (panungkek atau tangan kanan dari penghulu) merupakan gelar warisan dari sukunya Guci. Manti Menuik lahir pada tahun 1924 di kampung halamannya Saniangbaka, Kecamatan X Koto Singkarak, Kabupaten Solok. Sejak kecil sampai sekarang, ia tetap tinggal di kampung, tak pernah merantau seperti banyak warga Saniangbaka atau lelaki Minang lainnya.
Pendidikan formalnya hanya sampai kelas dua Sekolah Rakyat, hanya sampai bisa tulis baca. Katanya tak sanggup meneruskan sekolah karena uang sekolah mahal. Namun belajar Al-Quran atau mengaji di surau ia jalani sampai tamat, sehingga ia sekian lama menjadi guru mengaji di sebuah surau dekat rumahnya beberapa tahun lamanya.
Sebagaimana pemuda Minang lainnya, Manti Menuik belajar bersilat. Belajar tradisi bela diri Minang ini ia mulai sejak tahun 1938. Ia belajar silat pada Said Sutan Basa—seorang Pandeka Saniangbaka yang terkenal dengan silatnya Singo Barantai. Tentu saja Manti Menuik juga belajar silat asli Saniangbaka Balam Balago. Namun dikatakannya, ia tak terlalu menguasai silat Singo Barantai, penguasaannya lebih fasih pada silat Jalik—silat bungo atau kata dalam bela diri karate. Silat Jalik lebih sebagai peragaan keindahan gerakan silat. Dan memang ia lebih menonjol kemampuannya dalam bidang tari.
Sejak Kecil Belajar
Setelah cukup dengan bekal kemampuan bersilat yang ia miliki, Manti Menuik belajar tari pada tahun 1948. Ia berguru pada Tamin Sutan Sati dan Husin Mantiko. Ia mempelajari Tari Piriang, tari Tan Bentan dan randai. Beberapa lama setelah itu, ia sudah sering tampil menari di berbagai nagari dan daerah sekitar seperti Malalo, Paninggahan, Padangpanjang dan Bukittinggi. Puluhan tahun belakangan ia bersama kelompoknya juga sering tampil di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Bersamaan dengan penguasaannya dalam bidang tari itu ia, juga mulai mengajar tari. Ia menjadikan lapaunya sebagai sasaran (tempat belajar silat atau tari) di malam hari atau halaman rumah gadangnya sebagai tempat belajar silat. Kadang ia juga melatih muridnya bersilat dan menari di surau milik kaumnya. Dalam mengajarkan tari, Manti Menuik langsung mengajak muridnya satu per satu dan berganti-ganti untuk menari. Ia tak melatih tari seperti gaya latihan menari saat ini, yakni dengan memberi contok gerakan, lalu menyuruh murid menirukannya secara serempak. Dengan demikian, saat melatih murid-muridnya, Manti Menuik tak pernah berhenti menari.
Manti Menuik adalah maestronya Tari Piriang, Tan Bentan dan silat Jalik. Tari Piriang yang ia mainkan khas tari piringnya Saniangbaka. Gerakannya indah, enerjik dan mengagumkan. Begitu pula bila ia menampilkan silat Jalik. Yang paling menarik adalah bila ia membawakan tari Tan Bentan, tarian khas yang ada di kenagarian sekitar Danau Singkarak. Konon tarian ini asalnya memang dari Saniangbaka.
Tari Tan Bentan adalah bercerita tentang cuplikan kisah perebutan Puti Bungsu oleh Imbang Jayo dan Cindua Mato. Karena kesaktiannya, Cindua Mato berhasil mengalahkan Imbang Jayo. Tari ini terdiri dari lima bagian yang merupakan peristiwa perseteruan antara Cindua Mato dengan Imbang Jayo: Pada-pada (pado-pado), Dendang-dendangan, Adau-adau, Din-din dan Jundai.
Menitis pada Anaknya
Pado-pado adalah pengungkapan filosofis dalam bentuk gerak tari dari ungkapan; babuek baik pado-padoi, babuek buruak sakali jaan. Dendang-dendangan, lagu-lagu menyenangkan yang dibawakan Cindua Mato di hadapan Imbang Jayo supaya Imbang Jayo tak mencurigai Cindua Mato. Adau-adau adalah cerita atau lagu yang diusampaikan Cindua Mato untuk membuat Imbang Jayo tertidur, pada tahap ini Puti Bungsu ikut menari yang makin menghibur Imbang Jayo. Tertidur atau talalok dalam pengertian ini adalah talalok dalam pengertian karakter atau talalok yang dimaksudkan di sini adalah takicuah, karena Cindua Mato bermaksud merebut Puti Bungsu.
Din-din adalah usaha yang dilakukan Cindua Mato untuk mendinginkan atau menyejukkan hati Imbang Jayo dan masyarakat Sungai Ngiang supaya mereka tidak curiga sama sekali dengan tindakan yang akan dilakukan Cindua Mato. Jundai berkisah tentang serangan atau perang batin yang dilakukan Cindua Mato terhadap Imbang Jayo. Imbang Jayo akhirnya kalah dan bangun dari tidurnya dalam keadaan gila (jundai). Itulah makna tari Tan Bentan yang sering ditampilkan Manti Menuik.
Di samping menari dan bersilat atau melatih tari dan silat, sehari-harinya Manti Menuik menjalankan kegiatan hidupnya dengan pergi ke sawah pada pagi hari. Sehabis Zuhur dia pulang, kemudian meneruskan kegiatan di lapau atau kedai kopi yang dimilikinya. Di tempat ini pula setiap pekan ia melatih tari dan silat.
Manti Menuik menikah untuk pertama kalinya pada tahun 1944. Sampai sekarang ia telah menikah dengan delapan orang perempuan. Namun dari kedelapan istrinya itu ia hanya memiliki tujuh orang anak. Di antara tujuh anaknya itu, empat orang telah meninggal dunia. Tiga orang yang masih hidup hidup yakni Safri (52), Eri Mefri (47), dan Rahmi (17). Eri Mefri adalah pewarisnya dalam bidang tari. Eri adalah seorang penari dan koreografer terkenal pimpinan Sanggar nan Jombang.
Di hari tuanya saat ini, Manti Menuik tinggal dengan istri termudanya Nisma dan dengan putrinya Rahmi, di lapaunya yang sudah berubah fungsi menjadi rumahnya. Sejak beberapa tahun terakhir, lapau itu tak lagi berfungsi sebagai kedai kopi. Sehari-harinya Manti Menuik tetap pergi ke sawah, “Untuk tetap mengeluarkan keringat, kalau tak berkeringat badan menjadi lemah,” katanya. Setiap Senin malam ia melatih tari di rumah gadang milik Tarmizi, Wali Nagari Saniangbaka yang sekaligus bertanggung jawab memimpin kelompok tari yang terdiri dari sekitar 30-an anak muda itu.
Sampai usia tuanya saat ini, Manti Menuik, masih terus menari, mempertahankan dan melestarikan seni tradisi. Tradisi yang sudah lama sepi di negeri ini. Begituh Manti Menuik, sang maestro seni tradisi, ia tak akan pernah berhenti menari. Panggilan hidupnya adalah menari. Dan ia akan menari sampai mati.***
Thanks for Sharing :))
ReplyDelete