KODE-4

Friday, February 16, 2007

Kontroversi PP 84/1999

Quo Vadis Masyarakat Luhak Agam?

OLEH Nasrul Azwar

Musyawarah Masyarakat Luhak Agam yang pernah dilangsungkan di Istana Negara Bung Hatta Bukittinggi pada 18-19 Desember 2002, memang tidak menghasilkan “pernyataan bersama” tentang penolakan atau menerima terhadap salah satu produk hukum yakni Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 84 Tahun 1999 (PP 84/1999) tentang perubahan batas wilayah Kota Bukittinggi dan Kabupaten Agam. Dari keterangan Panitia Pelaksana, agenda untuk membahas hal demikian memang tidak akan disinggung.

Sekretaris Panitia Pengarah, Drs. H. Hawari Siddik dan Ketua Panitia, Drs. Suardi Mahmud mengatakan, dalam Musyawarah Masyarakat Luhak Agam ini tidak akan menyinggung persoalan PP 84/1999 tentang pemekaran Kota Bukittinggi sebagai bagian dari materi bahasan. Sebab, kata Hawari Siddik, persoalan PP 84/99 telah diserahkan penyelesaiannya kepada Gubernur Provinsi Sumatra Barat, Bupati Agam, dan Wali Kota Bukittinggi. “Semua berkasnya telah berada di tangan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Hari Sabarno (semasa Presiden Megawati Soekarno Putri-Red). Mendagri yang akan memutuskan yang terbaik bagi kedua daerah. Kini tinggal bagaimana keputusannya, itulah nanti yang kita terima,” katanya.

Satu sisi, tidak diperbincangkannya persoalan PP 84/1999 dalam Musyawarah Masyarakat Luhak Agam ini disayangkan banyak pihak. Paling tidak, Musyawarah Masyarakat Luhak Agam, dalam perspektif dan kekuatan strategisnya, tentu pada saat sekarang—pada saat kondisi masyarakat Luhak Agam dan juga Kota Bukittinggi—menunggu kepastian tentang masa depan dan konsekuensi jika PP 84/1999 diterapkan, baik itu konsekuensi pada aspek budaya, ekonomi, sosial, dan juga nagari, maupun apa manfaatnya bagi masyarakat jika masuk dalam wilayah administrasi Kota Bukittinggi, tampak soal PP 84/1999 jadi “menggantung” di langit.

Sementara, salah seorang tokoh masyarakat Agam, Masfar Rasyid, juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatra Barat, sempat bersikeras memasukkan PP 84/1999 dalam agenda pembahasan materi. Namun, dengan pelbagai alasan, permintaan wakil rakyat ini tidak dikabulkan panitia. Ini soal jadi dilematis. Apa lagi, jika ada keinginan tokoh-tokoh masyarakat yang selama ini dinilai vokal menyuarakan penolakan PP 84/1999, ternyata suaranya hilang, dan semua soal diserahkan ke pemerintah. Paling tidak, melunaknya suara yang lantang dulu, menjadi tanda tanya.

Dibaca dari pelbagai laporan media cetak tentang Musyawarah Masyarakat Luhak Agam ini, pada pembukaan resmi oleh Gubernur Sumatra Barat, disebutkan bahwa jajaran pejabat Pemko Bukittinggi dan DPRD Kota Bukittinggi tidak hadir dalam acara tersebut. Ini soal lain tentunya. Namun, apakah ini bisa kita asumsikan sebagai penolakan secara tak langsung terhadap musyawarah tersebut. Ketidakhadiran jajaran Pemko Bukittinggi dan DPRD Kota Bukittinggi ini dapat dimaknai bahwa musyawarah itu hanya ajang “romantisme” masa lalu bagi tokoh-tokoh mayarakat Agam, atau tak lebih sekadar pertemuan biasa yang tidak pantas diikuti jajaran Pemko Bukittinggi dan DPRD-nya, karena tidak ada agenda yang jelas dan terarah.

Memang, telah diperkirakan sejak semula, apa yang dihasilkan dari Musyawarah Masyarakat Luhak Agam itu akan kehilangan vitalitas dan semangat untuk membuka ruang wacana dan dialog yang cerdas. Gemuruhnya terbenam di antara ketidakpastian nasib masyarakat di sekitar daerah-daerah yang masuk dalam PP 84/1999 itu. Tentu ini jadi preseden buruk bagi masyarakat, sebab tokoh-tokoh masyarakat yang bisa mewakili aspirasi dan kemauannya, ternyata tidak seperti yang diharapkan. Paling tidak, harapan bagi masyarakat untuk menentukan nasibnya sendiri, kini tergantung kepada pemerintah. Jika pemerintah mengatakan untuk pelaksanaan PP 84/1999, harus dilakukan segera mungkin, maka tidak bisa tidak, tentu harus dijalankan.

