OLEH Nasrul Azwar
Jika Anda mau sedikit bekerja keras dan membuka lembaran surat-surat kabar yang terbit di Sumatra Barat dalam rentang bulan April-Mei 2004, maka Anda akan menemukan kalimat-kalimat seperti ini: “Jika saya terpilih menjadi anggota DPRD, saya akan membebaskan biaya pendidikan. Orangtua tidak perlu lagi memikirkan biaya pendidikan anak-anaknya. Semua gratis! Maka, pilihlah saya pada pemilu nanti.”
Saat kampanye pemilu, kalimat demikian tidak asing di telinga kita. Janji-janji itulah yang dilontarkan para calon legislatif di lapangan bola, aula, di sudut-sudut galanggang nagari, dan di mana saja jika ada kesempatan. Kalimat itu menjadi headline di surat-surat kabar atau paling tidak berdiri mencolok di rubrik-rubrik advetorial. Saat itu mereka membutuhkan dukungan dari publik, dan tampaknya, adigium pendidikan gratis bisa menjadi komodifikasi dalam bursa politik untuk menggenjot raihan perolehan suara.
Kini, 2 tahun telah berlalu. Yang pernah berjanji itu telah 2 tahun pula duduk di kursi dewan legislatif dengan fasilitas lumayan mewah dari negara. Merela digaji cukup lumayan besar untuk ukuran penghasilan rata-rata rakyat Sumatra Barat, diberi tunjangan, jaminan ini-itu, ada juga uang insentif kungker, rapat ini-itu, dan lain sebagainya. Pokoknya, mereka tidak perlu pusing-pusing memikirkan “pitmas”, semua sudah oke.
Lalu, bagaimana dengan janji mereka tentang pendidikan gratis itu? Tak usah pikirkan, karena mereka tidak memikirkan itu lagi. Saat kini mereka sedang merayakan hasil kebohongan itu dengan bungkus sebagai wakil rakyat. Berteriak melebihi bunyi petus untuk menagih janji mereka, jangan harap mereka dengar. Datang ke kantor mereka buat menagih janji-janji itu, jangan berpikir mereka akan membuka pintu lebar-lebar. Semua seperti membenturkan sesuatu ke dinding batu.
***
Pada tanggal 23 Juni 2006, harian terbesar di Indonesia memuat iklan dengan judul Himbauan Departemen Pendidikan Nasional yang isinya saya kutip utuh: “Menyongsong Tahun Pelajaran 2006/2007, Departemen Pendidikan Nasional mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran dan kebersamaan dalam mewujudkan layanan pendidikan yang demokratis dan tidak diskriminatif. Terkait dengan itu Pemerintah telah menyediakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) kepada seluruh satuan pendidikan dasar (SD/MI, SDLB, SMP/MTs, SMPLB atau yang sederajat), sehingga satuan pendidikan dasar dihimbau untuk tidak melakukan pungutan biaya pendaftaran/administrasi dan biaya lainnya yang tidak proporsional kepada calon siswa/orang tua siswa.
Kepada Dinas Pendidikan Propinsi dan Kabupaten/Kota diminta untuk mengendalikan, mengawasi, dan jika diperlukan memberikan sanksi terhadap satuan pendidikan yang melakukan pungutan dimaksud.
Sesuai dengan pasal 9 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 11 Tahun 2005; guru, tenaga kependidikan, satuan pendidikan, atau komite sekolah tidak dibenarkan melakukan penjualan buku kepada peserta didik. Dimohon agar semua pihak terkait memaklumi dan mematuhinya.”
Bersama Asril Koto, Putri Reno Intan, Yurnaldi, dan saya berinisiatif memperbanyak iklan itu dan menyebarkan kepada orangtua murid/siswa. Dengan nama Forum Pemantau Pendidikan Sumatra Barat (FPP-SB) feedback dari penyebaran himbauan itu sungguh di luar dugaan: respons dari orangtua murid/siswa cukup besar. Semua bermuara pada pungutan uang yang dilakukan pihak sekolah, dan itu mencekik leher mereka.
Pungutan uang dengan dalih bermacam-macam, memang bukan hal aneh dalam dunia pendidikan kita. Pada akhir tahun pelajaran dan awal tahun pelajaran merupakan peluang besar bagi pihak sekolah untuk meraup dana sebanyak-banyaknya dari orangtua murid/siswa. Sekolah seperti berlomba memasang tarif. Jika sekolah dinilai publik bagus, elitis, dan berada di tengahn kota, maka tarif masuknya beda sekolah yang berlokasi di ujung kota, dan seterusnya.
Dari informasi yang diperoleh FPP-SB di lapangan, jenis pungutan di sekolah berlainan setiap sekolah, dan jumlah pungutan juga berbeda-beda di dalam Kota Padang. Pascapengumuman kelulusan di masing-masing tingkatan sekolah di Kota Padang, pungutan-pungutan yang terkait dengan siswa yang tamat—jika mengacu kepada himbaun Depdiknas di atas tergolong illegal dan menyalahi peraturan—misalnya, siswa tidak bisa memperoleh ijazahnya jika tidak membayar Rp 50.000. Ini pada tingkat SMU/MA, belum termasuk di tingkat SMP/MTsN, dan SD. Dari informasi yang diperoleh (sementara), FPP-SB telah menerima 15 pengaduaan dari orangtua murid/siswa di Kota Padang dengan pungutun bervariasi, tapi minimal nilainya pungutan terendah Rp 25.000.
***
Demikianlah dunia pendidikan kita, yang seyogyanya mengajarkan kejujuran dan kepatuhan terhadap peraturan, malah mempertontonkan sebaliknya. Lembaga dan fasilitas yang seharusnya tersedia cuma-cuma bagi anak sekarang malah menjadi proyek para birokrat pendidikan yang berkuasa. Dan juga sama halnya dengan nasib anak-anak yang tidak lulus ujian akhir nasional mengikuti Paket C dengan keharusan membayar Rp 300-600 ribu/siswa. Bermainnya kekuasaan yang dilakukan oleh pejabat lokal agar anak atau saudaranya diterima di sekolah-sekolah negeri, semakin terbuka dilakukan di segala lapisan, padahal nilai anak/saudaranya itu lepas makan saja. Uang pelicin dan lain sebagainya bermain dengan cantik di birokrat pendidikan agar si anu bisa diterima. Tampaknya, korupsi, kolusi, dan nepotisme merajalela mulai dari perguruan tinggi sampai SD di nagari-nagari.
Akhirnya, memang betul, sistem pendidikan bangsa Indonesia hanya untuk yang berkuasa dan kaya raya. ***
No comments:
Post a Comment