KODE-4

Friday, February 16, 2007

Intervensi Negara terhadap Nagari: Wali Nagari Mesti Berkaca

OLEH Nasrul Azwar
Kembali kepada pemerintahan nagari yang telah menggeliat dua tahun terakhir di Sumatra Barat, tampaknya masih terkesan “seremonial” dan retorikaris. Artinya, walau spiritnya kembali kepada kehidupan bernagari itu terasa kental dan kuat, namun apa sesungguhnya visi, komitmen, dan arah bernagari belum jelas.

Maka, untuk memperkaya visi, komitmen, arah, dan semangat bernagari itu, tentu tak salah kiranya kita berkaca pada sejarah masa lalu tentang pola, tata cara, kehidupan bernagari itu. Paling tidak, dengan belajar dan memetik hikmah dari masa lalu, kita tak kehilangan visi, terutama, tentu bagi komponen-komponen yang berada dalam institusi nagari itu.
Berikut ini rangkuman pemikiran kritis yang pernah disampaikan Muhammad Hasbi dalam sebuah seminar.
Kerapatan Adat Nagari (KAN)
KAN ini merupakan institusi rapat yang dihadiri oleh kepala suku yang sudah berdiri (batagak penghulu) dalam nagari. Mereka merupakan perutusan kampung mereka masing‑masing.
Hasil mufakat yang didapatkan melalui KAN, oleh para penghulu disampaikan kepada masyarakat sukunya, yang biasanya disampaikan melalui mamak‑mamak rumah gadang. Hasil mufakat ini disampaikan di surau, yang berlangsung secara dialogis.
KAN sebagai lem­baga mempunyai peranan dan wewenang yang jelas, maka nagari dapat mencapai stabilitas yang dinamis, sehingga anak nagari jauh dari kegelisahan, kebingungan dan ketidakpuasan.
KAN sebagai lembaga ini telah berkembang berabad‑abad lamanya, jauh sebelum penjajahan Belanda datang ke Indonesia (Sumatra Barat). Dalam waktu yang relatif panjang itu, orang Minang­kabau wilayah hidup di bawah pimpinan penghulu‑penghulu yang terorganisir dalam lembaga kerapatan adat, yang terdapat pada setiap nagari.
Pada dasarnya kedudukan nagari pada waktu itu adalah suatu wilayah yang mempunyai otonomi penuh, sebagai suatu republik desa di bawah pimpinan penghulu‑penghulu yang terorganisir dalam KAN, yang menjalankan pengurusan berdasarkan kata mufakat atau kebijaksanaan alue jo patuik. Bahkan hubungan antarnagari diatur dan dilaksanakan sendiri oleh KAN. Ini sekaligus membukti­kan, bahwa pengurusan nagari oleh KAN berda­sarkan kebijaksanaan alue jo patuik adalah kuat, karena didu­kung, dipertahankan dan dikembangkan secara patut dan mung­kin.
Oleh karena itu, dalam berbagai perubahan dan pengaruh kekuasaan yang muncul atas nagari dan alam Minangkabau, stabilitas nagari tetap dinamis, bahkan tetap berhasil membangun pelbagai budaya yang relatif tinggi, baik di bidang politik, ekono­mi, pendidikan dan lain sebagainya. Semuanya ini terjadi karena adanya kebijaksanaan berdasarkan alue jo patuik yang menjadi dasar pengurusan nagari yang dijalankan KAN.
Intervensi Kolonial Belanda
Pada waktu datang ke Minangkabau, Belanda menyaksi­kan suatu kestabilan masyarakat di nagari‑nagari di bawah pengurusan penghulu‑penghulu, dan yang telah mampu menciptakan bermacam‑macam budaya yang relatif tinggi. Mungkin karena itu pula, dalam meletakkan dasar‑dasar kekuasaannya di Minangkabau, Belanda cukup berhati‑hati. Pada tahap awal, Belanda berusaha mencapai keamanan situasi, dengan mengada­kan persetujuan‑persetujuan perdamaian dengan pemuka-­pemuka masyarakat Minangkabau.