Posisi Tawar

Permasalahan yang mengemuka antara Agam-Bukittinggi, yang telah memasuki tahapan konflik vertikal dan horisontal, sejatinya bukan dimaknai dalam perkara PP No 84/1999 saja. Akan tetapi, jauh sebelum keluarnya PP No 84/1999 telah mengapung keinginan mendirikan Kabupaten Agamtuo.

Dalam “sejarahnya” gagasan pemekaran Agam ini disuarakan LIMBAGO AGAMTUO (Lembaga Koordinasi Penampung dan Penyalur Aspirasi Masyarakat Agamtuo) sebelum PP 84/1999 disahkan. Rencana tersebut ditandatangani dalam Musyawarah Kerapatan Adat Nagari bersama pemuka masyarakat se-Agamtuo di Gadut. I. K. Angku Payung Ameh sebagai Ketua Umum, Suardi Mahmud Bandaro Putiah sebagai Sekretaris Umum, tertanggal 22 September 1999. Bagi tokoh-tokoh tersebut, pemekaran Kabupaten Agam sangat perlu sekali. Pemekaran itu berorientasi pada optimalisasi pengembangan potensi wilayah masing-masing. Jadi, dengan demikian, pemekaran Kabupaten Agam bukan untuk memecah belah orang Agam. Bila PP 84/1999 dibatalkan, maka ide pembentukan Kabupaten Agamtuo bisa lekas direalisasikan.

Kini, gagasan itu tampaknya dimentahkan kembali lewat apa yang disebut dengan Musyawarah Masyarakat Luhak Agam baru-baru ini. Padahal, jika ditelusuri lebih jauh, para penggagas dan panitia musyawarah tidak lepas dari tokoh-tokoh yang sama. Tampaknya visi ke depan tentang Luhak Agam, belum duduk betul bagi mereka yang selama ini ngotot menolak PP No 84/1999 itu. Gagasan pemekaran Kabupaten Agam itu, memang masih dalam tataran wacana, namun momen sepenting Musyawarah Masyarakat Luhak Agam, jadi tanda tanya: mengapa ide ini tidak menjadi bahan materi bahasan yang dalam., jika memang pemekaran dianggap sebagai jalan keluar pemecahan konflik PP No 84/199 itu.

Sejauh ini, masyarakat memang belum membaca apa yang dihasilkan dari Musyawarah Masyarakat Luhak Agam itu. Dan hingga kini “butir-butir” yang ditelorkan dalam pertemuan itu, masih disimpan dan file-file penyelenggara. Publikasi dan sosialisasi kepada publik belum terlihat, baik itu di pers maupun media lainnya.

Jika ada informasi yang menyebutkan bahwa hasil musyawarah ini diserahkan kepada Gubernur Sumatra Barat, tentu itu soal lain. Yang pasti hingga kini masyarakat Agam dan juga Bukittinggi, tidak jelas betul apa isi “rekomendasi” yang diserahkan ke gubernur itu. Ketidaktransparanan ini menjadi ironi dan aneh, tentunya.

Bom Waktu

Pada batas ini, tampaknya kekuatan publik sebagai modal utama untuk “penekan” kebijakan pemerintah yang dinilai kurang akomodatif dan berpihak kepada masyarakat, menjadi tenggelam. Dikarenakan, kekuatan itu “dimafaatkan” dan “diminimalisasikan” oleh “kekuatan lain” yang mengklaim sebagai penyampai aspirasi masyarakat bawah. PP No 84/1999 dapat membuktikan hal demikian. Karena tidak mengagendakan materi bahasan tentang pro-kontra PP No 84/1999, maka aspirasi yang berkembang dan kekuatan publik dihilangkan demikian saja dalam sebuah musyawarah yang juga mengatasnamakan masyarakat Luhak Agam. Ini menjadi sangat ironis jika dikaitkan dengan gejolak, polemik, ekses-ekses, dan akibat dari pemberlakukan PP No 84/1999 ini.

Dalam logika paling sederhana, empat tahun terakhir polemik dan pro-kontra – menerima atau menolak PP No 84/1999, telah menjadi bahan gunjingan sehari-hari masyarakat yang daerahnya masuk dalam PP No 84/1999. Sepanjang itu pula polemik telah berkembang, yang kadang telah ke luar dari substansi dan permasalahan yang sebenarnya. Lalu, permasalahan ini dihapus dalam agenda Musyawarah Masyarakat Luhak Agam, tentu ini perlu jadi pertanyaan publik: Ada apa sesungguhnya?

Jika alasan yang disampaikan penyelenggara bahwa persoalan PP No 84/1999 telah berada di tangan Menteri Dalam Negeri dan Gubernur Sumatra Barat, dan tidak perlu lagi dibahas, maka untuk apa musyawarah dilakukan, dan mengapa sebanyak 12 nagari yang masuk dalam daftar PP No 84/1999, kini menggugat Presiden RI sebesar Rp 12 milyar? Secara kasat mata, tampaknya memang telah terjadi dualisme dan perpecahan dalam menyikapi eksistensi PP No 84/1999 itu. Lalu, pertanyaan yang lebih “ekstrem”: siapa sesunguhnya “di belakang” musyawarah ini, dan akan dibawa ke mana Luhak Agam itu, sehingga kehilangan posisi tawar yang sangat strategis, jika Musyawarah Masyarakat Luhak Agam ini membahas soal PP No 84/1999, terlepas bagaimana output yang dihasilkan?

Dari berbagai laporan media cetak, banyak hal yang terungkap bahwa PP No 84/1999 telah memicu konflik di tengah masyarakat, terutama konflik yang terjadi dalam tubuh lembaga publik, seperti KAN (Kerapatan Adat Nagari). Misalnya, baru-baru ini, seperti dilansir Singgalang (12/12/2002), pengurus KAN Kurai Bukittinggi telah membantah keikutsertaan anggota dari lima KAN Kurai Bukittinggi dalam rombongan masyarakat Agam yang akan membicarakan masalah PP No 84/1999 dengan DPRD Sumatra Barat. Sekaligus KAN Kurai Bukittinggi membantah kahadiran Forum Komunikasi Masyarakat Kurai. Forum ini telah mengeluarkan pernyataan bahwa identitas sosial, budaya, dan juga batas-batas kultural masyarakat Kurai akan lenyap drastis jika PP No 84/1999 pelaksanaannya direalisasikan.

Fakta-fakta demikian menjadi indikator penting untuk melihat dan menganalisis dampak serta ekses jika PP No 84/1999 diterapkan. Tampaknya, perkaranya bukan semata bahwa keputusan pelaksanaan PP No 84/1999 mesti diserahkan ke Mendagri, akan tetapi lebih jauh dari dan bukan sesedehana itu.

Memang benar, baru-baru ini, tujuh pejabat tinggi di Sumatra Barat dipanggil Hari Sabarno – Mendagri – untuk menghadap, dan sekaligus membicarakan masalah PP No 84/1999. Tujuh orang petinggi itu adalah Gubernur Sumatra Barat, Kepala Kantor Linmas Kesbang Kantor Gubernur Sumatra Barat, Ketua DPRD Sumatra Barat, Bupati Agam, Wali Kota Bukittinggi, Ketua DPRD Agam, dan Ketua DPRD Kota Bukittinggi.

Sebelum bertolak ke Jakarta, DPRD Agam menggelar rapat dengan materi bahasan tentang penolakan pelaksanaan PP No 84/1999. “Jika PP No 84/1999 itu dipaksakan pelaksanaannya, maka pihak DPRD Agam tidak akan bertanggung jawab terhadap akibat yang ditimbulkan dari penerapan PP No 84/1999 itu. Maka, jika muncul gejolak dan konflik di tengah masyarakat, yang bertanggung jawab adalah Gubernur Sumatra Barat, Wali Kota Bukittinggi, dan DPRD Kota Bukittinggi,” ungkap Yosiano Muchtar, Wakil Ketua DPRD Agam, seperti dikutip Singgalang (12/12/2002).

Dari itu pula, agar tidak terjadi konflik di tengah masyarakat, DPRD Agam, tambah Yosiano Muchtar, PP No 84/1999 harus dicabut, dan selanjutnya program kerja sama yang menyenergikan kekuatan masing-masing antara Agam dengan Bukittinggi, menjadi pilihan yang paling tepat.

“Sebab proses lahirnya PP No 84/1999 penuh dengan unsur paksaan terhadap pejabat saat itu.”

DPRD Agam menolak keras pemberlakuan PP No 84/1999 itu karena amanat dan aspirasi dari masyarakat Agam, baik itu tertulis maupun lisan. Semua aspirasi itu telah disampaikan ke Pemerintah Provinsi Sumatra Barat sebagai bahan kajian dan pertimbangan.

Namun demikian, bagi Syamsu Z.A, salah seorang tokoh masyarakat Uba Koto Tangah Tilatang Kamang Agam, punya pendapat lain bahwa keberadan PP No 84/1999 pada intinya hanya mengatur bidang administrasi dua wilayah itu. Katanya, dengan direalisasikan PP No 84/1999 jelas tidak akan mengganggu dan berakibat negatif bagi adat, budaya, dan tatanan sosial, baik itu bagi masyarakat Kurai di Bukittinggi, maupun masyarakat Agam sendiri, yang daerahnya masuk PP No 84/1999 itu. Disebutkannya lagi, masyarakat sekitar Bukittinggi—Tilatang Kamang, IV Angkek Canduang, Banuhampu, dan IV Koto, justru sangat mendambakan masuk wilayah Kota Bukittinggi.