Akan tetapi dengan perjanjian Plakat Panjang tanggal 25 Oktober 1833, Belanda mulai memperlihatkan kemauannya untuk meletakkan dasar dasar kolonialnya di nagari‑nagari, yang menjadi akar bagi tegaknya struktur pemerintahan Belanda di Minangkabau.
Untuk keperluan itu, dibentuklah semacam dewan rakyat yang kemudian diberinya desa yuridis formal dan dipimpin oleh seorang Kepala Nagari. Dewan ini kemudian ditumbuhkan menjadi Kerapatan Nagari, yang anggotanya terdiri dari penghulu‑penghulu yang basurek ditambah orang‑orang terkemuka yang dipandang patut menurut kebiasaan dan adat nagari setempat.
Kerapatan Nagari ini memilih Kepala Nagari dengan menggunakan voting system. Kepala Nagari ini antara lain: bertugas melaksanakan dan menjalankan keputusan‑keputusan yang dibuat Kerapatan Nagari. Dengan demikian, urusan pemerin­tahan nagari ditarik dari wewenang KAN.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa lembaga Kerapatan Nagari yang dibangun kolonial Belanda, tidak mem­punyai sifat‑sifat khusus, sebagaimana yang dimiliki oleh KAN. Lembaga otonom KAN, yang merupakan hasil capai anak nagari Minangkabau, secara utuh mempunyai sifat khusus yang sesuai dengan watak anak nagari, karena bersifat repsentatif, komunikatif, responsif, akfif dan dinamis dalam menghadapi perkembangan dan tantangan kepentingan anak nagari.
Intervensi Negara
Pada tahun 1946, Pemerintah Keresidenan Sumatra Barat ingin melaksanakan konsepsi pemerintahan rakyat perwakilan di nagari. Konsesus politik pada waktu itu memandang perlu mengadakan perubahan dalam susunan pemerintah­an nagari, karena dianggap sebagai warisan kolonial dengan tujuan kepentingan kolonial. Perubahan itu juga dimaksudkan menyempurnakan pelaksanaan demokrasi, dan kelancaran pemerintahan serta pembangunan di nagari‑nagari.
Priode 1945-1950
Melalui Rapat Pleno Komite Nasional, Indonesia (KNI) Sumatra Barat tanggal 18 Maret 1946, yang dituangkan dalam Maklumat Residen Sumatra Barat tanggal 21 Mei 1946 No. 20 dan 21 ditetapkan dan diputuskan perubahan dalam susunan kelembagaan nagari. Keputusan ini berdasarkan pertimbangan untuk menyempurnakan demokrasi dan mempelancar pemerintahan dan Pembangunan di nagari‑nagari.
Dengan Maklumat Residen tersebut, pemerintahan Sumatra Barat melakukan perubahan dengan menampilkan lembaga‑lembaga baru, seperti Wali Nagari, Dewan Perwakilan Nagari (DPN) dan Dewan Harian Nagari (DHN) sebagai pimpinan nagari yang berpuncak pada Wali Nagari, karena Wali Nagari sekaligus merupakan Ketua DPN dan DHN.
Sedangkan dalam Maklumat Residen dan perubahan susun­an nagari ini, KAN tidak disebut‑sebut. Memang dalam jawaban pemerintah Sumatra Barat kepada Majlis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau (MTKAM) menyebutkan, bahwa DPN tidak akan mencampuri urusan adat. Urusan adat akan tetap menjadi kompetensi KAN atau Kerapatan Suku.
Perkembangan tahun 1950 ‑ 1958
Sesudah pemulihan kedaulatan Negara Republik Indone­sia, nagari di Minangkabaupun ikut mengalami perubahan. Melalui Keputusan Pemerintah Daerah Sumatra Tengah tang­gal 14 Juli No. 50 / GP / 1950, pemerintahan nagari dihapuskan, dan digantikan dengan sistem pemerintahan wilayah. Sebetulnya ide sistem pemerintahan wilayah ini sudah timbul semenjak tahun 1947, karena pada waktu itu telah mulai dirasakan Maklumat Residen Sumatra Barat No. 20 dan 21 mempunyai keku­rangan dan kelemahan.
Untuk mengatasi kekurangan dan kelemahan inilah pada tanggal 29 ‑ 30 Maret 1947 diadakan Konperensi Wali Nagari se Sumatra Barat di Bukittinggi. Dalam konperensi itu Pemerin­tah Daerah Sumatra Barat menyampaikan suatu harapan, agar dari 543 nagari yang ada dapatlah dibentuk sekitar 100 daerah yang berotonomi.
Ketidakpuasan ini juga semakin terlihat, ketika diadakan Konperensi Ninik‑mamak, pemangku adat se-Sumatra Tengah, yang berlangsung di Bukittinggi 16 ‑ 19 Desember 1953. Konperensi ini menuntut pemerintahan nagari berotonomi kembali, sebagaimana yang diinginkan anak nagari Sundata. Sebab dengan dengan cara ini memungkinkan nagari‑nagari membangun dan melengkapi aparaturnnya secara demokratis, sehingga pemerintahan nagari dapat berjalan lancar.
Kemudian dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia tanggal 15 Januari 1954, dihapuskanlah kembali sistem wilayah berotonomi, dengan menghidupkan kembali sistem nagari berotonomi berdasaikan IGOB dengan penyesuaian terhadap perkembangan cita‑cita demokrasi. Petunjuk‑petunjuk penyesuai­an diberikan melalui Surat Menteri Dalam Negeri tanggal 17 Februari 1954 No. DDx / 5 / 1 / 2 dan Ketetapan Gubernur Sumatra Tengah tahun 1955 No. 2 / 9‑55.
Ketetapan Gubernur itu adalah mengenai susunan dan cara pembentukan DPRN sebagai pengganti Kerapatan Nagari menurut IGOB, dengan memberi jiwa dan isi baru sesuai dengan sistem demokrasi. Namun dikebanyakan nagari, pembentukan DPRD dan susunan pemerintah nagari berdasarkan ketetapan Gubernur tersebut, banyak yang tidak terlaksana. Yang dijalan­kan justru pemilihan Wali Nagari sebagai aparat untuk menjalankan fungsi pemerintahan di nagari‑nagari. Lalu kedudukan Wali Nagari menjadi rebutan yang serius di antara partai‑partai yang ada di nagari‑nagari. Dari sinilah dapat dilihat, bahwa partai‑par­tai politik di nagari‑nagari hanyalah merupakan kelompok­-kelompok masyarakat yang punya hubungan dan ikatan dengan pemmpin tadi.
Keadaan Tahun 1958 ‑ 1968
Berhubung berlakunya peristiwa PRRI dan berlakunya sis demokrasi terpimpin di Indonesia, sebagai jalan yang ditempuh Pemerintah untuk mengatasi krisis demokrasi, maka Pemerintah Sumatra Barat secara berturut‑turut mengeluarkan beberapa keputusan. Keputusan ini antara lain bertujuan mengisi kekosingan pemerintahan di nagari‑nagari dan hapusnya keadaan bahaya di seluruh Indonesia.
Lembaga‑lembaga Pemerintahan Nagari menurut Keputus­an Gubernur No. 02/Desa/GSB/Prt‑63 ini terdiri dari; Kepala Nagari, Badan Musyawarah Nagari (BMN) dan Musyawarah Gabungan. Di samping ada pula yang dinamakan alat‑alat per­lengkapan nagari, yang terdiri dari; Pamong Nagari, Panitera Nagari dan Pegawai Nagari.