Dari pernyataan Syamsu Z.A itu, bahwa masyarakat Agam yang masuk dalam PP No 84/1999 mendambakan masuk dalam wilayah Kota Bukittinggi, ternyata tidak benar sama sekali, jika itu dikaitkan dengan munculnya gugatan 12 Nagari di Luhak Agam kepada Presiden RI. Gugatan ganti rugi immaterial dan budaya sebesar Rp 12 milyar bukan saja ditujukan ke Presiden, tetapi juga kepada Mendagri, Gubernur Sumatra Barat, Wali Kota Bukittinggi, DPRD, dan Bupati Agam. Dua belas nagari di Agam yang menggugat itu adalah Cingkariang, Gaduik, Sianok VI Suku, Guguk Tabek Sarojo, Ampang Gadang, Ladang Laweh, Pakan Sinayan, Kubang Putiah, Pasia IV Angkek, Kapau, Batu Taba IV Angkek, dan Koto Gadang.

Menurut Miko Kamal, kuasa hukum penggugat, objek gugatannya adalah tindakan para penggugat yang tidak melibatkan partisipasi dan aspirasi publik dalam proses melahirkan PP No 84/1999, dan tuntutannya meminta hakim untuk membatalkan PP No 84/1999 dengan rekomendasi yang dikeluarkan tergugat (Singgalang 21/12/2002).

Menyedihkan

Musyawarah Masyarakat Luhak Agam yang dilansungkan 2 hari itu pada akhirnya memang menghasilkan “butir-butir” visi dan misi Agam ke depan. Dari pelbagai laporan yang dilansir media cetak, butir-butir itu diharapkan sebagai acuan bagi pihak eksekutif dan legislatif dalam mengambil kebijakan pembagunan Luhak Agam di masa yang akan datang. Semua hasil itu, kata penyelenggara musyawarah, akan diserahkan kepada Gubernur Sumatra Barat, Bupati Agam, Wali Kota Bukittinggi, DPRD Agam, dan DPRD Kota Bukittinggi.

Sejauh yang dilaporkan media cetak itu, hasil musyawarah terlihat masih bersifat umum dan masih bias, belum mengarah pada acuan yang detail dan rinci tentang masa depan Agam-Bukittinggi. Persoalan yang menggantung, selain PP No 84/1999, juga belum terbahas secara tuntas, misalnya tentang Pasar Serikat Bukittinggi, aset Agam yang berada di Bukittinggi, persoalan pendidikan, dan sosial.

Dalam musyawarah itu, secara khusus direkomendasikan kepada DPRD Agam dan Bupati Agam bahwa semua keputusan musyawarah itu betul-betul menjadi acuan bagi legislatif dan eksekutif Kabupaten Agam untuk membangun Agam yang mandiri, berprestasi dan aspek pembangunan yang berlandaskan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.

Permintaan “khusus” ini, secara konseptual jelas masih bersifat normatif, dan sangat bias, serta kurang jelas bentuk konkretnya sebagai acuan DPRD dan Pemkab Agam untuk melihat Agam ke depan. Dalam perhitungan yang sederhana saja, bagaimana mungkin sebuah visi dan acuan dibangun, sementara soal masa depan wilayah/daerah Agam yang masuk dalam PP No 84/1999 tidak menjadi pertimbangan bagi peserta musyawarah, yang menurut laporan panitia hampir mencapai 800 orang itu, terdiri pelbagai elemen?

Jelas, dalam hal ini ada kekaburan membuat sebuah rumusan dan acuan dari persoalan yang demikian besarnya, yakni PP No 84/1999. Pertanyaannya: Apa yang mesti dilakukan oleh pihak Agam, seandainya PP No 84/1999 direalisasikan dengan segenap konsekuensinya kelak? Maka, tidak dimasukkannya materi persoalan PP No 84/1999 dalam musyawara itu, tentu sangat menyedihkan. Sementara, tenaga, pikiran, dan dana untuk menyelenggarakan musyawarah, yang katanya telah dipikirkan 5 tahun terakhir, telah terkuras habis, dan hasilnyapun diasumsikan akan berantakan jika suatu saat nanti PP No 84/1999 harus dilaksanakan.

Satu sisi, di tengah masyarakat Agam yang nagarinya tercantum dalam PP No 84/1999, masih terjadi dualisme aspirasi: menolak dan menerima. Selain itu tentu 12 nagari sedang memperkarakan PP No 84/1999 ke tingkat pengadilan. Lalu, akan mau dibawa ke mana Luhak Agam ini?***


No comments:

Post a Comment