Badan Musyawarah Nagari yang merupakan perwakilan masyarakat nagari anggota‑anggotanya terdiri dari wakil‑wakil sepuluh golongan, yang ditetapkan dengan Keputusan Gubernur yang sama. Wakil sepuluh golongan itu adalah, golongan adat, golongan agama, golongan front nasional, golongan LSD, golongan koperasi, golongan wanita, golongan tani/nelayan golongan buruh, golongan pemuda dan golongan veteran/angkatan 45.
Sedangkan Musyawarah Gabungan merupakan lembaga musyawarah yang menetapkan suatu pembebanan kepada anak nagari, dan memutuskan hal‑hal yang tidak dapat kata sepakat dalam rapat BMN. Peserta atau anggota dari Musyawarah Gabungan ini terdiri dari Kepala Nagari, semua anggota BMN, semua pamng nagari dan seorang utusan dari tiap‑tiap kampung dari nagari.
Eksistensinya sudah ditentukan oleh orang seorang, yaitu Kepala Nagari. Susunan Pemerintah Nagari yang seperti ini, dibangun penguasa daerah Sumatra Barat semasa prolog G.30.S / PKI, yang ternyata bukanlah menumbuhkan pemerintahan rakyat sebagaimana yang diharapkan sistem demokrasi yang dianut. Susunan ini malah menumbuhkan pemerintah atau penguasa diktatur kecil di nagari‑nagari, yang sering beroleh legalisasi yang tidak legal, bahkan dapat perlindungan dari penguasa yang lebih tinggi.
Dengan demikian, Pemerintahan Nagari pada tahun 1958 ‑1966, merupakan masa pemerintahan kekerasan di nagari‑nagari Minangkabau. Pemerintahan yang jauh dari cita‑cita pemerintahan rakyat dan cita‑cita kemajuan anak nagari. Keputusan Gubernur ini masih tetap berlaku sampai pada bulan Desember 1968, karena belum ada keputusan yang menggantikannya.
Keadaan tahun 1968 ‑ 1979
Masa awal Orde Baru (1966 ‑ 1967) masyarakat politik di Sumatra Barat mulai menaruh perhatian yang serius ke arah pembangunan nagari. Perhatian ke arah pembangunan nagari ini menimbulkan pendapat, bahwa diperlukan adanya susunan kelembagaan nagari yang dapat berfungsi secara efektif dalam pelaksanaan pembangunan. Orang‑orang mulai mengembangkan pemikiran dan pendekatan ke arah pernbentukan lembaga tersebut, terutama mengenai struktur pemerintahan nagari yang akan dikembangkan.
Akhirnya melalui suatu proses yang tidak terlalu lama, Keputusan Gubernur Kepala Daerah Sumatra Barat, ont 1968 No. 015/GSB/1968, tentang peraturan dan pemerintahan nagari dalam daerah Sumatra. Pelaksanaan keputusan diatur melalui Instruksi Gubernur Tanggal 17 Mei 1968 No. 10 tahun 1968. Pelaksanaan ini dimulai dengan membuat pilot proyek dengan mengambil satu nagari dari setiap kecamatan.
Susunan Pemerintahan Nagari menurut Keputusan Guber­nur 1968 ini, disebutkan sebagai pemerintah nagari adalah Wali Nagari, yang akan melaksanakan kekuasaan eksekutif. Kemudian ada Dewan Perwakilan Rakyat Nagari (DPRN) yang melaksanakan kekuasaan legislatif di nagari, yang anggota­nya dipilih secara umum, langsung, bebas dan rahasia dengan menggunakan sistem distrik.
Ada kecenderungan yang mengarah kepada rencana untuk mengembalikan KAN sebagai lembaga yang melakukan pengambilan kata putus melalui musyawarah mufakat, tentang kebijaksanaan yang menyangkut perkembangan dan tantangan kepentingan anak nagari. Sebetulnya sebelum keluarnya Keputusan Gubernur No. 015/GSB/1968 tersebut, sudah ada konstatering gubernur sendiri, yang memberikan pengakuan bahwa di nagari‑nagari Minangkabau terdapat tiga unsur pokok kepemimpinan, yaitu ninik‑mamak, alim ulama dan cerdik pandai.
Lagi pula, jika Rapat Nagari ini dimaksudkan sebagai pengganti KAN, yang fungsinya untuk anak nagari berkomunikasi, pengawasan dan partisipasi melalui jaringan perkerabatan tempat tegaknya KAN, maka lembaga Rapat Nagari tidak akan banyak manfaatnya. Bahkan mungkin merupakan kemunduran dalam penyelenggaraan komunikasi, pengawasan dan cara‑cara memperoleh partisipasi, karena eksistensi kedua lembaga ini berbeda secara prinsipil.
Keadaan 1979 ‑ 1999
Jika kita mau jujur, dalam.penerapan UU No 5 Tahun, 1979, kita telah membuat kekeliruan yang besar. Menjadikan, jorong sebagai desa menurut pengertian UU No. 5 Tahun 1979 tersebut berarti‑ kita telah mengabaikan perkembangan tantangan kehidupan kultural anak nagari. Banyak prediksi yang dilontarkan oleh tokoh masyarakat Sumatra Bart, ketika Gubernur menetapkan jorong sebagai desa.
Prediksi yang agak bersamaan adalah, akan terjadi degradasi dari hasil capai pelaksanaan Keputusan Gubernur No4l 155, No. 156 dan No. 157 Tahun 1974.
Degradasi yang akan terjadi banyak yang bersifat prinsipil, terutama dalam mengakamodir penyelenggaraan pembangunan di desa‑disa. Juga akan terjadi degradasi kemampuan dan kepopulisan aparatur, ketidakmampuan menyusun program pelaksanaan pembangunan desa, ketiadaan tenaga masyarakat desa, sangat kecilnya penghasilan desa dan lain sebagainya. Boleh dikatakan degaradasi ini menyangkut hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat desa, kehidupan politik, ekonomi dan budaya.
Sementara itu KAN yang oleh UU No. 5 Tahun 1979 diberi peranan dalam pengurusan adat dan kebiasaan anak nagari, namun dalam Peraturan Daerah Sumatra Barat No. 13 Tahun 1983, dijadikan lembaga tanpa wewenang dalam urusan pemerintahan. Dalam keadaan yang hampir mengalami degradasi, bagaimana lembaga dan kelembagaan jorong (desa) dan nagari mampu mengakomodir kebutuhan dan keperluan pemenuhan tuntutan pembangunan pedesaan. Kemudian degradasi ini akan merendahkan kadar ketahanan masyarakat di pedesaan, yang akhirnya menjadi sumber krisis terselubung di tengah hasil pembangunan yang kita kumandangkan.
Sedangkan intervensi negara dengan UU No., 5 Tahun 1979, yang keliru adalah pelaksanaannya di Sumatra Barat, dengan meletakkan dan menetapkan jorong sebagai desa. Namun semua intervensi negara ini kurang kooperatif dan kurang dapat menumbuhkan partisipasi aktif anak nagari, terutama melalui lembaga dan kelembagaan yang diintrodusir ke pedesaan.
Sebetulnya intervensi negara hanyalah dimaksudkan untuk usaha pengembangan, bila sistem kelembagaan, struktur dan prosedur‑prosedur yang ada tidak sesuai lagi dengan tuntutan perubahan, perkembangan dan tantangan kepentingan anak nagari. Oleh sebab itu, intervensi negara tidak boleh ditujukakan untuk mengganti kelembagaan yang telah dimiliki, didukung dan dipertahankan anak nagari. Dan bukan pula menghilangkan pandangan mereka yang bersifat prinsipil. Intervensi negara yang menghormati kedudukan daerah istimewa nagari haruslah menumbuhkan kerjasama dalam bentuk partifipasi aktif, bukan kerjasama dalam bentuk eksploitatif atas dana dan daya anak nagari. ***

No comments:

Post a Comment